Hilya tersenyum melihat ekspresi bahagia anaknya. "Wah, mobilnya bisa berubah, ya?""Bisa." Rifky mengangguk cepat, matanya berbinar.Di samping Hilya, sang kakak ikut memperhatikan keseruan anak-anak. "Sepertinya ada yang mulai perhatian sama kamu, Hil. Dia tertarik padamu. Lihat saja bagaimana dia peduli pada Rifky. Itu bukan sikap yang biasa ditunjukkan pria yang hanya ingin bersikap basa-basi. Terlebih kalian baru saling kenal."Hilya tersenyum hambar. Ia meraih cangkir teh yang sudah mulai dingin di meja, mengaduknya pelan dengan sendok kecil. "Bisa jadi dia hanya merasa kasihan. Atau sekadar bersimpati. Aku ini janda, Mbak. Dia bos besar, dari keluarga berada. Kulihat profil perusahaannya sangat bonafit. Jelas kami nggak sekufu."Untuk perempuan nggak sekufu sepertiku, biasanya mereka hanya ingin sekedar bermain-main. Kalau dia ingin menjalin hubungan serius, pasti mencari yang setara. Bukan seseorang sepertiku yang hanya seorang wanita biasa."Bre memang sosok yang tampak baik.
Tidak dipungkiri, sisi hatinya yang lain justru berandai-andai, kalau bisa ia menginginkan Hilya dan Rifky kembali. Sering ia bermimpi untuk hal itu. Tapi, luka yang ia torehkan teramat dalam. Bisakah disembuhkan?"Aku nggak bisa ambil Rifky dari Hilya," ucap Arham datar."Kenapa? Dia anakmu juga.""Karena aku nggak bisa menjaganya.""Kamu meragukanku?""Ya. Kamu pasti nggak sebaik Hilya menjaga Rifky. Karena kamu melakukannya bukan pakai hati, tapi karena ingin dimenangkan. Sudahlah jangan membahas hal ini.""Kamu menyepelekanku, Mas. Kalau kamu nggak mau ngambil Rifky, berarti kamu memang sengaja supaya bisa bertemu Hilya kalau sedang mengunjungi anakmu.""Aku nggak ingin berdebat denganmu.""Tapi bener, kan?" Mata Atika menyorot garang pada suaminya. Namun Arham diam. Lantas ia bangkit hendak masuk ke kamar. ""Jangan berpikir untuk meninggalkanku," teriak Atika yang didengar jelas oleh Arham. Pria itu terus masuk kamar tanpa meresponnya. Padahal dia sedang memikirkan, mungkin lebi
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tak SabarAuthor's POV Mobil Tristan kembali melaju di aspal. Tadi memang sengaja lewat jalan dekat rumah Hilya, meski tidak akan pernah bisa datang ke rumahnya. Namun ternyata ia melihat Bre di depan minimarket untuk menemui Hilya dan anaknya.Hati Tristan tambah remuk rasanya. Jelas dia kalah jauh dari Bre. Sahabatnya itu pria bebas. Tidak ada penghalang untuk mendekati siapapun yang ia mau. Dan membuat Tristan terbakar cemburu. Tidak seharusnya begitu, tapi ia tak bisa menghindari. Rasa itu benar-benar nyaris membuat gila.Hilya memang sungguh meresahkan. Janda yang menggoda. Oh, bukan. Hilya sama sekali tidak menggodanya. Tapi dia yang tergoda dengan sendirinya. Dia yang tidak bisa mengendalikan hati.Wanita itu menjaga sikap, berpakaian sopan, tidak cari perhatian, bahkan tidak peduli pada lelaki yang berusaha menarik perhatiannya. Bahkan terus terang bilang, "Jangan pernah jatuh cinta pada saya, Pak."Sambil nyetir pikiran Tristan gelisah sampai berger
Bre, yang menyadari perubahan sikap Hilya, bertanya pelan, "Mbak Hilya, tidak nyaman?"Hilya mengangguk, menggeser Rifky mendekat ke sisinya. "Saya janda, Pak. Orang-orang selalu punya bahan gosip tentang status itu.""Ya, saya ngerti.""Maaf, Pak Bre. Kami harus pulang!" "Tapi anak-anak masih makan," jawab Bre memandang Rifky dan Yazid yang masih asyik dengan es krim mereka.Hilya serba salah. Ia tidak ingin berlama-lama di sini, tapi tidak tega memaksa anak-anak menyelesaikan makanan mereka dengan terburu-buru.Bre tersenyum kecil. "Biar saya saja yang pergi duluan, Mbak Hilya."Hilya menatapnya. "Maaf, Pak Bre.""Tidak perlu minta maaf. Saya paham. Kita bisa bertemu lagi lain waktu.""Rifky, Yazid, salim dulu sama Om. Om Bre mau pulang ke Malang." Hilya menyuruh anak-anak bersalaman. Yazid yang menyalami lebih dulu, baru Rifky mengulurkan tangannya.Bre meraih anak itu untuk dipangkunya sejenak. Rifky tampak tenang, menatapnya begitu tulus. "Lain hari kita bertemu lagi, Rifky dan
Bre terdiam mendengar cerita Ani. Tidak menyangka dengan kelamnya kehidupan wanita itu. Dia juga baru tahu kalau sebenarnya ayah Hilya masih hidup. Dia semakin tertarik dengannya. Setangguh itu ternyata. Mungkin bisa dikatakan, Livia lebih beruntung daripada Hilya. Setidaknya mantan istrinya itu hidup dalam keluarga yang harmonis. Memiliki ayah yang berperan sebagai pelindung. Tapi Hilya?Livia juga menderita sebenarnya, tapi beda permasalahan dengan Hilya."Pak Bre, sudah mendengar semuanya. Nggak ada yang saya tutupi dan begitulah adanya.""Ya, Mbak. Makasih banyak.""Hilya sudah berulang kali disakiti. Jangan dekati dia, kalau hanya menambah lukanya. Dia wanita yang baik. Dia tumpuan keluarganya saat ini.""Ya, saya ngerti. Tidak ada sedikit pun niat saya untuk mempermainkannya.""Saya yang ngasih info ini ke Pak Bre. Kalau sampai Anda mempermainkannya, sayalah orang pertama yang nggak akan terima.""Jangan khawatir, Mbak. Saya berniat baik."Berulang kali Ani memperingatkan Bre.
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tidak WarasAuthor's POV "Maaf, Pak Arham. Saya ingin bicara sebentar dengan Mbak Hilya." Tristan bicara setelah mendekat."Ya, silakan!" Arham mundur. Meski tahu Tristan menyukai Hilya, tapi dia tidak bisa menunjukkan rasa tak sukanya. Hilya bukan lagi siapa-siapa baginya, posisi sekarang juga masih di kantor. Mungkin ada urusan kantor yang harus mereka bicarakan.Arham tampak gelisah menunggu mereka selesai bicara. Beberapa kali memandang ke arah mereka berdua. Tampak Tristan memandang Hilya dengan tatapan begitu dalam. Cemburu. Tapi untuk menunjukkan perasaan itu pun sudah tidak layak. Dia tahu di mana mereka berada sekarang. Bahkan seharusnya dia pergi dari sana karena memang waktunya pulang.Sementara Tristan dan Hilya serius berbincang. Tristan mengatakan akan mengajak Hilya ke pertemuan penting di dengan partner kerja mereka besok jam sepuluh pagi. "Asisten Pak Tristan harus ikut kalau kita harus pergi. Kita memang mengurus pekerjaan, Pak. Tapi kita mes
"Halo, assalamu'alaikum." Hilya menjawab panggilan."Wa'alaikumsalam. Maaf, apa saya mengganggu, Mbak?""Nggak, Pak.""Baru pulang dari kantor?""Tadi menjelang Maghrib saya sampai di rumah." Setelah itu Hilya menjawab pertanyaan Bre lewat pesan tadi. Akhirnya mereka serius membahas tentang pekerjaan. Padahal sebenarnya itu hanya basa-basi Bre, agar Hilya tidak merasa terganggu. Biar punya alasan untuk bicara dengan Hilya."Besok sore saya sampai di Surabaya, Mbak.""Oh, mau jenguk mamanya, Pak Bre?""Keponakan saya ulang tahun. Besok saya nganterin Leon. Ponakan yang ikut tinggal bersama saya di Malang pulang ke Surabaya, karena yang sedang berulang tahun besok itu adiknya." Bre menceritakan sekilas tentang Leon yang sudah beberapa tahun ikut dengannya tinggal di Malang."Misalnya besok sepulang kerja saya ajak ketemuan bisa, Mbak?" Bre bertanya sangat hati-hati."Ketemuan untuk apa, Pak? Kalau membahas pekerjaan, bukankah sebaiknya di kantor saja.""Ini bukan tentang pekerjaan.""La
Ada duda usia empat puluhan yang tinggal di ujung gang sana, seorang guru SMK. Pernah mencoba dekat dengan sang kakak, tapi berujung dengan keputusan untuk berteman saja. Dia pria yang baik, taat beribadah, tapi entahlah. Mungkin kakaknya juga masih menyimpan trauma seperti dirinya."Pergilah untuk menemuinya besok. Berdua saja, jangan bawa anak."Hilya tidak menjawab. Dia mengunyah nasi sambil mempertimbangkan perkataan kakaknya. Rasa takut gagal untuk yang kesekian kali memang ada, tapi masih ada keuntungan baginya. Dia bisa berteman dengan Bre dan menambah koneksinya. Siapa tahu suatu hari nanti, dia butuh bantuan untuk pergi dari Surabaya jika keadaan sudah tidak bisa berkompromi lagi. Bukankah Bre terlihat sangat baik dan sopan?🖤LS🖤"Hilya, kita berangkat sekarang." Tristan memanggilnya dari ambang pintu pagi itu."Ya, Pak." Hilya meraih tasnya, lantas tergesa menyusul. Masih sempat Hilya menghampiri Ani untuk pamitan."Hati-hati, Hilya."Hilya tersenyum lantas melangkah pergi
Kisah mereka menjadi perbincangan hangat di antara para kerabat. Menjadi sebuah cerita yang sangat menarik untuk di ulas. Arham, Bre, Agatha jadi pusat perhatian. "Mana mantan istrinya Arham?" tanya keluarga Agatha yang penasaran sambil mencari-cari. Namun Hilya tidak ikut hari itu. Dia tinggal menghitung hari untuk melahirkan bayi perempuannya.Bre datang bersama dua anak, mamanya, dan Mak As. Mereka duduk di antara para kerabat pengantin. Rifky dan Rafka duduk anteng dalam pakaian koko putih, seragam dengan papanya. Mak As duduk di samping Bu Rika yang tampak berkaca-kaca melihat ke arah Agatha. Akhirnya mantan menantunya menikah juga. Dua wanita itu sangat dekat dulunya. Bu Rika menjadi saksi, Agatha mencintai Bre bertahun-tahun lamanya.Suasana hening saat acara akad nikah berlangsung. Dengan sekali lafaz, Arham sah menjadi suami Agatha.Selesai akad, suasana mencair. Hidangan disajikan. Semua bersantap dalam suasana kekeluargaan.Bu Wawan menghampiri Bre. Ia memeluk pria itu era
Hilya tersenyum sambil mengangguk. "Kapan Mbak pulang dari Singapura?""Aku sudah kembali menetap di Surabaya sejak empat bulan yang lalu. Disuruh pulang sama mama karena beliau nggak ada yang menemani. Papaku meninggal sekitar tujuh bulan yang lalu." Cerita Agatha. Membuat Bre yang mendengarnya pun menoleh. "Innalilahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Bre dan Hilya bersamaan."Jadi Pak Wawan sudah meninggal?" tanya Bre. Dia tidak tahu. Kakaknya juga tidak mengabari. Ia yakin Ferry pasti tahu hal itu."Iya.""Aku turut berduka cita, Tha."Agatha mengangguk.Kemudian mereka memasuki ruang tamu dan duduk di sofa. Anak-anak duduk sambil membuka oleh-oleh. Mereka selalu excited membongkar bingkisan."Pasti Mas Bre dan Hilya heran karena kami datang berdua ke mari." Arham membuka percakapan setelah beberapa saat duduk. Mak As keluar membawakan minum dan kue."Surprise sekali kalau Mas dan Agatha saling kenal," ujar Bre dengan sikap tenang.Arham menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Berlabuh Author's POV Dada Agatha berdebar kian hebat saat mobil keluar dari gerbang tol. Mereka sampai sebentar lagi. Ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang kembali berkaitan dengan pria yang pernah menjadi segalanya."Kita sarapan dulu!" Arham menoleh pada Agatha."Hmm, iya."Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Hawa dingin dan kabut pagi menyambut mereka saat turun dari kendaraan. Agatha menikmati suasana pagi yang begitu berkesan. Sejak dulu, impiannya memang tinggal di Malang. Apalagi setelah mendengar Bre pindah ke Malang, siapa tahu masih ada harapan mereka bersama. Terlebih hubungan mereka juga membaik meski hanya lewat media sosial.Namun kenyataan tak seperti harapan. Perjalanan panjang membawanya ke Malang untuk cerita yang berbeda. Agatha menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Hari ini dia menguji keberanian. Cerita nanti akan seperti apa."Masih jauh lagi rumah mereka, Mas?" tanya Agatha setelah
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid