"Aaakhhhh!" Atika melempar bantal kursi ke sembarang arah. Kepala rasanya hendak meledak saja. Tidak tahu pada siapa dia bercerita. Keluarganya sendiri semrawut. Ibunya sibuk dengan kehidupan sendiri, kakaknya apalagi. Sejak dulu mereka seolah hidup sendiri-sendiri tidak peduli satu sama lain. Dia pun tidak berani datang lagi ke rumah Hilya. Bagaimana kalau laki-laki yang mengaku suaminya itu ada di sana. Bisa-bisa dia dilaporkan oleh pria itu. Kelihatannya dia bukan pria sembarangan. Penampilannya berkelas, tegap, dan tampan. Sekilas ia tadi melihat smartwatch yang dipakainya berharga puluhan juta. Atika penggemar barang branded, tentu saja tahu itu barang asli atau palsu.Wanita itu kembali meraih ponselnya. Dia menghubungi Aruna. Sebenarnya mereka sudah lama tidak bertemu. Berkomunikasi pun jarang. Sepertinya Aruna juga mulai menjauhinya.Dua kali menelepon tidak di respon. Kemudian mengetik pesan.[Aku bertemu Hilya di mall tadi pagi. Bersama seorang laki-laki.]Pesan itu rupanya
Senyum samar terbit di bibirnya saat mengingat bagaimana mata itu menatapnya dengan campuran rasa gugup dan pasrah. Hingga suara napas mereka yang menyatu dalam ritme yang selaras.Sejak bertemu Hilya, dirinya yang dulu begitu skeptis terhadap pernikahan kini berubah total. Hilya berhasil masuk ke dalam dunianya, menghapus sisa-sisa luka yang pernah ia simpan sendiri.🖤LS🖤Suasana ruang meeting terasa sedikit berbeda. Tristan, yang biasanya penuh semangat, terlihat kurang fokus. Hilya menyadari hal itu sejak awal rapat dimulai.Selesai rapat, saat ada kesempatan, Tristan akhirnya membuka suara."Kamu dan Bre, jadi bertunangan?"Hilya mengangguk pelan.Ekspresi Tristan berubah. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang sulit diartikan. Pria itu juga mengamati penampilan Hilya yang memakai hijab. "Sejak apan kamu merubah penampilan?""Beberapa hari ini, Pak."Tristan memperhatikan Hilya yang semakin anggun meski berpakaian tertutup. Apa Bre yang meminta Hilya untuk berhijab?"Jadi, kamu
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sore yang Menegangkan Author's POV Momen kebersamaan itu terhenti ketika terdengar suara langkah kaki di teras."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab semua yang ada di dalam ruangan seraya memandang ke sumber suara.Hilya kaget melihat suaminya tersenyum seraya melepaskan sepatunya. Pria itu tidak memberitahu kalau hendak pulang. Padahal kemarin sore baru kembali ke Malang.Sedangkan Arham mendongak dan memandang seorang pria berdiri di ambang pintu. Lelaki tinggi dengan sorot mata tajam tapi hangat, mengenakan kemeja warna navy yang membuatnya terlihat begitu gagah. Dia langsung ingat, pria itu yang pernah dilihatnya di kantor Global. Ketika menerima uluran tangan Bre, hati Arham merasa terusik. Nyeri menjalar di setiap aliran darahnya. Nalurinya berkata, pasti ada sesuatu antara pria itu dan Hilya.Bu Rida sendiri tampak juga bertanya-tanya, siapa yang datang. Apa mungkin saudaranya Hilya, tapi dia tidak pernah melihatnya sebelum ini. "Om," panggil
Bu Rida akhirnya bersuara, meskipun terdengar lemah. "Jadi setelah ini kalian akan tinggal di Malang?"Hilya mengangguk. "Iya, Bu. Kami akan tinggal di Malang."Seakan ada pisau yang menusuk langsung ke hati Arham. Itu berarti ia tidak hanya kehilangan Hilya, tetapi juga Rifky."Silakan datang menjenguk Rifky di Malang. Pintu rumah kami selalu terbuka untuk Mas Arham dan Ibu," ujar Bre dengan nada bersahabat. Dia tahu kalau harus bersikap bijaksana karena yang dinikahi adalah janda punya anak dan ayah kandung dari anak itu masih ada.Kata-kata itu meskipun terdengar ramah, justru semakin menghantam harga diri Arham. Ia menatap putranya yang masih duduk di dekat Bre dengan nyaman. Sesuatu dalam dirinya memberontak. Ia tidak rela.Mbak Asmi datang membawa kue di nampan. "Monggo dicicipi, Bu, Ham," ujar wanita itu mempersilakan biar suasana juga tidak terlalu tegang.Mereka berdua hanya mengangguk. Jangankan makan kue, untuk meneguk air saja tenggorokannya tak sanggup. Arham memutuskan u
Ia hanya seorang pria yang pernah mengkhianati wanita yang kini sudah dimiliki pria lain. Dengan kebahagiaan yang tak lagi bisa disentuh. Yang lebih menyakitkan lagi, ia melihat sendiri bagaimana Rifky sangat natural sudah begitu akrab dengan Bre.Sebenarnya sejak kapan mereka menjalin hubungan? Apakah sejak ia melihat pria itu di kantornya Tristan?Bu Rida bangkit dari duduknya dan kembali ke kamar. Kepalanya terasa makin berat dan tubuhnya terasa panas dingin.Sedangkan Arham masih membeku di tempat. Sekarang hanya bisa gigit jari karena Hilya sudah menjadi milik orang lain. Anaknya juga memiliki papa baru.Ia ingin marah, tapi apa haknya. Hilya bukan siapa-siapa baginya selain ibu dari anaknya. Lagipula kenyataannya, ia sendiri yang melepaskan wanita itu dulu demi perempuan lain. Dan sekarang penyesalan itu benar-benar menghancurkannya. Semua sudah tidak mungkin lagi ia miliki.Disaat Arham tidak bisa tidur semalaman, di tempat lain, Hilya menghabiskan malam dengan suaminya. Bre y
USAI KEPUTUSAN CERAI - Ingin Punya AnakAuthor's POV Untuk beberapa saat Tristan memandang layar ponselnya. Ketika nada dering nyaris berhenti, baru dijawabnya. "Halo.""Mas, ini aku." Suara Aruna terdengar di seberang."Nomer siapa yang kamu pakai?" tanya Tristan seraya memijit pangkal hidungnya."Nomerku sendiri. Aku barusan ganti nomer. Yang lama nggak kupakai lagi.""Kenapa?""Nggak apa-apa. Udah dulu, Mas. Aku cuman mau ngasih tahu itu. Hati-hati kalau pulang." Panggilan disudahi. Tristan menurunkan tangan kemudian menyimpan kontak barunya Aruna. Kenapa tiba-tiba saja istrinya ganti nomer. Makin hari, banyak yang aneh dari Aruna. Istrinya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Kadang ikut sibuk membantu memasak ART mereka di dapur. Hal yang nyaris tidak pernah dilakukan oleh Aruna selama menikah.🖤LS🖤Tristan menghela napas panjang saat mobilnya memasuki halaman rumah. Matanya terasa berat setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, tetapi ada sesuatu yang lebih m
Aruna menggeleng. "Nggak. Baru kemarin karena aku khawatir kalau yang jalan sama Hilya itu kamu."Untuk pertama kalinya, Aruna tidak menunjukkan kecemburuan yang berlebihan. Tidak ada kemarahan atau sindiran. Dia malah mengakui kalau Hilya memang perempuan baik-baik."Aku nggak tahu siapa pria yang bersama Hilya. Tapi Atika bilang kalau pria itu mengaku suaminya.""Pria yang bersama Hilya itu Bre. Mereka sudah menikah. Bulan depan resepsinya." Tristan menatap Aruna, mencoba membaca ekspresinya. Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat sebelum Aruna kembali bicara. "Bre?" tanya Aruna untuk meyakinkan pendengarannya. Jadi Bre yang dilihat Atika di mall itu."Ya.""Mas Bre pria yang baik, Hilya memang beruntung."Tristan diam. Istrinya mungkin tidak tahu banyak tentang cerita masa lalunya Bre. Andai tahu pun, mungkin Aruna sudah tidak ingat lagi. Aruna ini bukan pengingat yang baik. Ya, dia memang tidak secerdas itu. Dan istrinya memang tipe sangat gampang dipengaruhi, dimanfaatkan o
"Rumah ini bukan gono-gini dalam pernikahan kita. Rumah ini bisa menjadi lebih megah karena Hilya juga. Kalau mobil itu, silakan kamu bawa." Selesai bicara, Arham melangkah cepat meninggalkan Atika. Tidak peduli dengan teriakan wanita itu.Sepemergian Arham, Atika mengamuk dan menangis meraung-raung. Sekali pun Arham sudah tahu kalau Hilya menikah dengan pria lain, tapi dia tetap ingin menceraikannya. Tidak. Atika tidak akan membiarkannya.Ia segera masuk kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Harus bertindak sebelum semuanya terlambat.🖤LS🖤"Ani, maaf kalau aku mengganggumu. Boleh aku bertanya?" Arham menjajari langkah Ani ke parkiran sore itu. Saat Arham ada urusan pekerjaan di Global.Sebenarnya dia tadi sudah bertemu dan meeting dengan Ika, tapi tidak berani bertanya."Ada apa?""Sudah berapa lama Hilya berhubungan dengan suaminya sebelum mereka menikah?""Tidak lama, Pak Arham," jawab Ika yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Mengagetkan Arham dan Ani. Padahal laki-laki itu
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda