Satu jam kemudian, mobil yang dinaiki Deric dan Caraline menepi di sebuah vila yang terletak di pinggir pantai. Tempat itu langsung menghadap hamparan laut biru. Dari lokasi keduanya berada, deburan ombak dapat terdengar cukup jelas.
“Sepertinya aku akan belajar banyak hal sesudah pulang dari tempat ini,” ujar Deric sembari mengamati pemandangan luar dari jendela mobil.
Caraline mengembus napas panjang, kemudian terpejam untuk beberapa saat. Kedua tangannya berada di depan dada, berusaha untuk menstabilkan degup jantungnya. “Dengarkan aku,” ucapnya.
Deric seketika menoleh, dan di saat yang sama Caraline menenggelamkan wajah ke arah jari-jarinya yang saling beradu.
“Aku benci untuk mengatakannya, tapi kau harus bekerja sama denganku dalam pertemuan ini. Aku akan mendorong kursi rodamu saat kita berdua memasuki ruangan pertemuan. Jangan bicara sebelum aku memberimu iz
Caraline terpejam beberapa saat sembari menyugar rambut. Wanita itu sama sekali tak menjawab pertanyaan Deric, pun tidak mengalihkan pandangan ke arahnya. Ia mengembus napas pendek beberapa kali untuk mengusir gugup. Jujur saja, ia terganggu dengan penampilan Deric saat ini. Ia juga sempat mendapati beberapa wanita menoleh ke arah pria di sampingnya. Di lain hal, ruangan ini memiliki aura intimidasi yang amat kuat bagi Caraline. Meski tempat ini didekorasi dengan indah, tetapi ia sama sekali tidak merasakan kenyamanan dan ketenangan apa pun. Amosfer ruangan ini benar-benar menekannya dari berbagai arah. “Tenanglah, kau pasti akan baik-baik saja,” ujar Deric. “Simpan kata-kata itu untuk dirimu sendiri,” ketus Caraline. Catherine dan Wilson sudah berada di atas panggung. Ruangan mendadak hening dan perhatian langsung tertuju pada keduanya. “Mungkin beberapa di antara kalian sudah mendengar kabar bila salah satu anggota
“Maafkan aku, Tuan.” Deric mulai mengendurkan cengkeraman pada tangan Wilson ketika melihat Caraline berlari meninggalkan ruangan. Ia secara perlahan melepaskan belenggu di tangan pria itu. “Aku sepertinya terlalu berlebihan.”“Sialan!” Wilson segera menarik tangannya, kemudian mengecek kondisinya. Matanya seketika membola begitu mendapati tanda merah yang sangat kentara. “Kau tidak bisa lari dariku.”Deric tertawa. “Tentu saja aku tidak bisa lari. Apa kursi roda ini terlalu kecil untukmu?”Di sisi lain, Catherine terhipnotis dengan suara dan gestur yang ditampilkan Deric. Ia terdiam beberapa saat dengan pandangan yang tak beralih dari pria itu. Begitu sadar bahwa tindakannya keliru, ia dengan cepat mencubit pahanya sendiri.“Anggap saja itu adalah salam perkenalan dariku,” kata Deric seraya menekan tombol maju di kursi roda. Gilasan benda bulat itu menggilas lantai ruangan dan tatapa
Sentuhan Deric seperti sengatan listrik yang dengan cepat menjalar ke seluruh ubuh Caraline, terlebih jarak mereka terbilang dekat dan di saat bersamaan manik cokelat muda dan bola mata biru mereka saling terhubung.“As-astaga! Apa yang sebenarnya terjadi?” Caraline butuh waktu untuk mencerna peristiwa yang baru saja menimpanya. Saat debaran jantung yang menggila menyadarkan bahwa kedekatan ini tak seharusnya terjadi, ia dengan cepat menarik tubuhnya. Nahas, ia kembali terpeleset hingga raganya nyaris ambruk ke lantai.“Tenanglah.” Deric kembali menahan raga Caraline yang hanya tinggal beberapa senti lagi merasakan licinnya marmer.Deru napas Caraline tiba-tiba berubah cepat. Tatapannya perlahan tertunduk saat ia merasa tak kuasa menyelami manik biru di depannya. Wanita itu menelusuri leher, jakun hingga turun ke arah dada yang terbalut kemeja putih di mana satu kancing atasnya terlepas. Parasnya terasa terbakar saat menyadari apa yang te
“Siapa namamu, Tuan?” tanya Catherine dengan senyum lebar. Ia mengerling ke arah Caraline untuk sesaat.“Kau bisa memanggilku Deric,” jawab si empunya nama dengan ekspresi tenang.“Nama yang bagus sesuai dengan kondisimu saat ini,” sahut Wilson yang disertai kekehan.“Aku selalu merasa baik dalam keadaan apa pun,” balas Deric.“Apa pekerjaanmu saat ini?” Catherine menoleh pada semua orang yang hadir di lokasi. Ia sengaja menjaga jarak dengan Deric dan tak menatap matanya lebih dari satu detik. “Apa pekerjaanmu yang membuat Caraline jatuh cinta?”“Wanita itu jelas membutuhkan seseorang untuk mendongkrak posisinya.” Wilson menimpali. “Mungkin dia disanjung oleh hampir semua orang di kotanya saat ini, tapi di depan keluarga Wattson, dia sama sekali tak memiliki reputasi baik sedikit pun. Dia hanya wanita rendahan yang tak pantas mewarisi darah Wattson di tu
“Tidak ada yang bisa kau lakukan selain meratap dan menangis,” ujar Wilson yang baru saja bergabung dengan Catherine. Pria itu sesekali mengernyit di saat bibirnya memahat senyum.Tak mengindahkan suara sumbang tersebut, Deric segera menyeret tubuhnya untuk keluar dari belenggu kursi roda. Ketika sudah berada di pinggir kolam, ia melepas jas, kemudian menjatuhkan diri ke kolam tanpa pikir panjang.“Ini lebih menarik dibanding drama apa pun yang pernah kutonton.” Wilson semringah. “Aku tidak boleh melewatkan hal ini begitu saja.”“Apakah aku benar-benar akan menjadi saksi bagaimana cinta sejati itu ada?” timpal Catherine.“Tak ada cinta sejati di dunia ini, Catherine. Kau terlalu banyak menonton drama.”Di sisi berbeda, Deric berenang ke arah Caraline dengan menggunakan kekuatan tangan. Suara wanita itu tak lagi terdengar, yang bisa ditangkap telinganya hanya suara cipratan air karena terca
Caraline mengerjap ketika serbuan cahaya matahari mencumbu kesadarannya. Wanita itu dengan cepat mengubah posisi menjadi duduk. Ia kemudian memijat kepala perlahan seraya menyisir keadaan sekeliling. Ruangan ini tampak tak asing baginya. “Ini ... seperti kamarku,” gumamnya.Caraline segera turun dari kasur, lalu berlari ke arah balkon. Mulutnya setengah terbuka ketika melihat halaman belakang, taman, juga kemilau cahaya dari mulut danau. Langit sudah terselimut jingga di mana matahari bersiap untuk kembali ke peraduan. “Aku benar-benar berada di rumahku.”“Astaga, apa yang terjadi?” Caraline menjambak rambut, lalu berlari kembali ke dalam kamar. Ia memeriksa ponsel dan tercengang ketika layar gawai menunjukkan waktu dan tanggal yang tertera. “Ini sehari setelah pertemuan itu.”Tubuh Caraline melorot ke lantai. Tangannya menarik seprei kasur dengan bola mata melebar. Deru napasnya mendadak meningkat dua kali lebih c
Caraline bergegas pergi tanpa menoleh sedikit pun pada Deric. Hal yang harus pertama kali dilakukan wanita itu adalah menjauh dari suami lumpuhnya, kemudian menyelamatkan jantung dan hatinya yang seperti akan meledak. Sialnya, wajah dan senyuman itu justru kian kuat bertahta dalam benak.“Aku ... benar-benar ... gila,” ujar Caraline sembari berusaha menstabilkan napas setelah setengah berlari menuju kamar. Ia menyeka bulir keringat di dahi dengan punggung tangan. “Apa ... yang sebenarnya pria itu lakukan padaku?”Caraline terpejam seraya meremas ujung piyama dengan kuat-kuat. Ia melempar tubuh untuk duduk di bibir kasur. Wanita itu kemudian mengalihkan pandangan pada cermin rias yang berada di depan. Pipinya tampak masih menampilkan rona merah.Matahari kembali ke peraduan. Langit sudah mulai diselimuti kegelapan, lalu terhias bulan dan taburan bintang. Angin menerobos melalui pintu balkon yang sedikit terbuka. Caraline berjalan untuk men
Amarah Caraline perlahan mengendur. Cahaya api dan Deric terperangkap di manik matanya. Di sisi lain, dadanya menghangat setelah mendengar ucapan tersebut. Memang benar, keluarga Wattson cenderung menjadikan uang dan kekayaan sebagai standar penilaian. Hal itulah yang memacu mereka untuk mengenyahkan dirinya dan keluarganya dari keluarga.Berbicara mengenai hal itu, seketika saja membawa Caraline pada kenyataan hidup yang ia lewati dahulu. Ayahnya harus terusir hanya karena memilih hidup bersama ibunya yang merupakan kalangan biasa. Perundungan yang terjadi padanya adalah hasil dari keputusan tersebut. Agar bisa berdiri sejajar dengan keluarga Wattson lainnya, Caraline harus membayar semuanya dengan kerja keras hingga bisa berada pada posisinya saat ini.“Yang kulihat kau berusaha untuk bisa sejajar dengan mereka,” ujar Deric.“Apa itu sebuah tindakan yang salah?” tanya Caraline dengan nada ketus, “kau tidak pernah tahu apa yang sud