Gadis itu menerima tatapan yang ditujukan ke arahnya dengan tajam, kedua mempelai saling bertukar pandangan dengan kilat cahaya yang berbeda. Tak ada yang tahu apa yang dipikirkan oleh kedua orang ini sama persis hanya saja mungkin perang dunia ketiga mungkin akan segera terjadi.
Suasana ruang makan yang ramai dan sesekali berdenting akibat alat makan yang diadu, sama sekali tidak menyurutkan niat keduanya untuk saling menunjukkan siapa yang telah melakukan kesalahan fatal hingga pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi."Oh, jangan seperti itu Vickal." Andini bersuara, wajahnya terlihat khawatir saat kedua anaknya saling berpandangan tak biasa. "Kalian adalah pasangan baru, setidaknya ambil cuti dari pekerjaanmu dan ajak pasanganmu berwisata. Ya, meskipun tidak mewah seharusnya kamu membahagiakan Anggun."Vickal menghela napas, ia memutus kontak mata dengan Anggun lalu kembali fokus pada makanan yang terhampar diatas piringnya. Tak ada komentar dari pria itu, ia terlihat tenang namun begitu berbahaya. Sungguh sebuah sikap yang mencerminkan dirinya memanglah cheetah yang berbahaya."Setidaknya pergi ke kampung juga tidak terlalu buruk Bu," sela Vicky membuka suara. Ia menatap Anggun dan Vickal bergantian lalu menoleh ke arah ibunya. "Rumah Kakek berada disekitaran pantai, aku rasa itu sudah termasuk bulan madu yang romantis. Kita tahu, rumah di sekitar pantai itu sangatlah indah dan nyaman. Aku yakin Anggun akan menyukai suasananya nanti."Anggun menatap Vicky cukup lama seraya mengunyah makanannya. Ada perasaan kesal yang kini menyelinap di dalam dirinya. Jika pemuda yang berada di seberang sana mau menceritakan bahwa dirinya memiliki saudara kembar mungkin Anggun akan bersikap hati-hati dan tidak seceroboh ini hingga akhirnya kejadian yang tidak diinginkan ini bisa terjadi."Dan aku akan turut berlibur ke rumah Kakek, bagaimana Bu? Sepertinya kita juga perlu mengantar mereka pulang ke kampung dan sejenak melepas penat disana." Vicky terlalu banyak bicara membuat suasana ruang makan yang damai mulai sedikit gaduh karena percakapan tak penting ini.Andini terdiam, masih mencoba memikirkan solusi apa yang terbaik untuk semuanya. "Baiklah, pulang kampung juga tidak buruk. Kami akan mengantarmu kesana, Vickal. Tolong beritahu kami kapan kamu berangkat agar kami bisa berkemas dengan cepat. Bukankah begitu Pak Hermawan?"Pria yang tiba-tiba disapa di meja makan hanya mengangguk dengan pasrah. "Saya hanya memasrahkan hal ini pada Anggun Bu, terserah dia mau bagaimana keputusannya." Hermawan lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya."Aku sungguh berharap kalian akan menjadi pasangan yang serasi dan bahagia, Vickal." Andini menatap Vickal lalu tersenyum. Menoleh sekilas ke arah Vicky, Andini menaikkan sebelah alisnya. "Bukankah begitu Anakku Vicky? Kamu juga harus turut mendoakan kebahagiaan mereka, bukan?!"****Pernikahan impian itu kini hanyalah sebuah dongeng yang hanya didengungkan oleh mereka-mereka penebar harapan palsu. Setidaknya itulah yang dirasakan Anggun saat ini, jelas saja ia tidak mampu menutupi rasa kecewa yang membayang di dalam otaknya. Meskipun Vicky ataupun Vickal tidak jauh berbeda, hanya saja Anggun merasa tidak terbiasa dengan pria kembar itu di dalam rumahnya.Berjalan masuk ke dalam kamar dengan langkah letih, Anggun berniat untuk melepas pakaian kebaya yang ia kenakan dan mulai membersihkan diri. Impian tentang pernikahan indah kini hanyalah dongeng semata dan Anggun tidak memiliki nasib baik untuk mendapatkannya.Membuka pintu kamar, Anggun menatap kamarnya yang sudah didesain dengan begitu rapi dan indah. Sebuah sprei berwarna putih membentang diatas ranjangnya lengkap dengan taburan kelopak bunga mawar merah yang dibentuk tanda hati. Apa-apan ini? Pernikahannya gagal dan ia harus memandang ranjang seindah ini membuatnya gelap mata dan ingin membakar rumah.Menghela napas, Anggun melangkah masuk dan mencoba mengabaikan pemandangan yang mencolok mata tersebut. Menatap ke arah meja, ia menemui ponselnya yang tergeletak dan sama sekali belum diisi daya. Anggun menghampirinya, ia sadar karena bangun kesiangan ia melupakan untuk mengisi daya baterai ponselnya.Mencari kabel pengisi daya, Anggun bergegas mengisinya dan mulai membuka ponselnya. Berdiri menghadap tembok, Anggun dengan sabar menunggu ponselnya hidup.Napas Anggun tertahan ketika beberapa laporan panggilan tak terjawab dari Vicky kini memenuhi W******p-nya. Beberapa pesan juga terkirim, dalam sekejap Anggun merasa bersalah dan menjadi makhluk bodoh sedunia. Ya, jika ia tidak mengabaikan perintah pamannya dan tidur lebih awal sebelumnya maka peristiwa buruk ini sudah pasti tidak akan pernah terjadi.Derit pintu terdengar lirih, memecah perhatian Anggun ketika seseorang masuk ke dalam kamarnya dengan wajah dingin. Anggun tahu siapa dia, ya Vicky Rahmanto yang palsu.Vickal menatap Anggun sekilas, ia menutup pintu hingga Anggun tiba-tiba menegurnya. "Jangan tutup pintunya, apa kau ingin orang-orang diluar sana berpikiran negatif tentang kita."Alis Vickal naik sebelah, ia berdiri di depan pintu cukup lama. "Apa kau lupa kau sudah melamar saya lewat pamanmu, bukan?! Sekarang saya adalah suamimu, kenapa kamu bertingkah begitu jijik dengan saya?!"Anggun memutar bola mata, ia meletakkan ponselnya di meja lalu berjalan mendekat ke arah Vickal. "Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap dengan pernikahan ini karena aku akan memiliki segala cara supaya kamu mau melepaskan aku secepatnya."Vickal menatap Anggun dengan tatapan dingin hingga akhirnya tangannya terangkat hendak menyentuh wajah Anggun. Gadis itu menolak, ia memalingkan wajah dengan cepat. Vickal tak bereaksi, ia justru mengambil taburan bunga yang menempel di rambut Anggun. "Kamu juga jangan berekspektasi sejauh itu, jika kamu ingin menghancurkan maka saya sendirilah yang akan merapikannya dengan baik."Anggun menyipitkan mata, sedikit malu saat Vickal meraih tangannya dan menyerahkan kelopak bunga yang entah datang darimana, yang mengotori rambutnya. Vickal menghela napas, ia menatap Anggun dengan tatapan datar. "Dimana handuknya? Saya ingin segera mandi."Anggun tak menjawab tapi tangannya menunjuk ke arah kamar mandi, menunjukkan bahwa disanalah handuk dan perangkat mandi tersedia. Vickal menatap Anggun sekilas lalu pergi meninggalkannya guna membersihkan diri.Gadis itu menghela napas dengan berat, kembali berjalan menuju ke ponselnya ketika benda pipih itu berdering cukup lantang. Mata Anggun membulat saat tahu panggilan siapa yang telah menghampirinya, dengan cepat ia mengangkat telepon dan menyapanya. "Hallo Ratih?!""Ah, hallo kesayanganku Anggun, aku dengar kamu menikah hari ini ya?! Maafkan aku Sayang, aku tidak bisa hadir karena jadwal kuliahku di luar kota begitu padat. Aku tidak bisa pulang dan menghadiri hari bahagiamu," ucap Ratih dengan nada menyesal.Anggun belum bicara, ia sendiri bingung harus memulai bercerita darimana. Menarik napas, Anggun berkacak pinggang sebelah seraya menatap pemandangan malam dari jendela kaca di dalam kamarnya."Ratih, ini bukan pernikahan impian bagiku. Tepatnya ini adalah pernikahan dari neraka," tukas Anggun dengan wajah kesal, ia memijit dahinya yang kini perlahan terasa pusing."Bagaimana bisa? Apa ada masalah?" Ratih ingin tahu, ia bertanya dengan nada lembut seolah ingin menentramkan hati Anggun yang mulai bergejolak dan panas."Aku salah suami, Ratih.""Hah? Apa? Maksudnya bagaimana?" Ratih terlonjak kaget saat mendengar Anggun menjawabnya demikian."Iya, aku salah suami Ratih. Seharusnya aku menikahi Vicky tapi ternyata yang datang adalah Vickal, saudara kembarnya Vicky. Bodohnya aku, aku sama sekali tidak curiga dan kini—ya, pernikahan neraka itu akhirnya terjadi." Anggun menumpahkan kekesalannya dengan wajah memucat, sungguh ia ingin marah ketika teringat bagaimana Vickal tidak mau melepaskannya dan bersikukuh untuk mempertahankan pernikahan yang tak diharapkan ini."Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana tanggapan Vicky? Apakah saudara kembarnya tidak mau melepaskanmu?" Ratih terus bertanya, merasa heran dengan nasib sial yang dialami Anggun, sahabat SMA-nya tersebut."Vicky hanya pasrah dan sialnya Vickal tidak mau mengalah pada kami. Ratih, aku harus bagaimana? Aku tidak menyukai pernikahan ini dan ingin melarikan diri darinya," curhat Anggun lalu duduk diatas ranjang dengan gelisah.Ratih terdiam cukup lama hingga akhirnya terdengar helaan napas yang cukup panjang. "Menurutku kamu harus berusaha membuat Vickal membencimu, Anggun. Dengan begitu Vickal akan kesal padamu dan akhirnya mau melepaskan kamu."Anggun terdiam, saran dari Ratih sepertinya masuk akal. Jika ia melakukan sesuatu yang dibenci Vickal, selalu membuatnya kesal maka lambat laun Vickal akan membencinya, bosan, dan akhirnya mau melepaskan begitu saja. Ah, kenapa ia tidak memikirkannya sedari awal?!"Anggun? Kenapa diam? Apa aku salah kasih saran?" Ratih memanggil nama temannya dengan heran, sedikit takut jika saran yang ia lontarkan justru menambah masalah."Kamu sangat brilian, Ratih. Saranmu patut untuk dicoba," puji Anggun dengan bola mata berbinar setelah mendapatkan saran seperti itu. Sungguh ini adalah mukjizat paling diinginkan Anggun saat ini."Baiklah kalau begitu, tetap hati-hati dan jaga kesehatanmu ya?! Aku masih harus mengerjakan beberapa tugas dari dosen. Bye, Anggun." Ratih lalu mematikan ponselnya.Anggun menarik napas, ada rasa lega yang kini menyusup dalam dadanya. Ya, mulai malam ini ia akan menjadi gadis paling menyebalkan dalam hidup Vickal. Membuat pria itu kesal setengah mati dan memilih untuk melepaskannya begitu saja. Hahaha..... Anggun tidak sabar menantikan hari bebas tersebut."Kamu tidak mandi?" Vickal menyapa Anggun yang sibuk senyum-senyum sendiri karena memikirkan rencana jitu yang mendadak memenuhi otaknya. Anggun menoleh ke arah kamar mandi, matanya mendadak membulat dan ia berteriak histeris."Aaaaaaa.... Kenapa kamu telanjang? Dasar tidak sopan! Pakai bajumu segera, dasar bodoh!" Anggun memaki Vickal ketika melihat pria itu keluar dari kamar mandi hanya dengan membalut handuk di pinggangnya.Anggun berteriak histeris, ia menyambar bantal dan melemparkannya ke arah Vickal dengan cepat. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, terlihat jelas kini wajahnya memerah panas karena tanpa sengaja menatap dada bidang yang terbuka dan lekukan tubuh Vickal yang membentuk dengan sempurna. "Dasar bujang lapuk! Kau ingin memikat hatiku dengan tubuhmu ya?! Jangan harap! Aku tidak akan terpesona padamu. Cepat pakai pakaianmu atau aku akan mengusirmu dari kamar ini!"Vickal terdiam beberapa saat, ia menggeleng dengan sikap Anggun yang menurutnya begitu berlebihan. "Kamu sangat aneh, mulai sekarang biasakanlah melihat suami telanjang agar kamu tidak terserang stroke dadakan."Vickal berjalan menuju ke lemari hingga akhirnya ia sadar bahwa ia tidak memiliki baju ganti sama sekali. "Hei Nona Aneh, saya tidak membawa baju ganti. Dengan apa saya harus berganti?""Pakai kembali pakaianmu tadi," teriak Anggun masih menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, wajahnya kian memanas."Baju saya kotor, mana mungkin saya pakai lagi?!""Kalau begitu ambil saja pakaianku di dalam lemari, pilihlah sesukamu dan segera pakai." Anggun terus berteriak, sejenak panik takut terjadi apa-apa diantara mereka."Apa kau gila? Apa saya harus memakai kaos ketat dan celana panjang highwaist milikmu, hah?!" Vickal turut kesal dengan instruksi yang diberikan Anggun kepadanya."Didalam lemari ada beberapa kaos oblong besar, kamu bisa memakainya sementara waktu. Untuk celana, ada celana kolor yang bisa kamu pakai. Itupun jika kamu tidak merasa malu karena-karena warnanya pink dan juga ungu." Anggun menahan diri, tidak tahan lagi harus menutup mata lama-lama. "Sudah, pokoknya ambil saja dan pakai. Aku tidak ingin melihatmu telanjang lagi di kamar ini."Vickal menggeleng, ia merasa heran bercampur kesal pada gadis ini. Dengan langkah berat Vickal membuka lemari kayu milik Anggun, berniat mencari kaos oblong serta celana kolor yang ditunjukkan gadis itu.Lama mencari, Vickal mengerutkan dahi. Bukan kaos oblong atau pun celana kolor, ia justru mendapatkan beberapa beha aneka warna dan macam bentuknya. Wajah Vickal memanas saat mendapati beha-beha tersebut, fantasinya sebagai lelaki lantas membuncah tak keruan. Menutup lemari dengan napas naik turun, Vickal menatap Anggun yang masih menutup wajahnya rapat-rapat. "Saya akan pakai pakaian saya kembali. Melihat isi lemarimu, jujur saya mendadak jadi gerah.""Apa maksudmu?"Vickal berbalik badan, ia kembali ke kamar mandi dengan langkah gontai. "Sebaiknya tetaplah jadi rakun karena saya tidak pernah menyukainya dan berharap tidak akan pernah menyukainya."****Jangan lupa untuk masukkan ke library dan rate bintang lima ya.Vickal memilih untuk tidak membuat kegaduhan semakin parah malam itu dengan cara kembali masuk ke kamar mandi dan memakai pakaian kotor yang semula ia pakai. Sungguh dirinya merasa menjadi pengantin pria paling apes sedunia dimana ia harus menikah tanpa persiapan apapun dan harus menikahi seekor rakun yang begitu rewel.Selepas memakai pakaiannya kembali, Vickal keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang basah menyisakan beberapa tetes air yang mengalir melewati dahi dan juga pipinya. Pria itu nampak cuek, melirik sekilas ke arah Anggun yang memperhatikannya dengan begitu detail. "Ada apa? Tidak pernah melihat orang seganteng saya?"Anggun lantas memalingkan wajah, ia tidak ingin pria ini menilainya dengan beraneka macam penilaian tak jelas. "Aku tidak tahu kenapa kamu harus hadir disaat suasana genting seperti ini?! Entah, apakah aku harus bersyukur atau kesal karena hal ini."Vickal tak berkomentar, ia berjalan menuju ke pintu untuk keluar dari kamar pribadi milik Anggun. "Kamu terlalu
Vickal menatap Anggun datar, matanya terlihat genit membuat Anggun makin kalap dibuatnya. Bagaimana bisa pria yang baru saja ia kenal kini berlaku genit kepadanya dalam hitungan jam?! "Apa kau bilang? Jangan menatapku segenit itu. Dasar pria mesum! Turun kau dari ranjangku!" Anggun mulai mengusir, ia meraih bantal dan memukulkan benda empuk itu ke tubuh Vickal berkali-kali. "Jangan berharap ada malam pertama diantara kita. Pergi kau! Tidur di sofa dan jangan sekali-kali mendekati ranjangku."Vickal lantas turun dari ranjang, ia berdiri dan bersedekap. "Baik kalau begitu, cepatlah tidur dan jangan main game. Jika kau tidak menurut pada saya maka saya akan menidurimu malam ini juga."Anggun menganga, sungguh tak percaya jika cheetah yang terlihat diam dan tenang kini mulai menunjukkan taring di depannya. Bagaimana bisa pria ini bersikap galak terhadapnya sementara di depan orang-orang ia terlihat kalem dan begitu luar biasa? Ah, inikah berkah akibat ketiban E'ek cicak? Sungguh sialan
"Jangan pernah berpikir bahwa aku akan menyetujui apa ucapanmu, Vickal." Anggun mendesis, sudah pasti ia tidak pernah setuju dengan apa yang dikatakan pria tersebut.Seluruh keluarga tampak menatap Anggun dan Vickal dengan tatapan tegang. Sepertinya akan selalu ada badai setiap kali mereka bersama dan lihat sekarang, pada hari pertama setelah pernikahan mereka keduanya terlihat seperti Tom dan Jerry. Bahkan tanda-tanda untuk berbaikan pun tidak ada, sungguh sebaiknya mereka banyak berdoa untuk keselamatan mereka masing-masing.Vickal terus menatap Anggun, tatapannya yang tajam tentu saja membuat gadis manapun meleleh tapi hal itu sama sekali tidak berefek pada Anggun. Kesal karena terus ditatap seperti itu, Anggun memiliki inisiatif untuk menginjak kaki Vickal hingga sang pemuda mengaduh kesakitan.Anggun tersenyum tipis, ia kembali mengamati nasi yang mengepul panas diatas piringnya dengan tatapan syahdu. "Sungguh hari yang indah, wahai keluarga besar mari kita sarapan bersama-sama."
Saat mereka sibuk sarapan pagi, bel rumah terdengar berbunyi. Anggun meletakkan sendoknya lalu menatap satu per satu orang yang hadir di acara makan pagi tersebut dengan tatapan serius. "Oh ya, aku mengajak Ratih untuk menemaniku pulang kampung nanti. Aku butuh seseorang untuk menemani mengobrol, mungkin dia saat ini sudah berada di depan pintu dan menekan bel rumah. Aku akan datang dan mempersilakannya masuk."Anggun berdiri dari duduknya lalu pergi membukakan pintu. Andini terdiam sesaat, merasa heran dengan sikap Anggun yang berada di luar batas. Saat ini mereka akan pulang kampung dan tidak menutup kemungkinan untuk berbulan madu lantas kenapa anak gadis ini justru mengajak sahabatnya bersama? Apakah otak Anggun terbentur tadi sewaktu mandi? Entahlah.Vickal yang mendengar pengakuan itu hanya diam tak bersuara. Sedari awal Anggun memang bersikap aneh kepadanya, ia tidak bisa marah begitu saja karena memang sedari awal Anggun begitu membencinya.Seluruh anggota keluarga menunggu An
Setelah semua barang bawaan sudah diangkut ke dalam mobil, perjalanan panjang menuju kampung halaman Vickal yang terdapat di pesisir selatan kota tersebut dimulai. Tidak hanya mobil Vickal saja yang berangkat, namun ada mobil Nyonya Andini dan juga Pak Hermawan yang turut serta mengantar sang keponakan menuju ke rumah mertua dan juga kakeknya.Rombongan pertama, sebuah mobil SUV warna merah yang dikemudikan oleh Vickal terlihat memimpin jalan. Mobil itu ditumpangi Vickal, Vicky, Anggun, dan juga sahabatnya Ratih. Perjalanan memakan waktu cukup lama mengingat mereka terjebak macet karena kebetulan hari itu adalah hari libur dimana banyak warga kota yang memilih berlibur dengan menggunakan mobil pribadi mereka."Nggun, nggak lelah kamu main game melulu?" Ratih menyindir Anggun yang sedari tadi sibuk memainkan games dan memilih diam di kursi belakang.Vickal melirik mereka dari kaca spion depan, sebagai driver Vickal tetap fokus pada jalanan panjang yang terhampar di hadapannya tersebut.
Vickal lantas menepikan mobil, bergantian dengan Vicky dalam menyetir mobil. Perjalanan masih panjang, terlebih saat berangkat ke rumah Anggun, Vickal harus menyetir mobilnya sendirian selama hampir delapan sampai sembilan jam."Maaf Mbak, bisa gantian tempat duduk nggak? Saya ingin duduk di belakang sambil lurusin punggung" ucap Vickal pada Ratih yang duduk di samping Anggun.Ratih menoleh sekilas ke arah Anggun yang rupanya cepet banget molornya. Ia tersenyum lalu mengangguk dengan ringan. "Ya, boleh Mas. Silakan."Gadis berwajah manis dan periang itu lantas membuka pintu mobil, ia berganti tempat duduk dengan Vickal. Rasanya tidak masalah jika ia duduk di depan dan membiarkan si Pak Sopir meluruskan punggung di belakang kursi kemudi."Makasih ya Mbak," ucap Vickal lirih tanpa mengurangi rasa sopannya terhadap wanita.Setelah turun dan berganti posisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Melewati jalan tol yang panjang dan terkadang macet m
"Melakukan apa?" Tiba-tiba Anggun menyahut ucapan Vickal. Sebuah reaksi yang benar-benar mengguncang dada Vickal saat itu.Anggun membalasnya dengan nada lirih, kendati kepalanya masih tertunduk namun Vickal dibuat kebat-kebit karenanya. Terdiam cukup lama, Vickal mencoba menunggu reaksi Anggun setelahnya. Jantung yang semula berdebar mulai teratur kini harus mengalami guncangan paling hebat.Vickal menahan napas ketika Anggun membetulkan letak kepalanya yang tertunduk cukup dalam, suasana tidak mengenakkan seperti ini jangan sampai Anggun terbangun dan justru menuduhnya yang tidak-tidak.Setelah sekian lama menunggu reaksi Anggun, Vickal dapat bernapas lega karena nyatanya Anggun hanya mengigau dalam keadaan mata masih terpejam. Mengembuskan napas di udara, wajah Vickal memanas luar biasa. Untung saja Anggun tidak terbangun, coba saja si rakun ini bangun mungkin dia akan langsung menyerang secara ganas.Tersenyum tipis, Vickal mengusap wajahnya yang panas dingin tidak karuan. Baru ju
Anggun menggosok pipinya pada bantal berulang kali, terasa sangat lembut dan juga nyaman. Rasa hangat yang ditawarkan sang selimut membuatnya sejenak terlena, ia tersenyum dengan mata masih terpejam. Kenyamanan ini selalu ia rasakan ketika hari libur telah tiba di kamarnya yang besar dan juga hangat.Namun tunggu dulu, bukankah ia sedang dalam perjalanan menuju ke kampung halaman Vickal? Lalu kamar siapa yang ia tempati kali ini? Tidak mungkin 'kan jika ia berada di kamarnya sendiri?! Melalui gagasan itu, Anggun buru-buru membuka matanya dengan cepat. Setelah mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer, Anggun dengan cepat bangun dari tidurnya. Gadis itu menendang selimut, memandang sekitar dengan tatapan asing dan juga bingung. Kamar siapakah ini? Kenapa tidak ada orang sama sekali?Deburan ombak menyapa telinga Anggun, gadis itu sejenak tertarik lalu beringsut bangun dari ranjang. Dengan kaki telanjang, Anggun berjalan menuju ke jendela kaca besar dan menyibak tirai putih yang menutu
Vicky terdiam, berat baginya untuk menuruti kata ibu sambung. Bagaimanapun Vickal adalah saudara laki-lakinya, ia tidak bisa melakukan kecurangan itu demi sebuah harta tapi...."Ngerti nggak sih Vicky?!" Andini setengah membentak, menahan suaranya agar tidak terdengar orang lain. Wanita itu hendak menjewer kuping Vicky namun segera ditepis oleh si empunya kuping."Iya-iya Bu, iya. Vicky ngerti kok," ucap Vicky lalu mundur beberapa langkah untuk menghindari serangan tiba-tiba dari Andini.Wanita paruh baya itu tersenyum puas lalu menganggukkan kepala, ia berkacak pinggang sekali lagi. "Bagus, itu baru anaknya Andini. Ya sudah, kamu segera mandi sana. Bau sekali badanmu!"Vicky menarik napas lalu berbalik badan meninggalkan Andini. Kini di depan gudang itu hanya tinggal Andini seorang diri, sambil tersenyum puas Andini bersedekap dan membayangkan indahnya masa depan. "Dengan memperalat Vicky, aku akan mendapatkan harta dari Hariyadi. Andini akan menjadi wanita paling kaya se-Indonesia."
****"Apakah kamu yakin Mas?" Vicky terlihat bingung, untuk sesaat ia terbengong dengan keputusan Vickal yang menurutnya diluar nalar. "Mas, kamu dan Anggun sekarang suami istri. Jika aku berada ditengah kalian, aku takut Anggun tidak bisa berpaling dariku. Maaf ya Mas, bukannya aku sombong atau apa tapi ini demi kebaikan rumah tangga kalian juga."Vickal terdiam, tanpa diketahui Vicky pria itu meremas jarinya di dalam saku celana dengan erat. Sebenarnya apa yang dikatakan adiknya memanglah benar, jika ia membiarkan Vicky terus hadir dalam rumah tangganya maka sejauh apapun Vickal berusaha maka Anggun tetap tidak akan bisa melupakan Vicky dan terus mencintainya. Namun di lain sisi, Vickal tidak mau dicap sebagai seorang pria yang tak berperasaan. Ia tidak cukup mengenal Anggun, sebuah kesulitan bagi dirinya untuk mengenali gadis itu terlebih mereka baru mengenal dalam hitungan hari. Rasanya pasti sulit untuk Anggun menjalani hari di tempat terasing seperti ini tanpa ada satupun keluar
Mendengar Kakek Jayadi berkata demikian, tatapan Anggun lantas tertuju pada pria tua berambut putih dengan tatapan serius. "Semuanya?""Ya, tentang pernikahan kamu yang tidak sesuai ekspektasi bukan?!" Kakek menjawab dengan jujur, ia tersenyum tipis lalu menarik napas. "Sedari kecil Vicky dan Vickal tidak bisa terpisahkan. Barulah sekitar usia sepuluh tahun mereka terpisah karena ayah mereka meninggal karena sebuah kecelakaan mobil. Andini, ibu sambung mereka memilih pergi ke kota dan membawa Vicky. Aku sengaja menahan Vickal di sini karena jujur aku sendiri takut akan kesendirian. Setelah putraku meninggal, aku melihat masa tuaku begitu suram. Aku tidak memiliki siapapun kecuali hanya Vickal. Beruntung anak itu mau tinggal dan menemaniku sampai sekarang."Keduanya kini diam, Anggun menyimak cerita itu dengan kedua tangan saling beradu sedangkan Kakek Jayadi terdiam guna mengenang masa-masa sulit yang pernah ia lalui selepas anak laki-lakinya meninggal kala itu. Kembali menarik napas,
Vickal lantas membopong tubuh Anggun memasuki kamar, meskipun ia sudah menjanjikan pada keluarganya bahwa Anggun akan baik-baik saja dibawah penangananya namun hal itu sama sekali tidak berlaku untuk Kakek Jayadi. Pria tua berambut putih dan memiliki tahi lalat di pipi itu mengikuti langkah Vickal sampai di depan pintu kamar mereka."Cucuku, apa yang terjadi pada istrimu? Kenapa ia mendadak pingsan? Apa kau melakukan sesuatu yang jahat padanya tadi malam?" Kakek Jayadi memberondong Vickal kendati ia terus mengekor cucunya dengan perasaan was-was.Vickal tak menjawab, ia merebahkan tubuh Anggun di atas ranjang lalu berbalik badan menatap kakeknya. Vickal mengembuskan napas panjang, dari sekian jumlah anggota keluarganya hanya Kakek Jayadi-lah yang begitu khawatir dengan Anggun. Hanya beliau-lah satu-satunya orang yang peduli dengan keberadaan orang asing yang baru saja masuk ke dalam keluarganya."Kakek, Anggun baik-baik saja. Sebentar lagi dia pasti siuman," ucap Vickal mencoba menena
Anggun menggosok pipinya pada bantal berulang kali, terasa sangat lembut dan juga nyaman. Rasa hangat yang ditawarkan sang selimut membuatnya sejenak terlena, ia tersenyum dengan mata masih terpejam. Kenyamanan ini selalu ia rasakan ketika hari libur telah tiba di kamarnya yang besar dan juga hangat.Namun tunggu dulu, bukankah ia sedang dalam perjalanan menuju ke kampung halaman Vickal? Lalu kamar siapa yang ia tempati kali ini? Tidak mungkin 'kan jika ia berada di kamarnya sendiri?! Melalui gagasan itu, Anggun buru-buru membuka matanya dengan cepat. Setelah mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer, Anggun dengan cepat bangun dari tidurnya. Gadis itu menendang selimut, memandang sekitar dengan tatapan asing dan juga bingung. Kamar siapakah ini? Kenapa tidak ada orang sama sekali?Deburan ombak menyapa telinga Anggun, gadis itu sejenak tertarik lalu beringsut bangun dari ranjang. Dengan kaki telanjang, Anggun berjalan menuju ke jendela kaca besar dan menyibak tirai putih yang menutu
"Melakukan apa?" Tiba-tiba Anggun menyahut ucapan Vickal. Sebuah reaksi yang benar-benar mengguncang dada Vickal saat itu.Anggun membalasnya dengan nada lirih, kendati kepalanya masih tertunduk namun Vickal dibuat kebat-kebit karenanya. Terdiam cukup lama, Vickal mencoba menunggu reaksi Anggun setelahnya. Jantung yang semula berdebar mulai teratur kini harus mengalami guncangan paling hebat.Vickal menahan napas ketika Anggun membetulkan letak kepalanya yang tertunduk cukup dalam, suasana tidak mengenakkan seperti ini jangan sampai Anggun terbangun dan justru menuduhnya yang tidak-tidak.Setelah sekian lama menunggu reaksi Anggun, Vickal dapat bernapas lega karena nyatanya Anggun hanya mengigau dalam keadaan mata masih terpejam. Mengembuskan napas di udara, wajah Vickal memanas luar biasa. Untung saja Anggun tidak terbangun, coba saja si rakun ini bangun mungkin dia akan langsung menyerang secara ganas.Tersenyum tipis, Vickal mengusap wajahnya yang panas dingin tidak karuan. Baru ju
Vickal lantas menepikan mobil, bergantian dengan Vicky dalam menyetir mobil. Perjalanan masih panjang, terlebih saat berangkat ke rumah Anggun, Vickal harus menyetir mobilnya sendirian selama hampir delapan sampai sembilan jam."Maaf Mbak, bisa gantian tempat duduk nggak? Saya ingin duduk di belakang sambil lurusin punggung" ucap Vickal pada Ratih yang duduk di samping Anggun.Ratih menoleh sekilas ke arah Anggun yang rupanya cepet banget molornya. Ia tersenyum lalu mengangguk dengan ringan. "Ya, boleh Mas. Silakan."Gadis berwajah manis dan periang itu lantas membuka pintu mobil, ia berganti tempat duduk dengan Vickal. Rasanya tidak masalah jika ia duduk di depan dan membiarkan si Pak Sopir meluruskan punggung di belakang kursi kemudi."Makasih ya Mbak," ucap Vickal lirih tanpa mengurangi rasa sopannya terhadap wanita.Setelah turun dan berganti posisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Melewati jalan tol yang panjang dan terkadang macet m
Setelah semua barang bawaan sudah diangkut ke dalam mobil, perjalanan panjang menuju kampung halaman Vickal yang terdapat di pesisir selatan kota tersebut dimulai. Tidak hanya mobil Vickal saja yang berangkat, namun ada mobil Nyonya Andini dan juga Pak Hermawan yang turut serta mengantar sang keponakan menuju ke rumah mertua dan juga kakeknya.Rombongan pertama, sebuah mobil SUV warna merah yang dikemudikan oleh Vickal terlihat memimpin jalan. Mobil itu ditumpangi Vickal, Vicky, Anggun, dan juga sahabatnya Ratih. Perjalanan memakan waktu cukup lama mengingat mereka terjebak macet karena kebetulan hari itu adalah hari libur dimana banyak warga kota yang memilih berlibur dengan menggunakan mobil pribadi mereka."Nggun, nggak lelah kamu main game melulu?" Ratih menyindir Anggun yang sedari tadi sibuk memainkan games dan memilih diam di kursi belakang.Vickal melirik mereka dari kaca spion depan, sebagai driver Vickal tetap fokus pada jalanan panjang yang terhampar di hadapannya tersebut.
Saat mereka sibuk sarapan pagi, bel rumah terdengar berbunyi. Anggun meletakkan sendoknya lalu menatap satu per satu orang yang hadir di acara makan pagi tersebut dengan tatapan serius. "Oh ya, aku mengajak Ratih untuk menemaniku pulang kampung nanti. Aku butuh seseorang untuk menemani mengobrol, mungkin dia saat ini sudah berada di depan pintu dan menekan bel rumah. Aku akan datang dan mempersilakannya masuk."Anggun berdiri dari duduknya lalu pergi membukakan pintu. Andini terdiam sesaat, merasa heran dengan sikap Anggun yang berada di luar batas. Saat ini mereka akan pulang kampung dan tidak menutup kemungkinan untuk berbulan madu lantas kenapa anak gadis ini justru mengajak sahabatnya bersama? Apakah otak Anggun terbentur tadi sewaktu mandi? Entahlah.Vickal yang mendengar pengakuan itu hanya diam tak bersuara. Sedari awal Anggun memang bersikap aneh kepadanya, ia tidak bisa marah begitu saja karena memang sedari awal Anggun begitu membencinya.Seluruh anggota keluarga menunggu An