“Kita mau kemana?”
Indira bingung ketika mobil mereka menuju tempat yang tidak dikenalnya, lebih terkejut lagi ketika mobil yang Fajar kendarai berhenti di tempat pemakaman. Menatap sekitar dengan tatapan tanda tanya, Fajar bahkan belum mengeluarkan suaranya saat berada didalam mobil yang semakin membuat Indira bertanya-tanya, status mereka sudah berubah tapi tidak dengan sikap dan sifat Fajar.“Yuni, disini makamnya. Adik ingat awal kita bersama aku sering di RSJ?” Indira langsung menganggukkan kepalanya “Yuni, dia orangnya. Dia yang membuat aku berada disana dan terikat dengan Bu Retno.”“Mantan kakak?” tanya Indira hati-hati.Fajar menggelengkan kepalanya “Yuni, dia tetangga dan kami memang dekat dari kecil. Posisinya hampir sama dengan Ryan, kami tidak satu sekolah dan dia juga tidak tahu tentang Melda. Yuni, waktu SMA tinggal di Malang dan sekolah disana dimana artinya tidak tahu apa-apa tentang Melda. Masalah yang Melda buat pada saat itu a“Kakak tahu gimana reaksi mereka, jadi berhenti buat sebarin pernikahan ini.” Fajar menghembuskan nafas panjang, keinginannya untuk terbuka atas pernikahan tetap tidak mendapatkan persetujuan, berbagai macam alasan sudah diberikan tapi hasilnya tetap sama.“Kakak jadi dipindah?” Fajar menganggukkan kepalanya “Bagus kalau gitu setidaknya cafe yang dibuat harus ada yang mengurus.”Fajar menaikkan alisnya mendengar kata-kata Indira “Kenapa aku yang harus urus? Cafe itu dibuat untuk adik, aku tahu kalau psikologi bukan bidang adik dan cafe adalah bidang adik.”Indira memutar bola matanya malas “Kenapa buat begituan nggak bilang-bilang? Uang darimana? Kakak punya uang banyak ternyata, beda ya sama uang yang ada di ATM ini?’Fajar tersenyum dan hanya bisa menggaruk lehernya yang tidak gatal, satu hal yang baru diketahui setelah menikah adalah Indira sangat menjaga uang yang didapat Fajar. Sebenarnya bukan hal baru, tapi ketika membeli sesuatu
“In, ada yang cari.” Mala mendatangi Indira yang baru saja keluar kelas “Kayaknya mantan Mas Fajar yang dulu pernah kesini.”Indira membeku mendengar siapa yang mencari dirinya, mengalihkan pandangan kearah Ryan yang juga sama terkejutnya. Hembusan nafas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kaki untuk bertemu dengan Melda, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi bagian dari masa lalu Fajar, suaminya.“Kamu yakin ketemu dia?” Ryan menghentikan langkah Indira.“Memang kenapa?” “Kamu tahu kalau dia...”“Gila? Kejadian kapan itu memang membekas sih, pastinya kalau membekas dia nggak mungkin berbuat hal yang sama.” Indira memotong kata-kata Ryan.“Kamu hubungi Mas Fajar dulu aja.” Ryan memberikan usul yang langsung dijawab Indira dengan gelengan kepala “Mas Fajar harus tahu apa yang dilakukan wanita gila itu.”“Aku yakin dia nggak akan berbuat hal seperti kemarin, kalau sampai terjadi sesuatu kamu bisa langsung hubungi Kak F
Indira meminta pada Ryan dan Dio untuk tidak memberitahu Fajar tentang kedatangan pria yang mengaku sebagai kakaknya Melda, sama sekali tidak terpikirkan jika pria itu mendatanginya dan mengatakan hal tersebut.“Lagi mikirin apa?” suara Fajar membuyarkan lamunan Indira.“Nggak ada,” jawab Indira cepat “Kita mau beli makan atau gimana?” “Ibu kangen sama adik, jadi kita kesana.” Indira menganggukkan kepalanya “Melda nggak bicara macem-macem ke adik?” “Nggak, aku kan sudah cerita sama kakak apa yang kita berdua bicarakan.”“Aku ngerasa masih ada yang disembunyikan?” Fajar memberikan tatapan penuh selidik.“Hanya perasaan, lagian aku nggak mungkin merahasiakan sesuatu dari kakak.” Indira menjawab dengan penuh ketegasan.“Baiklah, mau langsung atau pulang dulu?” Fajar memilih mengikuti apa yang Indira katakan.“Kalau kita ke cafe dulu gimana? Cafe yang kakak buat itu, tadi aku bilang sama Mbak Nadia mau kesana pula
“Kakak yakin?” Indira memastikan kembali keputusan Fajar untuk bertemu dengan mereka berdua yaitu Melda dan kakaknya, Vian. Pembicaraan mereka di cafe membuat Fajar berpikir panjang, jarak yang memisahkan mereka karena pekerjaan semakin membuat Fajar bisa berpikir dengan tenang, tidak hanya itu Indira sendiri tidak pernah mendesak Fajar sama sekali tentang permintaan maaf kedua orang itu.“Adik sendiri yang bilang kalau untuk saling memaafkan, kenapa sekarang meragukan keputusanku?” Fajar menatap bingung.Indira mengangkat bahunya “Nggak tahu secara kakak kalau punya pendirian itu sulit buat diubah.”“Memang, tapi pengecualian buat adik yang selalu bisa mengubah semua pendirianku.” Fajar mengatakan dengan santai.Indira langsung mencibir kata-kata yang Fajar ucapkan “Nggak usah merayu kali, Kak.”“Jadi kapan mau bertemu mereka?” tanya Fajar menghentikan godaan Indira dan fokus pada pembicaraan mereka.“Tunggu!”
“Aku memang salah melakukan itu pada Fajar dan keluarga.”Fajar dan Indira seketika menatap Melda yang membuka suaranya, dari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan Vian dengan Indira dan Fajar. “Aku kesal sama Fajar yang tidak pernah mengajak ke tempat mewah padahal teman-temanku setiap kencan selalu ke tempat mewah.” Melda mengatakan lagi alasan dibalik semua itu “Godaan untuk mengkhianati Fajar sangat besar, padahal aku tahu untuk membuat Fajar jatuh cinta tidak mudah.”Indira seketika menatap tidak percaya dengan apa yang di dengarnya, tatapannya beralih pada Fajar yang hanya diam dan mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Melda.“Aku tergoda dan melakukan hubungan intim dengan pria yang aku kenal di club, kami sudah beberapa kali bertemu. Sosoknya yang dewasa membuat aku terpesona, tidak hanya itu dia juga membelanjakan semua yang aku minta dan sebagai gantinya kita melakukan hubungan intim. Aku sengaja tidak minum obat agar hamil
“Pindah kesini?”Indira memastikan kabar yang Fajar sampaikan, kepindahan Fajar di pusat sendiri belum ada satu tahun atau mungkin Indira tidak menghitung. “Nggak suka banget aku pindah kesini,” ucap Fajar dengan wajah sedihnya.“Nggak usah drama!” Indira memukul lengan Fajar pelan “Perasaan belum ada setahun kok udah kembali.”“Kayaknya udah deh, tapi memang penempatan awalnya disini. Aku juga bilang kalau masih mau di kota asal dulu, nanti setelah adik lulus baru mau pindah kemana-mana.” Indira membelalakkan matanya mendengar kata pindah “Memang harus?”“Nggak sih, tapi memang lebih enak di pusat. Jenjang karirnya bisa cepat, walaupun kerjanya juga harus cepat.”“Memang kapan pindah kesini?” tanya Indira menyerah.“Minggu depan, semua berkas sudah selesai. Sebenarnya sekarang juga aku udah bisa masuk ke kantor disini, tapi karena Wahyu yang meminta untuk jadi narasumber akhirnya disuruh fokus disini.” Fajar
“Masa nggak datang acara seminar?” tanya Ryan memberikan tatapan tidak percaya.“Aku nggak bayar, masa mau datang.” Indira memberikan alasan masuk akal.“Udah masuk aja lah, apa susahnya sih.” Clara menatap malas kearah Indira.“Malas.” Kedua orang hanya bisa memutar bola matanya malas, Indira yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Memilih tidak peduli dengan kembali menikmati makanan yang ada dihadapannya, saat ini anak-anak dari peminatannya dan peminatan lain sedang bersemangat mengikuti seminar yang diadakan Fajar dan Wahyu bersama dengan perusahaan tempat kerjanya Fajar. Indira sudah tahu apa saja yang akan dibahas, tinggal bersama setiap hari membuat Indira tahu apa yang Fajar kerjakan, belum lagi ketika Fajar meminta Indira mengetikkan sesuatu yang ternyata tidak lain adalah bahan seminar hari ini. Mereka yang semangat tidak lain adalah mereka yang ingin bertemu Fajar untuk bertanya cara lolos di perusahaan BUMN, sebenar
“Harusnya Fajar sama wanita yang pintarnya sama bukan kaya dia, coba lihat temannya satu angkatannya si Lia. Dibandingkan wanita yang dipilih Fajar lebih baik Lia, kelebihan Lia yang tidak dimiliki Indira.”Menghentikan langkahnya saat mendengar kata-kata yang diucapkan dosen kesayangan Fajar, Indira tidak tahu siapa yang diajak bicara karena sama sekali tidak ada tanggapan. Sinta yang berada disamping Indira juga tidak mengeluarkan suara sama sekali, mereka hanya saling memandang satu sama lain.“Kamu coba bilang sama Fajar, membuka hati sama wanita lain. Lagian cewek model begitu kenapa dibelain, pasti sekarang besar kepala karena tadi disebut sebagai ucapan terima kasih. Fajar itu pintar, tapi dapat cewek yang sama sekali tidak paham sama psikologi alias bodoh.” “Setidaknya Indira tidak palsu seperti cewek yang ibu sebutkan tadi.” Indira dan Sinta saling menatap satu sama lain, mencoba mengenali suara yang menanggapi dosen kesayangan Fajar. S
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi