"Bentar, Ibu buka pintu dulu," pamit Bu Narti.Ternyata Prima yang datang sembari membawa sup ayam yang ia pikir adalah makanan kesukaan Alya. Biasanya Alya memakan sup ayam itu tanpa memberikan bumbu apa-apa lagi. Baik sambal, kecap, ataupun perasan jeruk nipis."Yah, aku telat, ya?" tanya Prima sembari berjalan mendekati Alya."Kenapa?" Alya menoleh ke arah laki-laki itu."Ini aku bawain sup ayam kesuka ...." Prima sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya saat melihat apa yang ada di depan Alya. "Loh, Al? Bukannya kamu enggak suka makan pedas?" Prima terheran-heran melihat Alya telah menghabiskan beberapa ceker ayam, lalu seblak yang tampak begitu pedas di mangkuk tinggal setengah, juga bakso berisi banyak cabe berwarna merah pedas telah terbelah dan belahannya sudah tidak ada lagi di mangkuknya yang artinya telah dimakan Alya.Alya memaksakan diri untuk tersenyum. "Lagi pingin aja. Sini, ayo makan bareng!"Prima duduk tanpa melepas tatapannya dari wajah Alya. Lima tahun ia mengenal
"Jadi kamu di sini sampai kapan?" tanya Prima setelah menidurkan Aleta. Meski belum memiliki anak sendiri, tetapi Prima sudah luwes dalam hal mengasuh anak. Karena selama ini ia memang sangat dekat dengan keponakan-keponakannya."Nunggu ada keputusan pengobatan Aleta mau gimana," jawab Alya.Prima langsung menggeser duduknya menghadap Alya. Mengambil bantal sofa lalu diletakkan di pangkuannya. "Emang siapa yang mutusin? Dokter?"Alya menggelengkan kepalanya."Terus? Arfan?"Alya menghela napas berat. "Kalau aja ... aku punya banyak uang ya, Prim?"Sekali lagi Alya menghela napas. Kali ini ia tersenyum miris. Ingin rasanya ia tertawa terbahak-bahak, menertawakan dirinya sendiri. Kadang ingin ia bertanya, apakah hidup memang setidak adil ini? Namun, mau bertanya seribu kali pun, tidak akan mengubah apa-apa."Emang mau Arfan gimana?"Alya menatap Prima cukup lama. Setelahnya ia menunduk baru menjawab, "Mamanya minta program bayi tabung di luar negeri.""Bayi tabung?" kejar Prima. "Kamu s
Prima menghela napas panjang. "Kalau gitu, kalian bisa nyaman, lah. Aleta juga pasti nyaman tinggal di sini beberapa hari.""Sebenarnya niat awalku juga ingin tinggal di rumah kamu. Tapi, ternyata Arfan udah nyiapin kamar ini. Dan Aleta seneng banget. Jadi, ya ... udah. Maaf, ya?" Alya merasa tidak enak dengan Prima. Pemuda itu begitu baik kepadanya dan keluarganya selama ini. Melihat raut wajah Prima yang seperti merasa kecewa membuat Alya merasa bersalah kepadanya."Enggak apa-apa santai aja."Alya dan Prima kontan menoleh ke arah pintu saat tiba-tiba terdengar pintu kamar Alya digedor-gedor. Kedua orang tua Alya yang sedang beristirahat di kamar mereka pun ikut keluar."Siapa, Al?" tanya Bu Narti.Alya menggelengkan kepalanya lalu menatap ke arah pintu lagi."Biar aku yang buka." Prima melangkah tegap menuju pintu kamar hotel Alya. Ia siap menghadapi orang yang menggedor-gedor pintu tanpa etika itu.Namun, baru saja Prima membuka pintu dan belum juga melihat siapa yang datang, ia l
"Enggak!" teriak Meira tanpa kendali.Aleta yang sedang tidur, amat terkejut mendengar teriakan Meira itu. Balita itu langsung terbangun dan menangis histeris karena ketakutan. "Mama ...!" Kontan Alya dan kedua orang tuanya langsung menoleh ke arah ruang tidur dimana Aleta berada. Bu Narti berlari tergopoh-gopoh untuk menghampiri cucunya. Pak Ihsan pun menyusul dengan alat bantu jalannya. Sementara Alya dan Arfan serta Prima, menatap penuh kebencian pada Meira. "Keterlaluan kamu, Mei!" geram Alya.Meira pun tidak menyangka jika teriakannya itu akan menimbulkan masalah seperti ini. Ia gelagapan dan tak bisa menjawab kata-kata Alya."Bawa dia pergi dari sini, Fan!" titah Alya dengan tatapan tak beralih sedikitpun dari Meira. "Kamu tenang aja, Mei! Setelah ini, kami akan pergi dari sini. Kamu enggak usah khawatir, aku enggak akan melakukan apa yang sudah kamu lakukan sama aku. Aku percaya, kuasa Tuhan itu ada." Alya menjeda ucapannya. "Jika ada manusia yang kamu sakiti, tapi dia engga
Alya tahu betul kalau Arfan sedang menyindirnya. Selalu seperti itu. Dan ternyata sampai detik ini sikap laki-laki itu sama sekali tidak berubah. Arfan tetap Arfan yang dulu, yang selalu cemburu saat Alya berkata akan ada kegiatan dengan teman laki-lakinya. Padahal itu untuk tugas kampus. Akan tetapi, laki-laki itu tidak akan pernah membiarkan Alya pergi tanpa pengawasannya.Memang hal-hal seperti itu yang justru membuat Alya teramat rindu. Sikap posesif Arfan yang tidak pernah Alya dapat dari siapapun lagi di dunia ini. Seolah-olah Tuhan menciptakan sikap itu memang khusus untuk Arfan."Aku enggak segila itu juga, Fan!" geram Alya. "Lah, barusan mau tinggal di rumahnya, kan?""Fan!" tegur Alya. "Kamu bisa bayangin enggak gimana rasanya jadi aku, jadi orang tuaku, jadi Aleta?" Alya sengaja berbicara dengan nada pelan, tetapi dengan penekanan yang mengena. Karena ia tahu, Arfan hanya bisa luluh dengan itu. "Kami, yang terbiasa hidup dengan tenang, damai, nyaman, tanpa pernah mendengar
Alya tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Arfan. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Meski bayang wajah Aleta terus menari di pelupuk matanya.Alya menghela napas berat. Ini pilihan teramat sulit untuknya. Namun, belum juga Alya menjawab, Pak Ihsan keluar dari ruang tidurnya dan duduk di samping Arfan."Nak Arfan, Bapak paham betul apa yang kalian berdua rasakan. Bapak juga merasakan hal yang sama." Pak Ihsan menghela napas berat. "Tapi ... untuk membahas soal pernikahan, kali ini ... Bapak rasa-rasanya tidak bisa mengizinkan kalian rujuk lagi.""Tapi, Pak?" potong Arfan."Iya, Bapak paham. Yang terpenting saat ini memang Aleta. Tapi ... bukan berarti untuk menyelamatkan Aleta, kita harus mengorbankan sesuatu yang baik-baik saja," jelas Pak Ihsan.Arfan dan Alya diam mendengarkan penuturan Pak Ihsan. Memang usia yang lebih matang menjadikan seseorang lebih bijaksana. Tidak lagi hanya mengandalkan emosi seperti yang dilakukan oleh Arfan."Berat bagi Bapak untuk melepas kembali a
"Aku mau, kita bikin perjanjian!" ucap Meira dengan tegas.Arfan membuka map yang diserahkan Meira lalu membaca isinya. "Gila!" umpat Arfan dalam hati.Tanpa kata Arfan menyerahkan kembali map tersebut pada Meira, lalu melenggang ke kamar. Tak peduli dengan para pengacara yang telah diundang Meira itu."Fan! Arfan!" seru Meira sembari mengejar suaminya itu. "Kita harus selesaikan masalah ini, Fan! Aku enggak mau kamu ombang-ambing kayak gini!"Saat tiga langkah lagi Arfan mencapai pintu kamarnya, laki-laki itu berhenti dan membalikkan badannya. "Aku enggak pernah minta kamu masuk dalam kehidupanku. Sama sekali!" tegas Arfan. "Jadi, sekarang aku mau kayak gimana, itu bukan urusan kamu!""Fan!" seru Meira tidak terima. "Aku istri kamu, Fan! Karena aku Alya enggak dipenjara. Sekarang setelah aku enggak ada guna buat kamu, kamu mau buang aku?"Meira menatap Arfan dengan nyalang. Ia benar-benar emosi pada lelaki di depannya itu. "Aku enggak main-main, Fan! Kalau kamu berani nikah lagi sama
Sementara di rumah orang tua Alya, semua orang sedang cemas. Aleta demam tinggi sejak subuh tadi. Iya terus menanyakan papanya yang pada saat itu memang belum tiba di rumahnya. Begitu Arfan tiba laki-laki itu langsung diberitahu kondisi Aleta dan segera berlari ke kamar Aleta menemui putrinya itu."Mau Papa .... Mau Papa .... Mau gendong Papa ...." Jarak beberapa meter dari kamar Aleta ia sudah bisa mendengar rengekan Aleta itu. Langkah Arfan pun semakin lebar untuk segera menghampiri putrinya."Iya, Sayang, Papa di sini!" sahut Arfan membuat Alya dan Bu Narti yang sejak tadi sibuk menenangkan Aleta bisa bernapas lega.Aleta pun menoleh ke arah papanya yang tergopoh-gopoh menghampirinya. "Papa dari mana?" tanya Aleta saat sudah berada dalam gendongan Arfan. "Kenapa pas Aleta bangun cuma ada Mama? Papa ke mana? Papa bilang enggak akan ke luar negeri lagi? Aleta takut ditinggal Papa ke luar negeri lagi.""Enggak, Sayang. Enggak. Enggak akan. Papa tadi cuma ada perlu aja di luar. Aleta e
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di