***"Mas, kamu dimana?" telfon Rianti pada suaminya. "Di Kantor.""Gak pulang?""Aku sibuk.""Aku susul ya ke Kantor? aku masak rendang ini.""Aku ada janji makan siang dengan salah seorang relasi nanti.""Yasudah, tapi nanti bisa pulang kan?"Bambang merasa sangat enggan untuk bertemu istrinya, apalagi sampai pulang ke rumah. Sebisa mungkin ia kurangi intensitasnya untuk pulang, apalagi bersama wanita itu. Namun, Bambang tak ingin Rianti curiga bahwa ia sudah mengetahui semua yang dilakukan Rianti, "Baiklah, aku akan pulang nanti.""Terimakasih Mas, aku akan memasak masakan spesial untukmu." Rianti terdengar girang. Meski Bambang berusaha untuk membuat Rianti tak curiga, sejatinya Rianti yang selalu terhubung dengan Dukun langgannya sudahlah mengetahui, bahwa pengaruhnya terhadap Bambang kian memudar. Namun, Rianti merasa malah ini semua sudah kepalang basah. Ia akan mengerahkan semua yang ia mampu untuk mengembalikan hati dan raga Bambang untuknya. "Hallo Mbah, suamiku akan pula
***Bambang keluar dari Garasi, ia dapati sambutan hangat dari Rianti. Parfum lembut khas dari tubuh Rianti terasa menenangkan saat memeluk Bambang. Namun, kehangatan itu tetap tak bisa melelehkan dinginnya tanggapan Bambang pada Rianti. Rasa enggan bersentuhan, ingin segera berjauhan, adalah gestur Bambang saat bertemu dengan Rianti. Bukan tak sadar, Rianti bahkan sudah siap dengan itu. Namun Rianti tetap melancarkan serangan-serangannya, untuk menaklukkan Bambang malam ini. "Mas, kamu capek?""Ya, tadinya aku mau tidur di Kantor saja. Namun, aku sudah berjanji untuk pulang.""Aaah, makasih sayang!" Rianti merangkul lengan Bambang. Sampai di ruang makan, Rianti membuka jas hitam yang dikenakan Bambang. Is kembali memeluk Bambang dari belakang. Belahan dadanya yang rendah, beberapa kali ia gesek-gesekkan ke lengan dan bahu Bambang. Namun, Bambang seperti tak bergeming. Ia hanya melihat ke langit-langit rumah, dan melangkah ke meja makan. "Kamu mau kopi, atau teh?" tanya Rianti. "
***Bambang tergeletak pingsan di lantai, Rianti merasa kali ini Bambang sudah ada dalam kuasanya. Ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat Rianti beranjak dari kamar, Bambang membuka matanya, berusaha bangkit dari ketergeletakannya. Tubuhnya seperti diikat banyak tali, ia berjuang untuk segera bangkit. Melangkah tertatih, Bambang menuju celananya yang digantung di sebuah stand hanger di sudut ruangan. Berkali-kali ia berusaha meraih celana itu dengan memegangi dinding agar tak ambruk. Celana ia raba sakunya, ia temukan sebuah pil berwarna hijau (semacam olahan tepung yang dibentuk kecil dan pipih). Segera ia telan, dan tiba-tiba tubuhnya terasa terbakar, keringatnya bercucuran, ia berteriak sejadi-jadinya. "Aaaaaaaaaa!!!!" Bambang memegangi telinganya, matanya melotot ke atas, ke kanan dan ke kiri, seluruh ruangan seperti berputar jungkir balik. Bisikan-bisikan di telinganya mengatakan, "Sadarlah Bambang! semua tak sesuai dengan rencanamu."Sementara itu, Rianti d
***Bambang kembali tergeletak di lantai. Hp yang tadinya menghubungi seseorang diambil oleh Rianti, tampak sebuah panggilan yang sedang berlangsung. Panggilan itu untuk mbah Acong, di sana mbah Acong berkali-kali menyapa, "Hallo, Bambang?!""Halloooo, mbah Acong? Hmmm, apakah Anda adalah Dukun yang membimbing suamiku?" Rianti menjawab sapaan mbah Acong. "Kamu?! dimana Bambang?!""Hahahahaha, sayang sekali. Anda kalah langkah dengan saya, Mbah. Dia sekarang sudah berada di genggamanku.""Tidak mungkin!""Yah, kita lihat saja!" ucap Rianti menutup telfon. Rianti membuka kembali HP Bambang, menekan simbol Pengaturan, dan menyetel kunci layar. Bambang menggunakan sidik jari untuk mengunci layar HPnya, dengan mudah Rianti meraih jari jempol Bambang yang masih pingsan, dan memasangkannya ke pengenalan sidik jari di pengaturan kunci layar. Kini, Rianti menggantinya menjadi tak terkunci.Kali ini ia menuju simbol Mobile Banking. Ia tampak tersenyum sumringah. Ada dua Mobile Banking di sa
***"Aduuuh, kepalaku pusing." Liom meringis memegangi kepalanya. Liom memperhatikan sekitar, ia berada di dalam sebuah ruangan seperti gudang. Di sebelahnya, Upik masih dalam keadaan pingsan dengan pakaian badutnya. Sementara dirinya sendiri, sudah berubah wujud menjadi sosok dirinya dengan mengenakan pakaian wanita. "Aaah sial, ck!" Ia kemudian menoleh ke tengah ruangan. Di sana Mpus sedang duduk bersila, menghadap sebuah cahaya tajam yang masuk melalui celah lubang angin, ia sedang mengisi energinya. "Meski dia sedang mengenakan pakaian badut sekalipun, kenapa kharismanya tetap terlihat tumpah-tumpah?" gumam Liom sambil memandangi Mpus. Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang Pria paruh baya, berpakaian serba hitam, sambil mengusap dagunya yang berjanggut masuk di kawal oleh dua orang bertubuh besar di belakangnya. Ia langsung saja melihat ke arah Mpus yang masih fokus bersila di bawah sinar matahari, langkahnya mendekati Mpus perlahan. Melihat itu Liom langsung siaga, khawatir Pri
***"Ho ho ho, sudah kuduga! kau hanyalah pengabdi Gadis ini. Hidupnya adalah segalanya bagimu."Mbah Acong melangkah ke arah pintu. Ia menganggukkan kepalanya ke arah Pengawalnya. Seorang Pengawal meletakkan dua bungkusan di depan Liom dan Upik. "Apaan ini?" Liom memeriksa bungkusan itu. "Waah, tahu saja mereka kita membutuhkan pakaian yang layak. Upik, ini punyamu! Mpus, kau tak berganti pakaian?"Mpus menggeleng, "Ini sudah cukup.""Upik, lihat ini! mereka bahkan tau kau sedang haid." Liom memperlihatkan sebungkus pembalut. Upik yang melihat itu seperti menyadari sesuatu. Ia mengangkat pinggulnya, dan ternyata darah sudah merembes menembus pakaian badutnya. Liom dan Mpus saling berpandangan, mereka saling mengangguk. Liom melangkah ke arah pintu, "Hey! buka dong. Kami mau ke Kamar mandi nih!"***Rianti melangkah ke arah Bambang yang masih kebingungan, ia membelai rambut Pria itu, "Sarapan dulu, yuk!""Dimana HPku?""Owh, semalam kupinjam untuk membuka Mobile Bankingmu.""
***Bambang melaju kencang menuju rumah mbah Acong, sampai di depan teras, ia berhenti seketika. Keluar dengan terburu-buru dan melangkah cepat masuk ke dalam. "Mbaah...! Mbaaah!""Mbah lagi tidak di rumah, Tuan." seorang Asisten Rumah Tangga berlari untuk memberitahu Bambang. "Mbah kemana?""Beliau sedang ada urusan di luar, Tuan.""Ambilkan saya telfon, hubungi Mbah Acong sekarang!""Baik, Tuan."Asisten Rumah Tangga itu tampak mengambil telepon wireless dan mecoba menghubungi mbah Acong. "Ini, Tuan." menyerahkan telepon pada Bambang. "Hallo, Mbah. Ini saya Bambang, HP saya diambil sama betina itu. Mbah sekarang dimana?"***Di sebuah bangunan tua dua lantai, mbah Acong mondar-mandir di teras, ia mengelus-elus dagunya yang berjanggut. Mpus menghampiri mbah Acong yang tampak sedang menunggu seseorang. "Siapa yang kau tunggu?""Bambang, dia akan segera datang ke sini.""Lantas, apa rencamu?""Pertama, kita menunggunya datang dulu."Mpus diam, tangan kirinya memegang tangan kanan
***Mereka semua berlari menuju tempat Bambang menjerit. Liom segera membuka pintu kamar, dan mendapati Bapaknya tergeletak kesakitan di depan pintu kamar mandi. "Pak Bambang!" mbah Dukun segera berlari mendekati. Mpus segera mendekati Bambang yang kesakitan, tubuhnya kaku menegang, tampak Bambang memegangi kelaminnya. Ia sesekali menggeliat, wajahnya tampak menahan rasa antara geli dan kesakitan. Upik yang melihat itu langsung menutup matanya, ia bersembunyi di belakang Liom. "Sebentar! biar saya lihat dulu." mbah Acong tampak berkonsentrasi melihat keadaan Bambang. Namun, "Ini semacam ritual yang belum tuntas!" Mpus segera mengambil kesimpulan. "Apa?!" tanya Liom. "Ya! semalam ia melakukan hubungan badan dengan wanita itu. Rencana wanita itu adalah membuat pak Bambang mencapai klimaks dan mengeluarkan spermanya. Namun, pak Bambang masih bisa mengontrol dirinya, ia menahannya. Dan sekarang, sperma itu dipaksa keluar oleh wanita itu.""Apa yang terjadi, jika spermanya keluar?"