“Titip Intan, ya, Fir,” pamit Heru sembari menepuk lengan Safir. Sebagai seorang ayah, Heru merasa pernikahan putrinya dengan Safir sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa seorang suami berada di sisi istrinya, ketika tahu Intan masuk ke rumah sakit. Sesibuk-sibuknya Safir di luar sana, pria itu berusaha datang dan mendampingi Intan. Terlebih lagi, Intan saat ini sedang mengandung anak Safir.Namun, karena Intan selalu membela Safir, dan memberi banyak alasan, maka Heru hanya bisa mengangguk-angguk saja. Antara percaya, dan tidak percaya. “Besok, Bapak sama ibu ke sini lagi,” tambah Heru lalu pergi meninggalkan kamar inap tempat Intan dirawat.Safir mengangguk dan berusaha memasang senyum di wajahnya. Jika bukan karena Intan telah mengancamnya, Safir pasti sudah berbaring dan terlelap di kamarnya.Setelah kepergian kedua mertuanya, Safir langsung menatap Intan dengan tajam. “Kamu, jangan ngelunjak. Aku sudah berusaha baik sama kamu dan kita sudah damai.”“Kita damai, tapi Mas Safi
“Selama satu minggu ke depan, nggak usah pergi ke mana-mana,” pesan Retno sambil membuka tirai jendela kamar Intan. Menantunya itu sudah berada di rumah, karena dokter mengatakan kondisi Intan sudah cukup baik. Namun, Intan harus tetap beristirahat, dan tidak boleh melakukan pekerjaan berat yang bisa membuatnya kelelahan. “Izin kuliah, dan istirahat total di rumah.”Intan mengangguk dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sejak pembicaraannya dengan Safir pagi itu, Intan lebih banyak merenung dan memikirkan lagi tentang pernikahannya ke depan. Mendengar sendiri Safir mengatakan tidak mencintainya, Intan pun harus lebih sadar diri lagi. Selama ini, Intan sudah terlalu banyak berharap. Ia sempat beranggapan, kisah cintanya mungkin bisa berakhir seperti Lintang atau Raga. Namun, Intan salah.Jika begini, Intan harus berpikir ulang tentang masa depannya. Sepertinya, Intan juga tidak bisa bekerja di perusahaan keluarga Sailendra, seperti rencananya saat itu. Intan harus melepaskan diri dari k
“Ngapain, Ma?” Raga melihat Lintang termenung di samping jendela kamar. Raga menebak, hal tersebut ada hubungannya dengan Intan, karena istrinya itu tengah menelpon gadis itu beberapa waktu lalu. Lintang berbalik, kemudian memberi senyum pada Mana yang ada di gendongan Raga. Pria kecilnya itu baru saja mandi, dan masih berbalut handuk di pelukan sang papa. Sembari menghampiri Raga yang meletakkan Mana di tempat tidur, Lintang menceritakan perihal obrolannya dengan Intan barusan. “Kayak bukan Intan yang bicara,” lanjut Lintang sambil membuka tutup minyak telon, lalu menuangkan ke telapak tangan. Kemudian, Lintang menggosok kedua telapak tangannya, lalu mengusapnya di tubuh Mana dengan perlahan. “Responsnya dingin banget, Mas.” “Ma, Intan sudah dewasa.” Raga mengambil popok bayi yang sudah disiapkan Lintang, lalu memakaikannya dengan cepat, agar tidak ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba. “Biarkan dia belajar berpikir, dan mengambil keputusan sendiri. Seperti yang kamu bilang kemarin,
“Nanti, kami hubungi dua atau tiga hari lagi, ya, Mbak Intan.” “Baik, Bu.” Intan berdiri dari tempat duduknya, lalu mengulurkan tangan pada manajer cabang tempatnya melamar pekerjaan, atas rekomendasi salah satu temannya. “Terima kasih juga atas waktunya. Permisi.” Intan keluar ruangan dengan masih membawa rasa gugupnya. Ia lantas duduk pada kursi tunggu yang berada di depan salah satu ruang bimbingan belajar, lalu menyentuh perutnya. Intan berharap, semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana. Dengan atau tanpa ayah, Intan yakin bayinya tidak akan kekurangan apa-apa. Setelah merasa tenang dari kegugupannya, Intan segera berdiri dan keluar dari lembaga bimbingan belajar tersebut. “Intan?” Intan menoleh pada seorang pria, yang baru saja mematikan mesin motor sportnya. Mengernyit bingung, karena pria itu masih mengenakan helm full face dan hanya terlihat bagian matanya saja. Meskipun sudah melihat perawakan pria itu dari atas hingga bawah, Intan masih tidak bisa menebak,
Senyum Intan terlukis lebar, setelah mendapat telepon dari pihak lembaga bimbingan belajar Primagala. Ia berbaring perlahan di tempat tidur, kemudian menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak. Intan tahu, gajinya memang tidak seberapa, tetapi, cukup lumayan bila ditabung dan digunakan untuk jaga-jaga saat bercerai nanti. Jika saja tidak memikirkan kedua orang tuanya dan omongan tetangga, Intan pasti akan segera mengajukan cerai pada Safir. Namun, apa boleh buat. Intan tidak boleh egois, karena ada hati kedua orang tua yang juga harus dijaga. Intan sudah mengecewakan mereka satu kali, untuk itulah, Intan berusaha untuk tidak mengecewakan orang tuanya. Paling tidak, bukan dalam waktu dekat. Teriakan Intan terhenti, saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia bergegas menyingkirkan bantal, kemudian bangkit perlahan dan duduk sebentar untuk mengenyahkan raut bahagianya barusan. Sambil mengatur ekspresinya, Intan lantas beranjak lalu membuka pintu kamar. “Mbak … Lintang …” Untuk apa l
Lebih baik menghindar, daripada terluka lagi. Dalam kesendiriannya, Intan hanya butuh kata “waras” agar bisa tetap berdiri tegak. Tidak ada yang bisa diandalkan, kecuali dirinya sendiri. Tidak ada juga yang bisa diharapkan, karena ujung-ujungnya Intan hanya menelan rasa kecewa.Intan memang salah. Karena itulah, ia berusaha bertanggung jawab dan memperbaiki masa depannya kelak. Ada orang tua yang tidak lagi boleh ia kecewakan, dan calon bayi yang nantinya akan menjadikan Intan sebagai panutan. Oleh sebab itu, Intan harus benar-benar memilah semua hal, agar tidak lagi jatuh ke dalam lubang akibat kecerobohannya sendiri.“Siang, Bu Widi,” sapa Intan ketika baru saja keluar dari kelasnya. Ia berpapasan dengan manajer cabang, yang tempo hari langsung turun tangan mewawancarainya.“Siang, Tan.” Widi mengangguk kecil, seraya tersenyum kecil. “Sudah mau pulang, atau masih ada kelas?” tanya Widi tanpa menghentikan langkah, karena Intan juga sudah berjalan di sampingnya. “Ada satu lagi, Bu,”
“Beneran, ya, Mas Fajar lagi nggak sibuk,” tanya Intan memastikan lagi, karena khawatir pria itu memiliki pekerjaan yang menumpuk di kantornya.“Kalau sibuk, saya nggak mungkin ke sini nemui kamu,” kata Fajar lalu mempersilakan Intan yang baru saja berdiri, untuk duduk kembali. “Lagian juga dekat dari kantor, sekalian makan siang. Kamu sendiri gimana? Sampai jauh-jauh datang ke sini, padahal bisa bicara lewat telepon.”Intan meringis sembari duduk kembali di kursinya. Bukannya tidak ingin bicara lewat telepon, tetapi, Intan merasa bisa lebih bebas bila langsung bertemu dan bicara seperti saat ini.“Maaf, ya, Mas, sudah ngerepotin,” balas Intan sambil melambai tangan pada seorang pelayan. “Tapi nggak ada yang marah, kan?”Fajar terkekeh sembari menggeleng. “Bukan nggak ada, tapi belum ada.”“Aman berarti, ya?” gurau Intan kemudian ikut tertawa bersama Fajar.Mereka menghentikan pembicaraan sejenak, untuk memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Setelah selesai, barulah obrolan yang
“Kita selesaikan semua ini nanti malam.”Saat mengingat ucapan Safir tersebut, Intan tidak pernah menduga pria itu ternyata meminta seluruh keluarganya berkumpul seperti sekarang. Bahkan, Raga pun saat ini sudah duduk berseberangan dengan Intan, tetapi tanpa Lintang.Jika dilihat dari jas dan dasi yang masih menempel, Raga sepertinya baru saja pulang kantor dan langsung pergi ke kediaman Sailendra. Untuk itulah, Lintang tidak berada bersama Raga saat ini. Atau, ada kemungkinan Lintang tidak tahu menahu mengenai pertemuan malam ini.“Coba Papa sama Mama tanya sama Intan, makan berdua dengan siapa dia siang tadi?” Safir yang duduk di sebelah Raga, memasang senyum tipis nan sinis pada Intan. Ia sendiri tidak tahu, mengapa rasa kesalnya pada Intan tidak bisa hilang-hilang. Di matanya, semua yang dilakukan gadis itu selalu saja salah, dan tidak bisa dibenarkan. Alasan apa pun yang diberikan gadis itu, tidak akan mampu menyibak amarah yang sudah menutupi hati Safir.Semua mata mendadak men
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida