“Katanya sebentar!” Lintang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dengan terburu. Karena ulah Raga, akhirnya ia harus mengirim pesan pada supervisornya dan izin terlambat karena ada urusan keluarga. “Aku nggak mau lagi, ya, diajak begitu-gitu di jam mau berangkat kerja! Jadi bohong, kan, akunya!” “Jadi, kapan mau lihat ruko?” Kembali, rencana Raga berjalan sempurna. Lintang akan terlambat kerja, dan hal ini akan ia lakukan terus-menerus sampai istrinya itu menyerah, dan berhenti bekerja. Lebih baik membuka usaha sendiri, atau, tidak usah buka usaha saja sekalian. Biar saja Lintang berada di rumah dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Hanya mengurus Raga, Rama dan anak-anak mereka nantinya. “Maaas, kalau aku ngomong itu didengar.” “Aku dengar.” Raga menahan tawa, saat melihat Lintang menarik resleting ranselnya dengan cemberut. “Dijawab kalau dengar.” “Kamu sudah tahu, apa yang aku mau,” jawab Raga sambil meraih tas yang hendak diangkat Lintang. “Kita lihat ruko, cocok, bayar
Malam itu, Lintang benar-benar tidak kembali ke kamar Raga. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lebih, tetapi istrinya belum juga kembali dari kamar Rama. Setelah ini, Raga berjanji tidak akan lagi membuat sang istri cemburu seperti siang tadi. Karena Raga sendirilah, yang akan terkena imbasnya seperti sekarang. Berada di kamar seorang diri, padahal mereka sedang menikmati indahnya masa-masa pengantin baru.Tidak betah dengan kesendiriannya, Raga beranjak keluar kamar dan segera menuju ke kamar Rama. Membuka pintunya, dan melihat sang istri sudah tertidur lelap dengan memeluk putranya.Kalau sudah begini, jalan satu-satunya adalah mengangkat Lintang, dan memindahkannya ke kamar Raga.Dengan amat perlahan, Raga mengangkat tangan Lintang yang berada di atas tubuh Rama. Setelah memastikan Lintang masih terlelap nyenyak, Raga membawa tubuh itu dengan sangat hati-hati. Menggendong Lintang keluar kamar, dan meletakkan sang istri dengan perlahan di tempat tidurnya.Setelah itu, Raga
Menjadi istri Raga ternyata sangat melelahkan. Belum lagi, Lintang juga harus bekerja di siang harinya, dan beredar di lapangan. Firasat Lintang mengatakan, Raga memang sengaja membuat Lintang lelah, agar ia menyerah. Mengundurkan diri dari perusahaan dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Mencari ruko untuk membuat toko buku, rasanya hanya alibi dari Raga. Karena Raga pasti tetap menginginkan Lintang berada di rumah. Alhasil, toko bukunya nanti pasti akan dikelola oleh orang lain. Semakin mengenal Raga, Lintang jadi tahu bagaimana liciknya pria itu dalam membuat rencana. Selalu detail, penuh perhitungan dan membawa keberhasilan. “Mama,” panggil Rama tanpa melihat Lintang, dan sibuk mewarnai gambar mobil-mobilan di bukunya.“Ya?” Sementara Lintang, sibuk dengan laptop di depannya. Mereka berdua dengan kompak bertelungkup di karpet, dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.“Tadi sore, motor tante Intan nggak bisa nyala waktu mau pulang,” adu Rama tiba-tiba mengingat kejadian sor
“Pokoknya, akhir bulan ini kita pindah.” Segala cara sudah Raga coba untuk membujuk Lintang, tetapi istrinya itu masih saja bersikeras dengan keinginannya. Lintang masih ingin tinggal di kediaman Sailendra, dan tidak ingin pergi ke mana pun. “Syukuran rumah baru, sekalian kita undang teman-temanmu supaya mereka tahu, kamu itu sudah punya suami.” Sambil mengusap rambut basahnya yang panjang dengan handuk, Lintang menghampiri Raga yang masih berbaring di tempat tidur. Rencananya, Lintang akan memangkas rambut panjangnya itu dalam waktu dekat. Lelah rasanya jika harus keramas hampir setiap hari, karena ulah sang suami. Tidak lama lagi, mungkin Lintang akan masuk angin karena terus-terusan keramas seperti sekarang. “Mas—” “Aku nggak terima bantahan lagi.” Meskipun belum mendapatkan rumah yang cocok, tetapi niat Raga untuk pindah sudah bulat. Ia tidak akan lagi menerima protes dari Lintang, karena Raga ingin segera tinggal bertiga saja dengan keluarga kecilnya. “Hm, habis manis, egony
“Nggak usah merengut terus.” Raga mencapit bibir Lintang yang terus saja maju, ketika menginjakkan kaki di rumah baru mereka. “Coba lihat Rama, dia nggak pernah protes kalau aku ajak pindah rumah. Selalu hepi.” Lintang menepis tangan Raga, dengan pukulan yang sedikit keras. Kemudian, ia kembali menyantap keripik singkongnya. “Jangan samain aku sama Rama.” Lintang mencebikkan bibir ke arah Rama, yang sibuk mengendarai mobil-mobilan listrik yang baru saja dibelikan Raga. Bocah itu sibuk mengelilingi ruang tengah, yang sengaja tidak dipenuhi dengan furniture apa pun. “Dia disogok mobil-mobilan juga sudah nurut.” Raga mencomot sebuah keripik singkong dari tangan Lintang, yang duduk satu anak tangga di atasnya. “Memangnya, kamu mau disogok apa?” “Kadang, aku, tuh, heran sama Mas Raga.” Lintang terus saja memakan keripiknya tanpa jeda. “Dulu, jahaat banget sama ak—” “Kenapa itu lagi, itu lagi yang dibahas?” putus Raga kembali mengambil keripik singkong milik Lintang. “Kenapa harus ngom
Raga bersiul panjang, saat baru memasuki kamar. Segera menutup pintu, lalu menguncinya. “Ngapain dikunci!” Lintang menghardik, dan melebarkan bola matanya. “Jangan macam-macam, aku sudah dandan maksimal dan nggak bol—”“Sssttt.” Raga yang baru menghabiskan jarak, segera meletakkan telunjuk di bibir berlapis lipstick warna peach itu. “Aku cuma mau meluk.”Selanjutnya, Raga benar-benar merengkuh tubuh Lintang ke dalam pelukannya. Setelan kebaya modern berwarna hitam yang dikenakan Lintang malam ini, sungguh membuat penampilan istrinya itu semakin sempurna. “Nanti, pulang dari rumah pak Anwar, jangan dibuka dulu kebayanya,” pinta Raga masih memeluk sang istri. “Biar aku yang buka. Hitung-hitung, ngulang malam pertama.”Lintang hanya pasrah, dengan memajukan bibir di pelukan Raga. “Berasa buka kebaya pengantin gitu, ya?” Raga terkekeh, dan semakin mengeratkan pelukannya. Banyak sekali penyesalan, karena pernah memperlakukan Lintang secara buruk di masa lalu. Untuk itulah, Raga berusaha
“Mas …” Lintang mencebik saat baru keluar dari kamar mandi. Ia menghampiri Raga yang sudah mapan di tempat tidur, lalu merebahkan diri di atas tubuh sang suami. “Adeknya Rama nggak jadi lagi.” Raga tidak langsung merespons. Ia berpikir sebentar, lalu menghela sama. Tamu bulanan istrinya pasti kembali datang, karena itulah Lintang mendadak menjadi sendu. “Sayang.” Harus berapa kali Raga katakan, ia tidak pernah menuntut apa pun pada Lintang. Ada anak atau tidak, semua adalah otoritas dari Yang Kuasa. “Nggak usah terlalu dipikirkan. Sudah aku bilang—” “Mas Raga itu nggak tahu rasanya jadi cewek.” Lintang bangkit dari tubuh Raga, lalu menggeser posisinya ke samping pria itu. Ia menarik selimut, sembari berbaring lalu memunggungi sang suami. “Mas juga mana ngerti rasanya jadi istri.” “Dan kamu juga nggak tahu rasanya jadi suami. Kamu nggak—” “Mas!” Lintang berbalik cepat dan mendelik pada Raga. “Kamu itu—” “Aku masih mau pacaran, Sayang,” putus Raga terburu, sebelum Lintang berceram
“Dingin, ya.” Karena mereka sampai di tujuan hampir menjelang malam, maka Lintang merasakan perbedaan suhu yang sangat berbeda. Dari Jakarta dan Surabaya yang panas, akhirnya mereka berdua sampai di daerah yang membuat Lintang harus mengancing jaketnya rapat-rapat.“Justru asyik, kan.” Raga mengerling lalu merangkul Lintang, setelah menyelesaikan beberapa hal di resepsionis. Mereka kembali keluar gedung hotel, lalu menaiki buggy car untuk menuju ke tempat selanjutnya.“Asyik gimana?” Lintang berdecak, lalu menyikut perut Raga karena tahu ke mana arah pikiran suaminya itu. “Aku bisa flu kalau begini. Untung cuma sehari, dua malam.”“Siapa bilang?” Raga terkekeh, dan kembali memberi kerlingan pada sang istri. Akhirnya, rencana bulan madu bersama Lintang terwujud sudah. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja, Raga berbohong pada Lintang. “Kita pulang hari minggu.”“MINGGU!”“Ssstt.” Raga merapatkan tubuh Lintang yang duduk di sebelahnya. “Kita itu lagi jalan ke villa.”“Villa? Kita ngina
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida