“Sudah berani ngancam lo sekarang.”Safir berdecih. Menatap Intan yang baru saja memasuki mobilnya. Gadis itu memasang sabuk pengaman, dan tidak menatap Safir sama sekali.“Ini untuk pertama dan terakhir kali.” Intan menatap lurus. “Biar papa sama mamaku tahu, kalau mas Safir juga peduli dengan anak ini. Habis itu, aku nggak akan minta mas Safir temani aku periksa kandungan lagi.”“Terserah.” Safir mulai melajukan mobilnya, ke rumah sakit yang sudah Intan beritahu lewat pesan. Andai gadis itu tidak mengancam melaporkannya pada Raga, maka Safir tidak akan mau repot-repot menjemput Intan seperti sekarang. “Pokoknya, begitu anak itu lahir, gue mau tes DNA.”“Nggak perlu,” tolak Intan. “Setelah anakku lahir, mas Safir bisa ceraikan aku. Semuanya sudah aku bicarakan sama pak Ario, juga bu Retno. Hak asuh anak akan ada sama aku, dan mas Safir nggak perlu repot-repot bertanggung jawab untuk ngerawat dia kalau sudah lahir.”“Kenapa nggak perlu?” Safir memuntahkan satu tawa sinis. “Takut ketah
“Marketing?” Otak Safir mendadak bekerja sangat lambat, karena tidak percaya dengan hal yang baru didengarnya. Hari masih terlampau pagi, tetapi Ario dan Raga sudah memanggilnya ke ruang kerja. Safir bahkan belum mandi, atau melakukan apapun pagi ini. Namun, kedua orang itu sudah memintanya untuk bertemu.“Ya, marketing.” Raga menjawab dengan penuh penekanan. “Bukan direktur marketing, atau supervisor. Tapi STAFF.”“Bentar, Mas, bentar.” Safir menggeser bokongnya. Mengarahkan tubuh pada Ario yang duduk di balik meja kerja. Rasa kantuk yang tadinya masih melekat di pelupuk mata, akhirnya sirna seketika. “Papa, apa aku nggak salah dengar? Aku jadi staff marketing mulai hari ini?”“Kalau nggak terima, silakan buat surat pengunduran diri dan cari kerja di tempat lain.”Bagi Ario, bergonta-ganti pacar saat putranya belum menikah, hal tersebut masih dalam tahap wajar, dan ia bisa mentolerir. Namun, tidak mau bertanggung jawab dengan perbuatan fatal yang sudah dilakukan, itu termasuk kurang
Satu alasan mengapa Safir tertarik pada Intan kala itu ialah, gadis itu sangat manis. Dari pandangan pertama saja, Safir sudah sangat memuji kecantikan gadis itu. Berbeda dengan Lintang dahulu kala. Dari pertama kali melihat, Safir sama sekali tidak tertarik dengan gadis yang saat ini telah menjadi kakak iparnya. Mungkin karena Lintang terlampau cuek dengan penampilan, karena itulah Safir saat itu menolak Lintang mentah-mentah untuk menjadi istrinya.Sementara Intan, wajah dan visual gadis itu sangat memanjakan mata Safir. Mau dilihat dari sudut mana pun, Intan benar-benar mampu memancing seluruh hasratnya. Jadi, tidak salah rasanya bila Safir mendekati Intan, karena ingin memuaskan dahaganya di atas tempat tidur.Namun, sial bagi Safir karena Intan ternyata sangatlah naif. Gadis yang tidak berpengalaman itu, ternyata melupakan meminum pil kontrasepsi yang diberikan oleh Safir.Kesialan Safir pun tidak sampai di situ. Jabatannya di perusahaan harus turun, serta mobil sedan mewah kelua
Kalau biasanya, Intan akan berleha-leha di pagi hari ketika hari libur, tetapi tidak kali ini. Ia memasang alarm ponselnya lebih pagi lagi, dan segera membersihkan kamarnya sendiri. Setelah mandi, Intan bergegas pergi ke dapur dan berencana membantu asisten rumah tangga di kediaman Sailendra, untuk menyiapkan sarapan.“Mbak Intan sudah lapar?” tanya Idha melihat Intan memasuki dapur dengan tergesa. Karena mengetahui kondisi Intan yang sedang hamil, maka Idha langsung bertanya akan hal tersebut. Mungkin saja, ibu hamil yang baru menikah tadi malam mendadak lapar di subuh hari seperti ini. “Mau saya bikinkan roti bakar dulu? Atau mau makan nasi?”Intan memelankan langkahnya sembari menghampiri Idha. “Biar saya bantuin masak, Bu.”“Jangan, Mbak,” tolak Idha mengingat situasi yang sama seperti Lintang dahulu kala. “Nanti saya dimarahi Bu Retno, kalau Mbak Intan bantu-bantu di dapur. Mbak Lintang juga gitu, kok, nggak pernah bantu-bantu di dapur. Mending Mbak Intan duduk dulu, biar saya bu
“Bu Idha, nanti Intan tolong bikinin jus alpukat sama susu.” Retno melirik pada kotak susu hamil, yang tergeletak di luar kantong kresek. Kemarin, Lintang memang sempat membawanya, dan ternyata isinya belum dituang ke sebuah wadah. “Baik, Bu.” Idha menghentikan kegiatannya memotong buncis, dan melihat Retno meraih kotak susu yang tidak jadi dibuka oleh Intan. “Bu, tadi mbak Intan ke dapur mau bikin susu, tapi dipanggil mas Safir ke kamar.” “Anak itu!” Retno berdecak. Meletakkan kembali kotak susu di tempatnya, dan berbalik. “Kamar Intan?” “Sepertinya iya, Bu,” “Makasih, Bu.” Retno mengangguk-angguk sembari mempercepat langkahnya. Ia segera pergi ke kamar Intan, dan mengerutkan dahi. Semakin dekat, Retno dapat mendengar suara perdebatan di dalam sana. Sampai akhirnya, Retno langsung membuka pintu kamar Intan setelah mendengar suara teriakan gadis itu. “Apa-apaan ini!” “Bu—Bu Retno.” Intan melangkah mundur dengan perlahan. Menjauhi dari Safir, dan menunduk karena tidak berani menat
Safir membuka mobile banking-nya, lalu melihat nominal saldo yang dimilikinya saat ini. Ia pun berdecak, karena nominal yang ada ternyata jauh dari yang diharapkan dan dibayangkan. Ke mana perginya gaji dan tunjangan perusahaan yang setiap bulan di dapatnya, selama ini? Mengapa semua seolah menguap begitu saja, dan tidak ada bentuk fisik yang bisa Safir lihat di depan mata. Seharusnya, dengan penghasilannya sebagai salah direktur perusahaan, Safir setidaknya sudah bisa memiliki rumah, apartemen, atau mungkin sebidang tanah untuk investasi. Namun, semua itu tidak ia miliki sama sekali. Bahkan untuk hal sepele yaitu mobil, Safir pun tidak memilikinya. Hanya ada satu buah city car pemberian Ario saat Safir kuliah dulu, dan satu mobil lagi yang baru saja ditarik oleh sang papa. Itupun, sedan mewah tersebut bukan milik Safir, tetapi milik Ario. Statusnya hanya dipinjamkan saja. Kenapa juga Safir baru memikirkan itu semua di saat ia sedang jatuh seperti sekarang. Safir sama sekali tidak me
“Ada jadwal kuliah hari ini, Tan?”Retno mempercepat langkahnya, saat melihat Intan berjalan lesu menuju dapur. Gadis itu tertunduk malas, dengan langkah yang tampaknya berat. Semoga saja, Intan bisa bersabar menghadapi Safir selama kehamilannya.Tidak kurang-kurang Ario dan Raga memperingatkan dan mengancam Safir, tetapi putra bontotnya itu masih saja berani berulah. Semoga dengan pembicaraan kemarin, Safir bisa berubah dan menjadi lebih baik lagi. Karena sebagai seorang ibu, Retno sebenarnya tidak tega jika harus melihat anak-anaknya hidup menderita di luar sana. Namun, bila Safir tidak diberi pelajaran, maka putranya itu tidak akan pernah tahu dengan arti kata tanggung jawab.Intan terhenyak. Menahan napas, dan memegang dadanya dengan kedua tangan. Entah apa yang Intan lamunkan barusan, sampai-sampai teguran Retno mampu membuatnya terkejut setengah hidup.“Bu-bu Retno.”“Jangan ngelamun.” Retno menoleh sebentar pada Intan yang sudah berada di sampingnya. “Kalau ada jadwal kuliah, a
Intan sedikit tersentak, saat mendengar tarikan kursi yang tidak jauh darinya. Ia menoleh pelan, kemudian melihat Safir duduk pada kursi di sudut meja makan dan menatapnya. Karena tidak nyaman dengan tatapan tidak bersahabat Safir, Intan langsung menelan makanan di mulutnya sekaligus. Ia memundurkan kursi, kemudian mengangkat piring dan bersiap untuk pindah ke dapur. Lebih baik menghindari Safir, daripada mereka kembali berdebat dan bertikai.“Duduk!” titah Safir ketika melihat Intan baru saja berdiri. “Memangnya aku kuman, he? Kamu mau makan, ya, makan aja.”“I-iya, Mas.” Dengan perlahan dan sangat hati-hati, Intan kembali duduk dan meletakkan piringnya di meja makan. Ia menunduk, lalu menyuapkan lagi makanannya ke mulut dengan tenang. Tidak menoleh ke mana pun, dan hanya fokus pada piringnya saja.“Bu Idha …” panggil Safir dengan suara kerasnya.“Bu Idha, lagi makan siang di rumah belakang sama yang lain, Mas.” Intan tetap mempertahankan posisi wajahnya. Tidak menoleh ke mana pun, d
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida