“Gimana, Tan?”Pagi-pagi sekali, Lintang segera menghampiri Intan di kamar tamu. Sambil membawa Mana yang sudah bangun sejak subuh tadi, tetapi belum dimandikan. Sebenarnya, Lintang hendak menitipkan Mana pada Raga. Namun, mengingat ada Rama yang juga harus ditemani, maka Lintang memilih membawa Mana untuk menemui gadis itu.“Sudah diputusin?” Dengan sengaja, Lintang meletakkan Mana di pangkuan Intan, untuk menggugah naluri keibuan gadis itu.Bagaimanapun juga, Lintang tidak ingin Intan menggugurkan bayinya dan berakhir menyesal di kemudian hari. Belum lagi, bisa saja ada resiko yang dialami Intan bila ada kesalahan dalam prosedurnya. Membayangkannya saja, Lintang sudah bergidik ngilu sendiri.“Aku masih bingung, Mbak,” jawab Intan yang memang sudah lihai membawa Mana. Selama tiga bulan bekerja paruh waktu di rumah Lintang, tentu saja Intan sudah cukup sering menggendong bayi lucu itu. “Mas Safir, kayaknya marah besar karena dipaksa nikahin aku. Makanya … aku kayaknya udah nggak mau n
“Kenapa, harus buru-buru?”Orang tua Intan sontak saling melempar pandangan, ketika Ario mengatakan ingin menikahkan anak mereka dalam kurun waktu satu minggu lagi. Kedatangan keluarga Sailendra ke rumah saja sudah membuat syok, dan sekarang, mereka ingin menikahkan Intan dan Safir secepatnya.Sebagai seorang ibu, Jenny tentu merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Sejauh ini, Jenny tidak pernah mendengar putrinya memiliki hubungan dengan pria mana pun. Intan juga tidak pernah bercerita mengenai hubungannya dengan Safir, adik kandung dari Raga Sailendra yang dulu pernah tinggal di lingkungan mereka.“Intan masih kuliah, dan belum lulus,” tambah Jenny merasa tidak nyaman, dengan kehadiran keluarga terpandang tersebut ke rumahnya, yang ukurannya tidaklah seberapa.“Betul, Pak Ario.” Heru menimpali dan setuju dengan pendapat sang istri. “Atau, mungkin kita bisa tunangan aja dulu. Tunggu Intan lulus, baru kita nikahkan.”Retno tersenyum dan segera mengambil alih. Andai saja kedua orang tua
Setelah mengetahui putrinya hamil di luar nikah, Heru sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Masalah pernikahan, sudah Heru serahkan sepenuhnya pada keluarga Sailendra. Ketika mereka mengatakan pernikahan tersebut akan digelar secara private dan terbatas, maka Heru hanya bisa mengiyakan.Pun ketika Retno meminta Intan tinggal di kediaman Sailendra, Heru dan sang istri tidak bisa menolaknya. Justru hal tersebut lebih baik lagi, untuk menghindari banyaknya pertanyaan yang mungkin dilontarkan pada tetangga. Apalagi, bila mereka nantinya menyadari perut Intan yang sudah membesar, dan menghitung-hitung tanggal pernikahan dan hari lahir bayi putrinya kelak.Terkadang, tinggal bertetangga bisa sangat merepotkan. “Kamu nggak kuliah?” tanya Jenni masuk ke kamar Intan yang tidak terkunci, setelah mengetuknya terlebih dahulu.“Aku bolos.” Intan yang masih rebahan di tempat tidur, segera berbalik menatap sang mama. “Mbak Lintang mau ke sini, habis ngantar Rama sekolah.”Jenny duduk di samping Inta
Decakan Safir begitu keras, ketika sudah berada di area parkiran sebuah dealer mobil. Ia keluar, lalu menutup pintu mobilnya dengan kasar. Andai saja Raga tidak menelepon dan kembali memberi ancaman, Safir mana mau mendatangi Heru. Apalagi, pekerjaan pria itu adalah seorang satpam. Kenapa juga Safir harus berhubungan dengan Intan yang bodoh itu. Setelah Intan, Safir tidak akan lagi mau berhubungan dengan wanita yang polos, dan begitu naif seperti gadis itu. Ini akan jadi pelajaran pertama, dan terakhir kali, karena Intan benar-benar tidak berpengalaman seperti para wanita yang pernah bersama Safir sebelumnya. “Safir!” Suara itu, membuat Safir kembali berdecak. Namun, Safir segera memasang senyum ramahnya, saat berbalik dan menatap Heru yang berjalan ke arahnya. “Bapak kira, kamu nggak bisa datang,” sambuh Heru lalu membalik tubuh Safir, dan membawa pria itu terus berjalan mendekati gedung. “Bisa, Pak.” Andai tidak berada dalam ancaman Ario dan Raga, Safir pasti tidak akan mau bers
“Sudah berani ngancam lo sekarang.”Safir berdecih. Menatap Intan yang baru saja memasuki mobilnya. Gadis itu memasang sabuk pengaman, dan tidak menatap Safir sama sekali.“Ini untuk pertama dan terakhir kali.” Intan menatap lurus. “Biar papa sama mamaku tahu, kalau mas Safir juga peduli dengan anak ini. Habis itu, aku nggak akan minta mas Safir temani aku periksa kandungan lagi.”“Terserah.” Safir mulai melajukan mobilnya, ke rumah sakit yang sudah Intan beritahu lewat pesan. Andai gadis itu tidak mengancam melaporkannya pada Raga, maka Safir tidak akan mau repot-repot menjemput Intan seperti sekarang. “Pokoknya, begitu anak itu lahir, gue mau tes DNA.”“Nggak perlu,” tolak Intan. “Setelah anakku lahir, mas Safir bisa ceraikan aku. Semuanya sudah aku bicarakan sama pak Ario, juga bu Retno. Hak asuh anak akan ada sama aku, dan mas Safir nggak perlu repot-repot bertanggung jawab untuk ngerawat dia kalau sudah lahir.”“Kenapa nggak perlu?” Safir memuntahkan satu tawa sinis. “Takut ketah
“Marketing?” Otak Safir mendadak bekerja sangat lambat, karena tidak percaya dengan hal yang baru didengarnya. Hari masih terlampau pagi, tetapi Ario dan Raga sudah memanggilnya ke ruang kerja. Safir bahkan belum mandi, atau melakukan apapun pagi ini. Namun, kedua orang itu sudah memintanya untuk bertemu.“Ya, marketing.” Raga menjawab dengan penuh penekanan. “Bukan direktur marketing, atau supervisor. Tapi STAFF.”“Bentar, Mas, bentar.” Safir menggeser bokongnya. Mengarahkan tubuh pada Ario yang duduk di balik meja kerja. Rasa kantuk yang tadinya masih melekat di pelupuk mata, akhirnya sirna seketika. “Papa, apa aku nggak salah dengar? Aku jadi staff marketing mulai hari ini?”“Kalau nggak terima, silakan buat surat pengunduran diri dan cari kerja di tempat lain.”Bagi Ario, bergonta-ganti pacar saat putranya belum menikah, hal tersebut masih dalam tahap wajar, dan ia bisa mentolerir. Namun, tidak mau bertanggung jawab dengan perbuatan fatal yang sudah dilakukan, itu termasuk kurang
Satu alasan mengapa Safir tertarik pada Intan kala itu ialah, gadis itu sangat manis. Dari pandangan pertama saja, Safir sudah sangat memuji kecantikan gadis itu. Berbeda dengan Lintang dahulu kala. Dari pertama kali melihat, Safir sama sekali tidak tertarik dengan gadis yang saat ini telah menjadi kakak iparnya. Mungkin karena Lintang terlampau cuek dengan penampilan, karena itulah Safir saat itu menolak Lintang mentah-mentah untuk menjadi istrinya.Sementara Intan, wajah dan visual gadis itu sangat memanjakan mata Safir. Mau dilihat dari sudut mana pun, Intan benar-benar mampu memancing seluruh hasratnya. Jadi, tidak salah rasanya bila Safir mendekati Intan, karena ingin memuaskan dahaganya di atas tempat tidur.Namun, sial bagi Safir karena Intan ternyata sangatlah naif. Gadis yang tidak berpengalaman itu, ternyata melupakan meminum pil kontrasepsi yang diberikan oleh Safir.Kesialan Safir pun tidak sampai di situ. Jabatannya di perusahaan harus turun, serta mobil sedan mewah kelua
Kalau biasanya, Intan akan berleha-leha di pagi hari ketika hari libur, tetapi tidak kali ini. Ia memasang alarm ponselnya lebih pagi lagi, dan segera membersihkan kamarnya sendiri. Setelah mandi, Intan bergegas pergi ke dapur dan berencana membantu asisten rumah tangga di kediaman Sailendra, untuk menyiapkan sarapan.“Mbak Intan sudah lapar?” tanya Idha melihat Intan memasuki dapur dengan tergesa. Karena mengetahui kondisi Intan yang sedang hamil, maka Idha langsung bertanya akan hal tersebut. Mungkin saja, ibu hamil yang baru menikah tadi malam mendadak lapar di subuh hari seperti ini. “Mau saya bikinkan roti bakar dulu? Atau mau makan nasi?”Intan memelankan langkahnya sembari menghampiri Idha. “Biar saya bantuin masak, Bu.”“Jangan, Mbak,” tolak Idha mengingat situasi yang sama seperti Lintang dahulu kala. “Nanti saya dimarahi Bu Retno, kalau Mbak Intan bantu-bantu di dapur. Mbak Lintang juga gitu, kok, nggak pernah bantu-bantu di dapur. Mending Mbak Intan duduk dulu, biar saya bu