Bab 18. Menyelamatkan Upik***Dalam kepanikan, Liom berusaha untuk tetap tenang, ia putuskan untuk menghapal Plat nomor mobil itu, lantas ia kejar Mpus yang berusaha berdiri menyusul Liom. "Kenapa tak kau kejar mobil itu?!" Mpus kelihatan marah. "Bagaimana keadaanmu?""Aku tak apa-apa! bagaimana ini? Upik diculik!" Mpus tampak bingung dan panik. "Ayo kita kejar! tapi, apa kau tak memiliki sesuatu yang ajaib untuk bisa mencapai mereka dengan cepat?" "Mpus tampak berfikir sejenak, ia mengangguk seketika."Mpus tampak sedang memasang kuda-kuda, "Kau, berpeganglah di belakangku kuat-kuat ya!""Kita mau ngapain?" Liom tampak bingung harus bagaimana. "Pegang saja pinggangku, kuat dan jangan sampai lepas."Liom menuruti perintah Mpus, meski ragu, ia tetap memegang pinggang Mpus dengan canggung. "Pegang yang erat!""Iyaa!" Spontan Mpus berlari seperti angin, kakinya tak menyentuh jalan sama sekali, sekilas penampakan mereka seperti sekelebat bayangan yang berlari bak kilat. Liom yan
***Pandangan Liom perlahan kabur, hantaman keras dari belakang membuatnya tak mampu bertahan. Sebelum benar-benar ambruk, ia gelindingkan benda bulat di tangannya sekuat tenaga ke arah jalan masuk gang. Berharap benda bulat itu mampu menggelinding sampai keluar gang. Liom diangkut ke dalam oleh orang-orang yang mencegatnya tadi, ia sepertinya akan disekap. Bola terus menggelinding, namun sayang tak sampai ke luar gang. Bola berhenti di depan teras sebuah toko. Seseorang keluar dari toko, tak sengaja menendang bola tersebut hingga terus menggelinding ke luar gang. Sinar matahari di siang hari cukup terik, udara di jalanan panas. Benda bulat itu mengeluarkan cahaya redup dari retakan-retakan di permukaannya. ***Tubuh Liom dihempaskan di lantai, kemudian diseret ke sudut ruangan, kaki dan tangan diikat, mulutnya dibekap. Seekor tikus mengikuti dari celah-celah langit-langit ruangan. Mengintip kemana Liom akan dibawa. Saat pintu ditutup, tikus merayap di dinding, mendekati Liom yan
***"Tikus, kau tau dimana Liom disekap?"Tikus berdecit, mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan Mpus. "Antarkan aku ke sana."Tikus berlari menyusuri kaki lima bangunan toko yang berbaris di gang itu, Mpus mengikutinya. Tiba di sebuah bangunan berlantai dua, tikus memanjat menuju ke sebuah lubang angin, kemudian berdecit memanggil Mpus. Melihat itu, Mpus melihat keadaan sekitar, ia kemudian berubah menjadi seeokor cicak. Ia merayap ke dinding menyusul tikus yang sudah terlebih dahulu masuk. Di lubang angin itu, Mpus melihat Liom di bawah. Trikat kaki dan tangannya. Namun ada yang aneh, Liom terlihat menggigil gemetar, keringatnya bercucuran. Mpus segera turun, dan langsung merubah sosoknya. Liom tampak kaget, namun rasa sakit di sekujur tubuhnya membuatnya tak begitu merespon kehadiran Mpus. Mpus membuka ikatan tangan dan kaki Liom. Liom terkulai lemas di lantai, ia tampak tak sehat. Mpus yakin dengan energinya yang sudah penuh, ia merasa cukup untuk memulihkan tenaga Liom. Mpus
***"Melati, kita akan pergi ke suatu tempat yang mewaaah banget, kamu akan diperlakukan bak ratu di sana. Dan di sana, ada Raja yang sedang menunggumu.""Benarkah?""Ya, ayo! kita harus segera, jangan bikin Raja menunggu terlalu lama!""Aku harus apa nanti?" "Kau hanya perlu menuruti apa maunya, jangan melawan apalagi berontak yah!""Baiklah."Upik dibawa ke luar oleh Amanda, meninggalkan Mpus yang masih menguping di atas langit-langit kamar. Mpus kecewa, hanya saja ia tahu betul bahwa Upik juga tidak mengerti. Baginya, ini adalah pengalaman menyenangkan yang baru terjadi seumur hidupnya. Ia juga tak punya pemahaman tentang harga diri. Mpus memutuskan untuk keluar dari bangunan itu. Ia harus mengisi energinya sebelum matahari terbenam. Perasaannya mengatakan, malam ini akan terjadi sesuatu yang akan menguras banyak energi. Di luar, Liom bersembunyi di balik tong sampah besar di dekat rumah bordir itu. Ia mengamati sekitar, ada sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pint
***Di dalam kamar, Upik ditinggal sendirian bersama pak Bambang. Perasaan Upik tiba-tiba tak enak, ia seperti merasakan aura pak Bowo melekat betul pada pak Bambang. Pak Bambang berdiri, ia mendekati Upik perlahan. Upik melangkah mundur, tiba-tiba ia mengingat ucapan Mpus sore tadi. Perasaan menyesal seakan perlahan menyisip nuraninya, jantungnya berdegup kencang. Pak Bambang memegang bahu Upik, membelai rambut hitamnya. Kali ini, Upik benar-benar melihat pak Bowo di diri pak Bambang, ia ketakutan. "Melati, kau cantik sekali. Aku bahkan tak pernah melihat wanita semurni dirimu." pak Bambang mulai mendekatkan wajahnya ke leher Upik. Upik menghindar, ia mundur. Kakinya ditahan oleh sofa. "Bapak, mau apa?""Oowh, jangan panggil saya Bapak. Panggil saya om! gimana? lebih santai kan?" pak Bambang meraih tangan Upik yang terasa dingin. "Jjaa, jangan sakiti saya Om.""Siapa yang mau menyakiti gadis cantik sepertimu? aku tak akan setega itu."Wajah pak Bambang kian memerah, ia tampak s
***Mereka bertiga menuruni anak tangga, Upik masih berbalut selimut. Hal ini malah mengundang keheranan warga Hotel. Tak perlu mencurigai siapa-siapa lagi yang dimaksud pak Bambang selain mereka bertiga, sebanyak lima orang berseragam serba hitam, dengan tubuh besar dan tegap menghadang mereka seketika. Mpus bersiap pasang kuda-kuda, Liom memasang gestur melindungi Upik. "Mpus, apa gak bisa kita langsung berteleportasi aja dari sini?""Kau mau mengadakan pertunjukan sulap di tengah banyak orang?""Bodo amat! yang penting selamat!""Kau pikir urusan akan segera selesai dengan begitu... " belum sempat Mpus melanjutkan omongannya, seseorang maju dengan terjangannya ke Mpus. Mpus berhasil menghindar, ia segera melancarkan balasan balik saat orang itu melakukan tendangan berikutnya, Kaki orang tersebut ia tangkis dan tubuhnya ia tolak menggunakan kedua telapak tangannya. Orang itu langsung jatuh ke lantai satu. Teriakan histeris dari orang-orang yang menyaksikan seseorang yang jatuh d
***Pagi mendung, dipukul delapan. Liom mondar-mandir menunggu Mpus untuk segera bangun dari tidurnya. Sedari tadi, Mpus tak berubah menjadi sosoknya, ia masih menjadi benda bulat yang diam di atas bantal. "Energinya habis?" tanya Liom pada Upik. "Ya, bisa jadi. Dan matahari tak kelihatan pagi ini." Upik mengambil bola itu, membawanya ke teras rumah. "Aku lapar, apa kau tak apa-apa kutinggal sebentar?""Ya, tak apa. Pergilah." Upik tersenyum. Mendapati senyuman Upik yang menyejukkan di pagi yang sejuk, rasanya kaki Liom malah menjadi beku untuk melangkah. "Aaah, aku tak sanggup meninggalkanmu sendirian di sini, aku khawatir kejadian kemarin.""Aku tak sendirian, di sini ada Mpus dan si Tikus.""Benda Bulat itu akan terus menjadi benda mati tanpa sinar matahari." Mpus menunjuk-nunjuk benda bulat yang di genggam Upik. Tiba-tiba benda bulat itu bercahaya, Upik segera meletakkannya ke lantai. Seketika benda bulat itu bertransformasi menjadi sosok Mpus. "Kau bilang apa?!""Wooow!" L
***Menikah dengan pak Bambang, adalah impian Rianti sejak tiga tahun yang lalu. Pertama kali melihatnya di sebuah Restauran, Rianti langsung memasang target, bahwa dia akan menikah dengan pria kaya itu. Bermacam cara dilakukan Rianti untuk bisa dekat dengan pak Bambang. Sayangnya, ia masih memiliki istri dan seorang putra. Sialnya lagi, pak Bambang adalah sosok pria yang mencintai keluarganya. Rianti tentu tak kehabisan cara. Ia mulai mencari tahu, dimana kira-kira pak Bambang gemar bersantai, atau sekedar nongkrong dengan teman-temannya. Sayang sekali, pak Bambang lebih suka menghabiskan waktu senggangnya bersama keluarganya. Rianti mencoba mencari tahu lagi, seperti apa sosok sang istri pak Bambang, hingga seolah tak bisa mengalihkan fokus pak Bambang daripadanya. Dewi, sosok istri dari pak Bambang. Ibu rumah tangga biasa. Awalnya Rianti menyepelekannya, namun setelah tahu bahwa Dewi bukanlah wanita sembarangan, pendidikannya S2, putri satu-satunya dari seorang Pengusaha Kelapa
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w
***Liom dan Upik langsung mengejar dan melihat ke bawah. Mata mereka melotot, tangan mereka seakan ingin meraih, namun hanya railing tangga yang bisa mereka raih dan genggam. Sementara si Kurir berlari menghindar dan mendekati Lelaki asing yang masih bersujud kesakitan. Liom dan Upik melihat ke bawah, Santi berada di sana, namun tidak ada hal yang mengenaskan terjadi. Santi sedang digendong melayang oleh Mpus. Melihat itu, Liom dan Upik langsung terduduk lemas, mereka menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan jika Santi mengalami hal yang mengerikan itu, jatuh dari lantai dua dalam keadaan hamil besar. Tubuh Santi digendong Mpus masih dalam keadaan melayang. Mata mereka beradu, namun Mpus segera mendongakkan wajahnya melihat ke atas. Sementara Santi masih syok dan terperangah. Antara percaya dan tidak percaya, mereka berdua benar-benar sedang melayang di udara, kaki Mpus sama sekali tidak menapak di lantai. Ia pandangi wajah Mpus yang teduh dan tampan. Seketika ia terjebak lagi
***Sosok itu menekan tombol-tombol itu, kemudian membuka-buka berkas yang ada di sana. Sepertinya sosok itu berhasil membuka pintu brankas itu. Mpus membuka pintu kamar itu lebar, sosok itu langsung menoleh dan terkejut. Ia tampak tak menduga seseorang bisa menyadari apa yang ia lakukan di kamar Bambang. "Kau lupa dengan sumpahmu, Rian?" tanya Mpus. "Aaaaah, kukira kau siapa!?" Rian tampak sedikit lega dan memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. "Kau sedang apa?" tanya Mpus. "Aku sedang mengganti pin sandinya, aku khawatir Santi melihatku tadi menekan tombol sandinya.""Aku berharap kau tak lupa akan sumpahmu!" "Aku tak mungkin berkhianat. Meskipun kemarin Julian tidak membuat perjanjian darah padaku di depanmu, aku takkan berkhianat!""Kuharap demikian, kalau kau berusaha mengkhianati Liom, kau pasti tahu akibatnya.""Aku sudah selesai merubah pinnya, apa kau mau bertahan di sini?" Rian beranjak dari posisi berjongkoknya, hendak keluar kamar. Mpus membiarkan Rian berl
***Lima hari dalam perawatan, akhirnya Liom diperbolehkan pulang, namun harus terus melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit. Mpus, Upik, Rian dan Santi berada satu mobil dengan Liom. Tujuan mereka adalah ke rumah Bambang di tengah-tengah Perkebunan. Ya, rumah masa kecil Liom dan keluarganya, sekaligus rumah yang didiami Rianti selama ini."Santi, kau tidur dengan Upik di kamar tamu lantai dua ya!? dan aku bersama Mpus." Liom membuka percakapan. "Ogah banget berbagi kamar dengan perempuan kampung ini." jawab Santi. "Yasudah, kamu tidur bersama Mpus saja." kata Liom. "Kamu apa-apaan sih, Liom!? di rumah ini ada banyak kamar tamu, kenapa gak masing-masih saja sih?" "Kamu sedang hamil besar, seseorang harus selalu ada di sisimu untuk berjaga-jaga." terang Liom. "Okee! oke! baiklah! tapi, aku tak mau seranjang dengannya." "Di kamar tamu nomor dua, itu khusus untuk anak. Jd ranjangnya ada dua, selesai kan?!" jelas Liom pada Santi. Santi hanya diam meski tetap bersungut-sungut tak je
***"Sudah, sudah! Liom, memangnya di situ siapa nama aku dan Mpus tertulis?" tanya Upik. "Apa?! kau bahkan tak tahu membaca?" tanya Santi menertawakan Upik. "Aku juga tak tahu membaca." jawab Mpus memandang Santi yang seketika terdiam saat dipandangi tajam oleh Mpus. "Aaah, begini Santi. Selain untuk melindungimu, aku juga memberikan sebuah tugas untukmu. Kau tentu paham, kau di sini tidak gratisan kan?" ucap Liom. "Apa maksudmu, Liom!?" tanya Santi melangkah mendekati Liom. "Kau tentu tahu, Bapakku telah memutuskan hubungan dengan keluarga besar kita. Aku bahkan mengambil resiko, menyembunyikan istri seorang Pengusaha kaya di kota ini. Tentu kau juga paham itu tak gratis.""Liom, kupikir kau menolongku karna aku sepupumu satu-satunya. Kau tulus melakukan itu.""Kau bahkan tak perduli padaku, saat aku membutuhkan pertolongan dari semua orang.""Aaah, baiklah! aku terdesak, apa yang kau butuhkan dariku?!" tanya Santi. "Kau hanya perlu mengajari Mpus dan Upik belajar membaca, ber
Liom sudah ada di ranjangnya, ia masih belum sadar juga, Santi duduk di sebelah kanan Liom, sementara Upik berada di sisi sebelah kiri. Santi menatap Upik sinis, "Namamu siapa?" tanya Santi. "Namaku, Upik.""Ha? kampungan sekali, cocok dengan dirimu.""Aku memang berasal dari kampung." jawab Upik tersenyum. Santi melihat senyum Upik seolah risih, ia berdiri beranjak dari duduknya. Rian masuk ke dalam ruangan bersama Mpus, "Upik, bisakah kau ikut denganku keluar sebentar?""Kemana?" tanya Upik. "Kau tak sendiri, Mpus juga ikut denganku.""Apa? nama pria aneh ini, Mpus? dan kau, Upik? hahahahahah!" santi tiba-tiba menertawakan Mpus dan Upik. "Kenapa dengan nama kami?" tanya Upik memperlihatkan wajah tak senangnya. "Menggelikan!" jawab Santi malah mendekatkan wajahnya ke arah Upik, seolah menyeringai. "Siapa namamu?" tanya Upik, tanpa terlihat gentar. "Namaku, Santi! Santi Purwita Sari. Cukup terdengar bangsawan bukan?" "Ya! tapi tidak dengan dirimu." jawab Upik. "Apa maksudmu
***Liom dibawa ke ruang Operasi. Mpus dan Upik duduk menunggu di ruang tunggu, tiba-tiba dua orang seperti terburu-buru berlari ke arah Mpus dan Upik. Seorang pria berpakaian rapi yang kemarin berbicara dengan Liom adalah Pengacara pak Bambang, dengan seorang wanita yang sedang hamil besar. Pria dan wanita itu tanpak ngos-ngosan saat sampai di dekat Mpus dan Upik, "Hah, hah, hah, apa Julian sudah di dalam?" tanya Pengacara itu masih dengan nafas tersengal-sengal. "Ya, baru saja." jawab Upik. "Kenalkan saya Rian, Pengacara pak Bambang. Dan ini Santi, Sepupu Liom satu-satunya." Mpus dan Upik membalas jabat tangan Pengacara itu. "Dimana keluarga Liom yang lain?" tanya Upik. "Mereka sama sekali tak tahu, bahkan tentang meninggalnya pak Bambang sekalipun. Ini adalah permintaan dari pak Bambang selagi hidup." jawab Rian sambil menoleh ke arah Santi. "Dan dia, kenapa dia di sini?" tanya Mpus. "Dia di sini, permintaan dari Julian." jawab Rian. Sementara itu, Santi hanya diam duduk
***Bambang dilarikan segera ke ruang ICU, jantungnya masih berdenyut, namun ia sudah kehilangan kesadarannya. Liom, Mpus dan Upik mengejar sampai ke pintu, namun dihalangi oleh beberapa orang Perawat. Satu jam kemudian, Dokter keluar dari ruangan tersebut, meminta Liom untuk masuk ke ruangannya. Sesampainya di ruangan Dokter, "Sepertinya, pak Bambang sudah memiliki firasat, bahwa beliau akan pergi meninggalkan kita semua, Julian.""Apa maksud Dokter?"Pak Dokter menyerahkan beberapa berkas yang ditandatangani oleh Bambang. Di sana tertulis, jika kapanpun ia sekarat, jangan mengusahakan untuk menyelamakan nyawanya, namun usahakan mengambil organ hatinya, untuk diberikan pada anaknya Julian."Bbaa, bagaimana bisa saya atau kalian tim Dokter tidak mengusahakan Bapak saya untuk selamat, Dokter?""Julian, waktu kita tidak banyak. Sekarang pak Bambang sedang koma. Potensi untuknya bisa hidup kembalipun sangat kecil. Selagi organ tubuhnya seperti hati dan jantung masih berfungsi, segera