Irana duduk di kasur menemani Rara. Terakhir bertemu, Rara masih mengenakan seragam SMA. Dikira putrinya akan pulang dengan seragam penuh coretan untuk merayakan kelulusan. Walau bukan contoh yang baik, setidaknya itu jauh lebih baik di mata Irana ketimbang memberikan kabar bahwa Rara hamil. Abimanyu, pria yang waktu itu datang ke rumah Rara, langsung mendapatkan tamparan. Irana pelakunya. Sementara Dio hanya mampu diam seraya menelan kekecewaan besar.
Waktu berjalan terlampau cepat bagi keluarga Wijaya. Putri dari Irana kini sudah memiliki putri kecilnya sendiri. Mereka sempat canggung sebelum Rara menyerahkan bayinya untuk digendong Irana. Dapat terlihat mata Irana penuh genangan air mata.
"Mama udah jadi nenek, Ra." Tutur Irana, terpikat. Cantik, persis Rara sewaktu bayi. "Udah dikasih nama belum?"
Rara menggeleng, "Belum, Ma."
"Abi gimana? Udah punya referensi nama?" Irana menoleh kepada menantunya. Sedari tadi Abi berdiri bersama Dio. Mereka tidak bicara satu sama lain. Jujur saja Irana belum sepenuhnya memaafkan perbuatan Abi kepada Rara, tapi akan Irana coba.
"Sama, Bu. Belum. Nanti saya akan rundingkan lagi dengan Rara." Jawab Abi.
"Kalau bisa segera. Biar cepat didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil untuk dibuatkan akta lahir."
Selanjutnya giliran Dio yang berbicara, "Papa akan pindahkan kamu ke ruang VIP. Di sini terlalu berisik. Nggak bagus buat kamu."
"Pa..." Rara bersuara tidak suka, dan Abi hanya bisa termenung menatap lantai. Dia sudah hapal betul jika Abi akan bereaksi demikian. Memang Abi memilih kelas 2, dan ada satu keluarga lain di kamar ini, tapi sungguh Rara baik-baik saja. Terlebih dia paham, biaya persalinan caesar cukup mahal. Rara tidak mau membebani suaminya lebih jauh lagi.
"Dan kamu ikut saya keluar." Kata Dio tegas. Abimanyu pun berjalan mengikuti. Mereka berbicara di luar kamar Rara, mengamati hari yang sudah gelap. "Rokok?"
"Saya sudah berhenti merokok, Pak. Terima kasih."
"Tapi tidak bisa menghentikan nafsu dan menghamili anak saya, begitu?" Sindir Dio.
Kerongkongan Abi tentu tercekat. "M-maaf, Pak."
Satu pack rokok yang dibawa Dio dikembalikan ke saku celananya. Dio juga tidak merokok. Dia sebatas ingin tahu Abi bagaimana. Watak, sikap, dan lain sebagainya. Dan Dio dari kemarin sudah mengerti sedikit bahwa menantunya ini kurang suka dianggap remeh atau istilahnya egonya besar.
"Ini untuk biaya operasi caesar Rara." Dio memberikan satu lembar cek dengan nominal nol yang banyak. Abi bersiap menolak (lagi). "Saya tidak memberi secara cuma-cuma. Kamu harus membayar kembali uang ini. Kamu berhutang kepada saya." Jelas Dio. Ini satu-satunya cara agar Abi berkenan menerima uluran Dio.
"Tapi, Pak..."
"Saya paham Rara sudah bukan tanggungjawab saya lagi. Anggap ini untuk cucu pertama saya. Saya bukan hanya Ayah dari Rara saja sekarang, melainkan juga seorang Kakek."
Abi terlihat menimbang-nimbang. Walau keenggananlah yang dirasa lebih besar.
"Tapi ada satu syarat, Pak. Ini akan jadi bantuan pertama dan terakhir. Setelahnya saya akan menghidupi Rara dan cucu Bapak dengan cara saya sendiri. Dan saya pastikan akan segera melunasi hutang ini."
Penilaian Dio memang benar adanya. Egois seorang Abimanyu itu besar.
*****
Ibu Abimanyu bernama Tia Yuliawati. Tia berangkat subuh bersama ipar-ipar Abimanyu yang kebetulan menetap di Bandung. Mereka menaiki dua rombongan mobil dan tiba di rumah sakit pukul 9 pagi. Iring-iringan mereka membawa buah tangan beserta omongan yang pedas, seperti:
"Ai istri kamu kunaon lahiranna caesar?" (Istri kamu kenapa lahirannya caesar)
"Dia kurang ngeden, ya? Atau kurang iman?"
"Larasati, kamu harusnya banyak olahraga. Banyak gerak. Alhasil kami semua bisa melahirkan normal."
"Belum jadi Ibu sepenuhnya kalau belum lahiran secara normal. Leres kan, Bu?" (Benar kan, Bu?)
Hati Rara sakit bukan main mendengar semua kalimat-kalimat itu, terlebih yang terakhir. Luka Rara bahkan belum pulih benar karena operasi semalam, ini sudah harus menerima luka baru. Abimanyu menggenggam tangan Rara. Genggaman itupun terasa lebih kencang ketika Tia membenarkan pertanyaan nyeleneh dari salah satu Ipar Abi.
"Leres (benar). Perempuan jaman sekarang mah manja-manja. Jaman dulu mana ada sok yang namanya sesar."
"Ibu!" Abi memekik, yang langsung disambut gelengan kecil Rara. Rara tidak mau memperkeruh suasana, apalagi sampai ada pertengkaran keluarga. Ibu dan Ipar-Ipar Abi sudah jauh-jauh datang kemari, masa mereka harus berakhir dengan adu mulut. Lagipula niatan mereka baik, yaitu menjenguk Rara dan si kecil.
"Kenapa, Abi? Ibu bicara jujur apa adanya. Apalagi caesar teh mahal. Ibu cuma kasihan sama kamu."
"Abi udah ada uang. Ibu nggak perlu masalahin hal itu. Yang penting Rara dan si kecil sehat."
Kini kakak Ipar yang lain bersuara. "Larasati pas hamil suka ngaji nggak sih, Bi?"
Astagfirullah, apalagi sekarang? Batin Abi dongkol sekali. Dia tak bisa membayangkan sesedih apa perasaan istrinya. Terlebih selepas si kecil dikembalikan ke ruang bayi bersama suster, Rara cuma tersenyum tipis di atas kasur. Sesekali mengangguk atau menggeleng saja. Jika tahu akan begini, mana mungkin Abi izinkan pihak dari Bandung datang. Bukan menjenguk namanya, ini lebih ke menyakiti Rara secara mental.
"Saya sama Rara rajin ngaji." Abi langsung memberikan pembenaran.
"Bagus atuh. Selain nambah pahala, konon ngaji juga bagus biar bayi tenang. Tapi kenapa ya dia tetep nggak bisa lahiran normal?"
Rara pun menarik kesimpulan. Ini adalah salahnya yang tidak mampu melahirkan secara normal. Jadi apakah Rara tidak pantas disebut sebagai seorang Ibu?
Jae punya dua sahabat dekat, mereka adalah Darwin Mahendra dan Putra Ilyas. Mereka 3 serangkainya Bakti Persada, sebutannya yaitu SKY. SKY karena mereka memiliki tubuh tinggi menjulang dan tidak seperti murid SMA kebanyakan. Jangan lupakan jika ketiganya juga tampan, apalagi Darwin yang paling sering bikin kaum cewek klepek-klepek nan histeris. Namun beberapa bulan terakhir geng SKY gugur 1, alias pindah sekolah. Dia adalah Darwin. Sekalipun begitu nongki-nongki tetaplah hal wajib.Seperti malam itu misalnya. Mereka bertiga sedang asik cuci mata di daerah Kemang. Satnite alias Saturday Night ceritanya. Entah kenapa juga ketiganya anteng menjomblo bersama. Pun tiba-tiba masuklah whatsapp beruntun ke ponsel Jae.Abang Abi: Jae, Rara lahiran. Kamu ce
Abi menyewa sebuah rumah sederhana. Setelah dikalkulasi biaya rumah sakit Rara selama satu minggu, cek pinjaman dari Dio masih berlebih. Abi pun putuskan angkat kaki dari tempat kosan. Bukannya tidak boleh tiga anggota keluarga menempati kosan tersebut, Abi hanya ingin Rara lebih leluasa. Istri dan anaknya perlu tempat yang layak."Mas, barang dari kosan udah diangkut semua?"Memakaikan baju untuk Airin, Rara bertanya. Abi mengusulkan nama Airin, dan Rara pun suka. Jadilah mereka sepakat menamai si kecil dengan Airin Humaira Wicaksono."Udah, Ra." Jawab Abi. Dirinya sedang memasukan pakaian Rara ke dalam tas. Rara sudah diperbolehkan pulang dan mereka tengah bersiap. Rencananya hari ini akan langsung menempati rumah baru."Kapan mas b
"Jaitan lo gimana? Gue bayanginnya ngilu sendiri."Jasmine Putri, mengambil toples cookies dari ruang tamu dan langsung melahapnya. Satu-satunya teman dekat Rara ini datang berkunjung. Jasmine sudah mulai disibukan dengan dunia perkuliahan. Sejak dulu dia bercita-cita menjadi Diplomat untuk Inggris, biar gampang pedekate sama bule-bule British. Dan sekarang Jasmine berhasil masuk ke jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas swasta. Rara bangga dan... sedikit iri.Seperti apa sih rasanya berkuliah?"Udah lumayan kering, tapi masih sakit." Rara menyodorkan segelas sirup. "Lusa paling gue ke rumah sakit lagi buat lepas jaitan."Airin telelap di kasur yang sengaja digelar di ruang tengah. Ditutupi kelambu cantik be
Pagi pertama sejak kedatangan Tia, dan Larasati Wijaya sudah stres berat.Dia dibangunkan paksa oleh suara panci yang seperti sengaja dibuat beradu. Beruntung Airin yang tertidur di sampingnya tidak terusik. Tanpa mencuci muka apalagi sikat gigi, Rara bergegas ke arah dapur. Ada Tia di sana yang sedang mencuci piring sambil mendumel sendiri dalam bahasa daerah."Geus jam sakieu can wae hudang! Karunya pisan Abi boga istri kawas si Rara!" (Udah jam segini, tapi belum bangun juga! Kasian Abi punya istri kayak si Rara!)Bisa dipastikan Rara tidak paham apa artinya, namun dia sadar bahwa ibu mertuanya tengah marah. Apalagi namanya disebut-sebut, jelas ini bukan pertanda bagus."Maaf, Bu. Rara bangunnya telat." Hendak membuka pintu kulkas,
Rara bangun pukul 4 pagi. Dia tidur dengan perasaan tak tenang karena takut kesiangan. Perlahan Rara menaruh guling kecil di samping Airin. Walau Abi tidur disebelah Airin, suaminya masih lelap tertidur. Tentu saja, semalaman Abi mencari apotek yang masih buka untuk menyembuhkan alergi Rara. Abi tidak percaya dengan obat yang istrinya miliki, takutnya memiliki efek samping yang macam-macam. Jadi Abi dengan segenap usahanya mencari obat terbaik.Pun dikecuplah dahi Airin, lalu Abi.Rara berniat membuat sarapan dengan menu ikan bumbu acar kuning dan perkedel kentang. Agak keterlaluan memang berkutat di dapur sepagi ini, tapi inilah yang Rara lakukan sekarang. Handphonenya memutarkan video tutorial selagi dia menggigit bibir. Tak lupa dahinya dikerutkan. Dia ulang satu kali. Dua kali. Tiga kali.Nggg... kok agak ngeri?Oke, mari coba dulu.Di tengah geraknya yang terbatas akibat
Rara tidak mau bertindak implusif dengan melabrak atau semacamnya. Dia mencoba berpikiran positif, bahwa yang dilihatnya siang tadi adalah hal wajar. Pasalnya wanita itu mengenakan seragam kantor. Mereka pasti rekan kerja, dan buku yang dibeli oleh wanita itu sudah tentu untuk pria lain. Ya, tebakannya pasti benar. Penggemar karya Gibran Effendi sudah meluas dan bukan hanya Abi saja.Tapi... kenapa suaminya tadi harus sampai bohong saat Rara tanya sedang ada di mana? Jujur bisa, kan?"Mbak Rara, makasih loh. Si kecil nyemilin terus."Tetangga sebelah datang ke rumah guna mengembalikan wadah puding. Kemarin dia sengaja bikin banyak puding untuk bagi-bagi ke tetangga sekitar. Bagaimana pun juga Rara dan Abi adalah pendatang, dan lumayan sebagai tanda perkenalan biar ada silaturahmi."Kakaknya Mbak Rara mana, nih?" Tanya ibu itu sambil kepalanya celingak-celinguk ke dalam rumahnya.Hah? Kakak?
