“Nggak usah merengut terus.” Raga mencapit bibir Lintang yang terus saja maju, ketika menginjakkan kaki di rumah baru mereka. “Coba lihat Rama, dia nggak pernah protes kalau aku ajak pindah rumah. Selalu hepi.” Lintang menepis tangan Raga, dengan pukulan yang sedikit keras. Kemudian, ia kembali menyantap keripik singkongnya. “Jangan samain aku sama Rama.” Lintang mencebikkan bibir ke arah Rama, yang sibuk mengendarai mobil-mobilan listrik yang baru saja dibelikan Raga. Bocah itu sibuk mengelilingi ruang tengah, yang sengaja tidak dipenuhi dengan furniture apa pun. “Dia disogok mobil-mobilan juga sudah nurut.” Raga mencomot sebuah keripik singkong dari tangan Lintang, yang duduk satu anak tangga di atasnya. “Memangnya, kamu mau disogok apa?” “Kadang, aku, tuh, heran sama Mas Raga.” Lintang terus saja memakan keripiknya tanpa jeda. “Dulu, jahaat banget sama ak—” “Kenapa itu lagi, itu lagi yang dibahas?” putus Raga kembali mengambil keripik singkong milik Lintang. “Kenapa harus ngom
Raga bersiul panjang, saat baru memasuki kamar. Segera menutup pintu, lalu menguncinya. “Ngapain dikunci!” Lintang menghardik, dan melebarkan bola matanya. “Jangan macam-macam, aku sudah dandan maksimal dan nggak bol—”“Sssttt.” Raga yang baru menghabiskan jarak, segera meletakkan telunjuk di bibir berlapis lipstick warna peach itu. “Aku cuma mau meluk.”Selanjutnya, Raga benar-benar merengkuh tubuh Lintang ke dalam pelukannya. Setelan kebaya modern berwarna hitam yang dikenakan Lintang malam ini, sungguh membuat penampilan istrinya itu semakin sempurna. “Nanti, pulang dari rumah pak Anwar, jangan dibuka dulu kebayanya,” pinta Raga masih memeluk sang istri. “Biar aku yang buka. Hitung-hitung, ngulang malam pertama.”Lintang hanya pasrah, dengan memajukan bibir di pelukan Raga. “Berasa buka kebaya pengantin gitu, ya?” Raga terkekeh, dan semakin mengeratkan pelukannya. Banyak sekali penyesalan, karena pernah memperlakukan Lintang secara buruk di masa lalu. Untuk itulah, Raga berusaha
“Mas …” Lintang mencebik saat baru keluar dari kamar mandi. Ia menghampiri Raga yang sudah mapan di tempat tidur, lalu merebahkan diri di atas tubuh sang suami. “Adeknya Rama nggak jadi lagi.” Raga tidak langsung merespons. Ia berpikir sebentar, lalu menghela sama. Tamu bulanan istrinya pasti kembali datang, karena itulah Lintang mendadak menjadi sendu. “Sayang.” Harus berapa kali Raga katakan, ia tidak pernah menuntut apa pun pada Lintang. Ada anak atau tidak, semua adalah otoritas dari Yang Kuasa. “Nggak usah terlalu dipikirkan. Sudah aku bilang—” “Mas Raga itu nggak tahu rasanya jadi cewek.” Lintang bangkit dari tubuh Raga, lalu menggeser posisinya ke samping pria itu. Ia menarik selimut, sembari berbaring lalu memunggungi sang suami. “Mas juga mana ngerti rasanya jadi istri.” “Dan kamu juga nggak tahu rasanya jadi suami. Kamu nggak—” “Mas!” Lintang berbalik cepat dan mendelik pada Raga. “Kamu itu—” “Aku masih mau pacaran, Sayang,” putus Raga terburu, sebelum Lintang berceram
“Dingin, ya.” Karena mereka sampai di tujuan hampir menjelang malam, maka Lintang merasakan perbedaan suhu yang sangat berbeda. Dari Jakarta dan Surabaya yang panas, akhirnya mereka berdua sampai di daerah yang membuat Lintang harus mengancing jaketnya rapat-rapat.“Justru asyik, kan.” Raga mengerling lalu merangkul Lintang, setelah menyelesaikan beberapa hal di resepsionis. Mereka kembali keluar gedung hotel, lalu menaiki buggy car untuk menuju ke tempat selanjutnya.“Asyik gimana?” Lintang berdecak, lalu menyikut perut Raga karena tahu ke mana arah pikiran suaminya itu. “Aku bisa flu kalau begini. Untung cuma sehari, dua malam.”“Siapa bilang?” Raga terkekeh, dan kembali memberi kerlingan pada sang istri. Akhirnya, rencana bulan madu bersama Lintang terwujud sudah. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja, Raga berbohong pada Lintang. “Kita pulang hari minggu.”“MINGGU!”“Ssstt.” Raga merapatkan tubuh Lintang yang duduk di sebelahnya. “Kita itu lagi jalan ke villa.”“Villa? Kita ngina
Lagi, Raga mendengar istrinya itu bersin untuk yang kesekian kali. Dari bangun tidur subuh tadi, sampai matahari sudah menampakkan sinarnya, Lintang masih saja bersin-bersin. Raga sudah memesan teh hangat, susu hangat, jahe hangat, dan makanan berkuah yang harus masih panas, ketika sampai di villa mereka. Namun, tetap saja istrinya itu bersin-bersin dan enggan beranjak dari tempat tidur.“Ayo ke dokter, atau titip beli obat di—““Aku nggak sakit,” sela Lintang merasa tubuhnya baik-baik saja. Bahkan, selera makannya juga meningkat dua kali lipat dari biasanya. Pagi ini saja, Lintang sampai meminta jatah soto Raga untuk dihabiskan. “Kayaknya, aku alergi dingin.”“Tapi tadi malam nggak papa.”“Nah! Semalam itu kayaknya yang jadi penyebabnya.” Lintang menarik selimutnya lebih rapat lagi, sampai menutup seluruh leher. Kemudian, ia kembali bersin dan meraih tisu yang sudah disediakan di atas bantal di sebelahnya.“Semalam kenapa?” Raga mengalihkan tatapannya dari televisi layar datar, untuk
“Ramaaa …” Raga berdecak sambil bertolak pinggang, saat melihat Lintang berlari menghampiri Rama. Istrinya itu baru saja keluar dari mobil, tetapi sanggup berlari dan meninggalkan Raga begitu saja. Pergi ke mana semua sakit yang dikeluhkan Lintang, selama mereka berada di Batu? Wajar rasanya bila Raga curiga, semua itu adalah akal-akalan Lintang saja. “Mama? Mama sudah pulang?” Walaupun bingung, tetapi Rama segera menyambut pelukan hangat Lintang dengan suka cita. “Iya.” Lintang masih memeluk Rama, yang tengah bermain mobil remote controlnya di depan garasi. “Mama kangen Rama, makanya pulang cepat.” Setelah menyadari sesuatu, Lintang segera mengurai pelukannya. “Kenapa Rama main sendirian di luar? Sus Eni mana? Terus, oma ke mana?” “Sus Eni lagi ngambilin aku susu,” kata Rama seraya menoleh ke dalam garasi. “Kalau oma, tadi ada orang datang. Jadi ada di dalam.” “Hem, hilang bersinnya?” sindir Raga berdiri di antara Lintang dan Rama. Sejenak, ia mengusap kepala Rama, tetapi bocah
Dua hari terlewat, Raga semakin uring-uringan. Bagaimana bila harus menunggu sampai tujuh hari? Raga pasti akan stres sendiri. Untuk itulah, sepulang kerja Raga berinisiatif mampir ke apotek. Karena tamu bulanan Lintang tidak kunjung datang, dan selera makan Lintang semakin menjadi, maka Raga memutuskan untuk membeli tespek. Seperti usul Idha kala itu. Sesampainya di rumah, Raga tidak langsung meminta Lintang untuk mencoba alat tes kehamilan yang sudah dibelinya. Ia menunggu hingga larut malam, saat Rama sudah tidak lagi menempel pada Lintang. “Kenapa … mondar mandir, Mas?” tanya Lintang saat baru memasuki kamar. Ia membawa sepiring kentang goreng, lalu mendudukkan dirinya di sofa. “Ada masalah di kantor?” “Sayang.” Raga berhenti, tetapi tetap berdiri di tempatnya. “Tamu bulananmu belum datang, kan?” Wajah ceria Lintang mendadak berubah datar. Ia tahu benar, apa yang Raga pikirkan saat ini. Namun, Lintang sudah tidak ingin banyak berharap, karena selalu berakhir kecewa setiap bula
“Hm! Sudah bisa senyum sekarang?” sindir Raga sambil membawa tubuh Lintang ke pelukan. “Sudah bisa ketawa, kan? Atau, masih mau nangis-nangis nggak jelas lagi? Mau marah-marah nggak jelas lagi?” Raga membuang napas lega. Akhirnya, satu hal yang sudah mereka tunggu-tunggu selama ini, terjadi juga. Semua tespek yang telah digunakan menunjukkan hasil positif, sampai-sampai istrinya tidak bisa berkata-kata sama sekali. Lintang hanya tertegun, memandang dua garis merah, dan tanda positif yang ada pada masing-masing tespek. “Firasatku benar, kan?” lanjut Raga sambil mengusap kepala sang istri. “Aku sudah bilang kamu itu aneh, nggak seperti biasanya.” “Tapi, itu beneran hamil, kan, Mas?” Masih dalam pelukan Raga, Lintang mendongak. Mempertemukan tatapan ragunya pada sang suami. “Aku nggak mimpi, kan?” “Mau aku gigit? Biar tahu, kalau ini bukan mimpi?” Lintang benar-benar memberikan sisi tangan terkepalnya di depan mulut Raga. “Coba gigit, tapi jangan sampai sakit.” Makin aneh saja kelak