Mohon maap baru up yaa ~~
“Hwaaah …” Separuh tubuh Rama sudah berada di atas meja makan, dengan kedua siku yang menumpu berat badannya. Melihat antusias, pada dua buah jenis cake berbeda, yang sudah berada di meja. “Aku mau!” “Cuma boleh cheesecake,” kata Lintang menjauhkan blackforest dari jangkauan Rama. “Ingat kata dokter, nggak boleh makan cokelat. Mama nggak mau Rama batuk-batuk, sesak napas, terus masuk rumah sakit lagi kayak kemaren.” Bibir Rama mengerucut. Namun, ia tidak bisa membantah, karena tidak ingin lagi masuk rumah sakit dalam waktu yang lama. “Nyicip dikiiit aja, boleh? Dikit, Ma, dikiiit.” Lintang menghela. “Sayang—“ “Boleh, dikit,” sela Raga langsung mencuil serpihan cokelat yang ada di atas cake tersebut, lalu memberikannya pada Rama. “Aak.” Meskipun hanya seujung kuku, tetapi Rama segera menyambarnya dengan cepat. Jika tidak, tangan sang papa pasti akan segera disingkirkan oleh Lintang. “Ramaaa.” Lintang sudah melotot pada Rama, tetapi tangannya mencubit pinggang Raga dengan kekesalan
“Mbak Lin!” Intan buru-buru menghampiri Lintang. Merampas lakban dari tangan tangan ibu hamil itu, lalu menggeleng cepat sambil melihat perut yang sudah sangat besar itu. Karena akhir minggu ini orderan toko membludak, maka Intan memutuskan datang ke rumah Lintang untuk membereskannya. Daripada menumpuk di awal minggu, Intan akan semakin kerepotan dengan jadwal kuliah yang padat. “Aku bisa dimarahin mas Raga, kalau Mbak Lintang ikut bantuin packing barang.” “Aku cuma—“ “Nggak cuma-cuma, Mbak,” putus Intan sambil merengut, dan melihat CCTV yang berada di sudut gudang. Tidak hanya di dalam, tetapi Raga juga memasang CCTV hampir di setiap tempat umum dan terbuka di kediamannya. “Cuma gara-gara Mbak Lintang ngangkat dua pak kertas HVS, aku kena semprot suaminya Mbak, yang lebay itu.” Lintang terkekeh lalu berjalan mengikuti Intan yang pergi meja kerjanya. Menurut Lintang, suaminya itu memang sedikit berlebihan. Lintang tidak lagi diperbolehkan ikut campur dalam urusan pergudangan. Ia ha
“Tenang.” Sekali lagi, Raga meminta Lintang untuk tenang. Pernah berada di situasi yang sama, membuat Raga sedikitnya bisa menguasai diri. “Ini cuma mulas biasa, karena HPL masih dua minggu lagi, oke, Sayang?”Lintang menggeleng. Masih tetap tidak merasa tenang, karena terlalu overthinking. Hari perkiraan lahir, juga tidak menjamin bayinya akan keluar di waktu yang tepat.“Teman kantorku, ada yang delapan bulan sudah lahir, ada juga yang lebih sembilan bulan.” Lintang menyanggah, sesuai dengan pengalaman beberapa orang yang ditemuinya.“Kamu itu kebanyakan makan.” Raga pun ikut menyanggah, karena yakin bayi mereka akan lahir sesuai perkiraan. “Dari bangun tidur, nggak berhenti ngunyah.”“Mulesnya beda, Pa.” Lintang menghela panjang setelah rasa sakit itu perlahan pergi. “Mulai hilang … pasti mau lahiran. Aku mau ke rumah sakit aja.”“Tahan sampai besok bisa?” Raga yakin Lintang hanya mulas bisa, bukan karena akan melahirkan. “Nanti malam ada gala dinner sama rapat internal partai, dan
“Aku nggak mau mandi, nggak mau sekolah.” Rama bersedekap. Membalik tubuh, lalu membelakangi Raga. Masih memakai piyama tidur, dan tidak mau pergi ke kamar mandi walau sudah dibujuk sedemikian rupa. Raga yang sudah berjongkok sedari tadi, berusaha bersabar agar tidak memarahi Rama. Jika tidak, Lintang pasti akan memarahinya balik karena tidak bisa mengontrol emosinya. Sejak anak kedua Raga lahir, putra pertamanya itu semakin banyak bertingkat. Terlebih, ketika jenis kelaminnya tidak sesuai dengan permintaan Rama. Putranya ingin seorang adik perempuan, tetapi Lintang ternyata melahirkan seorang bayi laki-laki. “Terus maunya apa?” Akhirnya Raga bersila, karena lelah berjongkok sedari tadi. “Aku mau adek cewek!” Rama memutar sedikit tubuhnya, lalu memicing pada Raga. “Bukan adek cowok! Nanti kayak Papa.” Raga mengacak-acak rambutnya. Harusnya, Rama senang karena punya adik laki-laki, karena mereka bisa main bersama nantinya. Berbeda dengan adik perempuan, yang jenis mainannya jelas-j
Lintang baru saja meletakkan Mana di dalam box bayi, ketika pintu kamarnya di ketuk dengan perlahan. Jarum jam hampir menunjukkan ke angka sembilan, dan seharusnya Rama sudah terlelap di kamarnya. “Katanya Rama sudah tidur?” Lintang bertanya sembari melihat Raga yang berjalan ke arah pintu. Sejak ada Mana, Rama memang lebih sering menghabiskan waktu dengan Raga daripada dengan Lintang. “Tadi sudah tidur, Ma,” jawab Raga meyakinkan. Ia memegang handle pintu, tetapi belum membuka kuncinya. “Makanya aku tinggal ke kamar.” Setelah berucap demikian, Raga lantas memutar kunci dan membuka pintunya. Ia menunduk, dan melihat Rama memasang wajah cemberut di depan pintu. “Aku mau tidur di sini.” Belum dipersilakan, Rama langsung nyelonong masuk melewati Raga. Berjalan gontai menuju tempat tidur, lalu merebahkan diri dengan mapan tepat di tengah-tengah ranjang. “Bukannya tadi sudah tidur, Ram?” Raga menutup pintu, tetapi tidak menguncinya. Ia menghampiri Rama, lalu duduk di tepi ranjang. Dram
“Mas … aku, hamil.” Intan tertunduk, dan tidak berani menatap Safir. Kedua tangannya saling meremas, menyembunyikan kegusaran yang sejak kemarin sudah menghantui. Bagaimana ini? Apa yang harus Intan katakan pada kedua orang tuanya nanti? Mereka pasti akan sangat kecewa dengan Intan, yang ternyata sudah melakukan sesuatu di luar batas pergaulan. Senyum Safir yang berada di belakang kemudi lantas memudar. Tidak jadi menginjak pedal gas, setelah mendengar kabar mengejutkan dari Intan. “Hamil? Kamu telat? Sudah dicek betul-betul?” Safir meraih tangan Intan dan mencengkram erat. “Su-sudah, Mas.” Intan mengangguk sembari meringis, karena cengkraman Safir yang tidak biasa. “Aku, aku bawa hasilnya kalau Mas Safir mau lihat.” “Nggak perlu.” Safir menghempas kesal tangan Intan, sembari menghela kasar. Ia mengusap wajah frustasi dengan amat perlahan, dan terdiam cukup lama untuk memikirkan beberapa hal. “Mas—” “Bukannya sudah aku ingatkan berkali-kali, jangan sampai lupa minum pil Kbmu, T
“Safir!” “Raga!” Retno reflek menyentuh dadanya, ketika mendengar Raga berteriak saat memasuki ruang keluarga. Retno melihat Raga berjalan secepat kilat, melewatinya menaiki tangga. Dari wajah Raga, putranya itu sepertinya tengah marah pada Safir. Namun, seumur hidup Retno, ia tidak pernah melihat Raga semurka itu. Apa yang sudah terjadi sebenarnya? Mendadak diselimuti satu ketakutan tanpa alasan, Retno setengah berlari menyusul Raga menaiki tangga. Melihat kedua tangan Raga yang mengepal erat, Retno jadi khawatir sesuatu akan terjadi di antara kedua putranya itu. “Safir!” Saat tidak bisa membuka pintu kamar yang terkunci dari dalam, Raga langsung menggedor tanpa jeda. “Raga!” Retno menarik lengan Raga, agar berbalik menatapnya. “Kamu ini kenapa? Teriak nggak jelas, terus gedor-gedor pin …” Retno spontan menoleh pada pintu yang baru saja terbuka. “Kenap—” Belum selesai satu kata terucap dari mulut Safir, tubuhnya mendadak terpental kasar ke belakang. Karena tidak bisa menjaga ke
“Berapa bulan?”Intan menggeleng, untuk menjawab pertanyaan Retno. Ia duduk seorang diri di sofa tunggal, menghadapi Retno dan Ario yang tampak gusar sedari tadi. Belum lagi, ada Lintang dan Raga yang juga ikut “menyidangnya” kali ini.Harusnya, Intan tidak terbujuk dengan segala kata-kata manis yang dimuntahkan Safir selama ini. Harusnya, Intan bisa menjaga diri dan tidak menyerahkan segalanya pada pria berengsek itu. Harusnya, Intan mendengar semua nasihat yang diberikan Raga, maupun Lintang kepadanya.Namun, semua itu tidak Intan lakukan.“Saya … baru tespek kemarin, Bu.” Intan tertunduk. Tidak berani menatap keempat orang yang ada di ruang keluarga saat ini. “Tapi … “ Intan segera mengusap air mata yang mulai mencair di sudut mata. “Mungkin … biar saya gugurin aja—““Intan!” Lintang langsung melempar protes tidak terima. Sebagai wanita yang sedikit susah, mendapatkan dua garis merah, Lintang tentu saja tidak setuju dengan keputusan Intan. Banyak wanita yang mungkin masih berjuang