***"Tikus, kau tau dimana Liom disekap?"Tikus berdecit, mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan Mpus. "Antarkan aku ke sana."Tikus berlari menyusuri kaki lima bangunan toko yang berbaris di gang itu, Mpus mengikutinya. Tiba di sebuah bangunan berlantai dua, tikus memanjat menuju ke sebuah lubang angin, kemudian berdecit memanggil Mpus. Melihat itu, Mpus melihat keadaan sekitar, ia kemudian berubah menjadi seeokor cicak. Ia merayap ke dinding menyusul tikus yang sudah terlebih dahulu masuk. Di lubang angin itu, Mpus melihat Liom di bawah. Trikat kaki dan tangannya. Namun ada yang aneh, Liom terlihat menggigil gemetar, keringatnya bercucuran. Mpus segera turun, dan langsung merubah sosoknya. Liom tampak kaget, namun rasa sakit di sekujur tubuhnya membuatnya tak begitu merespon kehadiran Mpus. Mpus membuka ikatan tangan dan kaki Liom. Liom terkulai lemas di lantai, ia tampak tak sehat. Mpus yakin dengan energinya yang sudah penuh, ia merasa cukup untuk memulihkan tenaga Liom. Mpus
***"Melati, kita akan pergi ke suatu tempat yang mewaaah banget, kamu akan diperlakukan bak ratu di sana. Dan di sana, ada Raja yang sedang menunggumu.""Benarkah?""Ya, ayo! kita harus segera, jangan bikin Raja menunggu terlalu lama!""Aku harus apa nanti?" "Kau hanya perlu menuruti apa maunya, jangan melawan apalagi berontak yah!""Baiklah."Upik dibawa ke luar oleh Amanda, meninggalkan Mpus yang masih menguping di atas langit-langit kamar. Mpus kecewa, hanya saja ia tahu betul bahwa Upik juga tidak mengerti. Baginya, ini adalah pengalaman menyenangkan yang baru terjadi seumur hidupnya. Ia juga tak punya pemahaman tentang harga diri. Mpus memutuskan untuk keluar dari bangunan itu. Ia harus mengisi energinya sebelum matahari terbenam. Perasaannya mengatakan, malam ini akan terjadi sesuatu yang akan menguras banyak energi. Di luar, Liom bersembunyi di balik tong sampah besar di dekat rumah bordir itu. Ia mengamati sekitar, ada sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pint
***Di dalam kamar, Upik ditinggal sendirian bersama pak Bambang. Perasaan Upik tiba-tiba tak enak, ia seperti merasakan aura pak Bowo melekat betul pada pak Bambang. Pak Bambang berdiri, ia mendekati Upik perlahan. Upik melangkah mundur, tiba-tiba ia mengingat ucapan Mpus sore tadi. Perasaan menyesal seakan perlahan menyisip nuraninya, jantungnya berdegup kencang. Pak Bambang memegang bahu Upik, membelai rambut hitamnya. Kali ini, Upik benar-benar melihat pak Bowo di diri pak Bambang, ia ketakutan. "Melati, kau cantik sekali. Aku bahkan tak pernah melihat wanita semurni dirimu." pak Bambang mulai mendekatkan wajahnya ke leher Upik. Upik menghindar, ia mundur. Kakinya ditahan oleh sofa. "Bapak, mau apa?""Oowh, jangan panggil saya Bapak. Panggil saya om! gimana? lebih santai kan?" pak Bambang meraih tangan Upik yang terasa dingin. "Jjaa, jangan sakiti saya Om.""Siapa yang mau menyakiti gadis cantik sepertimu? aku tak akan setega itu."Wajah pak Bambang kian memerah, ia tampak s
***Mereka bertiga menuruni anak tangga, Upik masih berbalut selimut. Hal ini malah mengundang keheranan warga Hotel. Tak perlu mencurigai siapa-siapa lagi yang dimaksud pak Bambang selain mereka bertiga, sebanyak lima orang berseragam serba hitam, dengan tubuh besar dan tegap menghadang mereka seketika. Mpus bersiap pasang kuda-kuda, Liom memasang gestur melindungi Upik. "Mpus, apa gak bisa kita langsung berteleportasi aja dari sini?""Kau mau mengadakan pertunjukan sulap di tengah banyak orang?""Bodo amat! yang penting selamat!""Kau pikir urusan akan segera selesai dengan begitu... " belum sempat Mpus melanjutkan omongannya, seseorang maju dengan terjangannya ke Mpus. Mpus berhasil menghindar, ia segera melancarkan balasan balik saat orang itu melakukan tendangan berikutnya, Kaki orang tersebut ia tangkis dan tubuhnya ia tolak menggunakan kedua telapak tangannya. Orang itu langsung jatuh ke lantai satu. Teriakan histeris dari orang-orang yang menyaksikan seseorang yang jatuh d
***Pagi mendung, dipukul delapan. Liom mondar-mandir menunggu Mpus untuk segera bangun dari tidurnya. Sedari tadi, Mpus tak berubah menjadi sosoknya, ia masih menjadi benda bulat yang diam di atas bantal. "Energinya habis?" tanya Liom pada Upik. "Ya, bisa jadi. Dan matahari tak kelihatan pagi ini." Upik mengambil bola itu, membawanya ke teras rumah. "Aku lapar, apa kau tak apa-apa kutinggal sebentar?""Ya, tak apa. Pergilah." Upik tersenyum. Mendapati senyuman Upik yang menyejukkan di pagi yang sejuk, rasanya kaki Liom malah menjadi beku untuk melangkah. "Aaah, aku tak sanggup meninggalkanmu sendirian di sini, aku khawatir kejadian kemarin.""Aku tak sendirian, di sini ada Mpus dan si Tikus.""Benda Bulat itu akan terus menjadi benda mati tanpa sinar matahari." Mpus menunjuk-nunjuk benda bulat yang di genggam Upik. Tiba-tiba benda bulat itu bercahaya, Upik segera meletakkannya ke lantai. Seketika benda bulat itu bertransformasi menjadi sosok Mpus. "Kau bilang apa?!""Wooow!" L
***Menikah dengan pak Bambang, adalah impian Rianti sejak tiga tahun yang lalu. Pertama kali melihatnya di sebuah Restauran, Rianti langsung memasang target, bahwa dia akan menikah dengan pria kaya itu. Bermacam cara dilakukan Rianti untuk bisa dekat dengan pak Bambang. Sayangnya, ia masih memiliki istri dan seorang putra. Sialnya lagi, pak Bambang adalah sosok pria yang mencintai keluarganya. Rianti tentu tak kehabisan cara. Ia mulai mencari tahu, dimana kira-kira pak Bambang gemar bersantai, atau sekedar nongkrong dengan teman-temannya. Sayang sekali, pak Bambang lebih suka menghabiskan waktu senggangnya bersama keluarganya. Rianti mencoba mencari tahu lagi, seperti apa sosok sang istri pak Bambang, hingga seolah tak bisa mengalihkan fokus pak Bambang daripadanya. Dewi, sosok istri dari pak Bambang. Ibu rumah tangga biasa. Awalnya Rianti menyepelekannya, namun setelah tahu bahwa Dewi bukanlah wanita sembarangan, pendidikannya S2, putri satu-satunya dari seorang Pengusaha Kelapa
***Liom melamun di teras, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia mengurung tubuhnya dengan kain sarung, mengenakan kupluk rajut sambil merangkul kakinya. Upik datang dari dalam rumah menyapanya, "Kau tak kedinginan, Liom?""Tidak, aku sedang memikirkan sesuatu.""Apa itu?"Liom menatap Upik, wajah Upik yang teduh membuat Liom ingin mencurahkan segalanya pada Upik. Namun urung, karna ia paham pemikiran Upik masih belum sebijak usianya. "Hmmm, aku hanya rindu keluargaku." "Pak Bambang itu, Bapakmu?" Pertanyaan ini membuat Liom tertegun, nafasnya terasa sesak seketika. Liom mengangguk perlahan, "Aku, sangat kecewa Upik. Dia benar-benar bukan Bapakku yang kukenal.""Pak Bowo, kata Mpus juga Bapakku, tapi dia bajingan. Seandainya aku ia temukan dalam keadaan bersih seperti ini di peternakan, dia juga akan melecehkanku.""Tapi Bapakku, dahulu seorang yang taat. Aku sungguh kecewa." Liom menenggelamkan wajahnya ke dalam lutut dan kain sarungnya. Upik mengusap punggung Liom, se
***"Mas, kamu dimana?" telfon Rianti pada suaminya. "Di Kantor.""Gak pulang?""Aku sibuk.""Aku susul ya ke Kantor? aku masak rendang ini.""Aku ada janji makan siang dengan salah seorang relasi nanti.""Yasudah, tapi nanti bisa pulang kan?"Bambang merasa sangat enggan untuk bertemu istrinya, apalagi sampai pulang ke rumah. Sebisa mungkin ia kurangi intensitasnya untuk pulang, apalagi bersama wanita itu. Namun, Bambang tak ingin Rianti curiga bahwa ia sudah mengetahui semua yang dilakukan Rianti, "Baiklah, aku akan pulang nanti.""Terimakasih Mas, aku akan memasak masakan spesial untukmu." Rianti terdengar girang. Meski Bambang berusaha untuk membuat Rianti tak curiga, sejatinya Rianti yang selalu terhubung dengan Dukun langgannya sudahlah mengetahui, bahwa pengaruhnya terhadap Bambang kian memudar. Namun, Rianti merasa malah ini semua sudah kepalang basah. Ia akan mengerahkan semua yang ia mampu untuk mengembalikan hati dan raga Bambang untuknya. "Hallo Mbah, suamiku akan pula