Bre dan Hilya membawa sarapannya ke teras belakang yang menghadap taman kecil. Udara Malang begitu sejuk, angin berembus lembut membawa aroma bunga dan rumput basah. Kabut tipis melayang di udara dan sebagian sudah mulai memudar."Kita jalan ke mana hari ini?" tanya Bre setelah mereka selesai makan."Aku ngikut, Mas. Terserah mau ke mana?""Mas hanya mau di kamar saja. Bagaimana?"Duh. Hilya meraih gagang gelas, menyesap tehnya, dan mencoba menyembunyikan rona merah di wajahnya. Ternyata dugaan dua sahabatnya benar. Bre tidak akan membiarkannya melenggang di momen bulan madu ini.Bre merangkul istrinya. Membiarkan kepala Hilya bersandar di bahunya. Mereka memandang puncak gunung di ujung sana."Aku akan resign menjelang resepsi kita, Mas. Sebab masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan." Hilya juga menceritakan tentang Tristan yang sudah beberapa hari tidak masuk kerja. Mendengar itu Bre menarik napas panjang. Dia sebenarnya tidak ingin melukai hati sahabatnya. Mereka berteman suda
USAI KEPUTUSAN CERAI- Secercah Harapan Author's POV "Apa? Istri?" Atika terkejut. Dahinya mengernyit sambil memandang Bre yang berdiri tegak di depannya. Benarkah pria tampan itu suaminya Hilya? Kapan mereka menikah? Ah, pasti bohong ini."Sekali lagi kamu mengasari istri saya atau keluarganya. Saya bisa melaporkanmu pada pihak berwajib."Atika yang terlihat kusut itu terkejut. Suara besar Bre menggema di telinganya bagaikan sebuah ancaman."Nggak usah diladeni, Mas. Anggap saja dia nih perempuan nggak waras. Dirinya sendiri yang jalang, malah menuduh orang. Asal kamu tahu, Atika. Aku sudah bersuami. Setelah aku bercerai dari Mas Arham, pantang bagiku untuk kembali pada seorang pengkhianat. Ingat itu!"Tentang Mas Arham yang hendak menceraikanmu, itu urusan kalian berdua. Nggak ada hubungannya denganku. Kamu harus tahu, Atika. Nggak ada kata bahagia untuk seorang perampas." Selesai bicara, Hilya merangkul lengan Bre dan mengajaknya pergi dari sana. "Kita pergi, Mas. Nggak usah dila
Hilya ke balkon kamar dan memperhatikan pemandangan hujan di luar. Berbeda dengan kamar Bre di Malang yang menghadap pegunungan, kamar ini hanya menyuguhkan deretan atap rumah penduduk yang basah oleh hujan. Bre memperhatikan istrinya. Hilya adalah perempuan ketiga yang hadir di kamar ini. Dua wanita sebelumnya hanya singgah saja, tapi ia pastikan kalau Hilya akan menetap selamanya. Hilya menunduk, merasakan jemari Bre yang menggenggam tangannya dengan hangat. Sentuhan itu mengalirkan desiran di dada. "Kita masuk, hujannya makin deras," ajak Bre. "Malam ini, kita akan kembali berjauhan. Sampai resepsi pernikahan kita dan kalian ikut mas pindah ke Malang," gumam Bre seraya memandang Hilya."Mas ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu sebelum kembali ke Malang."Wajah Hilya merona, membuat Bre semakin gemas. Ia menarik istrinya ke dalam pelukan. Dua hari dua malam bersama, Hilya mulai nyaman dalam dekapan suaminya. Meski ia masih beradaptasi dengan kehidupan barunya.Hilya mer
"Bapak pergi saat aku baru berumur sepuluh tahun. Sedangkan Mbak Asmi sudah umur delapan belas tahun. Jadi waktu ibu limbung karena pengkhianatan bapak, Mbak Asmi yang mengambil peran. Waktu itu kehidupan kami sudah membaik. Bapak dapat jabatan penting di sebuah perusahaan. Tapi secara diam-diam dia nikah siri sama rekan kerjanya. Ketahuan setelah wanita itu hamil. Bapak memilih cerai dari ibu dan nggak pernah ngurus kami lagi."Selepas lulus SMA Mbak Asmi bekerja untuk bantuin ibu dan nyekolahin aku. Makanya aku berhutang budi pada Mbak Asmi." Hilya mengambil jeda sejenak dengan menarik napas panjang."Setelah nikah, dia juga dikhianati suaminya. Sebenarnya Mbak Asmi lebih tangguh dariku. Dia yang terpuruk pun masih bisa mensupportku. Aku berharap sekali, Mbak Asmi bertemu lagi dengan pria yang tepat dan menikah. Bisa menerima dirinya dan Yazid apa adanya.""Terakhir kali Bapak tinggal di mana?"Hilya menggeleng. "Dia meninggalkan Surabaya setelah menceraikan ibu. Aku nggak tahu di m
USAI KEPUTUSAN CERAI - Saya Sudah Menikah Author's POV "Mas, serius mau ngajak rujuk Mbak Hilya?" tanya Yani dengan perkataan tidak yakin sama sekali dengan niatan sang kakak. "Memangnya dia bakalan mau?"Harapan yang tadi timbul dalam hati Arham, kini surut tiba-tiba. Ya, apa Hilya mau?Sebenarnya dia pun menyadari kesalahan fatalnya. Memang sulit untuk bisa diterima lagi oleh Hilya. Namun sisi hatinya yang lain, masih berharap kalau semua akan mudah. Siapa tahu ada sisi hati Hilya yang masih bisa menerimanya. Bukankah dulu selalu meminta agar rumah tangga mereka dipertahankan?Lagipula sampai sekarang pun, Hilya masih sendirian. Tapi bukankah Rifky pernah menyebut sebuah nama, Om Ble. Siapa dia?Namun andaikan Hilya punya kekasih atau calon suami, pasti Mbak Asmi akan memberitahunya. Bukankah Mbak Asmi pun diam saja."Jangan gitu, Yani. Siapa tahu Hilya masih terketuk hatinya demi Rifky. Jodoh nggak ada yang bisa memprediksi. Mama sayang sekali sama Hilya. Semoga saja, dia masih
"Aaakhhhh!" Atika melempar bantal kursi ke sembarang arah. Kepala rasanya hendak meledak saja. Tidak tahu pada siapa dia bercerita. Keluarganya sendiri semrawut. Ibunya sibuk dengan kehidupan sendiri, kakaknya apalagi. Sejak dulu mereka seolah hidup sendiri-sendiri tidak peduli satu sama lain. Dia pun tidak berani datang lagi ke rumah Hilya. Bagaimana kalau laki-laki yang mengaku suaminya itu ada di sana. Bisa-bisa dia dilaporkan oleh pria itu. Kelihatannya dia bukan pria sembarangan. Penampilannya berkelas, tegap, dan tampan. Sekilas ia tadi melihat smartwatch yang dipakainya berharga puluhan juta. Atika penggemar barang branded, tentu saja tahu itu barang asli atau palsu.Wanita itu kembali meraih ponselnya. Dia menghubungi Aruna. Sebenarnya mereka sudah lama tidak bertemu. Berkomunikasi pun jarang. Sepertinya Aruna juga mulai menjauhinya.Dua kali menelepon tidak di respon. Kemudian mengetik pesan.[Aku bertemu Hilya di mall tadi pagi. Bersama seorang laki-laki.]Pesan itu rupanya
Senyum samar terbit di bibirnya saat mengingat bagaimana mata itu menatapnya dengan campuran rasa gugup dan pasrah. Hingga suara napas mereka yang menyatu dalam ritme yang selaras.Sejak bertemu Hilya, dirinya yang dulu begitu skeptis terhadap pernikahan kini berubah total. Hilya berhasil masuk ke dalam dunianya, menghapus sisa-sisa luka yang pernah ia simpan sendiri.🖤LS🖤Suasana ruang meeting terasa sedikit berbeda. Tristan, yang biasanya penuh semangat, terlihat kurang fokus. Hilya menyadari hal itu sejak awal rapat dimulai.Selesai rapat, saat ada kesempatan, Tristan akhirnya membuka suara."Kamu dan Bre, jadi bertunangan?"Hilya mengangguk pelan.Ekspresi Tristan berubah. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang sulit diartikan. Pria itu juga mengamati penampilan Hilya yang memakai hijab. "Sejak apan kamu merubah penampilan?""Beberapa hari ini, Pak."Tristan memperhatikan Hilya yang semakin anggun meski berpakaian tertutup. Apa Bre yang meminta Hilya untuk berhijab?"Jadi, kamu
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sore yang Menegangkan Author's POV Momen kebersamaan itu terhenti ketika terdengar suara langkah kaki di teras."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab semua yang ada di dalam ruangan seraya memandang ke sumber suara.Hilya kaget melihat suaminya tersenyum seraya melepaskan sepatunya. Pria itu tidak memberitahu kalau hendak pulang. Padahal kemarin sore baru kembali ke Malang.Sedangkan Arham mendongak dan memandang seorang pria berdiri di ambang pintu. Lelaki tinggi dengan sorot mata tajam tapi hangat, mengenakan kemeja warna navy yang membuatnya terlihat begitu gagah. Dia langsung ingat, pria itu yang pernah dilihatnya di kantor Global. Ketika menerima uluran tangan Bre, hati Arham merasa terusik. Nyeri menjalar di setiap aliran darahnya. Nalurinya berkata, pasti ada sesuatu antara pria itu dan Hilya.Bu Rida sendiri tampak juga bertanya-tanya, siapa yang datang. Apa mungkin saudaranya Hilya, tapi dia tidak pernah melihatnya sebelum ini. "Om," panggil
Kisah mereka menjadi perbincangan hangat di antara para kerabat. Menjadi sebuah cerita yang sangat menarik untuk di ulas. Arham, Bre, Agatha jadi pusat perhatian. "Mana mantan istrinya Arham?" tanya keluarga Agatha yang penasaran sambil mencari-cari. Namun Hilya tidak ikut hari itu. Dia tinggal menghitung hari untuk melahirkan bayi perempuannya.Bre datang bersama dua anak, mamanya, dan Mak As. Mereka duduk di antara para kerabat pengantin. Rifky dan Rafka duduk anteng dalam pakaian koko putih, seragam dengan papanya. Mak As duduk di samping Bu Rika yang tampak berkaca-kaca melihat ke arah Agatha. Akhirnya mantan menantunya menikah juga. Dua wanita itu sangat dekat dulunya. Bu Rika menjadi saksi, Agatha mencintai Bre bertahun-tahun lamanya.Suasana hening saat acara akad nikah berlangsung. Dengan sekali lafaz, Arham sah menjadi suami Agatha.Selesai akad, suasana mencair. Hidangan disajikan. Semua bersantap dalam suasana kekeluargaan.Bu Wawan menghampiri Bre. Ia memeluk pria itu era
Hilya tersenyum sambil mengangguk. "Kapan Mbak pulang dari Singapura?""Aku sudah kembali menetap di Surabaya sejak empat bulan yang lalu. Disuruh pulang sama mama karena beliau nggak ada yang menemani. Papaku meninggal sekitar tujuh bulan yang lalu." Cerita Agatha. Membuat Bre yang mendengarnya pun menoleh. "Innalilahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Bre dan Hilya bersamaan."Jadi Pak Wawan sudah meninggal?" tanya Bre. Dia tidak tahu. Kakaknya juga tidak mengabari. Ia yakin Ferry pasti tahu hal itu."Iya.""Aku turut berduka cita, Tha."Agatha mengangguk.Kemudian mereka memasuki ruang tamu dan duduk di sofa. Anak-anak duduk sambil membuka oleh-oleh. Mereka selalu excited membongkar bingkisan."Pasti Mas Bre dan Hilya heran karena kami datang berdua ke mari." Arham membuka percakapan setelah beberapa saat duduk. Mak As keluar membawakan minum dan kue."Surprise sekali kalau Mas dan Agatha saling kenal," ujar Bre dengan sikap tenang.Arham menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Berlabuh Author's POV Dada Agatha berdebar kian hebat saat mobil keluar dari gerbang tol. Mereka sampai sebentar lagi. Ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang kembali berkaitan dengan pria yang pernah menjadi segalanya."Kita sarapan dulu!" Arham menoleh pada Agatha."Hmm, iya."Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Hawa dingin dan kabut pagi menyambut mereka saat turun dari kendaraan. Agatha menikmati suasana pagi yang begitu berkesan. Sejak dulu, impiannya memang tinggal di Malang. Apalagi setelah mendengar Bre pindah ke Malang, siapa tahu masih ada harapan mereka bersama. Terlebih hubungan mereka juga membaik meski hanya lewat media sosial.Namun kenyataan tak seperti harapan. Perjalanan panjang membawanya ke Malang untuk cerita yang berbeda. Agatha menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Hari ini dia menguji keberanian. Cerita nanti akan seperti apa."Masih jauh lagi rumah mereka, Mas?" tanya Agatha setelah
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid