Intan sedikit tersentak, saat mendengar tarikan kursi yang tidak jauh darinya. Ia menoleh pelan, kemudian melihat Safir duduk pada kursi di sudut meja makan dan menatapnya. Karena tidak nyaman dengan tatapan tidak bersahabat Safir, Intan langsung menelan makanan di mulutnya sekaligus. Ia memundurkan kursi, kemudian mengangkat piring dan bersiap untuk pindah ke dapur. Lebih baik menghindari Safir, daripada mereka kembali berdebat dan bertikai.“Duduk!” titah Safir ketika melihat Intan baru saja berdiri. “Memangnya aku kuman, he? Kamu mau makan, ya, makan aja.”“I-iya, Mas.” Dengan perlahan dan sangat hati-hati, Intan kembali duduk dan meletakkan piringnya di meja makan. Ia menunduk, lalu menyuapkan lagi makanannya ke mulut dengan tenang. Tidak menoleh ke mana pun, dan hanya fokus pada piringnya saja.“Bu Idha …” panggil Safir dengan suara kerasnya.“Bu Idha, lagi makan siang di rumah belakang sama yang lain, Mas.” Intan tetap mempertahankan posisi wajahnya. Tidak menoleh ke mana pun, d
“Hamil?” Retno melihat Mana yang ada di gendongan Raga, lalu segera mengambil sang cucu dari tangan putranya. Ia mengangkat Mana setinggi wajah, lalu menggeleng-geleng sembari terkekeh. “Kamu mau punya adek? Ckckck, papamu itu …” Subuh tadi, Rama sudah melakukan panggilan video dengan Retno maupun Ario, guna memberi kabar tentang kehamilan Lintang. Dari wajah Rama serta suara yang begitu antusias itu, Retno bisa membayangkan rasa bahagia bocah itu. Semoga saja, anak kedua Lintang nanti berjenis kelamin perempuan, agar sesuai dengan keinginan Rama. “Mumpung mamanya masih muda,” ujar Raga memberi alasan dan ikut terkekeh. “Tapi Mana baru tiga bulan, Ga.” Retno kembali menggeleng lalu membawa Mana duduk di sofa, dan memangkunya. Tidak lupa, ia juga mengajak Raga dan Lintang yang baru saja datang itu duduk bersama. “Ini memang direncanain, atau kebobolan, hayo!” Lintang dan Raga terkekeh dengan kompaknya. Tidak perlu dijelaskan pun, mereka yakin Retno sudah bisa menebak arti dari kekeh
Anwar tersenyum lebar saat menyambut kedua cucunya yang baru keluar dari mobil. Kedua tangannya sudah terbuka lebar, dan siap menangkap Rama yang berlari kecil ke arahnya. Sementara Mana, masih berada di belakang dan ada di gendongan Raga.“Sering-sering main ke rumah kakek!” seru Anwar saat memberi pelukan pada Rama. Setelah mengurainya, Rama langsung beralih pada Indri yang juga memberi satu pelukan hangat.“Papa sibuk,” jawab Rama lalu sedikit menggeser langkahnya setelah pelukannya dengan Indri terurai. Ia melihat ke ruang yang lebih dalam lagi, kemudian melangkah masuk dengan perlahan karena mendengar suara dari dalam sana. “Ada siapa di dalam, Kek?”“Ada tante Biya, sama om Maha,” jawab Indri masih sempat mengusap rambut Rama, sebelum bocah itu berlari setelah mendengar nama Biya dan Maha.Mendengar nama kedua orang itu, senyum Lintang sontak memudar. Kenapa Maha dan Biya, bisa datang bersamaan dengan Lintang seperti sekarang? Tahu begini, Lintang akan memastikan dulu kedua oran
Safir memelankan langkahnya menuruni tangga, saat melihat Intan berjalan menunduk dengan membawa tas selempangnya. Rambut hitam gadis itu digelung rendah seadanya, tetapi penampilan Intan sangat terlihat rapi. Hari bisa terbilang masih pagi, tetapi gadis itu tampaknya sudah mau pergi. Namun, pergi ke mana? Safir tahu pasti, Intan tidak ada mata kuliah di hari sabtu. Karena itu, wajar saja bila Safir mencurigai sesuatu. “Mau ke mana kamu?” tegur Safir kembali mempercepat langkahnya menuruni anak tangga. Andai cacing di dalam perutnya tidak memberontak, Safir pasti masih betah merebahkan diri di kamar, menghabiskan hari liburnya. “Mama sama papa pergi keluar kota, terus kamu juga mau ikut-ikutan keluar? Bukannya nggak ada kelas hari ini?” Kenapa juga Intan harus bertemu dengan Safir? Selama pria itu cuti, Intan jarang sekali bertemu dengan Safir meskipun mereka berada satu rumah. Safir jarang sarapan, makan siang, serta makan malam dengan tepat waktu. Pria itu lebih banyak tidur di k
“Kenapa ada mobil ibu di sini, Pa?” Lintang sampai menoleh ke belakang, saat mobilnya melewati roda empat milik Retno yang terparkir di halaman rumahnya. Lintang hanya ingin melihat nomor plat mobil tersebut, dan memastikannya. Ternyata benar, mobil tersebut adalah mobil milik Retno. “Ibu sama bapak bukannya lagi keluar kota?”“Mobil mama, kan, dipake Intan sekarang.” Raga hanya melihat sekilas, dan sudah menebak ada Intan sedang berkunjung ke rumahnya. Mungkin, Intan pergi mengunjungi Lintang karena tidak betah berada satu atap dengan Safir. “Jadi, Intan paling ada di dalam.”Saat mobil mereka berhenti, Raga lebih dulu membuka pintu dan langsung mengangkat car seat berisi Mana yang sudah tertidur pulas sejak tadi. Sementara Rama, tidak mau ikut pulang ke rumah dan masih betah berada di kediaman Dewantara.Lintang berdecak, saat mengetahui Intanlah yang saat ini berada di rumahnya. “Anak itu, pasti ada di gudang. Padahal sudah aku bilang nggak usah kerja lagi.”“Ma.” Raga tidak langsu
“Padahal, aku nggak mau datang ke sini.” Melihat Rama mulai berjalan mendahuluinya, Lintang segera berteriak. “Ramaaa, jangan cepat-cepat jalannya. Pegangan sama tante Intan.” Karena Lintang tengah mendorong stroller berisikan Mana yang tertidur, maka ia tidak bisa sekaligus menggandeng Rama. Rama berbalik, lalu berjalan mundur. “Aku nggak jauh-jauh, Ma.” Setelah berucap hal tersebut, Rama kembali berbalik dan berjalan seperti biasa. Namun, tetap berada di depan Lintang dan Intan. “Capek, ya, Mbak?” tanya Intan. “Nggak capek juga.” Lintang segera menutup mulutnya yang baru saja menguap. “Cuma mager aja, Tan. Hamil yang ini, ni, aku malas ke mana-mana kalau nggak terpaksa. Ini aja kalau nggak diminta wakilin ibu, aku mending tidur di rumah.” Terbit setitik rasa iri di hati Intan, tetapi, lagi-lagi ia harus sadar diri. Memangnya, Intan siapa, sampai Retno meminta menggantikannya menghadiri opening ceremony pameran buku Internasional? Intan bukanlah siapa-siapa. Bahkan, posisi Safir
Intan memilih berhenti melangkah dan tidak lagi menyusul Safir. Perut bagian bawahnya mendadak terasa kaku, karena itulah Intan hanya berdiam diri sembari mengatur napasnya. Setelah berangsur pulih, Intan melihat sebuah kursi plastik yang berada pada stand buku yang tidak jauh darinya. Hanya berjarak kurang lebih lima meter, sehingga Intan tidak perlu berjalan terlalu jauh sampai menghampiri Lintang.Dengan perlahan, Intan duduk lalu mengeluarkan ponsel dari tas selempang kecilnya. Intan hendak melihat, berapa banyak nominal gaji Safir yang ternyata sudah ditransfer ke rekeningnya. Saat Intan melihat mutasinya, ternyata nominal yang masuk baginya sudah cukup besar. Ada uang masuk sebesar 10 juta rupiah ke rekeningnya.Namun, setelah Intan berhitung lagi, ia hanya akan menerima sebesar tiga juta rupiah setelah dikurangi jatah untuk Safir. Uang bensin mobil sebesar tiga juta, dan pegangan Safir setiap minggu sebanyak satu juta.Kalau begini, apakah Intan harus pasrah dan diam saja? Atau
“Papa mamamu masih dalam perjalanan.” Sebelum Intan bertanya, Lintang sudah lebih dulu menyampaikan sesuatu. Sebenarnya, Intan sudah sadar sejak masih berada di lokasi pameran, tetapi, Lintang memaksa untuk membawa adik iparnya itu ke rumah sakit terdekat. “Dengar apa kata dokter tadi, kan? Tekananmu rendah banget, sama dehidrasi juga. Jadi, kamu harus bedrest. Tahu gini aku ngajak kamu ke pameran.” Bukan salah Lintang, tetapi Intanlah yang sedikit memaksa untuk ikut. Intan bosan berada di rumah, dan sedang malas pulang ke rumahnya sendiri, karena orang tuanya pasti akan bertanya tentang banyak hal. “Mas … Safir?” Biarlah Intan dikatakan bodoh, tetapi di pikirannya saat ini hanyalah Safir. Apa pria itu sudah tahu Intan berada di rumah sakit? “Aku nggak bisa jawab.” Lintang sampai menelepon Eni, dan memintanya datang ke rumah sakit dengan menggunakan ojek agar cepat sampai. Urusan Rama masih bisa dititipkan pada Raga, kerena bocah itu sudah besar dan bisa diatur. Namun untuk urusan M