Aksi ngambek Rara berlanjut di keesokan pagi. Wajah Rara masam sekali. Bahkan dia terus menghindar saat Abi membombardir dengan pertanyaan ini itu.
"Apa sih pegang-pegang?" Kesal Rara begitu akan menjemur pakaian. Tangan kecil itu dipegang Abi dan Rara segera menepisnya.
"Biar mas bantu."
"Ambil langsung itu di ember. Nggak usah pake acara sentuh-sentuhan."
Memang Rara kalau sedang ngambek mudah meledak. Beruntung Tia tidak ada di rumah. Ibu mertuanya pergi ke tempat katering dan Rara harap Tia pergi cukup lama. Sebut Rara kekanak-kanakan karena kini dua orang dewasa di rumah ini membuatnya stres. Yang mengerti Rara cuma Airin dan ----
"Rara! Anak lo eek!"
Suara cempreng Jasmine dari arah dalam terdengar panik. Ya, hanya Airin dan sahabat semprulnya.
"Kan pake popok! Gapapa!" Sahut Rara sambil menggantung baju di jemuran.
"Ih tapi kentutnya gede banget! Gimana ini?"
"Sebentar. Nanggung nih!"
"Okay!"
Kemudia
Darwin pulang dalam keadaan babak belur. Dia tak sempat diobati lantaran Abi sulit dikendalikan. Sekalinya berhasil dilerai, Abi lagi-lagi malah menghajar mantan muridnya tersebut. Kini Abi terduduk di ruang tengah, disidang oleh Dio yang mengawasi dari balik bingkai kacamatanya. Setelah Putra dan Mine ikut pulang bersama Darwin, kini menyisakan anggota keluarga Wijaya dan sang menantu saja."Coba jelaskan baik-baik. Kenapa kamu pukul teman Rara?" Tanya Dio untuk ke tiga kalinya.Kedua tangan Abi masih mengepal di atas paha, emosinya belum surut sama sekali. Rara dan Irana yang berdiri di depan pintu kamar terlihat gelisah. Untungnya Airin sudah dibawa Jae keluar rumah, menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Bukan berharap ada pertengkaran jilid 2, masalahnya Abi terus menunduk dan tidak menggubris pertanyaan Dio.
"Siapa yang mukul kamu sampai gini?!"Darwin Mahendra bergegas menaiki anak tangga dan mengabaikan pertanyaan Ivanka, sang Ibu. Di kamarnya, Darwin langsung membanting tubuhnya ke kasur. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar mewahnya, seiring pikirannya melayang pada peristiwa 10 bulan lalu saat dia mencumbu bibir ranum Rara."Sialan." Ujarnya, merasakan ujung bibirnya nyeri. Ah pantas saja. Ternyata berdarah."Darwin, cerita ke mami." Ivanka terus mengetuk pintu kamar Darwin, menuntut penjelasan panjang lebar. "Apa kamu digangguin sama anak-anak dari sekolah baru? Kamu dihajar mereka?""Bukan apa-apa. Cuma jatuh." Sahut Darwin, kemudian mulai memejamkan mata. Sosok Larasati Wijaya menjadi hal pertama yang selalu dia bayangkan. 10
"Ra, kaus kaki udah kering? Kenapa di lemari nggak ada?""Ada di deket daleman.""Kemeja saya kok lecek gini?""Aku udah setrikain seragam kantor, kan biasanya senin pake itu. Kenapa hari ini ujug-ujug pake kemeja?"Itulah sepenggal keriweuhan antara Abi dan Rara di senin pagi. Abi pun berlari ke jemuran dengan misi mencari kaus kaki. Sementara Rara sempatkan menyuapi sang suami dengan ceplok telur, sebelum berjalan ke lemari kamar. Semalam mereka lupa waktu lantaran bermesraan seperti pengantin baru. Rara menjalankan kewajibannya sebagai istri. Sekalipun masih masa nifas dan belum bisa ke inti permainan, dia sebisa mungkin memenuhi ingin Abi dengan cara berbeda. Uhuy."Mas, udah berapa k
Abi baru saja bersantai di kubikelnya seusai beres dengan berbagai kerjaan. Sejak pagi hingga pukul 7, dia disibukkan dengan tampilan excel dan macam-macam angka. Memang ini hari pertamanya bekerja di tempat baru dan ada perkenalan singkat dengan karyawan lain, namun setelahnya jadwalnya padat. Pun Abi mengeluarkan ponselnya untuk mengabari Rara. Belum sempat bertanya Rara ingin martabak asin atau manis, Abi ternyata sudah menerima banyak chat dari sang istri. Ada 25 chat yang tenggelam. Astagfirullah. Ini sih bisa-bisa Abi kena amuk.Larasati Wijaya:-Mas, pernah nonton film azab? Judulnya mertua jahat pada menantu, liang lahatnya menyempit.-Mertuanya nampar si menantu-Padahal menantunya baik. Ya... walaupun nggak sempurna-sempurna amat. Masakannya kurang enak, bangunnya kadang siang, tapi dia mau belajar.-Mas? Ih dicuekin :(-Aku VN aja. Capek ngetik.Lalu Abi dengarkan satu persatu pesan suara itu. Tak jarang, Abi terkekeh selagi merap
Bahagianya Rara adalah perkara mudah. Contohnya saja soal makanan. Abi tak hanya membelikan Rara martabak asin plus manis, tapi juga sushi. Iya, sebelum mengantar Marine pulang, mereka makan malam bersama di restoran tersebut."Mas, bener nggak mau?""Iya, mas udah makan di luar." Jawab Abi, mulai membuka kancing kemejanya."Sama siapa?"Abi menelan air liurnya susah payah dan seketika merasa bersalah. "Temen kerja. Gimana enak, Ra?" Langsung Abi yang balik bertanya, takutnya Rara mengajukan pertanyaan macam-macam. Abi menemukan istrinya tahu-tahu sudah duduk bersila di lantai kamar dan terlihat lahap."BANGET. Dulu pas sekolah aku sering ke tempat sushi ini sama Mine." Antusias Rara sambil mengigit ujung sumpit, sesenang itu. "Oh ya, kenapa chat aku yang bahas film azab nggak dibales-bales? Aku kan bukan koran, masa chatnya dibaca doang.""Tenggelam, Ra.""Pin makanya. Biar chat dari aku ada di atas.""Nggak ngerti. Lagian kamu juga u
Rara coba telpon Abi. Satu kali. Dua kali. Tidak ada jawaban. Mine sebelumnya turun dari mobil untuk bertanya tentang tempat kerja baru Abi kepada security. Hasilnya nihil. Dengan pikiran semrawut Rara mencari kontak yang sekiranya dapat dihubungi, namun baru beberapa detik berselang, dia terdiam. Rara tidak kenal satupun teman Abi. Serenggang ini kah hubungan mereka?"Kenapa kamu tanya ke ibu? Bukannya kamu yang harusnya lebih tahu?" Kalimat Tia di ujung ponselnya terdengar. Ya, dengan nekat Rara bertanya pada sang mertua. Sungguh dia tak memiliki pilihan lain untuk menjawab rasa penasarannya."Rara lupa nama perusahaan Mas Abi yang baru, bu. Ini Rara mau nyusul ke sana. Kasian bekal makan siangnya ketinggalan.""Bukan ketinggalan, tapi sengaja. Toh bekal yang kamu buat nggak pantas dimakan." Tanpa sadar, Rara mencengkram ponselnya kuat-kuat. "Abi kerja di FWC bareng mantan tunangannya. Sudah kamu nggak usah anter ke sana. Biarin Abi lepas rindu sama Marine."
Dio, ayah dari Larasati Wijaya, baru saja selesai meeting dengan kliennya di gedung FWC. Kumpulan orang di lobby membuat fokusnya teralihkan. Semula dia tak terlalu ambil pusing, namun setelah melihat sosok yang ditandu oleh tim paramedis, Dio berhasil bergeming di tempat. Pria berkacamata itu segera berlari tergesa-gesa. Kenapa Rara bisa di sini? Dan apabila dilihat sekilas Rara jelas mengalami serangan panik lagi! Astaga, dunia Dio langsung runtuh!"Maaf, pak. Hanya yang berkepentingan yang dapat menemani pasien." Tahan seorang tim paramedis ketika Dio akan ikut naik ke ambulance."Saya ayahnya Rara. Dia putri saya."Pun sirene ambulance membelah jalanan siang Jakarta yang padat. Ketika orang-orang mulai berjubel keluar untuk mencari makan siang, di sini ada Dio yang terus memegang erat tangan Rara dengan perasaaan teriris. Kesadaran Rara masih terjaga, tapi sulit bernapas dan harus terhubung dengan bantuan oksigen. Sementara bagian paramedis mengecek tekanan
Sudah lama Rara tidak menginjakan kaki di rumah utama. Terakhir yaitu saat datang bersama Abi, memberi tahu pada kedua orang tuanya bahwa dirinya hamil dan berakhir dengan diusir. Kini dia kembali bersama putri kecilnya. Terasa aneh begitu Rara memasuki kamarnya, karena semua tetap sama, sementara dirinya telah mengalami banyak perubahan. Menjadi ibu sekaligus istri di usianya yang bahkan belum memasuki kepala 2. Hidupnya persis permainan roller coaster."Sayang, kamarnya mau mama dekor ulang?" Inisiatif Irana. "Atau kamu mau beli furniture baru? Wallpaper baru? Nanti mama atur semua.""Aku cuma nginep sehari, ma." Geleng Rara lemah. "Makasih udah bolehin aku pulang ke rumah ya, ma.""Jangan bilang gitu. Ini kan rumah kamu juga. Kamu bebas ke sini kapanpun." Irana agaknya lupa kalau kedatangan Rara bukanlah untuk liburan, melainkan akibat sedang selisih paham dengan Abi. Rara bukanlah anak kecil lagi, dia sudah menjadi istri orang. Beberapa saat yang lalu Irana
"Serius gini doang nggak bisa?" Cibir Rara. Padahal soal ekonomi dari buku paket milik Jae ini, berhasil membuat dirinya migren alias pusing 7 keliling."Emang lo bisa haa?!" Senga Jae."Hahaha ya jelas nggaklah! Lagian kalau gue bisa, ogah juga gue jelasin ke lo. Buang-buang waktu!" Jawab Rahee sambil melingkarkan tangannya pada pinggang Abi. Dia ndusel-ndusel di bahu kokoh itu, sementara sang suami hanya mampu menggelengkan kepala. Sungguh kakak-beradik ini memang sulit bicara tanpa perlu pakai urat. Selalu saja saling ngegas. "Mas, kita bobo aja yuk nemenin Airin. Biarin Jae pusing sendiri.""Bang, gue besok uts." Ujar Jae dengan raut wajah memelas."Makanya jangan main basket terus. Lagian Mas Abi pernahnya ngajar bimbingan konseling, bukan mapel ekonomi.""Gapapa, Ra. Mas kayaknya masih inget beberapa sub bahasannya."Ugh, Rara kalau gini jadi tambah gemas. Kenapa suaminya harus serba bisa? Padahal tadi usai maaf-maafan, Rara harap mere
Sore hari tiba.Rara sedang makan keripik ketika Abi memasuki rumah utama. Ingin berlari ke kamar tentu terlambat. Selain karena Airin tengah anteng di pangkuannya, Abi juga sudah terlanjur melihat sosok dirinya yang kumal. Maklum, baru kena air saat siang tadi kelelep di kolam renang. Jadi dia lanjutkan saja sesi ngemil, dan berusaha cuek."Cium tangan suaminya kek. Jangan masuk list calon-calon istri durhaka." Jae yang tadi membukakan pintu untuk Abi, kini berjalan melewati keduanya sambil menyindir sang kakak.Kontan Rara memincingkan mata. "Lo mau dihapus dari Kartu Keluarga? Mau gue aduin?"Jae langsung ngibrit pergi. Dalam hati Rara tertawa puas. Ada untungnya dia jatuh ke kolam renang, terbukti Rara jadi punya kartu agar Jae tidak asal bicara lagi.Pun perlahan Rara menarik tangan kanan sang suami. Cup. Sama halnya dengan tangan mungil Airin yang juga Rara arahkan untuk mencium punggung tangan Abi. Abi tersenyum senang, sambil membelai rambu
"Hei, jangan ngelamun."Rara menoleh ke sumber suara. Pria berseragam SMA itu datang, bergabung bersama Rara yang duduk santai di pingir kolam renang. Darwin melipat ujung celana abu-abunya, meniru Rara memasukan kakinya ke air."Loh, itu celana lo basah." Seru Rara, tahu usaha Darwin melipat celananya berakhir sia-sia. Sedengkul sudah air membasahi celana pria tersebut."Gampang, nanti tinggal pinjem punya Jae.""Terus kenapa dilipet segala? Buang-buang tenaga." Rara menggelengkan kepala, lalu ujung bibirnya tertarik ke atas, tergelak singkat. Memang Darwin satu spesies dengan adiknya, sama-sama aneh."Biar lo ketawa, Ra. Dari tadi gue perhatiin lo cemberut terus."
"Istri kamu kemana? Dari kemarin pergi sama temennya yang namanya Jasmine, dan sampai sekarang nggak pulang-pulang." Kalimat Tia meluncur begitu Abi datang sambil menyeka keringat. Semalaman Abi susah tidur, merasa aneh karena Rara tidak ada di sampingnya. Padahal ini baru satu hari, tapi Abi sudah seperti kehilangan arah. Sehingga pagi-pagi buta Abi memilih jogging disekitar komplek selama satu jam penuh."Rara nginep di rumah orang tuanya." Jawab Abi setelah meminum segelas air mineral."Jangan terlalu manjain istri kamu. Lihat, dia jadi seenaknya sendiri. Masa sudah berkeluarga, masih numpang tidur di sana. Apa kata tetangga nanti?" Ujar Tia seiring membuat teh hangat dalam wadah jar."Gapapa, bu. Rara juga sudah lama nggak mampir ke rumah utama. Pasti kangen mama papanya.""Makanya kamu jangan nikahin anak kecil kayak dia. Sudah manja, nggak bisa kerjain pekerjaan rumah lagi. Repot sendiri, kan?" Sindir Tia, lalu menaruh cangkir teh tepat di depan putrany
Sudah lama Rara tidak menginjakan kaki di rumah utama. Terakhir yaitu saat datang bersama Abi, memberi tahu pada kedua orang tuanya bahwa dirinya hamil dan berakhir dengan diusir. Kini dia kembali bersama putri kecilnya. Terasa aneh begitu Rara memasuki kamarnya, karena semua tetap sama, sementara dirinya telah mengalami banyak perubahan. Menjadi ibu sekaligus istri di usianya yang bahkan belum memasuki kepala 2. Hidupnya persis permainan roller coaster."Sayang, kamarnya mau mama dekor ulang?" Inisiatif Irana. "Atau kamu mau beli furniture baru? Wallpaper baru? Nanti mama atur semua.""Aku cuma nginep sehari, ma." Geleng Rara lemah. "Makasih udah bolehin aku pulang ke rumah ya, ma.""Jangan bilang gitu. Ini kan rumah kamu juga. Kamu bebas ke sini kapanpun." Irana agaknya lupa kalau kedatangan Rara bukanlah untuk liburan, melainkan akibat sedang selisih paham dengan Abi. Rara bukanlah anak kecil lagi, dia sudah menjadi istri orang. Beberapa saat yang lalu Irana
Dio, ayah dari Larasati Wijaya, baru saja selesai meeting dengan kliennya di gedung FWC. Kumpulan orang di lobby membuat fokusnya teralihkan. Semula dia tak terlalu ambil pusing, namun setelah melihat sosok yang ditandu oleh tim paramedis, Dio berhasil bergeming di tempat. Pria berkacamata itu segera berlari tergesa-gesa. Kenapa Rara bisa di sini? Dan apabila dilihat sekilas Rara jelas mengalami serangan panik lagi! Astaga, dunia Dio langsung runtuh!"Maaf, pak. Hanya yang berkepentingan yang dapat menemani pasien." Tahan seorang tim paramedis ketika Dio akan ikut naik ke ambulance."Saya ayahnya Rara. Dia putri saya."Pun sirene ambulance membelah jalanan siang Jakarta yang padat. Ketika orang-orang mulai berjubel keluar untuk mencari makan siang, di sini ada Dio yang terus memegang erat tangan Rara dengan perasaaan teriris. Kesadaran Rara masih terjaga, tapi sulit bernapas dan harus terhubung dengan bantuan oksigen. Sementara bagian paramedis mengecek tekanan
Rara coba telpon Abi. Satu kali. Dua kali. Tidak ada jawaban. Mine sebelumnya turun dari mobil untuk bertanya tentang tempat kerja baru Abi kepada security. Hasilnya nihil. Dengan pikiran semrawut Rara mencari kontak yang sekiranya dapat dihubungi, namun baru beberapa detik berselang, dia terdiam. Rara tidak kenal satupun teman Abi. Serenggang ini kah hubungan mereka?"Kenapa kamu tanya ke ibu? Bukannya kamu yang harusnya lebih tahu?" Kalimat Tia di ujung ponselnya terdengar. Ya, dengan nekat Rara bertanya pada sang mertua. Sungguh dia tak memiliki pilihan lain untuk menjawab rasa penasarannya."Rara lupa nama perusahaan Mas Abi yang baru, bu. Ini Rara mau nyusul ke sana. Kasian bekal makan siangnya ketinggalan.""Bukan ketinggalan, tapi sengaja. Toh bekal yang kamu buat nggak pantas dimakan." Tanpa sadar, Rara mencengkram ponselnya kuat-kuat. "Abi kerja di FWC bareng mantan tunangannya. Sudah kamu nggak usah anter ke sana. Biarin Abi lepas rindu sama Marine."
Bahagianya Rara adalah perkara mudah. Contohnya saja soal makanan. Abi tak hanya membelikan Rara martabak asin plus manis, tapi juga sushi. Iya, sebelum mengantar Marine pulang, mereka makan malam bersama di restoran tersebut."Mas, bener nggak mau?""Iya, mas udah makan di luar." Jawab Abi, mulai membuka kancing kemejanya."Sama siapa?"Abi menelan air liurnya susah payah dan seketika merasa bersalah. "Temen kerja. Gimana enak, Ra?" Langsung Abi yang balik bertanya, takutnya Rara mengajukan pertanyaan macam-macam. Abi menemukan istrinya tahu-tahu sudah duduk bersila di lantai kamar dan terlihat lahap."BANGET. Dulu pas sekolah aku sering ke tempat sushi ini sama Mine." Antusias Rara sambil mengigit ujung sumpit, sesenang itu. "Oh ya, kenapa chat aku yang bahas film azab nggak dibales-bales? Aku kan bukan koran, masa chatnya dibaca doang.""Tenggelam, Ra.""Pin makanya. Biar chat dari aku ada di atas.""Nggak ngerti. Lagian kamu juga u
Abi baru saja bersantai di kubikelnya seusai beres dengan berbagai kerjaan. Sejak pagi hingga pukul 7, dia disibukkan dengan tampilan excel dan macam-macam angka. Memang ini hari pertamanya bekerja di tempat baru dan ada perkenalan singkat dengan karyawan lain, namun setelahnya jadwalnya padat. Pun Abi mengeluarkan ponselnya untuk mengabari Rara. Belum sempat bertanya Rara ingin martabak asin atau manis, Abi ternyata sudah menerima banyak chat dari sang istri. Ada 25 chat yang tenggelam. Astagfirullah. Ini sih bisa-bisa Abi kena amuk.Larasati Wijaya:-Mas, pernah nonton film azab? Judulnya mertua jahat pada menantu, liang lahatnya menyempit.-Mertuanya nampar si menantu-Padahal menantunya baik. Ya... walaupun nggak sempurna-sempurna amat. Masakannya kurang enak, bangunnya kadang siang, tapi dia mau belajar.-Mas? Ih dicuekin :(-Aku VN aja. Capek ngetik.Lalu Abi dengarkan satu persatu pesan suara itu. Tak jarang, Abi terkekeh selagi merap