Ayunda tersenyum. Sudah cukup penderitaan yang ia alami selama ini. Sekarang, saatnya ia bangkit dan melawan siapa pun yang berani menyakitinya. Apalagi, ia memiliki Ar dan sang suami—dua orang yang benar-benar menyayanginya sepenuh hati.
"Kamu pikir aku akan takut dengan ancaman seperti ini? Hidupku dulu jauh lebih parah, dan aku sudah tidak takut mati lagi."Dengan senyum merekah, Ayunda melangkah keluar dari kamar. Ia tidak gentar tinggal di tempat ini—mental dan tekadnya sudah ia siapkan habis-habisan. Tidak akan ada lagi yang bisa menjatuhkannya.Baru saja keluar, pandangannya langsung tertuju pada Mawar yang tengah mengurus anaknya. Tak lama kemudian, Bu Tari muncul dari balik pintu, menatapnya dengan sinis.Tanpa menghiraukan tatapan itu, Ayunda menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya perlahan. Tatapannya kosong, tapi hatinya sudah bulat.Setelah meneguk air, Ayunda meletakkan gelasnya dengan tenang. Ia bisa merasakan atmosfMakan malam pertama di kediaman Atmaja berlangsung dengan penuh ketegangan. Seluruh anggota keluarga hadir, termasuk Mahesa, yang kini sudah diperbolehkan pulang meski harus menggunakan kursi roda. Ia tetap duduk di meja makan, ikut serta dalam kebersamaan yang terasa dingin.Ayunda duduk di sebelah Ardan, sementara Bu Tari sibuk menyiapkan makanan untuk suaminya. Setelahnya, Ayunda dengan tenang menyiapkan makanan untuk Ardan. Gerak-geriknya menjadi pusat perhatian, seolah setiap tindakan yang ia lakukan harus dinilai dan dikomentari.Mahesa, yang duduk di seberang, menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh kemarahan yang tidak tersamarkan."Lakukan apa pun sesukamu," suara Bu Tari tiba-tiba memecah kesunyian. "Tapi sikap makanmu yang manis itu tidak akan pernah menghapus fakta bahwa kamu hanyalah seorang wanita miskin."Ardan yang mendengar itu langsung menatap ibunya dengan sorot tajam, jelas tidak terima. Namun, sebelum ia sempat membuka mu
"Cerdas, Oma suka pemikiran wanita seperti ini.""Wanita memang harus independen," ujar Oma Ola.Mawar merasa tersinggung. Selama ini, ia hanya menghamburkan uang tanpa berpikir panjang.Keyla terdiam. Bukan hanya kekayaan, keluarga Atmaja juga menginginkan seseorang yang cerdas. Ia menunduk malu.Oma Ola menyesap tehnya dengan tenang, sementara suasana di ruangan itu menjadi sedikit canggung. Mawar berusaha menata perasaannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ucapannya tadi tidak ditujukan untuk menyindirnya.Keyla masih menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia merasa seakan dinilai dan diukur berdasarkan standar yang selama ini tidak pernah ia pikirkan."Kalian masih muda," lanjut Oma Ola, menatap mereka satu per satu. "Jangan sampai hidup kalian hanya bergantung pada harta tanpa memiliki nilai lebih. Dunia ini luas, banyak hal yang bisa kalian capai dengan usaha dan kecerdasan sendiri."Mawar menggigit bibirnya, merasa semaki
Ayunda sudah siap dengan pakaian rapi yang sangat cocok untuknya. Terlebih lagi, penampilannya semakin anggun dengan balutan tas mewah serta perhiasan sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang elegan—seperti seorang wanita berkelas.Ardan sengaja meluangkan waktu untuk menemani Ayunda seharian, terutama saat tidak ada pekerjaan. Apalagi jika Ayunda menjalani sesi pemotretan untuk produk baru. Bukan karena ia tidak percaya kepada Ayunda, melainkan karena ia ingin selalu berada di dekatnya. Meskipun Ayunda memiliki seorang asisten, Ardan lebih suka jika dirinya sendiri yang menemani.Baru saja mereka menuruni anak tangga terakhir, terdengar keributan dari halaman. Di sana, terlihat Mawar dan Kayla sedang bertengkar hebat."Kamu yang nggak tahu diri! Dasar, sudah menumpang tapi sok-sokan bertingkah seperti tuan rumah!" bentak Mawar.Pakaian keduanya sudah acak-acakan, menandakan bahwa sebelum Ayunda dan Ardan turun, pertengkaran itu mun
