Ketika memasuki panti asuhan yang cukup kecil dengan banyaknya penghuni di dalamnya semakin membuat Hafizah tidak berhenti menitikkan air mata.
"Jadi panti asuhan seperti ini? Bagaimana anakku bisa tinggal di tempat semacam ini tanpa aku? Tega Dera dan Ibu membuang anakku di tempat begini. Aku akan pastikan anakku kembali padaku."Hafizah duduk bersama Hafidz dan ada ibu panti yang ingin mengetahui maksud keduanya datang ke panti.Sedangkan di dalam rumah terlihat sepasang mata sedang memastikan sesuatu di dalam sana."Hafizah! Di mana kamu? Aku memanggilmu beberapa kali tapi kamu berani tidak menjawab aku!"Sudah beberapa kali jalan menggunakan tongkatnya ke depan rumah dan kamar Hafizah, tidak menemukan Hafizah sama sekali, bahkan dapur terlihat sepi dari jendela kaca yang terlihat dari luar."Kurang ajar! Awas kamu Hafizah, rupanya kamu melanggar apa yang aku larang. Kamu pasti pergi dari rumah lagi tanpa berpamitan sama a"Diam kamu Hafidz! Beraninya kamu ikut campur masalah aku sama Hafizah. Oh, pasti kamu mau menjadi pahlawan buat dia ya? Percuma Hafidz. Dia ini tidak akan menyukai kamu, ingat kamu masih suami dari anak perempuanku."Lestari mengingatkan dua menantunya yang sudah ketahuan pergi berdua tanpa sepengetahuannya. Dan dibalik sorot mata Lestari memiliki kekhawatiran akan keduanya bisa saling jatuh cinta. "Sudah cukup, Bu! Aku bilang cukup. Ibu bahkan tidak memiliki rasa kasih sayang pada cucumu, apa yang Ibu lakukan sama Putri?"Jelas Hafidz marah anaknya disiksa oleh ibu mertuanya yang tidak menyukainya sejak pertama bertemu. Namun, Hafidz tidak menyangka Lestari berani menyakiti Putri sampai mengikat seperti tadi. "Hanya memberikan dia tinggal di tempat seharusnya, dan aku tidak mau ada orang berisik mencari Ayahnya yang keluar dengan menantuku yang lain. Kalian dari mana? Jangan mengira aku tidak tau kalau kalian pergi bersama berdua dan Hafidz ma
"Tenanglah, aku akan menolong kamu," ucap Hafidz mendekati Hafizah yang hampir tidak sadarkan diri. Hafizah tersenyum setelah tangan dan kakinya dilepaskan oleh penolongnya, tidak pernah dibayangkannya kalau Hafidz berani melepaskan dirinya dari hukuman mertuanya . "Hafidz, bagaimana Ibu?""Sudahlah jangan bicara tentang Ibu, aku harus bersembunyi dulu," jawab Hafidz sudah melepaskan semua ikatan Hafizah. "Kenapa bersembunyi?""Karena aku telah memukul Ibu Lestari dengan kayu yang ada di kamarmu, jadi sekarang kita harus bersembunyi sebelum Ibu memaki kita berdua."Hafizah menahan tawanya, ternyata Hafidz lebih berani daripada yang dipikirkannya, tentu laki-laki semacam ini adalah idaman wanita-wanita di luar sana. "Jadi menurutmu ini lucu, Hafizah?""Tidak, aku tidak bilang ini lucu, maaf kalau aku menertawakan perbuatanmu ke Ibu, aku seharusnya berterima kasih sama kamu, karena telah menolong aku."Hafidz membantu Hafizah berdiri untuk berjalan, tetapi Hafizah kesulitan karena l
"Putri, kamu mau sekolah lagi besok 'kan? Ayah ada acara penting, jadi nanti Ayah kemungkinan tidak bisa menjemput kamu, tapi kamu tenang saja, Ayah akan mengirim seseorang untuk datang menjemput kamu," ucap Hafidz duduk di samping anaknya yang sedang bermain boneka. "Tidak apa-apa Ayah, Putri tau kalau Ayah pasti mau mencari uang untuk kebutuhan Putri. Kalau Tante cantik yang menjemput Putri, bagaimana Ayah?" tanyanya menatap mata ayahnya yang sendu akibat kesedihan yang dipendam sendiri. Hafidz meraih tangan anaknya yang mungil, dia mengecupnya lembut penuh kasih sayang, ditatapnya mata anaknya yang ingin dipenuhi keinginannya. "Maafkan Ayah, untuk kali ini Ayah tidak mungkin memaksa Tante Hafizah untuk menjemput kamu. Tante Hafizah sibuk di rumah membersihkan semuanya, nanti Tante Hafizah bisa dimarahi Nenek kalau pergi sembarangan. Jadi kamu harus memahami itu semua, kamu tau bagaimana Nenek 'kan?""Baiklah Ayah, Putri mengerti. Nenek memil
"Hanya kebetulan, di dunia ini nama orang bisa sama, kedua orang tua bebas memberikan nama pada anaknya, bahkan wajah seseorang terkadang sama walaupun kita tidak sedarah."Hafizah mulai berpikir dan melihat Hafidz dari atas sampai bawah, tidak mungkin kalau Hafidz yang dia kenal ini orang kaya. "Dari jawaban kamu aku percaya, aku rasa tidak mungkin kamu seorang pengusaha kaya raya, aku saja yang berlebihan, mungkin memang kalian memiliki wajah dan nama yang sama, hanya kehidupan yang berbeda, atau jangan-jangan pengusaha ini adalah saudara kembar kamu?""Tidak perlu sembarangan bicara lagi, aku tidak mungkin memiliki saudara kembar, karena aku anak tunggal dari keluargaku," balas Hafidz. Hafidz masih berusaha menyembunyikan semua identitasnya di depan Hafizah ataupun semua orang yang ada di rumah, bukan tanpa alasan, tetapi Hafidz tidak mau kalau dirinya akan dimanfaatkan. "Maaf, aku rasa karena tekanan hidupku jadi aku seperti ini, t
"Tidak mau!"Lestari tidak sedikitpun melangkah pergi dari rumah yang menurutnya adalah peninggalan anaknya. "Aku tidak perduli Ibu mau atau tidak, yang aku mau Ibu pergi dari rumahku sekarang."Ditariknya tangan Lestari oleh Hafizah yang tidak bisa sabar terhadap sikap mertuanya selama ini. "Jangan kurang ajar kamu, Hafizah! Aku berhak tinggal di rumah anakku."Masih terus berontak menolak untuk keluar dari rumah, walaupun sebenarnya Lestari sendiri memiliki kecurigaan pada Hamid anaknya yang selalu bisa memberikannya uang, karena Hamid tidak terlihat bekerja sama sekali. "Lepaskan aku!""Pergi sekarang!"Hafizah tetap mau mertuanya pergi dari rumahnya yang seharusnya bisa nyaman dan tenang di dalamnya, rumah yang sudah beberapa tahun ditinggalkannya selama dirinya di dalam penjara. "Jangan coba-coba kamu mengusir aku! Kamu lupa aku bisa melakukan apa saja yang aku mau terhadap kamu? Hukuman akan a
"Ayah, kita ada di mana?" Saat kakinya melangkah pada pintu rumah yang dibuka beberapa pelayan, seketika mereka menundukkan kepalanya, "Selamat datang Pak Hafidz," ucap salah satu kepala pelayan pada Hafidz yang berdiri di samping anaknya. "Terima kasih, tolong kalian siapkan kamar untuk anakku, dia akan tinggal di rumah ini." perintah Hafidz pada kepala pelayan. "Laksanakan Pak Hafidz."Putri melihat ke arah ayahnya, tidak lupa menarik tangan ayahnya agar mau menjawab pertanyaannya. "Ayah, rumah siapa?"Hafidz mendengar pertanyaan anaknya, dia juga kebingungan harus menceritakan dari mana dirinya memulai. "Ini rumah Ayah, rumah kamu juga, sekarang kita berdua tinggal di sini, kamu tidak apa-apa 'kan?"Putri melirik rumah yang dia masuki bersama ayahnya, terlihat berbeda dari rumah yang dia tempati sebelumnya. "Tidak apa-apa, Ayah. Rumah ini besar sekali. Putri suka rumahnya, tidak ada yang berter
"Sekarang ikut dengan kami tanpa perlawanan, karena kami akan kasar kalau Ibu tidak mau mengikuti kami, semuanya akan diproses ke polisi kalau Ibu tidak mau."Lestari mendengarnya, ancaman petugas yang menakutkan baginya, tidak mau berurusan dengan polisi karena Lestari sendiri sudah memalsukan saksi untuk membuat menantunya bersalah. "Ok, baik. Tapi jangan kasar! Aku akan jalan sampai di tempat tujuan kalian."Terpaksa Lestari mengikuti mereka berdua, akhirnya Hafizah melihat mertuanya pergi dari halaman rumah dan sudah keluar bersama petugas tadi. "Rasanya lega hidup tanpa orang seperti Ibu, mungkin bukan aku yang akan mengerti Ibu, maafkan aku Mas, tadinya aku mau berbakti pada Ibumu karena kamu adalah suamiku, tapi aku tidak sanggup dengannya," ucap Hafizah membalikkan tubuhnya ke arah lain. Hafizah berjalan ke arah tempat tidur, dia merebahkan tubuhnya setelah selesai dengan drama mertuanya. "Akhirnya aku bebas, apa yang
Hafidz mengarahkan mobilnya menuju restoran yang terkenal dengan steak daging segar. Di sepanjang perjalanan, Putri, yang berusia lima tahun, terlihat ceria memainkan boneka kesayangannya, sambil sesekali melirik ke arah jendela, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu-lalang."Putri, nanti setelah makan, kita bisa pergi ke taman bermain, ya?" tawar Hafidz dengan senyum hangat di wajahnya."Yeay! Aku suka taman bermain! Tapi Ayah, aku mau naik wahana yang tinggi-tinggi," jawab Putri dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.Hafidz hanya bisa tertawa mendengar keinginan anaknya. "Baiklah, kita akan naik wahana yang tinggi, tapi Ayah harus melihat dulu apakah itu aman untukmu."Setelah beberapa menit, mereka tiba di restoran. Aroma daging yang dipanggang memenuhi udara, membuat perut Putri berbunyi. Mereka duduk di meja dekat jendela, dan Hafidz memesan berbagai hidangan daging yang diinginkan Putri."Sambil menunggu makanan, Ayah
Di ruang keluarga yang penuh dengan keheningan, Hafizah menatap Hafidz dengan tatapan yang penuh makna. Di dinding, jam berdetak pelan seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka. Suasana itu terasa berat, namun ada sesuatu yang tak terucapkan, sebuah keinginan untuk memahami dan diterima.Hafidz, yang awalnya terdiam, mulai merasakan getaran emosional yang aneh. "Tapi, kenapa harus sampai mengusirnya? Bukankah dia mertuamu?" tanyanya, suaranya bergetar tidak yakin.Hafizah menghela napas panjang, matanya menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. "Kau tidak mengerti, Hafidz. Ibu Lestari jahat, dia juga seorang wanita yang keras kepala. Dia selalu merasa berhak untuk mengatur hidupku, bahkan setelah aku menikah dengan anaknya. Dia tidak bisa menerima bahwa rumah ini adalah milikku sekarang. Dia masih terjebak dalam pandangan bahwa semua yang ada di sini adalah miliknya."Hafidz merasa hatinya bergetar. Dia tahu betul bagaimana hubun
Hafizah memohon dengan nada penuh harap kepada Hafidz, meminta kesempatan untuk menghabiskan satu hari bersama mereka. "Setidaknya untuk hari ini saja aku bisa bersama kalian, atau aku ke tempat tinggal kalian berdua. Aku janji tidak akan meminta lebih dari itu," katanya sambil menatap Hafidz.Meski berusaha menahan diri, Hafidz akhirnya mengalah. Ia tahu, terutama karena Putri, anaknya, juga senang berada di dekat Hafizah. "Baiklah, kita pergi ke rumahku. Tapi jangan kaget kalau nanti kamu mengetahui sesuatu yang belum pernah kamu tahu tentangku," kata Hafidz tegas."Tenang saja. Aku akan mencoba memahami semuanya. Hal yang kamu sembunyikan mungkin memang urusanmu. Aku tidak berhak menanyakan itu. Aku hanya ingin bersama Putri hari ini," jawab Hafizah dengan lembut.Tanpa kata tambahan, Hafidz menyetujui. "Baik, kita pergi sekarang," putusnya, berjalan lebih dulu meninggalkan Hafizah dan Putri yang masih saling pandang. Putri terus memeluk Hafiz