Satu bulan yang lalu Abimanyu dipecat dari kantor tempatnya bekerja. Pihak HRD transparan bilang mereka kurang nyaman dengan rumor yang beredar di lingkungan kantor. Mereka tahu dulu Abi adalah seorang guru yang menghamili salah satu murid didiknya. Memalukan, tapi Abi bisa apa. Ingin mengelak demi menghidupi Rara dan calon bayi mereka pun tetap dirasa keliru. Jadi, dia mencoba legowo.Marine Ardiansyah, mantan tunangan Abi, entah ada angin apa menghubunginya di siang itu. Abi tengah mengisi perut di salah satu rumah makan karena lelah setelah memasukan CV ke banyak perusahaan. Dengan enggan Abi menerima panggilan itu."Ada perlu apa kamu hubungin saya?" Tanya Abi tanpa basa-basi."Ya ampun, ini beneran Mas Abi!"Sambungan pun dimatik
Aksi ngambek Rara berlanjut di keesokan pagi. Wajah Rara masam sekali. Bahkan dia terus menghindar saat Abi membombardir dengan pertanyaan ini itu."Apa sih pegang-pegang?" Kesal Rara begitu akan menjemur pakaian. Tangan kecil itu dipegang Abi dan Rara segera menepisnya."Biar mas bantu.""Ambil langsung itu di ember. Nggak usah pake acara sentuh-sentuhan."Memang Rara kalau sedang ngambek mudah meledak. Beruntung Tia tidak ada di rumah. Ibu mertuanya pergi ke tempat katering dan Rara harap Tia pergi cukup lama. Sebut Rara kekanak-kanakan karena kini dua orang dewasa di rumah ini membuatnya stres. Yang mengerti Rara cuma Airin dan ----"Rara! Anak lo eek!"Suara cempreng Jasmine dari arah dalam terdengar panik. Ya, hanya Airin dan sahabat semprulnya."Kan pake popok! Gapapa!" Sahut Rara sambil menggantung baju di jemuran."Ih tapi kentutnya gede banget! Gimana ini?""Sebentar. Nanggung nih!""Okay!"Kemudia
"Serius gini doang nggak bisa?" Cibir Rara. Padahal soal ekonomi dari buku paket milik Jae ini, berhasil membuat dirinya migren alias pusing 7 keliling."Emang lo bisa haa?!" Senga Jae."Hahaha ya jelas nggaklah! Lagian kalau gue bisa, ogah juga gue jelasin ke lo. Buang-buang waktu!" Jawab Rahee sambil melingkarkan tangannya pada pinggang Abi. Dia ndusel-ndusel di bahu kokoh itu, sementara sang suami hanya mampu menggelengkan kepala. Sungguh kakak-beradik ini memang sulit bicara tanpa perlu pakai urat. Selalu saja saling ngegas. "Mas, kita bobo aja yuk nemenin Airin. Biarin Jae pusing sendiri.""Bang, gue besok uts." Ujar Jae dengan raut wajah memelas."Makanya jangan main basket terus. Lagian Mas Abi pernahnya ngajar bimbingan konseling, bukan mapel ekonomi.""Gapapa, Ra. Mas kayaknya masih inget beberapa sub bahasannya."Ugh, Rara kalau gini jadi tambah gemas. Kenapa suaminya harus serba bisa? Padahal tadi usai maaf-maafan, Rara harap mere
Sore hari tiba.Rara sedang makan keripik ketika Abi memasuki rumah utama. Ingin berlari ke kamar tentu terlambat. Selain karena Airin tengah anteng di pangkuannya, Abi juga sudah terlanjur melihat sosok dirinya yang kumal. Maklum, baru kena air saat siang tadi kelelep di kolam renang. Jadi dia lanjutkan saja sesi ngemil, dan berusaha cuek."Cium tangan suaminya kek. Jangan masuk list calon-calon istri durhaka." Jae yang tadi membukakan pintu untuk Abi, kini berjalan melewati keduanya sambil menyindir sang kakak.Kontan Rara memincingkan mata. "Lo mau dihapus dari Kartu Keluarga? Mau gue aduin?"Jae langsung ngibrit pergi. Dalam hati Rara tertawa puas. Ada untungnya dia jatuh ke kolam renang, terbukti Rara jadi punya kartu agar Jae tidak asal bicara lagi.Pun perlahan Rara menarik tangan kanan sang suami. Cup. Sama halnya dengan tangan mungil Airin yang juga Rara arahkan untuk mencium punggung tangan Abi. Abi tersenyum senang, sambil membelai rambu
"Hei, jangan ngelamun."Rara menoleh ke sumber suara. Pria berseragam SMA itu datang, bergabung bersama Rara yang duduk santai di pingir kolam renang. Darwin melipat ujung celana abu-abunya, meniru Rara memasukan kakinya ke air."Loh, itu celana lo basah." Seru Rara, tahu usaha Darwin melipat celananya berakhir sia-sia. Sedengkul sudah air membasahi celana pria tersebut."Gampang, nanti tinggal pinjem punya Jae.""Terus kenapa dilipet segala? Buang-buang tenaga." Rara menggelengkan kepala, lalu ujung bibirnya tertarik ke atas, tergelak singkat. Memang Darwin satu spesies dengan adiknya, sama-sama aneh."Biar lo ketawa, Ra. Dari tadi gue perhatiin lo cemberut terus."
"Istri kamu kemana? Dari kemarin pergi sama temennya yang namanya Jasmine, dan sampai sekarang nggak pulang-pulang." Kalimat Tia meluncur begitu Abi datang sambil menyeka keringat. Semalaman Abi susah tidur, merasa aneh karena Rara tidak ada di sampingnya. Padahal ini baru satu hari, tapi Abi sudah seperti kehilangan arah. Sehingga pagi-pagi buta Abi memilih jogging disekitar komplek selama satu jam penuh."Rara nginep di rumah orang tuanya." Jawab Abi setelah meminum segelas air mineral."Jangan terlalu manjain istri kamu. Lihat, dia jadi seenaknya sendiri. Masa sudah berkeluarga, masih numpang tidur di sana. Apa kata tetangga nanti?" Ujar Tia seiring membuat teh hangat dalam wadah jar."Gapapa, bu. Rara juga sudah lama nggak mampir ke rumah utama. Pasti kangen mama papanya.""Makanya kamu jangan nikahin anak kecil kayak dia. Sudah manja, nggak bisa kerjain pekerjaan rumah lagi. Repot sendiri, kan?" Sindir Tia, lalu menaruh cangkir teh tepat di depan putrany
Sudah lama Rara tidak menginjakan kaki di rumah utama. Terakhir yaitu saat datang bersama Abi, memberi tahu pada kedua orang tuanya bahwa dirinya hamil dan berakhir dengan diusir. Kini dia kembali bersama putri kecilnya. Terasa aneh begitu Rara memasuki kamarnya, karena semua tetap sama, sementara dirinya telah mengalami banyak perubahan. Menjadi ibu sekaligus istri di usianya yang bahkan belum memasuki kepala 2. Hidupnya persis permainan roller coaster."Sayang, kamarnya mau mama dekor ulang?" Inisiatif Irana. "Atau kamu mau beli furniture baru? Wallpaper baru? Nanti mama atur semua.""Aku cuma nginep sehari, ma." Geleng Rara lemah. "Makasih udah bolehin aku pulang ke rumah ya, ma.""Jangan bilang gitu. Ini kan rumah kamu juga. Kamu bebas ke sini kapanpun." Irana agaknya lupa kalau kedatangan Rara bukanlah untuk liburan, melainkan akibat sedang selisih paham dengan Abi. Rara bukanlah anak kecil lagi, dia sudah menjadi istri orang. Beberapa saat yang lalu Irana
Dio, ayah dari Larasati Wijaya, baru saja selesai meeting dengan kliennya di gedung FWC. Kumpulan orang di lobby membuat fokusnya teralihkan. Semula dia tak terlalu ambil pusing, namun setelah melihat sosok yang ditandu oleh tim paramedis, Dio berhasil bergeming di tempat. Pria berkacamata itu segera berlari tergesa-gesa. Kenapa Rara bisa di sini? Dan apabila dilihat sekilas Rara jelas mengalami serangan panik lagi! Astaga, dunia Dio langsung runtuh!"Maaf, pak. Hanya yang berkepentingan yang dapat menemani pasien." Tahan seorang tim paramedis ketika Dio akan ikut naik ke ambulance."Saya ayahnya Rara. Dia putri saya."Pun sirene ambulance membelah jalanan siang Jakarta yang padat. Ketika orang-orang mulai berjubel keluar untuk mencari makan siang, di sini ada Dio yang terus memegang erat tangan Rara dengan perasaaan teriris. Kesadaran Rara masih terjaga, tapi sulit bernapas dan harus terhubung dengan bantuan oksigen. Sementara bagian paramedis mengecek tekanan
Rara coba telpon Abi. Satu kali. Dua kali. Tidak ada jawaban. Mine sebelumnya turun dari mobil untuk bertanya tentang tempat kerja baru Abi kepada security. Hasilnya nihil. Dengan pikiran semrawut Rara mencari kontak yang sekiranya dapat dihubungi, namun baru beberapa detik berselang, dia terdiam. Rara tidak kenal satupun teman Abi. Serenggang ini kah hubungan mereka?"Kenapa kamu tanya ke ibu? Bukannya kamu yang harusnya lebih tahu?" Kalimat Tia di ujung ponselnya terdengar. Ya, dengan nekat Rara bertanya pada sang mertua. Sungguh dia tak memiliki pilihan lain untuk menjawab rasa penasarannya."Rara lupa nama perusahaan Mas Abi yang baru, bu. Ini Rara mau nyusul ke sana. Kasian bekal makan siangnya ketinggalan.""Bukan ketinggalan, tapi sengaja. Toh bekal yang kamu buat nggak pantas dimakan." Tanpa sadar, Rara mencengkram ponselnya kuat-kuat. "Abi kerja di FWC bareng mantan tunangannya. Sudah kamu nggak usah anter ke sana. Biarin Abi lepas rindu sama Marine."
Bahagianya Rara adalah perkara mudah. Contohnya saja soal makanan. Abi tak hanya membelikan Rara martabak asin plus manis, tapi juga sushi. Iya, sebelum mengantar Marine pulang, mereka makan malam bersama di restoran tersebut."Mas, bener nggak mau?""Iya, mas udah makan di luar." Jawab Abi, mulai membuka kancing kemejanya."Sama siapa?"Abi menelan air liurnya susah payah dan seketika merasa bersalah. "Temen kerja. Gimana enak, Ra?" Langsung Abi yang balik bertanya, takutnya Rara mengajukan pertanyaan macam-macam. Abi menemukan istrinya tahu-tahu sudah duduk bersila di lantai kamar dan terlihat lahap."BANGET. Dulu pas sekolah aku sering ke tempat sushi ini sama Mine." Antusias Rara sambil mengigit ujung sumpit, sesenang itu. "Oh ya, kenapa chat aku yang bahas film azab nggak dibales-bales? Aku kan bukan koran, masa chatnya dibaca doang.""Tenggelam, Ra.""Pin makanya. Biar chat dari aku ada di atas.""Nggak ngerti. Lagian kamu juga u
Abi baru saja bersantai di kubikelnya seusai beres dengan berbagai kerjaan. Sejak pagi hingga pukul 7, dia disibukkan dengan tampilan excel dan macam-macam angka. Memang ini hari pertamanya bekerja di tempat baru dan ada perkenalan singkat dengan karyawan lain, namun setelahnya jadwalnya padat. Pun Abi mengeluarkan ponselnya untuk mengabari Rara. Belum sempat bertanya Rara ingin martabak asin atau manis, Abi ternyata sudah menerima banyak chat dari sang istri. Ada 25 chat yang tenggelam. Astagfirullah. Ini sih bisa-bisa Abi kena amuk.Larasati Wijaya:-Mas, pernah nonton film azab? Judulnya mertua jahat pada menantu, liang lahatnya menyempit.-Mertuanya nampar si menantu-Padahal menantunya baik. Ya... walaupun nggak sempurna-sempurna amat. Masakannya kurang enak, bangunnya kadang siang, tapi dia mau belajar.-Mas? Ih dicuekin :(-Aku VN aja. Capek ngetik.Lalu Abi dengarkan satu persatu pesan suara itu. Tak jarang, Abi terkekeh selagi merap