“Ramaaa …” Raga berdecak sambil bertolak pinggang, saat melihat Lintang berlari menghampiri Rama. Istrinya itu baru saja keluar dari mobil, tetapi sanggup berlari dan meninggalkan Raga begitu saja. Pergi ke mana semua sakit yang dikeluhkan Lintang, selama mereka berada di Batu? Wajar rasanya bila Raga curiga, semua itu adalah akal-akalan Lintang saja. “Mama? Mama sudah pulang?” Walaupun bingung, tetapi Rama segera menyambut pelukan hangat Lintang dengan suka cita. “Iya.” Lintang masih memeluk Rama, yang tengah bermain mobil remote controlnya di depan garasi. “Mama kangen Rama, makanya pulang cepat.” Setelah menyadari sesuatu, Lintang segera mengurai pelukannya. “Kenapa Rama main sendirian di luar? Sus Eni mana? Terus, oma ke mana?” “Sus Eni lagi ngambilin aku susu,” kata Rama seraya menoleh ke dalam garasi. “Kalau oma, tadi ada orang datang. Jadi ada di dalam.” “Hem, hilang bersinnya?” sindir Raga berdiri di antara Lintang dan Rama. Sejenak, ia mengusap kepala Rama, tetapi bocah
Dua hari terlewat, Raga semakin uring-uringan. Bagaimana bila harus menunggu sampai tujuh hari? Raga pasti akan stres sendiri. Untuk itulah, sepulang kerja Raga berinisiatif mampir ke apotek. Karena tamu bulanan Lintang tidak kunjung datang, dan selera makan Lintang semakin menjadi, maka Raga memutuskan untuk membeli tespek. Seperti usul Idha kala itu. Sesampainya di rumah, Raga tidak langsung meminta Lintang untuk mencoba alat tes kehamilan yang sudah dibelinya. Ia menunggu hingga larut malam, saat Rama sudah tidak lagi menempel pada Lintang. “Kenapa … mondar mandir, Mas?” tanya Lintang saat baru memasuki kamar. Ia membawa sepiring kentang goreng, lalu mendudukkan dirinya di sofa. “Ada masalah di kantor?” “Sayang.” Raga berhenti, tetapi tetap berdiri di tempatnya. “Tamu bulananmu belum datang, kan?” Wajah ceria Lintang mendadak berubah datar. Ia tahu benar, apa yang Raga pikirkan saat ini. Namun, Lintang sudah tidak ingin banyak berharap, karena selalu berakhir kecewa setiap bula
“Hm! Sudah bisa senyum sekarang?” sindir Raga sambil membawa tubuh Lintang ke pelukan. “Sudah bisa ketawa, kan? Atau, masih mau nangis-nangis nggak jelas lagi? Mau marah-marah nggak jelas lagi?” Raga membuang napas lega. Akhirnya, satu hal yang sudah mereka tunggu-tunggu selama ini, terjadi juga. Semua tespek yang telah digunakan menunjukkan hasil positif, sampai-sampai istrinya tidak bisa berkata-kata sama sekali. Lintang hanya tertegun, memandang dua garis merah, dan tanda positif yang ada pada masing-masing tespek. “Firasatku benar, kan?” lanjut Raga sambil mengusap kepala sang istri. “Aku sudah bilang kamu itu aneh, nggak seperti biasanya.” “Tapi, itu beneran hamil, kan, Mas?” Masih dalam pelukan Raga, Lintang mendongak. Mempertemukan tatapan ragunya pada sang suami. “Aku nggak mimpi, kan?” “Mau aku gigit? Biar tahu, kalau ini bukan mimpi?” Lintang benar-benar memberikan sisi tangan terkepalnya di depan mulut Raga. “Coba gigit, tapi jangan sampai sakit.” Makin aneh saja kelak
“Hwaaah …” Separuh tubuh Rama sudah berada di atas meja makan, dengan kedua siku yang menumpu berat badannya. Melihat antusias, pada dua buah jenis cake berbeda, yang sudah berada di meja. “Aku mau!” “Cuma boleh cheesecake,” kata Lintang menjauhkan blackforest dari jangkauan Rama. “Ingat kata dokter, nggak boleh makan cokelat. Mama nggak mau Rama batuk-batuk, sesak napas, terus masuk rumah sakit lagi kayak kemaren.” Bibir Rama mengerucut. Namun, ia tidak bisa membantah, karena tidak ingin lagi masuk rumah sakit dalam waktu yang lama. “Nyicip dikiiit aja, boleh? Dikit, Ma, dikiiit.” Lintang menghela. “Sayang—“ “Boleh, dikit,” sela Raga langsung mencuil serpihan cokelat yang ada di atas cake tersebut, lalu memberikannya pada Rama. “Aak.” Meskipun hanya seujung kuku, tetapi Rama segera menyambarnya dengan cepat. Jika tidak, tangan sang papa pasti akan segera disingkirkan oleh Lintang. “Ramaaa.” Lintang sudah melotot pada Rama, tetapi tangannya mencubit pinggang Raga dengan kekesalan
“Mbak Lin!” Intan buru-buru menghampiri Lintang. Merampas lakban dari tangan tangan ibu hamil itu, lalu menggeleng cepat sambil melihat perut yang sudah sangat besar itu. Karena akhir minggu ini orderan toko membludak, maka Intan memutuskan datang ke rumah Lintang untuk membereskannya. Daripada menumpuk di awal minggu, Intan akan semakin kerepotan dengan jadwal kuliah yang padat. “Aku bisa dimarahin mas Raga, kalau Mbak Lintang ikut bantuin packing barang.” “Aku cuma—“ “Nggak cuma-cuma, Mbak,” putus Intan sambil merengut, dan melihat CCTV yang berada di sudut gudang. Tidak hanya di dalam, tetapi Raga juga memasang CCTV hampir di setiap tempat umum dan terbuka di kediamannya. “Cuma gara-gara Mbak Lintang ngangkat dua pak kertas HVS, aku kena semprot suaminya Mbak, yang lebay itu.” Lintang terkekeh lalu berjalan mengikuti Intan yang pergi meja kerjanya. Menurut Lintang, suaminya itu memang sedikit berlebihan. Lintang tidak lagi diperbolehkan ikut campur dalam urusan pergudangan. Ia ha
“Tenang.” Sekali lagi, Raga meminta Lintang untuk tenang. Pernah berada di situasi yang sama, membuat Raga sedikitnya bisa menguasai diri. “Ini cuma mulas biasa, karena HPL masih dua minggu lagi, oke, Sayang?”Lintang menggeleng. Masih tetap tidak merasa tenang, karena terlalu overthinking. Hari perkiraan lahir, juga tidak menjamin bayinya akan keluar di waktu yang tepat.“Teman kantorku, ada yang delapan bulan sudah lahir, ada juga yang lebih sembilan bulan.” Lintang menyanggah, sesuai dengan pengalaman beberapa orang yang ditemuinya.“Kamu itu kebanyakan makan.” Raga pun ikut menyanggah, karena yakin bayi mereka akan lahir sesuai perkiraan. “Dari bangun tidur, nggak berhenti ngunyah.”“Mulesnya beda, Pa.” Lintang menghela panjang setelah rasa sakit itu perlahan pergi. “Mulai hilang … pasti mau lahiran. Aku mau ke rumah sakit aja.”“Tahan sampai besok bisa?” Raga yakin Lintang hanya mulas bisa, bukan karena akan melahirkan. “Nanti malam ada gala dinner sama rapat internal partai, dan
“Aku nggak mau mandi, nggak mau sekolah.” Rama bersedekap. Membalik tubuh, lalu membelakangi Raga. Masih memakai piyama tidur, dan tidak mau pergi ke kamar mandi walau sudah dibujuk sedemikian rupa. Raga yang sudah berjongkok sedari tadi, berusaha bersabar agar tidak memarahi Rama. Jika tidak, Lintang pasti akan memarahinya balik karena tidak bisa mengontrol emosinya. Sejak anak kedua Raga lahir, putra pertamanya itu semakin banyak bertingkat. Terlebih, ketika jenis kelaminnya tidak sesuai dengan permintaan Rama. Putranya ingin seorang adik perempuan, tetapi Lintang ternyata melahirkan seorang bayi laki-laki. “Terus maunya apa?” Akhirnya Raga bersila, karena lelah berjongkok sedari tadi. “Aku mau adek cewek!” Rama memutar sedikit tubuhnya, lalu memicing pada Raga. “Bukan adek cowok! Nanti kayak Papa.” Raga mengacak-acak rambutnya. Harusnya, Rama senang karena punya adik laki-laki, karena mereka bisa main bersama nantinya. Berbeda dengan adik perempuan, yang jenis mainannya jelas-j
Lintang baru saja meletakkan Mana di dalam box bayi, ketika pintu kamarnya di ketuk dengan perlahan. Jarum jam hampir menunjukkan ke angka sembilan, dan seharusnya Rama sudah terlelap di kamarnya. “Katanya Rama sudah tidur?” Lintang bertanya sembari melihat Raga yang berjalan ke arah pintu. Sejak ada Mana, Rama memang lebih sering menghabiskan waktu dengan Raga daripada dengan Lintang. “Tadi sudah tidur, Ma,” jawab Raga meyakinkan. Ia memegang handle pintu, tetapi belum membuka kuncinya. “Makanya aku tinggal ke kamar.” Setelah berucap demikian, Raga lantas memutar kunci dan membuka pintunya. Ia menunduk, dan melihat Rama memasang wajah cemberut di depan pintu. “Aku mau tidur di sini.” Belum dipersilakan, Rama langsung nyelonong masuk melewati Raga. Berjalan gontai menuju tempat tidur, lalu merebahkan diri dengan mapan tepat di tengah-tengah ranjang. “Bukannya tadi sudah tidur, Ram?” Raga menutup pintu, tetapi tidak menguncinya. Ia menghampiri Rama, lalu duduk di tepi ranjang. Dram
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida