Beberapa hari setelah perbincangannya dengan Arfan di mobil malam itu, Meira merasa sudah tidak sanggup untuk mengatasi perasaannya seorang sendiri. Di satu sisi ia tidak sanggup jika harus kehilangan Arfan. Terlebih melihat Arfan kembali pada Alya. Akan tetapi, jika ia tidak mau melepas Arfan, maka seperti yang Arfan bilang, kemungkinan besar ia akan kembali menikahi Alya tanpa memedulikan keberadaannya."Tega sekali kamu, Fan ...."Hati Meira rasanya teriris-iris tiap kali memikirkan itu. Bagaimanapun ia mencoba memikirkan masalah itu, semua seperti buntu. Tak ada jalan keluar lain yang bisa ia lihat, kecuali berpisah atau menerima jika harus diduakan."Jahat sekali kamu, Fan ...." Meira meremas dengan kuat selimut tebal yang sejak tadi menutupi separuh tubuhnya. Seharian ini ia memang tidak pergi ke mana-mana. Suasana hatinya yang sedang tidak baik-baik saja membuatnya malas melakukan apapun. Terlebih Arfan juga sudah tidak ada di kamar itu. Meira menebak kalau Arfan telah pergi s
Seharian Arfan di rumah uring-uringan karena perkiraannya meleset. Ia pikir dengan tidak datang ke rumah Alya, Alya akan menghubunginya. Setidaknya dengan alasan Aleta menanyakan keberadaannya atau alasan apapun Arfan tidak peduli, yang penting Alya merasa kehilangan atas ketidakhadirannya. Namun, sampai Arfan sengaja tidak ke kantor, Alya sama sekali tidak menghubunginya.Akhirnya seharian Arfan hanya mondar-mandir keluar masuk rumah tidak jelas. Berkali-kali mengecek ponsel menunggu pesan atau telepon dari Alya. Meski sebenarnya jari-jari Arfan sangat tidak tahan untuk tidak menghubungi Alya, tetapi sekuat tenaga ia tahan. Ia ingin Alya yang menghubunginya.Langit sudah gelap, harapan untuk dihubungi Alya terpaksa Arfan kubur dalam-dalam. Seharusnya dari awal ia sadar kalau Alya tidak akan pernah menghubunginya. Arfan tahu betul sifat mantan istrinya itu, tetapi masih berharap pada sesuatu yang tidak akan mungkin Alya lakukan."Kamu enggak berubah sama sekali, Al," gumam Arfan semba
"Mama ...."Hati Alya langsung mencelos begitu mendengar suara Aleta yang begitu lemah memanggilnya. Dengan hati tak terbentuk lagi, Alya menguatkan diri untuk memasuki ruangan penuh peralatan medis tersebut. Hawa dingin langsung menyambut kulit Alya. Lalu suara monitor yang digunakan untuk memantau alat vital Aleta terdengar seperti alarm dari malaikat maut yang begitu menyeramkan."Mama dari mana? Kenapa Aleta ditinggal sendiri?" tanya balita itu lagi.Perawat yang berjaga untuk memantau perkembangan Aleta mengangguk mempersilakan Alya mendekat."Mama enggak kemana-mana, Sayang. Mama nunggu Aleta di luar." Sekuat tenaga Alya berusaha untuk berbicara dengan suara tenang. Jika tidak berada di depan Aleta, tentu saat ini tangis Alya sudah pecah."Mama di sini aja, Aleta enggak mau sendiri. Aleta takut, Ma.""Iya, Sayang." Dipegangnya jemari mungil putrinya yang lemah. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat kondisi putrinya seperti itu. Alya sampai tak kuasa melihat lama-lama wajah Al
Alya bungkam. Dadanya sakit jika memikirkan itu. Karena sebelumnya pun Alya sudah berpikir demikian. Sebelum Aleta kemoterapi kondisi fisiknya memang baik. Namun, Alya bisa melihat kalau semangat Aleta tidak ada. Gadis kecil itu hanya menanyakan papanya yang tak kunjung datang. Meski saat itu dia tidak menangis. Sebenarnya ingin sekali kemarin-kemarin Alya menghubungi Arfan. Namun, ia takut sekali kalau akan menimbulkan masalah antara Arfan dan Meira. Alya teringat kajian yang menyebutkan bahwa orang yang merusak pernikahan orang lain, merusak sebuah hubungan suami istri maka dia bukan bagian dari Islam. Alya takut sekali akan hal itu.Boleh saja Meira dulu merusak pernikahannya. Namun, Alya tidak akan melakukan hal yang sama. Jika sampai ia juga melakukannya, lalu apa bedanya Alya dengan Meira?Jadi, kalau bukan Arfan yang menghubunginya, menanyakan kondisi Aleta, Alya memang tidak berani menghubungi Arfan kecuali dalam kondisi genting seperti tadi.
Prima mematung mendengar pertanyaan Alya. Bibirnya sudah terbuka, tetapi tak satu kata pun keluar dari sana. Ia terlalu syok dengan semua yang Alya katakan. Terlebih tiba-tiba tubuh Alya luruh, bersimpuh di kaki Prima sembari menangis tersedu-sedu."Prima, aku minta maaf .... Aku mohon maaf sama kamu." "Al, jangan begini! Kita bisa bicarakan ini semua baik-baik." Prima berusaha mengangkat tubuh Alya untuk kembali berdiri. Namun, Alya tetap bersimpuh di depannya."Aku enggak sanggup, Prim. Aku enggak sanggup melihat Aleta seperti itu ....""Iya, Al, ayo bangun dulu jangan begini.""Prim, aku benar-benar minta maaf sama kamu. Aku minta maaf udah ngecewain kamu, nyakitin kamu. Tapi aku enggak bisa mengabaikan permintaan Aleta demi siapapun, Prim. Meski aku tau aku salah, aku berdosa sama kamu dan Kak Naya ....""Udah, Al, udah. Ayo, kita bicarakan di tempat yang nyaman. Jangan begini."Alya akhirnya menurut saat Prima berusaha menariknya untuk berdiri. Mereka berdua pergi mencari tempat
Alya menghela napas kasar lalu menatap Arfan. "Apa bedanya menjadi istri pertama atau kedua?"Kedua pupil Arfan melebar mendengar perkataan Alya. Ia tidak menyangka kalau Alya akan berkata demikian."Maksud kamu?" Arfan benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan Alya. Ia pikir Alya hanya ingin menjadi istri satu-satunya. Namun, yang Alya katakan justru di luar dugaan Arfan."Apa itu penting sekarang? Toh, kita menikah lagi juga hanya karena Aleta."Kedua mulut Arfan terbuka, tetapi tidak sanggup berkata-kata. Sejurus kemudian kedua bibir itu terkatup lagi."Aku enggak mengharapkan apapun dari pernikahan ini selain bisa menuruti keinginan Aleta, Fan. Kalaupun Meira enggak rela kamu menghabiskan waktu sama aku pun, aku enggak masalah, yang penting dia mengizinkan kamu bersama Aleta.""Al, tapi ... ini pernikahan, Al. Bukan sesuatu yang main-main.""Aku tahu. Aku juga tahu, aku pasti sangat berdosa karena ini." Alya menjeda ucapannya. Dadanya terlalu sesak untuk langsung meneruskan perk
Semua yang mendengar keputusan Alya cukup terkejut. Kecuali, Arfan. Terlebih kedua orang tua Alya. Mereka langsung menoleh dan menatap Naya yang masih tertegun menatap Alya."Al, apa kamu sudah pikirkan baik-baik?" tanya Bu Narti. Meski ingin yang terbaik untuk Aleta, tetapi membiarkan Alya kembali pada Arfan dan masuk dalam keluarga besar Arfan lagi rasanya Bu Narti tidak rela. Terlebih sudah ada Prima yang selama ini sangat baik terhadap mereka sekeluarga."Sudah, Bu.""Lalu, bagaimana dengan Prima?""Aku ... udah sampaikan semua ini sama dia.""Kamu tega sama Prima, Al?""Bu ... lalu gimana dengan Aleta? Apa aku harus ngutamain perasaan Prima dibanding permintaan putriku yang mungkin saja itu akan menjadi permintaan terakhirnya?"Naya mengelus bahu Bu Narti yang kebetulan duduk di kursi tepat di sampingnya. "Aku ngerti apa yang kamu rasain, Al. Aku dukung kamu!""Mbak Naya?" pekik Bu Narti."Bu, coba kita tempatkan diri kita di posisi Alya! Apa seorang ibu tega mengabaikan anaknya
"Apa kamu benar-benar ikhlas melepasku buat nikah lagi, Mei?" tanya Arfan saat hendak tidur. Kedua orang tua Arfan juga tadi setelah mengetahui semuanya langsung pamit pulang. Sehingga Arfan dan Meira memiliki waktu untuk berdua.Meira tersenyum getir. "Mana ada perempuan yang ikhlas suaminya nikah lagi, Fan? Tapi, apa aku punya pilihan?"Arfan menoleh ke arah Meira yang sedang berbaring di sisinya menatap langit-langit kamar mereka. Iya merasa sosok Meira yang ada di sisinya saat ini bukanlah Meira yang selama ini dia kenal.Arfan mengenal Meira dari keduanya masih kecil. Bahkan sejak bayi kedua orang tua mereka sering membawa mereka untuk play date. Jadi, Arfan tahu betul bagaimana sikap dan kepribadian Meira. Arfan tahu betul seperti apa manjanya, egoisnya, dan keras kepalanya Meira. Lalu sosok yang ada di hadapannya saat ini? Bagi Arfan sosok itu seperti bukan Meira."Bukannya kamu masih punya pilihan? Kamu bisa ninggalin aku. Aku yakin, Mei, di luar sana kamu bakal bisa nemuin la
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di