Hafidz mengarahkan mobilnya menuju restoran yang terkenal dengan steak daging segar. Di sepanjang perjalanan, Putri, yang berusia lima tahun, terlihat ceria memainkan boneka kesayangannya, sambil sesekali melirik ke arah jendela, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu-lalang."Putri, nanti setelah makan, kita bisa pergi ke taman bermain, ya?" tawar Hafidz dengan senyum hangat di wajahnya."Yeay! Aku suka taman bermain! Tapi Ayah, aku mau naik wahana yang tinggi-tinggi," jawab Putri dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.Hafidz hanya bisa tertawa mendengar keinginan anaknya. "Baiklah, kita akan naik wahana yang tinggi, tapi Ayah harus melihat dulu apakah itu aman untukmu."Setelah beberapa menit, mereka tiba di restoran. Aroma daging yang dipanggang memenuhi udara, membuat perut Putri berbunyi. Mereka duduk di meja dekat jendela, dan Hafidz memesan berbagai hidangan daging yang diinginkan Putri."Sambil menunggu makanan, Ayah
"Sekarang ikut dengan kami tanpa perlawanan, karena kami akan kasar kalau Ibu tidak mau mengikuti kami, semuanya akan diproses ke polisi kalau Ibu tidak mau."Lestari mendengarnya, ancaman petugas yang menakutkan baginya, tidak mau berurusan dengan polisi karena Lestari sendiri sudah memalsukan saksi untuk membuat menantunya bersalah. "Ok, baik. Tapi jangan kasar! Aku akan jalan sampai di tempat tujuan kalian."Terpaksa Lestari mengikuti mereka berdua, akhirnya Hafizah melihat mertuanya pergi dari halaman rumah dan sudah keluar bersama petugas tadi. "Rasanya lega hidup tanpa orang seperti Ibu, mungkin bukan aku yang akan mengerti Ibu, maafkan aku Mas, tadinya aku mau berbakti pada Ibumu karena kamu adalah suamiku, tapi aku tidak sanggup dengannya," ucap Hafizah membalikkan tubuhnya ke arah lain. Hafizah berjalan ke arah tempat tidur, dia merebahkan tubuhnya setelah selesai dengan drama mertuanya. "Akhirnya aku bebas, apa yang
"Ayah, kita ada di mana?" Saat kakinya melangkah pada pintu rumah yang dibuka beberapa pelayan, seketika mereka menundukkan kepalanya, "Selamat datang Pak Hafidz," ucap salah satu kepala pelayan pada Hafidz yang berdiri di samping anaknya. "Terima kasih, tolong kalian siapkan kamar untuk anakku, dia akan tinggal di rumah ini." perintah Hafidz pada kepala pelayan. "Laksanakan Pak Hafidz."Putri melihat ke arah ayahnya, tidak lupa menarik tangan ayahnya agar mau menjawab pertanyaannya. "Ayah, rumah siapa?"Hafidz mendengar pertanyaan anaknya, dia juga kebingungan harus menceritakan dari mana dirinya memulai. "Ini rumah Ayah, rumah kamu juga, sekarang kita berdua tinggal di sini, kamu tidak apa-apa 'kan?"Putri melirik rumah yang dia masuki bersama ayahnya, terlihat berbeda dari rumah yang dia tempati sebelumnya. "Tidak apa-apa, Ayah. Rumah ini besar sekali. Putri suka rumahnya, tidak ada yang berter
"Tidak mau!"Lestari tidak sedikitpun melangkah pergi dari rumah yang menurutnya adalah peninggalan anaknya. "Aku tidak perduli Ibu mau atau tidak, yang aku mau Ibu pergi dari rumahku sekarang."Ditariknya tangan Lestari oleh Hafizah yang tidak bisa sabar terhadap sikap mertuanya selama ini. "Jangan kurang ajar kamu, Hafizah! Aku berhak tinggal di rumah anakku."Masih terus berontak menolak untuk keluar dari rumah, walaupun sebenarnya Lestari sendiri memiliki kecurigaan pada Hamid anaknya yang selalu bisa memberikannya uang, karena Hamid tidak terlihat bekerja sama sekali. "Lepaskan aku!""Pergi sekarang!"Hafizah tetap mau mertuanya pergi dari rumahnya yang seharusnya bisa nyaman dan tenang di dalamnya, rumah yang sudah beberapa tahun ditinggalkannya selama dirinya di dalam penjara. "Jangan coba-coba kamu mengusir aku! Kamu lupa aku bisa melakukan apa saja yang aku mau terhadap kamu? Hukuman akan a
"Hanya kebetulan, di dunia ini nama orang bisa sama, kedua orang tua bebas memberikan nama pada anaknya, bahkan wajah seseorang terkadang sama walaupun kita tidak sedarah."Hafizah mulai berpikir dan melihat Hafidz dari atas sampai bawah, tidak mungkin kalau Hafidz yang dia kenal ini orang kaya. "Dari jawaban kamu aku percaya, aku rasa tidak mungkin kamu seorang pengusaha kaya raya, aku saja yang berlebihan, mungkin memang kalian memiliki wajah dan nama yang sama, hanya kehidupan yang berbeda, atau jangan-jangan pengusaha ini adalah saudara kembar kamu?""Tidak perlu sembarangan bicara lagi, aku tidak mungkin memiliki saudara kembar, karena aku anak tunggal dari keluargaku," balas Hafidz. Hafidz masih berusaha menyembunyikan semua identitasnya di depan Hafizah ataupun semua orang yang ada di rumah, bukan tanpa alasan, tetapi Hafidz tidak mau kalau dirinya akan dimanfaatkan. "Maaf, aku rasa karena tekanan hidupku jadi aku seperti ini, t
"Putri, kamu mau sekolah lagi besok 'kan? Ayah ada acara penting, jadi nanti Ayah kemungkinan tidak bisa menjemput kamu, tapi kamu tenang saja, Ayah akan mengirim seseorang untuk datang menjemput kamu," ucap Hafidz duduk di samping anaknya yang sedang bermain boneka. "Tidak apa-apa Ayah, Putri tau kalau Ayah pasti mau mencari uang untuk kebutuhan Putri. Kalau Tante cantik yang menjemput Putri, bagaimana Ayah?" tanyanya menatap mata ayahnya yang sendu akibat kesedihan yang dipendam sendiri. Hafidz meraih tangan anaknya yang mungil, dia mengecupnya lembut penuh kasih sayang, ditatapnya mata anaknya yang ingin dipenuhi keinginannya. "Maafkan Ayah, untuk kali ini Ayah tidak mungkin memaksa Tante Hafizah untuk menjemput kamu. Tante Hafizah sibuk di rumah membersihkan semuanya, nanti Tante Hafizah bisa dimarahi Nenek kalau pergi sembarangan. Jadi kamu harus memahami itu semua, kamu tau bagaimana Nenek 'kan?""Baiklah Ayah, Putri mengerti. Nenek memil
"Tenanglah, aku akan menolong kamu," ucap Hafidz mendekati Hafizah yang hampir tidak sadarkan diri. Hafizah tersenyum setelah tangan dan kakinya dilepaskan oleh penolongnya, tidak pernah dibayangkannya kalau Hafidz berani melepaskan dirinya dari hukuman mertuanya . "Hafidz, bagaimana Ibu?""Sudahlah jangan bicara tentang Ibu, aku harus bersembunyi dulu," jawab Hafidz sudah melepaskan semua ikatan Hafizah. "Kenapa bersembunyi?""Karena aku telah memukul Ibu Lestari dengan kayu yang ada di kamarmu, jadi sekarang kita harus bersembunyi sebelum Ibu memaki kita berdua."Hafizah menahan tawanya, ternyata Hafidz lebih berani daripada yang dipikirkannya, tentu laki-laki semacam ini adalah idaman wanita-wanita di luar sana. "Jadi menurutmu ini lucu, Hafizah?""Tidak, aku tidak bilang ini lucu, maaf kalau aku menertawakan perbuatanmu ke Ibu, aku seharusnya berterima kasih sama kamu, karena telah menolong aku."Hafidz membantu Hafizah berdiri untuk berjalan, tetapi Hafizah kesulitan karena l