Ardan memperhatikan ponsel Ayunda yang bergetar di kursi mobil. Nama Mahesa terpampang jelas di layar, membuat hatinya tiba-tiba terasa sesak.Ayunda yang baru saja hendak masuk ke dalam studio berhenti sejenak, menyadari bahwa ia lupa membawa ponselnya. Dengan langkah ringan, ia kembali ke mobil dan membuka pintu."Handphone-ku," ujarnya singkat sambil meraihnya dari jok.Ardan tetap diam, hanya memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh arti. Namun, saat Ayunda melihat nama di layar ponselnya, ia hanya tersenyum kecil sebelum menekan tombol ignore."Kenapa nggak diangkat?" tanya Ardan, mencoba terdengar biasa saja.Ayunda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap suaminya. "Untuk apa? Aku bilang tadi, aku lebih suka melihat Mahesa menderita lebih lama."Ardan tidak yakin apakah jawaban itu benar-benar tulus, atau hanya Ayunda mencoba menutupi sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh."Aku akan me
Ardan menatap dalam-dalam ke mata Ayunda, seolah mencari keyakinan di balik kata-katanya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, tapi ia tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan wanita yang begitu ia cintai."Tentu saja, aku akan selalu melindungimu," jawab Ardan dengan suara yang mantap. "Tapi aku tetap tak bisa mengabaikan bahaya yang mengintai. Mahesa bukan orang sembarangan, dan Danu ... dia lebih licik dari yang kita duga."Ayunda tersenyum lembut, mencoba menenangkan kegundahan suaminya. Ia mengusap pipi Ardan dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah melalui banyak hal bersama, Ar. Ini bukan pertama kalinya kita dihadapkan pada situasi sulit. Aku percaya padamu."Ardan menghela napas panjang. Ia tahu Ayunda selalu kuat, tapi kali ini situasinya berbeda. Mahesa dan Danu bukan lawan yang bisa diremehkan. Jika mereka benar-benar merencanakan sesuatu, maka ia harus lebih waspada dari sebelumnya."Baiklah," kata Ardan akhirnya. "Aku akan mencari ta
Mahesa awalnya berniat menghampiri ibunya dan ikut mencaci-maki, tetapi ia mengurungkan niatnya saat melihat Ayunda yang kini benar-benar berbeda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu telah berubah begitu drastis—menjadi lebih berani daripada yang pernah ia bayangkan."Apa Ardan yang mengajarimu menjadi seperti ini? Dulu kau adalah wanita manis, lembut, dan mudah diinjak-injak tanpa perlawanan. Tapi sekarang ...."Mahesa merasa kesal. Dengan kondisinya yang lumpuh, ia kesulitan merencanakan cara untuk menyingkirkan Keyla dan membalas dendam kepada Ardan. Dulu, ia bahkan berhasil menyingkirkan anak mereka. Lalu, kenapa sekarang mereka kembali lagi?Tatapannya terus tertuju pada Ayunda. Kini, wanita itu bukan hanya berubah sikap, tetapi juga semakin cantik—terlebih dengan kariernya sebagai model ternama."Ah, kenapa dulu aku bisa menyia-nyiakannya?"Ayunda sudah melangkah meninggalkan dapur. Karena Bu Tari sudah dalam kebekuan tidak bisa menja
Ardan yang sejak tadi menunggu istrinya untuk membuatkan susu akhirnya memilih untuk menyusulnya ke dapur. Namun, yang ia temukan bukan istrinya, melainkan pertengkaran antara Keyla dan Mahesa. Pemandangan itu begitu membosankan baginya. Dahulu, Mahesa bisa merasa aman karena Ardan selalu membereskan masalah-masalahnya. Ia menutup rapat kasus-kasus Mahesa, memberikan kompensasi kepada korban-korbannya, bahkan berusaha membungkam mereka dengan kekayaan. Namun, semua perjuangannya terasa sia-sia karena Mahesa tidak pernah mengingat apa yang telah ia lakukan untuknya.Manusia memiliki batas kesabaran, dan mungkin sekarang Ardan telah sampai di titik itu. Apalagi sejak mengetahui bahwa Mahesa merencanakan pembunuhan terhadap anak yang dikandung Ayunda. Rasa marah dan kecewa membakar dadanya. Mahesa harus merasakan kehancuran yang selama ini ia timbulkan kepada orang lain.Saat melihat Ardan tersenyum ke arahnya, Mahesa justru merasa geram. Tatapan pria itu mengandung s
Ayunda dan Ardan terganggu dengan suara bising di luar. Mereka yang tengah beristirahat pun segera keluar dari kamar.Mereka terkejut melihat beberapa pria berbadan besar. Di antara mereka, tampak petugas dari pihak bank yang dengan kasar mengusir semua orang keluar dari rumah."Rumah ini sudah tergadai, perusahaan Tuan Surya pun telah bangkrut. Satu-satunya harta yang tersisa untuk menutupi separuh hutang adalah rumah ini. Oleh karena itu, kami akan menyitanya beserta seluruh isinya. Silakan kalian segera meninggalkan tempat ini," kata salah satu petugas dengan nada tegas.Bu Tari terperangah, matanya menatap penuh kepanikan pada suaminya, Tuan Surya, yang terlihat begitu frustrasi. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, dan tatapannya kosong—seolah-olah dunianya telah runtuh seketika.Di sudut ruangan, Oma Ola hanya menggeleng tak percaya. Hatinya perih menyadari bahwa anaknya kembali melakukan kesalahan fatal. Ia tak menyangka bahwa Surya tetap tak
Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid
Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken
William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat
Ayunda sudah kembali ke perusahaan. Pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya. Tangannya cekatan membolak-balik beberapa berkas yang sempat tertunda selama Aluna dirawat di rumah sakit. Meski pikirannya belum sepenuhnya tenang, tapi ia tahu, tanggung jawabnya tak bisa lama-lama ia tinggalkan.Saat tengah fokus membaca laporan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dipta melangkah masuk tanpa ekspresi terburu-buru. Belakangan ini, lelaki itu memang jauh lebih sering muncul di perusahaannya. Karyawan pun mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan tak sedikit yang mulai melihat sisi lain dari sang CEO—bukan hanya dingin dan tegas, tapi kini lebih ramah dan terbuka.“Oh, aku kira tadi William,” ucap Ayunda sambil tersenyum tipis.“Maaf mengganggu,” sahut Dipta santai.Ayunda mempersilakan Dipta masuk dan duduk. Ia pun memanggil OB untuk membawakan kopi, seperti biasa.“William belum datang, mungkin sebentar lagi dia muncul,” katanya sambi
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dekat dengan Ardan atau William,
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dek
Di tengah malam, Ayunda terjebak dalam kesibukan mengurus perusahaan. Blue Cooperation semakin berkembang pesat, namun sayangnya, ia semakin jarang menghabiskan waktu dengan kedua anaknya, Aluna dan Elvano. Ayunda berangkat sebelum mereka bangun dan pulang saat mereka sudah tidur.Suatu malam, Aluna tiba-tiba demam tinggi. Suster yang menjaga anak-anak itu bergegas menghampiri Ayunda yang sedang duduk di ruang kerjanya."Bu, Aluna badannya panas. Dokter keluarga sedang cuti," ujar suster dengan cemas.Ayunda langsung terlonjak dari kursinya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih kunci mobil, dan dengan sigap, ia serta suster segera menyiapkan tas Aluna yang berisi kebutuhan medis. Mereka langsung bergegas menuju rumah sakit.Namun, nasib tidak berpihak pada mereka. Kemacetan panjang menghalangi perjalanan mereka. Aluna semakin demam tinggi, dan Ayunda mulai cemas. Waktu semakin berharga.Dengan keputusan cepat, Ayunda memutuskan untuk berlari
Setelah insiden sindiran Mahesa di acara industri, Ayunda langsung mengadakan rapat darurat internal Blue Cooperation bersama tim PR dan hukum. Ia tahu, satu rumor saja bisa merusak reputasi bertahun-tahun.Dalam ruang rapat itu, Ayunda tampil sebagai pemimpin sejati.“Kita tidak perlu menanggapi dengan emosi. Kita lawan dengan data. Kita kumpulkan semua bukti integritas kita selama proses tender, dari dokumen transparansi hingga rekaman presentasi. Biar publik yang menilai.”Ia juga menghubungi Valterra secara langsung. Dengan tenang, ia menjelaskan situasi dan menyatakan kesediaan Blue Cooperation untuk diaudit secara terbuka jika diperlukan. Respons Valterra mengejutkan—mereka justru memuji keterbukaan Ayunda dan menyebut rumor itu sebagai “upaya kompetitor yang tidak sportif.”Usai rapat, Ayunda menghubungi William. Suaranya berat, tapi tetap tenang. “Wil, Mahesa mulai main kotor. Dia sebar rumor soal aku. Bahkan sampai nyentuh hubungan keluar
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, tim gabungan antara Blue Cooperation dan Skylar Group resmi terbentuk. Mereka menamainya Project Horizon, sebuah proyek kolaboratif yang menyatukan kekuatan kreatif dan teknologi dalam satu kampanye besar untuk klien korporat multinasional.Ayunda memimpin tim branding dan strategi dari Blue, sementara Dipta membimbing tim IT dan data engineer dari Skylar. Meski keduanya berasal dari dua dunia berbeda, sinergi mereka terbukti kuat. Setiap ide Ayunda, selalu disempurnakan oleh eksekusi teknis dari tim Dipta. Dan setiap batasan teknologi dari Skylar, selalu bisa dicairkan oleh pendekatan kreatif Ayunda.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.Saat mereka menghadiri forum pitching terbuka untuk kontrak kerja sama dari perusahaan retail terbesar di Asia Tenggara—Valterra Group—Ayunda mendapati nama yang tak asing muncul sebagai salah satu perwakilan perusahaan saingan: Mahesa Adikara.Mahesa kini menjabat seb