Dengan bermodalkan kata basmallah, Anggun keluar dari kamar rias. semua orang sejenak terpana dengan kecantikan Anggun yang begitu memesona. Banyak pemuda yang melewatkan Anggun begitu saja hingga tak sedikit dari mereka berdecak karena merasa sangat menyesal sekarang. Hanya satu yang kini mereka pikirkan sekarang, kemana saja mereka saat Anggun tumbuh dewasa?!
Memakai kebaya putih dengan sanggul modern yang begitu rapi, Anggun sangat cantik dengan memakai softlens warna abu-abu terang. Bulu matanya yang lentik sangat menunjang warna bola mata gadis berusia dua puluh delapan tahun itu.Duduk bersimpuh di depan meja seukuran pas dua orang, Anggun beserta pamannya tengah menunggu kehadiran Vicky pagi itu. Suasana mendadak menjadi tegang dan mencengangkan, tak ada suara perbincangan santai seperti sebelumnya. Semua orang turut menunggu kehadiran sang mempelai pria dengan jantung tak kalah berdebar.Ruangan yang sebelumnya ramai dan penuh dengan gelak tawa kini mendadak mencekam seperti kuburan baru dirilis. Sesekali terdengar beberapa bisik-bisik tamu undangan yang nampaknya mulai merasa resah karena si Vicky~pria yang digadang-gadang mau menikahi Anggun yang dinobatkan sebagai perawan tua tahun ini tak kunjung menampakkan biji bola matanya."Nggun, kamu yakin udah bilang sama Vicky kalo jam delapan pas harus sudah sampai disini?" tanya Pak Hermawan seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Anggun dan berbisik. Sesekali si duda tanpa anak itu menatap alkoji mewah yang ia pakai di pergelangan tangan kirinya dengan wajah tegang."Sudah Paman, masak sih Paman nggak percaya sama aku?!" balas Anggun dengan wajah kesal. Tentu saja ia merasa kesal pasalnya banyak orang yang mulai meragukan dirinya dalam memberikan informasi yang akurat pada Vicky."Ya, siapa tahu. Kamu 'kan doyan main game, siapa tahu kamu lupa bilang sama Vicky karena keasyikan main game online. Iya apa iya?!" Pak Hermawan sesekali melirik ke arah Anggun, sejenak menyindir hobi Anggun yang gemar main game online hingga lupa segala-galanya."Masak iya sih Paman, Anggun kayaknya udah bilang deh kemarin." Kini Anggun sendiri mulai meragukan dirinya sendiri. Apa iya karena saking asyiknya main game ia lantas lupa segalanya termasuk memberi info tentang hari penting?!Semua orang kembali menunggu termasuk pak penghulu berpeci hitam di depan Anggun saat ini. Tak hanya Hermawan dan Anggun, Pak penghulu pun turut resah dibuatnya hingga pria paruh baya berkulit sawo matang itu memberanikan diri untuk bertanya pada sang pemilik hajatan."Ehm.... Pak Hermawan, maaf nih saya mau tanya kira-kira kurang berapa menit lagi mempelai prianya sampai? Soalnya saya juga harus nikahin orang di kampung sebelah jam setengah sembilan nanti," ucap Pak penghulu dengan wajah resah dan sedikit sungkan."Kita tunggu beberapa menit lagi ya Pak, maaf loh ini. Mungkin ada kendala di jalan jadi sedikit terlambat, tapi kami udah pastikan kok kalau akad nikahnya tet jam delapan pas." Pak Hermawan mencoba meyakinkan Pak penghulu agar pria itu mau menunggu barang sejenak.Pak penghulu menghela napas, ia mengangguk berat dan bersedia menunggu beberapa menit lagi. Suasana kembali mencekam, jauh lebih horor ketimbang nonton film Conjuring sekalipun. Keresahan kian membuncah tatkala dentang jam dinding berbunyi dan menunjukkan pukul delapan pas, semua mulai panik karena batang hidung Vicky sama sekali belum muncul.Ketegangan melanda hanya karena menunggu satu orang saja, ya keadaan itu terjadi sama persis pada keluarga ini. Pak Hermawan mengusap peluhnya yang sebesar biji kedelai di dahi, perlahan ia beringsut lalu keluar dari ruangan kalau-kalau Vicky segera muncul. Kekesalan kini menyerang benak Hermawan, lihat saja nanti jika ia terlambat lima belas menit maka Hermawan tidak akan segan-segan menggantung tubuh Vicky di pintu dapur bagian belakang dengan tali rafia.Disaat semua orang mulai tegang dan pusing oleh keadaan, perhatian seluruh tamu undangan dan saksi mendadak teralihkan saat sebuah mobil SUV mewah berwarna merah datang memasuki halaman rumah Hermawan yang luas. Semua harap-harap cemas hingga akhirnya sosok pria berjas hitam keluar dari mobil bercat mulus itu dengan tenang.Melihat sosok yang ia kenali sebagai Vicky terlihat santai dan tanpa dosa, Hermawan merasa geram. Tanpa babibu lagi, Hermawan berjalan setengah berlari ke arah Vicky dengan tangan mengepal erat. "Hei Vicky, kamu nyungsep di planet mana sih kok lama banget?! Tuh penghulunya sudah nunguin kamu. Ayo segera masuk, kita semua nungguin kamu sah jadi suaminya Anggun."Hermawan langsung menarik tangan Vicky, wajahnya nampak serius sambil terus menggelandang tubuh tinggi kekar Vicky Rahmanto. Pria itu menautkan alis, ia menahan dirinya sejenak. "Tapi Pak, saya ini~""Sudah ngomongnya nanti lagi, kamu harus selamatin wajah Paman dari orang-orang. Cukup ya Vicky kamu bikin saya dan keluarga malu, masak kamu datang terlambat kagak ada rasa menyesalnya sama sekali sih?! Sebenarnya kamu niat nikahin keponakan saya atau tidak." Hermawan terus mengomel tak jelas, ia menyeret tubuh Vicky agar masuk ke pelataran rumah dan melewati beberapa tamu undangan yang mengerumun dan mulai bergosip ria."Pak, Bapak salah. Saya ini bukan~""Udah ya Vicky, kami tidak ingin mendengar alasan apapun dari kamu. Kamu udah terlambat hampir lima belas menit, Pak penghulunya udah buru-buru mau pergi ke hajatan yang lain." Hermawan menghentikan langkah, menatap mata Vicky dengan tatapan kesal tak terkira. Sudah telat datang masih suka cari alasan pula?! Coba saja tidak ada tamu undangan, Hermawan pasti sudah mengangkat celurit yang ia punya di dapur tinggi-tinggi ke arah leher pria itu. "Sekarang tugasmu adalah menepati janji. Bukankah kamu sudah berjanji akan menikahi Anggun? Sekarang duduklah yang manis dan kita mulai akad nikahnya."Hermawan kembali melanjutkan langkah ke meja penghulu sambil menyeret tubuh Vicky. Dengan sedikit kasar dan rasa marah yang tertahan, Hermawan mendudukkan Vicky di samping Anggun lalu berkata pada Pak Penghulu yang sudah menunggu sejak lama. "Pak silakan acaranya dimulai, mempelai prianya sudah hadir."Pak penghulu menatap Vicky dengan tatapan berbeda, tentu saja ia juga merasa kesal dengan pria ini. Sudah datang terlambat, masih saja terlihat menyebalkan dan pura-pura bodoh. "Baik untuk mempersingkat waktu lagipula saya juga ada acara di tempat lain maka saya akan memulai prosesi akad nikah ini. Nak, mari kita berjabat tangan dan mulai semuanya dengan bacaan basmallah."Vicky terlihat linglung, ia menatap Hermawan lagi namun tatapan pria paruh baya itu terlihat mengancam. Apa daya, Vicky lantas mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengan sang penghulu."Bismillahi rohmani-rohim, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Vicky Rahmanto bin Rahmanto dengan anak saya yang bernama Anggun Clarissa dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan emas tiga puluh gram dibayar tunai."Vicky terdiam sesaat, wajahnya menegang saat sang penghulu mulai mengucap janji akad nikah di depannya. Bola mata keduanya saling bertumpu, mendadak tangan Vicky bergetar karena janji suci tersebut. "Saya terima nikahnya dan kawinnya Anggun Clarissa binti Haryadi dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.""Bagaimana Bapak-bapak? Apakah sah?""Sah!" Para lelaki yang terdiri dari pria paruh baya serta sesepuh menjawab dengan lantang dan juga keras hampir bersamaan."Alhamdulillah, mari kita berdoa untuk mempelai bersama-sama." Sang penghulu lantas menengadahkan tangan, bersiap untuk mendoakan sang mempelai yang kini tengah berbahagia di hadapannya karena telah sah menjadi pasangan suami istri.Setelah beberapa menit berlalu dengan mendoakan sang pengantin, sang penghulu mengakhiri doanya dengan bacaan hamdalah. "Nah Anak-anakku, sekarang kalian telah resmi menjadi suami istri sekarang. Selamat ya?!"Anggun tersenyum bahagia, ia melirik pria yang berada di sebelahnya lalu meraih tangan serta menciumnya. Layaknya seorang pengantin, hari ini adalah hari spesial bagi Anggun Clarissa dimana ia telah memutus status lajangnya yang abadi menjadi seorang istri."Baiklah, karena acara sudah selesai maka ijinkan saya pamit undur diri. Masih ada tugas yang sama di kampung sebelah, permisi." Sang penghulu lalu bangkit dari duduknya, menyalami kedua mempelai dan beberapa orang yang hadir dalam acara akad nikah tersebut lantas pergi meninggalkan tempat resepsi."Wah, selamat ya Anggun, Vicky, kalian sudah resmi jadi suami istri sekarang. Sudah jangan malu-malu lagi toh kalian sudah saling cinta dari dulu kan?!" Seorang pria paruh baya tengah menggoda mempelai pria yang terlihat kikuk dan tegang."Pak, tapi saya ini bukan—""Maaf, apakah acaranya sudah selesai?" Seseorang mendadak hadir, memecah suasana hangat yang kini terjadi diantara para tamu undangan. Semua orang memandang ke arah pria ini dan mereka terperangah. "Maaf, mobil saya mogok jadi baru bisa datang dan kasih kabar. Apakah kita bisa mulai acara akad nikahnya?"Hah? Mata Anggun dan seluruh tamu undangan terbelalak, mereka terkejut dengan sosok yang wajahnya mirip seratus persen dengan sosok mempelai pria yang kini berdiri di sebelah Anggun. Mendapati hal yang kurang mengenakkan, Anggun segera menoleh ke arah suaminya. "Vicky, ada apa ini? Siapa pria ini? Kenapa wajahnya mirip denganmu? Apakah-apakah kamu membelah diri?""Anggun, Vicky itu saya. Dia saudara kembar saya, Vickal namanya." Pria itu menjelaskan langsung, membuat semua tamu undangan kembali terperangah dan mulai gaduh. "Saya memang menyuruhnya datang duluan agar bisa mengabarkan perihal mobil saya yang mogok karena sedari tadi saya mencoba menelponmu tapi sama sekali tidak bisa.""A-apa?" Anggun mendadak shock, ia langsung menoleh ke arah pria yang berdiri di sampingnya. Tidak! Tidak mungkin dia salah suami. "Beneran kamu bukan Vicky? Kenapa tidak bilang dari tadi sih?!"Pria yang diduga sebagai Vicky menghela napas, ia memutar bola mata dengan tatapan ringan. "Tadi saya mau bicara tapi pria-pria ini menodong saya agar cepat melaksanakan akad nikah ya sudah saya laksanakan saja apa perintah mereka.""Hah? Jadi—" Anggun tak mampu lagi memprediksi apa yang telah terjadi saat ini. Fix, ini pasti gara-gara e'ek cicak tadi malam nih!"Iya, saya Vickal dan bukan Vicky. Saya yang sudah menikahi kamu barusan, maaf saya melakukannya karena desakan orang-orang yang tidak mau mendengarkan saya. Sekali lagi maaf, ini bukan salah saya."Tubuh Anggun bergetar, rasa malu, kesal, dan amarah kini bercampur jadi satu. Ketegangan itu melanda membuat Anggun tidak sanggup lagi untuk berpikir jernih dan akhirnya ...Bruk."Anggun... Ya Allah, Anggun! Bangun Nak, jangan pingsan. Anggun, bangun!"*****Entah sudah berapa lama Anggun pingsan, ia baru saja sadar saat aroma minyak kayu putih menyengat hidungnya beberapa kali. Gadis itu perlahan membuka mata, tatapannya yang gelap kini berangsur membaik. Menatap langit-langit kamar, mata Anggun lantas mengedar ke seluruh ruangan. Otaknya yang kosong kini mulai terisi oleh adegan demi adegan sebelum akhirnya ia jatuh pingsan.Semua orang kini berada di dalam kamarnya, satu per satu ditatapnya dengan tatapan sedikit heran hingga akhirnya ia menatap sosok yang ia yakini sebagai Vicky Rahmanto. Bergegas bangun, Anggun lantas memeluk pria yang duduk di sisi ranjangnya dengan begitu erat. "Vicky, aku hanya bermimpi 'kan? Semua yang terjadi ini hanyalah mimpi buruk 'kan? Aku hanya ingin kamu yang menjadi suamiku, bukan yang lain."Semuanya terdiam begitu saja ketika mendengar Anggun berkata demikian. Hingga akhirnya salah satu orang yang hadir dalam ruangan itu angkat bicara dan menyadarkan Anggun. "Mbak Anggun, yang kamu peluk itu Mas Vickal
Penyesalan besar telah mendera seorang Anggun Clarissa, di mana ia bersedia membeli kucing justru cheetah ganas yang ia dapat. Tak ayal, Vickal sama sekali tidak mau melepaskannya, hal ini membuat Anggun merasa rugi lebih besar dari yang ia kira. Selama ini, selama mengenal Vicky, Anggun sama sekali tidak tahu jika teman masa kecilnya itu memiliki saudara kembar. Entah apa yang terjadi, Vicky sendiri juga tidak pernah menceritakan perihal itu pada Anggun. Benar-benar kejadian fatal hingga akhirnya Anggun masuk ke dalam kubangan pasir hisap yang membuatnya tak mampu keluar karena Vickal telanjur menggenggamnya."Mbak Anggun, saatnya sesi foto-foto. Berpose yang manis ya biar kami bisa mengabadikan momen romantis kalian," ucap sang fotografer yang disewa Hermawan dengan nada sedikit genit.Pria itu tersenyum cemerlang, bersiap mengarahkan kamera digital ke arah Anggun dan juga Vickal. Anggun ingin mengamuk hanya saja ia teringat pada pamannya yang begitu susah payah menyediakan pesta u
Gadis itu menerima tatapan yang ditujukan ke arahnya dengan tajam, kedua mempelai saling bertukar pandangan dengan kilat cahaya yang berbeda. Tak ada yang tahu apa yang dipikirkan oleh kedua orang ini sama persis hanya saja mungkin perang dunia ketiga mungkin akan segera terjadi.Suasana ruang makan yang ramai dan sesekali berdenting akibat alat makan yang diadu, sama sekali tidak menyurutkan niat keduanya untuk saling menunjukkan siapa yang telah melakukan kesalahan fatal hingga pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi."Oh, jangan seperti itu Vickal." Andini bersuara, wajahnya terlihat khawatir saat kedua anaknya saling berpandangan tak biasa. "Kalian adalah pasangan baru, setidaknya ambil cuti dari pekerjaanmu dan ajak pasanganmu berwisata. Ya, meskipun tidak mewah seharusnya kamu membahagiakan Anggun."Vickal menghela napas, ia memutus kontak mata dengan Anggun lalu kembali fokus pada makanan yang terhampar diatas piringnya. Tak ada komentar dari pria itu, ia terlihat tenang n
Vickal memilih untuk tidak membuat kegaduhan semakin parah malam itu dengan cara kembali masuk ke kamar mandi dan memakai pakaian kotor yang semula ia pakai. Sungguh dirinya merasa menjadi pengantin pria paling apes sedunia dimana ia harus menikah tanpa persiapan apapun dan harus menikahi seekor rakun yang begitu rewel.Selepas memakai pakaiannya kembali, Vickal keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang basah menyisakan beberapa tetes air yang mengalir melewati dahi dan juga pipinya. Pria itu nampak cuek, melirik sekilas ke arah Anggun yang memperhatikannya dengan begitu detail. "Ada apa? Tidak pernah melihat orang seganteng saya?"Anggun lantas memalingkan wajah, ia tidak ingin pria ini menilainya dengan beraneka macam penilaian tak jelas. "Aku tidak tahu kenapa kamu harus hadir disaat suasana genting seperti ini?! Entah, apakah aku harus bersyukur atau kesal karena hal ini."Vickal tak berkomentar, ia berjalan menuju ke pintu untuk keluar dari kamar pribadi milik Anggun. "Kamu terlalu
Vickal menatap Anggun datar, matanya terlihat genit membuat Anggun makin kalap dibuatnya. Bagaimana bisa pria yang baru saja ia kenal kini berlaku genit kepadanya dalam hitungan jam?! "Apa kau bilang? Jangan menatapku segenit itu. Dasar pria mesum! Turun kau dari ranjangku!" Anggun mulai mengusir, ia meraih bantal dan memukulkan benda empuk itu ke tubuh Vickal berkali-kali. "Jangan berharap ada malam pertama diantara kita. Pergi kau! Tidur di sofa dan jangan sekali-kali mendekati ranjangku."Vickal lantas turun dari ranjang, ia berdiri dan bersedekap. "Baik kalau begitu, cepatlah tidur dan jangan main game. Jika kau tidak menurut pada saya maka saya akan menidurimu malam ini juga."Anggun menganga, sungguh tak percaya jika cheetah yang terlihat diam dan tenang kini mulai menunjukkan taring di depannya. Bagaimana bisa pria ini bersikap galak terhadapnya sementara di depan orang-orang ia terlihat kalem dan begitu luar biasa? Ah, inikah berkah akibat ketiban E'ek cicak? Sungguh sialan
"Jangan pernah berpikir bahwa aku akan menyetujui apa ucapanmu, Vickal." Anggun mendesis, sudah pasti ia tidak pernah setuju dengan apa yang dikatakan pria tersebut.Seluruh keluarga tampak menatap Anggun dan Vickal dengan tatapan tegang. Sepertinya akan selalu ada badai setiap kali mereka bersama dan lihat sekarang, pada hari pertama setelah pernikahan mereka keduanya terlihat seperti Tom dan Jerry. Bahkan tanda-tanda untuk berbaikan pun tidak ada, sungguh sebaiknya mereka banyak berdoa untuk keselamatan mereka masing-masing.Vickal terus menatap Anggun, tatapannya yang tajam tentu saja membuat gadis manapun meleleh tapi hal itu sama sekali tidak berefek pada Anggun. Kesal karena terus ditatap seperti itu, Anggun memiliki inisiatif untuk menginjak kaki Vickal hingga sang pemuda mengaduh kesakitan.Anggun tersenyum tipis, ia kembali mengamati nasi yang mengepul panas diatas piringnya dengan tatapan syahdu. "Sungguh hari yang indah, wahai keluarga besar mari kita sarapan bersama-sama."
Saat mereka sibuk sarapan pagi, bel rumah terdengar berbunyi. Anggun meletakkan sendoknya lalu menatap satu per satu orang yang hadir di acara makan pagi tersebut dengan tatapan serius. "Oh ya, aku mengajak Ratih untuk menemaniku pulang kampung nanti. Aku butuh seseorang untuk menemani mengobrol, mungkin dia saat ini sudah berada di depan pintu dan menekan bel rumah. Aku akan datang dan mempersilakannya masuk."Anggun berdiri dari duduknya lalu pergi membukakan pintu. Andini terdiam sesaat, merasa heran dengan sikap Anggun yang berada di luar batas. Saat ini mereka akan pulang kampung dan tidak menutup kemungkinan untuk berbulan madu lantas kenapa anak gadis ini justru mengajak sahabatnya bersama? Apakah otak Anggun terbentur tadi sewaktu mandi? Entahlah.Vickal yang mendengar pengakuan itu hanya diam tak bersuara. Sedari awal Anggun memang bersikap aneh kepadanya, ia tidak bisa marah begitu saja karena memang sedari awal Anggun begitu membencinya.Seluruh anggota keluarga menunggu An
Setelah semua barang bawaan sudah diangkut ke dalam mobil, perjalanan panjang menuju kampung halaman Vickal yang terdapat di pesisir selatan kota tersebut dimulai. Tidak hanya mobil Vickal saja yang berangkat, namun ada mobil Nyonya Andini dan juga Pak Hermawan yang turut serta mengantar sang keponakan menuju ke rumah mertua dan juga kakeknya.Rombongan pertama, sebuah mobil SUV warna merah yang dikemudikan oleh Vickal terlihat memimpin jalan. Mobil itu ditumpangi Vickal, Vicky, Anggun, dan juga sahabatnya Ratih. Perjalanan memakan waktu cukup lama mengingat mereka terjebak macet karena kebetulan hari itu adalah hari libur dimana banyak warga kota yang memilih berlibur dengan menggunakan mobil pribadi mereka."Nggun, nggak lelah kamu main game melulu?" Ratih menyindir Anggun yang sedari tadi sibuk memainkan games dan memilih diam di kursi belakang.Vickal melirik mereka dari kaca spion depan, sebagai driver Vickal tetap fokus pada jalanan panjang yang terhampar di hadapannya tersebut.