Ketika Bre dan Hilya tengah menikmati percintaan mereka. Di kamar lain Mbak Asmi dan Bu Rika duduk di balkon, menikmati segelas teh hangat.Bu Rika menatap wanita muda di sampingnya. "Nak Asmi, kamu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi? Hilya sudah kembali membuka hati."Mbak Asmi tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab. "Entahlah, Bu."Bu Rika menghela napas pelan. "Kamu masih muda dan cantik. Jangan memutuskan untuk sendiri. Yazid butuh figur seorang ayah."Mendengar itu Mbak Asmi terdiam sejenak. "Anak saya sudah besar, Bu. Saya khawatir dia tidak bisa akur dengan ayah sambungnya.""Kebahagiaan memang tidak selalu tentang memiliki pasangan. Tapi kalau ada seseorang yang baik, yang bisa menerima kalian berdua dengan baik, jangan menutup hati, Nak."Mbak Asmi mengangguk samar. Di saat merasa lelah, terkadang ada keinginan untuk menikah supaya ada yang bertanggungjawab pada dirinya dan Tazid. Namun ia pun khawatir kalau kembali dikhianati.Dua wanita itu akhirnya beranja
USAI KEPUTUSAN CERAI - Hasil Tes Author's POV "Hilya." Nama Hilya pun dipanggilnya.Mbak Asmi dan Hilya saling pandang. Begitu juga dengan Bre. Ia menoleh pada istri, kakak iparnya, dan lelaki di belakang sana."Siapa, Mbak?" tanya Bre."Bukan siapa-siapa. Nggak usah dipedulikan, Bre," jawab Mbak Asmi lalu membimbing anaknya naik ke mobil. Laki-laki di belakang mengejar dengan langkah tuanya yang terlihat berat. Sedangkan wanita tua yang bersamanya tetap berdiri di tempat."Nak Asmi, Bapak itu menyusul kalian," kata Bu Rika yang sudah duduk di dalam mobil. Memperhatikan ke arah lobby. Mbak Asmi dan Hilya menoleh. Bre yang mengendong Rifky juga belum membuka pintu mobil.Laki-laki dengan wajah sendu itu mematung dengan jarak dua meter dari mereka. Belum sempat bicara, seorang wanita lebih muda berteriak sambil mendekat dengan nada agak geram. "Ayo, Pa. Ngapain sih? Telat nanti kita!"Mbak Asmi langsung masuk ke mobil diikuti oleh Hilya. Bre juga membuka pintu depan. Laki-laki tadi d
Kemudian mereka sampai di bandara. Check in, duduk menunggu di boarding lounge. Namun tidak ada cerita lagi tentang Pak Umar. Bre menggenggam jemari Hilya yang duduk di sebelahnya. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya lirih. Bre khawatir karena wajah istrinya yang pucat. Lemas juga. Mungkin karena pertemuan tak terduga tadi. Hilya menggeleng. Tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pusing. Perjalanan bulan madu ini, diakhiri dengan sesuatu yang tidak disangka. Jujur ia pun penasaran, apa selama ini bapaknya tinggal di Bali. Kenapa tadi ada di resort yang sama dengan mereka. Sedang liburan atau bagaimana?Mbak Asmi duduk bersebelahan dengan Bu Rika di deretan bangku depan Bre dan Hilya. Sedangkan anak-anak tengah berdiri di dekat dinding kaca sambil memperhatikan deretan pesawat yang berjajar di depan sana. Beberapa menit kemudian ada panggilan agar para penumpang segera memasuki pesawat. Bre bangkit dari duduknya lalu menggendong Rifky dan menggandeng Yazid. Mereka beriringan untuk boarding.
"Baik loh Pak Guru itu, Mbak. Selama ini nggak pernah ada gosip aneh-aneh walaupun dia duda," ujar Hilya."Iya," jawab Mbak Asmi singkat. Tentu saja Izam menjaga citra baiknya sebagai guru dan ustadz."Mbak, aku mau nanya serius. Beneran Mbak dekat lagi sama Mas Izam?"Mbak Asmi duduk seraya meletakkan sepiring ubi rebus di meja depan mereka. "Sebenarnya sejak dua mingguan yang lalu, dia ngirimi pesan ke mbak, Hil. Awalnya ya hanya basa-basi ngomongin Yazid yang akan diikutsertakan lomba azan sama menulis kaligrafi.""Lalu ...." Hilya tak sabar."Dia ngajak ta'aruf."Mata Hilya sontak membulat dan berbinar. Ini kabar yang ia tunggu-tunggu. Jadi dia bisa tenang ikut Bre pindah ke Malang kalau kakaknya dalam penjagaan pria yang tepat. Izam duda cerai mati. Istri pria itu meninggal sudah tiga tahun yang lalu tanpa meninggalkan seorang anak. Istrinya sakit kanker semenjak sebelum mereka menikah. Namun Izam tidak meninggalkannya. Tetap menikahi wanita itu hingga pada akhirnya juga meningga
USAI KEPUTUSAN CERAI - Hadiah Terindah Author's POV "Paket atas nama siapa, Mas?" tanya Mbak Asmi."Atas nama Mbak Hilya. Bener kan di sini alamatnya, Mbak?" Kurir itu menunjukkan alamat yang tertera di kotak paket."Iya," jawab Mbak Asmi setelah membaca alamat. Saat itu Hilya berdiri dan menghampiri sang kakak."Dari Arham, Hil," ujar Mbak Asmi setelah membaca siapa pengirimnya.Mereka menerima paket itu dan langsung membukanya setelah kurir pergi. Rifky yang 'kepo' meninggalkan mainannya dan mendekati sang mama. Mata beningnya langsung berbinar saat melihat ada mobil mainan dikeluarkan budhenya dari dalam kotak."Hmm, aku syuka," ujarnya lucu sambil mengangkat mainannya. Tidak hanya mainan, tapi juga tiga pasang pakaian, dan snack. Pada saat yang bersamaan, ponsel Mbak Asmi berdenting. Ada pesan masuk dari Arham.[Paket untuk Rifky sudah sampai, Mbak? Maaf, saya belum bisa datang menjenguk. Saya masih ada urusan. Salam buat Rifky, Mbak.]Hilya ikut membaca pesan yang disampaikan
Atika mencengkeram sisi rok lusuhnya. Dia nekat menemui Hilya dengan membanting harga diri, menepikan rasa malu karena bingung dengan cara apalagi yang bisa membuat Arham membatalkan perceraian mereka. Pikiran Atika buntu, karena besok sidang perdana perceraiannya. Untuk membayar pengacara pun keuangannya sudah menipis. Arham tidak sebanyak dulu memberinya uang."Tolong aku, Hil. Mungkin Mas Arham mau mendengarmu, karena kamu ibu dari anaknya."Hilya menatapnya lama. "Kalau kamu bisa dengan mudah menghancurkan hidup orang lain, kenapa sekarang kamu takut hidupmu hancur?"Atika terisak, bahunya bergetar hebat.Akan tetapi Hilya sama sekali tidak terpengaruh. Ia sudah jauh melangkah meninggalkan luka yang dulu mereka tinggalkan di hidupnya."Aku tidak bisa membantumu." Hilya berkata tegas agar wanita itu secepatnya pergi dari sana. Hilya khawatir kalau dia nekat memanfaatkan Rifky.Tanpa pamitan dan dengan langkah gontai, Atika meninggalkan depan toko. Mbak Asmi yang tengah menggendong
"Terima saja, Mbak. Nggak akan ada kesempatan kedua mendapatkan pria seperti Pak Guru," ujar Hilya malam itu. Setelah anak-anak tidur dan mereka duduk ngobrol di depan televisi."Seorang ustadz seperti Pak Guru, tentu tidak akan sembarangan mengambil sikap dan keputusan. Pasti sudah istikharah, berdoa minta petunjuk sama Allah, berbincang juga dengan keluarga. Coba mulai malam ini pun Mbak sholat istikharah."Mbak Asmi mengangguk. Hatinya adem setelah mendengar pendapat adiknya. Lebih baik dia juga salat istikharah untuk minta petunjuk dan memantapkan hati.Saat keduanya terdiam, ponsel Hilya berdering. Bre menelepon. Hilya bilang pada sang suami kalau Mbak Asmi dan Yazid tidak bisa mengantarkan mereka pindahan akhir pekan ini karena hari Seninnya Yazid ulangan kenaikan kelas. Selesai menelepon, Hilya memandang sang kakak. "Mas Bre bilang, kalau Mbak Asmi dan Yazid nggak bisa ikut akhir pekan ini, kami mau diajak langsung pulang ke Malang besok, Mbak.""Ya, nggak apa-apa. Daripada Br
