Mobil yang dinaiki Jeremy, Jonathan dan James mulai memasuki gerbang rumah Caraline. Ketiganya kemudian bergegas turun.
“Rumah ini kian megah setiap kali aku melihatnya,” kata Jonathan.
“Sebaiknya kita bergegas,” ucap Jeremy sembari mulai berjalan. “James bersikaplah dengan baik atau kita akan mendapat masalah lagi.”
“Baik.” James mengangguk lemah, mengikuti kedua kakaknya dari belakang. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada Deric yang tengah berbincang dengan seseorang di pinggir sungai. Ia berhenti sesaat, menyipitkan mata, berusaha menerka siapa kiranya yang tengah berbicara dengan saudara tirinya. “Itu seperti sopir yang membawa si cacat Deric di saat hari pernikahannya. Tapi wajah pria itu seperti mengingatkanku—”
“James, apa yang sedang kau lakukan?” Jeremy berhenti sesaat, menatap adiknya dengan tatapan tajam. Pandangannya kemudian beralih pada Deric dan seorang pria yang b
Deric dan Thomas sama-sama memilih diam.James mengamati Thomas dengan tatapan menyelidik. “Wajahmu mengingatkanku pada sosok—”“James, apa yang kau lakukan?” Jonathan muncul dari celah kaca jendela.“Kurasa tidak mungkin. Ada tujuh orang yang memiliki wajah yang sama di seluruh dunia. Begitu yang kudengar dari salah satu tayangan televisi.” James membuka pintu mobil belakang.“Sepertinya kau sudah berubah setelah kepergianku,” kata Deric.“Itu karena kau adalah racun yang menghambat perkembanganku,” balas James ketus.“Bukankah itu karena otakmu yang tidak pernah terpakai?” Deric terkekeh.“Enyahlah.” James berdecak, kembali mengamati jam mewahnya dibanding harus berurusan dengan Deric.Mobil yang dinaiki Jeremy, Jonathan dan James meninggalkan kediaman Caraline.“Maafkan aku, Tuan,” kata Thomas tiba-tiba.&ldquo
“Apa yang baru saja kau katakan?” Caraline berdecak, menatap Deric dengan wajah memerah. “Kau benar-benar menyebalkan.”Caraline segera meninggalkan Deric, menaiki tangga dengan bibir cemberut dan kedua tangan terlipat di depan dada. Sesekali tatapannya tertuju pada pintu rumah, melihat apakah pria itu akan menyusul atau tidak. Akan tetapi, setelah menunggu beberapa detik, Deric sama sekali tak terlihat melaju melewati pintu.“Deric pasti terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya,” ujar Caraline dengan senyum tipis yang terperangkap di sudut bibir, “dia harus belajar bagaimana mengungkapnya perasaannya padaku.”Caraline memasuki kamar, menghabiskan waktu dengan mengamati penilaian publik mengenai penampilannya selama acara kemarin. Banyak ulasan positif yang ia dapat meski beberapa orang memberikan komentar sebaliknya. Ia mengakui bahwa dirinya tidak akan bisa menjadi pemuas selera semua orang.Caraline k
“Jadi apa jawabanmu, Caraline?” tanya Diego setelah hening beberapa waktu. Ia masih dalam posisi berlutut. “Sejujurnya aku tidak bisa lagi menahan perasaanku lebih dalam padamu. Bayang-bayangmu enggan pergi semenjak pertama kali kita bertemu. Kau berhasil menguasai hati dan pikiranku.” Caraline menutup mulut dengan satu tangan, memandang Diego dan kotak cincin dengan tatapan tak percaya. Sejujurnya, jika yang berlutut di depannya adalah Deric, tentu ia tidak akan membuang waktu untuk menerimanya meski harus berakting marah dan ketus lebih dahulu. “Kau tahu, ini benar-benar peristiwa tak terduga untukku.” Caraline mengembus napas panjang, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Wanita itu tahu jika Diego secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan padanya. Hanya saja, ia tidak memiliki perasaan apa pun pada pria itu meski Diego benar-benar sosok yang sempurna. Caraline menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berpikir lebih dalam untuk menemukan
Helen mengamati keadaan sekeliling dengan saksama, berjalan ke sudut kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Caraline. “Astaga, kenapa semua ini bisa terjadi? Padahal aku dan Stevan sudah memaksimalkan penjagaan.”“Nona,” panggil Lucy dari balkon ruangan.Helen dengan cepat mendekat. Keadaan jalanan yang berada agak jauh dari gedung tampak disesaki oleh mobil-mobil yang terjebak dalam kemacetan. Suara klakson mobil beradu dengan umpatan para pengendera. Alarm keamaan kota tampak memekik kencang. Beberapa aparat kepolisian berusaha mengatur laju kendaraan dan memenangkan warga.Penampakan berbeda terjadi di dekat gedung yang kedua wanita itu tempati saat ini. Suasana jalan tampak hening dan bebas dari lalu lalang kendaraan.“Ke mana sebenarnya perginya Nona Caraline dan Tuan Diego?” tanya Helen dengan pandangan mengawasi keadaan ruangan dan halaman depan bergantian. Ia dengan cepat menghubungi para pengawal
“Apa maksudmu, wanita sialan?” Diego dengan keras menepis tangan Lucy dari jasnya. Pria itu menatap penuh amarah pada wanita di depannya.“Lucy,” gumam Helen sembari menggeleng tak percaya. Ia mengamati tampilan video di layar ponsel. Tak ada tang aneh dan salah dengan tayangan tersebut selama beberapa detik lamanya, tetapi hal itu tiba-tiba berubah ketika Diego meminta Caraline untuk menutup mata.Helen tercengang saat melihat kelanjutan video tersebut. Tentu wanita itu masih ingat dengan selentingan kabar mengenai Diego yang namanya muncul dalam beberapa kasus kriminal. Setelah melihat tayangan video itu, ia bisa menyimpulkan sesuatu.“Apa maksud dari semua ini, Tuan Diego?” tanya Helen sembari menatap tajam.“Ini tidak seperti yang ada dalam pikiranmu, Helen,” balas Diego, “wanita ini pasti merekayasa tayangan video tersebut. Tidak mungkin aku berniat untuk mencelakakan Caraline. Apa yang aku lakuka
Lucy mundur dengan bantuan sikunya. Ketika ia melihat sebuah vas bunga, ia tanpa segan-segan langsung melemparkan benda itu pada pria yang menyerangnya.Pria itu langsung roboh bersamaan dengan suara benturan yang cukup keras.“Aku harus segera menolong Nona Helen.” Lucy berusaha bangkit, kemudian memastikan bahwa kumpulan pria itu sudah sepenuhnya tak sadarkan diri. Setelah yakin jika mereka sudah sepenuhnya tumbang, ia segera berjalan dengan kondisi kaki yang masih sakit.Sementara itu, Helen kian mempercepat langkah kaki ketika melihat Diego akan memasuki sebuah kamar. Ia bisa melihat wajah mengerikan dari pria jahat itu.“Hentikan, Tuan!” teriak Helen, “aku mohon!”“Wanita sialan!” Diego berdecak, lalu tanpa segan menendang pas bunga ke arah Helen.Helen berusaha menghindar, tetapi benda itu justru mendarat di pinggang kirinya. Alhasil, ia jatuh terjerembab. “Tuan, aku mohon ....&rdqu
Caraline terbangun ketika matahari sudah berada di puncak langit. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan terkejut ketika menyadari jika dirinya berada di rumah sakit. Ketika akan mengubah posisi menjadi duduk, ia merasakan pening yang amat sangat di kepalanya.Caraline menoleh ke arah pintu ketika dokter dan beberapa perawat mendekat ke arahnya. Meski masih dilanda bingung, wanita itu sama sekali tidak banyak bertanya. Ia mengembus napas panjang ketika kembali sendirian di ruangan.“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” tanya Caraline yang berusaha mengingat kejadian semalam. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari ponselnya. “Helen, apa kau berada di luar kamar? Kemarilah aku membutuhkanmu.”“Helen, apa kau mendengarku?”“Helen, apa kau bisa mendengarku?”Caraline menoleh ke arah pintu ketika Helen tak kunjung datang. Wanita itu berusaha mengubah posisi untuk duduk di bibir kasur sembari me
Caraline menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari Diego.“Halo, apa kau mendengarku?” tanya Diego di seberang telepon.“Ya,” jawab Caraline sembari merebahkan diri di kasur.“Bagaimana keadaanmu saat ini, Caraline? Apa kau sudah mendengar kabar dari media mengenai kejadian semalam?” Diego terbatuk beberapa kali.“Ya.” Caraline menutup mata, berbaring ke samping kiri, menatap sinar mentari yang terperangkap di celah tirai yang sedikit terbuka.“Aku benar-benar menyesal setelah mendengar kabar mengenai kondisi Helen, Stevan dan sekretarismu yang bernama Lucy. Andai aku bisa memutar waktu, aku tentu tidak akan mengadakan pertemuan itu. Aku benar-benar meminta maaf padamu untuk hal itu,” ujar Diego.Diego menjeda sejenak. “Aku harap kita dapat kembali bertemu untuk berbicara mengenai masalah ini. Kejadian pembakaran gedung itu merupakan peristiwa yang harus kita selidi