***"Apa maksudmu?" Mpus mengernyitkan dahinya. "Bagaimana kau bisa bertemu dengan Upik?""Itu bukan urusanmu.""Akan menjadi urusanku, jika kau malah egois.""Egois?""Ya, kau melarangku memiliki perasaan padanya, sementara kau? tadi itu jelas sekali kecemburuanmu.""Aku bukan cemburu... ""Lantas?""Ah, sudahlah." Mpus beranjak dari duduk bersilanya, ia masuk ke dalam. Liom mengejarnya, sambil memburu jawaban dengan pertanyaan yang sama. Ia mulai berhenti bertanya, saat melihat Mpus melakukan hal aneh lagi. Mpus tampak sedang menghitung langkah, menentukan sebuah titik, lalu memasang sesuatu dengan cahaya yang keluar dari tangannya. "Kau sedang apa?""Menentukan titik.""Maksudmu?""Agar kita bisa kembali ke rumah ini dengan cepat, tanpa mengendarai Angkutan yang kemarin, bikin Upik tersiksa saja.""Jadi, kau bisa teleportasi?""Apaan sih?" ketus Mpus sambil berlalu. "Te, teleportasi! berpindah tempat dalam sekejab, dari tempat yang satu ke tempat lainnya.""Hmmm... ""Jadi, ken
Bab 18. Menyelamatkan Upik***Dalam kepanikan, Liom berusaha untuk tetap tenang, ia putuskan untuk menghapal Plat nomor mobil itu, lantas ia kejar Mpus yang berusaha berdiri menyusul Liom. "Kenapa tak kau kejar mobil itu?!" Mpus kelihatan marah. "Bagaimana keadaanmu?""Aku tak apa-apa! bagaimana ini? Upik diculik!" Mpus tampak bingung dan panik. "Ayo kita kejar! tapi, apa kau tak memiliki sesuatu yang ajaib untuk bisa mencapai mereka dengan cepat?" "Mpus tampak berfikir sejenak, ia mengangguk seketika."Mpus tampak sedang memasang kuda-kuda, "Kau, berpeganglah di belakangku kuat-kuat ya!""Kita mau ngapain?" Liom tampak bingung harus bagaimana. "Pegang saja pinggangku, kuat dan jangan sampai lepas."Liom menuruti perintah Mpus, meski ragu, ia tetap memegang pinggang Mpus dengan canggung. "Pegang yang erat!""Iyaa!" Spontan Mpus berlari seperti angin, kakinya tak menyentuh jalan sama sekali, sekilas penampakan mereka seperti sekelebat bayangan yang berlari bak kilat. Liom yan
***Pandangan Liom perlahan kabur, hantaman keras dari belakang membuatnya tak mampu bertahan. Sebelum benar-benar ambruk, ia gelindingkan benda bulat di tangannya sekuat tenaga ke arah jalan masuk gang. Berharap benda bulat itu mampu menggelinding sampai keluar gang. Liom diangkut ke dalam oleh orang-orang yang mencegatnya tadi, ia sepertinya akan disekap. Bola terus menggelinding, namun sayang tak sampai ke luar gang. Bola berhenti di depan teras sebuah toko. Seseorang keluar dari toko, tak sengaja menendang bola tersebut hingga terus menggelinding ke luar gang. Sinar matahari di siang hari cukup terik, udara di jalanan panas. Benda bulat itu mengeluarkan cahaya redup dari retakan-retakan di permukaannya. ***Tubuh Liom dihempaskan di lantai, kemudian diseret ke sudut ruangan, kaki dan tangan diikat, mulutnya dibekap. Seekor tikus mengikuti dari celah-celah langit-langit ruangan. Mengintip kemana Liom akan dibawa. Saat pintu ditutup, tikus merayap di dinding, mendekati Liom yan
***"Tikus, kau tau dimana Liom disekap?"Tikus berdecit, mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan Mpus. "Antarkan aku ke sana."Tikus berlari menyusuri kaki lima bangunan toko yang berbaris di gang itu, Mpus mengikutinya. Tiba di sebuah bangunan berlantai dua, tikus memanjat menuju ke sebuah lubang angin, kemudian berdecit memanggil Mpus. Melihat itu, Mpus melihat keadaan sekitar, ia kemudian berubah menjadi seeokor cicak. Ia merayap ke dinding menyusul tikus yang sudah terlebih dahulu masuk. Di lubang angin itu, Mpus melihat Liom di bawah. Trikat kaki dan tangannya. Namun ada yang aneh, Liom terlihat menggigil gemetar, keringatnya bercucuran. Mpus segera turun, dan langsung merubah sosoknya. Liom tampak kaget, namun rasa sakit di sekujur tubuhnya membuatnya tak begitu merespon kehadiran Mpus. Mpus membuka ikatan tangan dan kaki Liom. Liom terkulai lemas di lantai, ia tampak tak sehat. Mpus yakin dengan energinya yang sudah penuh, ia merasa cukup untuk memulihkan tenaga Liom. Mpus
***"Melati, kita akan pergi ke suatu tempat yang mewaaah banget, kamu akan diperlakukan bak ratu di sana. Dan di sana, ada Raja yang sedang menunggumu.""Benarkah?""Ya, ayo! kita harus segera, jangan bikin Raja menunggu terlalu lama!""Aku harus apa nanti?" "Kau hanya perlu menuruti apa maunya, jangan melawan apalagi berontak yah!""Baiklah."Upik dibawa ke luar oleh Amanda, meninggalkan Mpus yang masih menguping di atas langit-langit kamar. Mpus kecewa, hanya saja ia tahu betul bahwa Upik juga tidak mengerti. Baginya, ini adalah pengalaman menyenangkan yang baru terjadi seumur hidupnya. Ia juga tak punya pemahaman tentang harga diri. Mpus memutuskan untuk keluar dari bangunan itu. Ia harus mengisi energinya sebelum matahari terbenam. Perasaannya mengatakan, malam ini akan terjadi sesuatu yang akan menguras banyak energi. Di luar, Liom bersembunyi di balik tong sampah besar di dekat rumah bordir itu. Ia mengamati sekitar, ada sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pint
***Di dalam kamar, Upik ditinggal sendirian bersama pak Bambang. Perasaan Upik tiba-tiba tak enak, ia seperti merasakan aura pak Bowo melekat betul pada pak Bambang. Pak Bambang berdiri, ia mendekati Upik perlahan. Upik melangkah mundur, tiba-tiba ia mengingat ucapan Mpus sore tadi. Perasaan menyesal seakan perlahan menyisip nuraninya, jantungnya berdegup kencang. Pak Bambang memegang bahu Upik, membelai rambut hitamnya. Kali ini, Upik benar-benar melihat pak Bowo di diri pak Bambang, ia ketakutan. "Melati, kau cantik sekali. Aku bahkan tak pernah melihat wanita semurni dirimu." pak Bambang mulai mendekatkan wajahnya ke leher Upik. Upik menghindar, ia mundur. Kakinya ditahan oleh sofa. "Bapak, mau apa?""Oowh, jangan panggil saya Bapak. Panggil saya om! gimana? lebih santai kan?" pak Bambang meraih tangan Upik yang terasa dingin. "Jjaa, jangan sakiti saya Om.""Siapa yang mau menyakiti gadis cantik sepertimu? aku tak akan setega itu."Wajah pak Bambang kian memerah, ia tampak s
***Mereka bertiga menuruni anak tangga, Upik masih berbalut selimut. Hal ini malah mengundang keheranan warga Hotel. Tak perlu mencurigai siapa-siapa lagi yang dimaksud pak Bambang selain mereka bertiga, sebanyak lima orang berseragam serba hitam, dengan tubuh besar dan tegap menghadang mereka seketika. Mpus bersiap pasang kuda-kuda, Liom memasang gestur melindungi Upik. "Mpus, apa gak bisa kita langsung berteleportasi aja dari sini?""Kau mau mengadakan pertunjukan sulap di tengah banyak orang?""Bodo amat! yang penting selamat!""Kau pikir urusan akan segera selesai dengan begitu... " belum sempat Mpus melanjutkan omongannya, seseorang maju dengan terjangannya ke Mpus. Mpus berhasil menghindar, ia segera melancarkan balasan balik saat orang itu melakukan tendangan berikutnya, Kaki orang tersebut ia tangkis dan tubuhnya ia tolak menggunakan kedua telapak tangannya. Orang itu langsung jatuh ke lantai satu. Teriakan histeris dari orang-orang yang menyaksikan seseorang yang jatuh d
***Pagi mendung, dipukul delapan. Liom mondar-mandir menunggu Mpus untuk segera bangun dari tidurnya. Sedari tadi, Mpus tak berubah menjadi sosoknya, ia masih menjadi benda bulat yang diam di atas bantal. "Energinya habis?" tanya Liom pada Upik. "Ya, bisa jadi. Dan matahari tak kelihatan pagi ini." Upik mengambil bola itu, membawanya ke teras rumah. "Aku lapar, apa kau tak apa-apa kutinggal sebentar?""Ya, tak apa. Pergilah." Upik tersenyum. Mendapati senyuman Upik yang menyejukkan di pagi yang sejuk, rasanya kaki Liom malah menjadi beku untuk melangkah. "Aaah, aku tak sanggup meninggalkanmu sendirian di sini, aku khawatir kejadian kemarin.""Aku tak sendirian, di sini ada Mpus dan si Tikus.""Benda Bulat itu akan terus menjadi benda mati tanpa sinar matahari." Mpus menunjuk-nunjuk benda bulat yang di genggam Upik. Tiba-tiba benda bulat itu bercahaya, Upik segera meletakkannya ke lantai. Seketika benda bulat itu bertransformasi menjadi sosok Mpus. "Kau bilang apa?!""Wooow!" L
"KENAPA KAU SERAHKAN BAYIKU, B4JINGAAAAN!!!" Praaankk!! Praaangggg!!! Santi mengamuk, ia yang seharusnya masih lemah dan berdarah-darah melangkah menuju sebuah vas bunga besar di atas nakas dan melemparkannya ke arah Mpus. Vas bunga itu pecah berkeping-keping dengan tumpahan air yang mengisi vas itu menggenang di lantai. Mpus bergeming, ia berdiri menatap pintu masuk ruang tamu sambil bersidekap. "Apa maksudnya ini? jadi, jadi kau tadi diam tak menjawab bukan karena kehendakmu, Santi?" tanya Liom tampak bingung. "Aku yakin, pria aneh ini yang menahanku untuk tidak bereaksi! entah apa maksudnya?! apa kau langsung gil4 saat mendapati jumlah uang dan mendengar nominal sepuluh juta dolar?! Hah! tak kusangka orang aneh sepertimu bahkan lebih matrealistis dari orang sepertiku!" cecar Santi sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mpus dengan netra melotot dan berair. Liom menatap nyalang ke arah Mpus yang masih bergeming tak menyahut, ia mengernyitkan keningnya tak mengerti. Liom menoleh ke ar
***Mpus yang menyadari Wijaya telah berada di dekat mereka segera pasang badan. Ia menghalangi Wijaya untuk mendekat. "Kau, siapa? penampilanmu aneh sekali! dari tadi aku salah fokus padamu! apakah kau semacam dukun atau paranormal?" tanya Wijaya memperhatikan Mpus dari ujung kaki ke kepala. "Kau tak berhak atas bayi itu! enyahlah dari sini!" "Oh, ya?! begitukah? kau tak bertanya dulu pada Santi? isteriku?" tanyanya percaya diri. Mpus berpaling, melihat ke arah Santi yang sedang memeluk bayinya. Santi tampak ragu dan menatap Mpus dan Wijaya bergantian. "Ayo, mari! berikan bayi itu padaku, Santi!" ucap Wijaya masih percaya diri. "Kau telah berjanji akan menceraikan kedua isterimu jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Mas!" Wijaya berdecak kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan membuang cerutunya sembarang. "Sepertinya ada yang kau tak mengerti, Santi! aku tak mungkin menceraikan mereka!""Apa maksudmu, Mas? bukankah kau yang kemarin bersumpah akan men
*** Wijaya adalah suami Santi, seorang pria berpengaruh di Kota ini. Menikahi Santi baginya adalah sebuah kesalahan yang ternyata berbuah manis. Hanya saja, manisnya buah tak bisa ia miliki begitu saja, karna Santi bukanlah wanita lemah dan bodoh seperti sangkaannya pertama kali, demikian buah manis itu tak pula dengan mudah ia peroleh karna terhalang oleh dua orang Istrinya. Sebenarnya Wijaya menikahi Santi tidaklah ia rencanakan. Hanya main-main, demikian dengan Surat Perjanjian yang ia tandatangai asal saja. Baginya, tidur dengan banyak wanita, dan tak ada satupun yang mengandung anaknya, sudahlah membuktikan bahwa dirinyalah yang bermasalah. Tapi tidak dengan Santi, Ia ternyata benar-benar mengandung darah dagingnya. Awalnya, Wijaya meragukan kalau yang dikandung Santi adalah darah dagingnya. Seperti kebanyakan wanita yang mendatanginya dan mengaku hamil. Namun, karna kepercayaan diri Santi yang tinggi, Santi juga dalam keadaan perawan saat ia nikahi, dan ia bersedia melakukan
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w
***Liom dan Upik langsung mengejar dan melihat ke bawah. Mata mereka melotot, tangan mereka seakan ingin meraih, namun hanya railing tangga yang bisa mereka raih dan genggam. Sementara si Kurir berlari menghindar dan mendekati Lelaki asing yang masih bersujud kesakitan. Liom dan Upik melihat ke bawah, Santi berada di sana, namun tidak ada hal yang mengenaskan terjadi. Santi sedang digendong melayang oleh Mpus. Melihat itu, Liom dan Upik langsung terduduk lemas, mereka menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan jika Santi mengalami hal yang mengerikan itu, jatuh dari lantai dua dalam keadaan hamil besar. Tubuh Santi digendong Mpus masih dalam keadaan melayang. Mata mereka beradu, namun Mpus segera mendongakkan wajahnya melihat ke atas. Sementara Santi masih syok dan terperangah. Antara percaya dan tidak percaya, mereka berdua benar-benar sedang melayang di udara, kaki Mpus sama sekali tidak menapak di lantai. Ia pandangi wajah Mpus yang teduh dan tampan. Seketika ia terjebak lagi
***Sosok itu menekan tombol-tombol itu, kemudian membuka-buka berkas yang ada di sana. Sepertinya sosok itu berhasil membuka pintu brankas itu. Mpus membuka pintu kamar itu lebar, sosok itu langsung menoleh dan terkejut. Ia tampak tak menduga seseorang bisa menyadari apa yang ia lakukan di kamar Bambang. "Kau lupa dengan sumpahmu, Rian?" tanya Mpus. "Aaaaah, kukira kau siapa!?" Rian tampak sedikit lega dan memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. "Kau sedang apa?" tanya Mpus. "Aku sedang mengganti pin sandinya, aku khawatir Santi melihatku tadi menekan tombol sandinya.""Aku berharap kau tak lupa akan sumpahmu!" "Aku tak mungkin berkhianat. Meskipun kemarin Julian tidak membuat perjanjian darah padaku di depanmu, aku takkan berkhianat!""Kuharap demikian, kalau kau berusaha mengkhianati Liom, kau pasti tahu akibatnya.""Aku sudah selesai merubah pinnya, apa kau mau bertahan di sini?" Rian beranjak dari posisi berjongkoknya, hendak keluar kamar. Mpus membiarkan Rian berl
***Lima hari dalam perawatan, akhirnya Liom diperbolehkan pulang, namun harus terus melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit. Mpus, Upik, Rian dan Santi berada satu mobil dengan Liom. Tujuan mereka adalah ke rumah Bambang di tengah-tengah Perkebunan. Ya, rumah masa kecil Liom dan keluarganya, sekaligus rumah yang didiami Rianti selama ini."Santi, kau tidur dengan Upik di kamar tamu lantai dua ya!? dan aku bersama Mpus." Liom membuka percakapan. "Ogah banget berbagi kamar dengan perempuan kampung ini." jawab Santi. "Yasudah, kamu tidur bersama Mpus saja." kata Liom. "Kamu apa-apaan sih, Liom!? di rumah ini ada banyak kamar tamu, kenapa gak masing-masih saja sih?" "Kamu sedang hamil besar, seseorang harus selalu ada di sisimu untuk berjaga-jaga." terang Liom. "Okee! oke! baiklah! tapi, aku tak mau seranjang dengannya." "Di kamar tamu nomor dua, itu khusus untuk anak. Jd ranjangnya ada dua, selesai kan?!" jelas Liom pada Santi. Santi hanya diam meski tetap bersungut-sungut tak je
***"Sudah, sudah! Liom, memangnya di situ siapa nama aku dan Mpus tertulis?" tanya Upik. "Apa?! kau bahkan tak tahu membaca?" tanya Santi menertawakan Upik. "Aku juga tak tahu membaca." jawab Mpus memandang Santi yang seketika terdiam saat dipandangi tajam oleh Mpus. "Aaah, begini Santi. Selain untuk melindungimu, aku juga memberikan sebuah tugas untukmu. Kau tentu paham, kau di sini tidak gratisan kan?" ucap Liom. "Apa maksudmu, Liom!?" tanya Santi melangkah mendekati Liom. "Kau tentu tahu, Bapakku telah memutuskan hubungan dengan keluarga besar kita. Aku bahkan mengambil resiko, menyembunyikan istri seorang Pengusaha kaya di kota ini. Tentu kau juga paham itu tak gratis.""Liom, kupikir kau menolongku karna aku sepupumu satu-satunya. Kau tulus melakukan itu.""Kau bahkan tak perduli padaku, saat aku membutuhkan pertolongan dari semua orang.""Aaah, baiklah! aku terdesak, apa yang kau butuhkan dariku?!" tanya Santi. "Kau hanya perlu mengajari Mpus dan Upik belajar membaca, ber