USAI KEPUTUSAN CERAI- Posesif Author's POVSaat Bre kembali duduk, ia meraih tangan istrinya dan mengecupnya penuh kelembutan. Matanya yang kemerahan menatap perut Hilya yang masih rata. Dengan hati-hati ia menunduk, mengecup perut itu dengan penuh cinta."Terima kasih, Sayang. Sudah menghadiahkan mas kebahagiaan ini," ucapnya lirih.Hilya tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya di dada Bre. Ia terharu sekaligus bahagia. Kehamilannya kali ini disambut luar biasa oleh seorang suami. Ingat bagaimana dia hamil Rifky, perjalanan sembilan bulan sepuluh hari dilaluinya sendirian. Penuh luka dan air mata. Tekanan mental dan fisik karena harus tetap bekerja.Dua kali keguguran pun disambut biasa dan berduka seperlunya. Kala itu kehidupannya masih susah bersama Arham. Penuh perjuangan yang berakhir kandas.Bre kembali mengusap perut istrinya yang masih rata. Seolah ingin memastikan bahwa kebahagiaan itu bukan sekadar mimpi. Belum pernah ia sebahagia ini. Sesuatu terasa begitu berbeda dalam bena
Pak Umar tambah terkejut, tapi ada binar di matanya. Apa tamunya itu tetangga anaknya. "Apa kamu tetangganya Asmi?""Bukan, Pak. Kenalkan nama saya Arham. Saya papa kandungnya Rifky."Kali ini Pak Umar terkesiap. Memandang Arham lekat-lekat, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. Jadi, dialah lelaki yang pernah menjadi suami putrinya. Yang mengkhianati Hilya seperti yang telah dilakukannya dulu.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling diam, membiarkan angin pagi menjadi saksi ketegangan yang merayap di antara mereka."Jadi, kamu ayah kandungnya Rifky?"Arham mengangguk. "Saya dulu suami Hilya, Pak. Kami berpisah sebelum Rifky lahir."Pak Umar menyandarkan tubuh ke kursi. Akhirnya dia bertemu juga dengan mantan menantu yang tidak pernah dikenalnya. Hilya tidak pernah cerita atau menunjukkan foto mantan suaminya. Padahal dua tahun yang lalu mereka juga bertemu. Bre mengirimkan tiket supaya dia bisa ke Surabaya bertemu keluarganya.Arham menyalami Pak Umar dan mencium tangannya.
Arham terhenti sejenak. Satu kejutan ia dapatkan ketika beberapa saat memulai hubungan. Sekat itu terasa. Persis ketika malam pertamanya dengan Hilya. Namun Agatha terlihat biasa, sedangkan Hilya menunjukkan rasa tidak nyaman karena rasa sakit.Hal mengejutkan itu Arham simpan sampai mereka selesai melakukannya. Benarkah istrinya masih perawan? Yang dia nikahi padahal seorang janda. Memang tidak ada darah yang keluar seperti halnya Hilya dulu. Tapi Arham tidak mungkin salah merasakannya. Lelaki itu mengecup istrinya sambil berkata, "Boleh aku tanya sesuatu?"Agatha memandang sang suami dengan wajah lelah. Keringat membasahi pelipis. Baru kali ini dia merasakan bagaimana berhubungan suami istri yang dulu hanya sekedar angan, akhirnya pupus setelah Bre memutuskan untuk bercerai. "Tanya apa, Mas?""Yang kunikahi perawan atau janda?""Janda yang masih perawan," jawab Agatha dengan cepat. "Kamu kaget, Mas?""Ada apa dengan pernikahanmu bersama Bre waktu itu?" tanya Arham dengan nada pelan
USAI KEPUTUSAN CERAI- Perawan Author's POV Arham masih memperhatikan Pak Umar yang tengah membaca surat kabar. Di zaman canggih begini, lelaki itu tetap setia dengan media cetak. Beberapa menit kemudian, dari dalam rumah muncul seorang wanita dengan kursi rodanya. Menghampiri Pak Umar yang akhirnya meletakkan koran di atas meja. Kemudian mereka berbincang. Entah bicara apa, Arham tidak bisa mendengarnya.Mungkin bukan sekarang. Nanti saja kalau ada kesempatan, ia akan bicara dengan Pak Umar. Sepertinya lelaki itu pemilik rumah makan ini. Gampang untuk mencarinya nanti. Dia juga harus memberitahu Agatha terlebih dulu. Biar istrinya tidak kaget.Jika sekarang menghindar pun, bisa jadi suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali. Kemungkinan itu sangat besar. Sebab cucu Pak Umar adalah anaknya."Kenapa, Mas?" Agatha heran melihat Arham terdiam."Nggak apa-apa. Nanti kalau sudah sampai di hotel, ada yang ingin kuceritakan.""Ya." Agatha mengangguk dengan perasaan penasaran. Arham yan
Kisah mereka menjadi perbincangan hangat di antara para kerabat. Menjadi sebuah cerita yang sangat menarik untuk di ulas. Arham, Bre, Agatha jadi pusat perhatian. "Mana mantan istrinya Arham?" tanya keluarga Agatha yang penasaran sambil mencari-cari. Namun Hilya tidak ikut hari itu. Dia tinggal menghitung hari untuk melahirkan bayi perempuannya.Bre datang bersama dua anak, mamanya, dan Mak As. Mereka duduk di antara para kerabat pengantin. Rifky dan Rafka duduk anteng dalam pakaian koko putih, seragam dengan papanya. Mak As duduk di samping Bu Rika yang tampak berkaca-kaca melihat ke arah Agatha. Akhirnya mantan menantunya menikah juga. Dua wanita itu sangat dekat dulunya. Bu Rika menjadi saksi, Agatha mencintai Bre bertahun-tahun lamanya.Suasana hening saat acara akad nikah berlangsung. Dengan sekali lafaz, Arham sah menjadi suami Agatha.Selesai akad, suasana mencair. Hidangan disajikan. Semua bersantap dalam suasana kekeluargaan.Bu Wawan menghampiri Bre. Ia memeluk pria itu era
Hilya tersenyum sambil mengangguk. "Kapan Mbak pulang dari Singapura?""Aku sudah kembali menetap di Surabaya sejak empat bulan yang lalu. Disuruh pulang sama mama karena beliau nggak ada yang menemani. Papaku meninggal sekitar tujuh bulan yang lalu." Cerita Agatha. Membuat Bre yang mendengarnya pun menoleh. "Innalilahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Bre dan Hilya bersamaan."Jadi Pak Wawan sudah meninggal?" tanya Bre. Dia tidak tahu. Kakaknya juga tidak mengabari. Ia yakin Ferry pasti tahu hal itu."Iya.""Aku turut berduka cita, Tha."Agatha mengangguk.Kemudian mereka memasuki ruang tamu dan duduk di sofa. Anak-anak duduk sambil membuka oleh-oleh. Mereka selalu excited membongkar bingkisan."Pasti Mas Bre dan Hilya heran karena kami datang berdua ke mari." Arham membuka percakapan setelah beberapa saat duduk. Mak As keluar membawakan minum dan kue."Surprise sekali kalau Mas dan Agatha saling kenal," ujar Bre dengan sikap tenang.Arham menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Berlabuh Author's POV Dada Agatha berdebar kian hebat saat mobil keluar dari gerbang tol. Mereka sampai sebentar lagi. Ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang kembali berkaitan dengan pria yang pernah menjadi segalanya."Kita sarapan dulu!" Arham menoleh pada Agatha."Hmm, iya."Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Hawa dingin dan kabut pagi menyambut mereka saat turun dari kendaraan. Agatha menikmati suasana pagi yang begitu berkesan. Sejak dulu, impiannya memang tinggal di Malang. Apalagi setelah mendengar Bre pindah ke Malang, siapa tahu masih ada harapan mereka bersama. Terlebih hubungan mereka juga membaik meski hanya lewat media sosial.Namun kenyataan tak seperti harapan. Perjalanan panjang membawanya ke Malang untuk cerita yang berbeda. Agatha menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Hari ini dia menguji keberanian. Cerita nanti akan seperti apa."Masih jauh lagi rumah mereka, Mas?" tanya Agatha setelah
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang