“Masa nggak datang acara seminar?” tanya Ryan memberikan tatapan tidak percaya.
“Aku nggak bayar, masa mau datang.” Indira memberikan alasan masuk akal.“Udah masuk aja lah, apa susahnya sih.” Clara menatap malas kearah Indira.“Malas.”Kedua orang hanya bisa memutar bola matanya malas, Indira yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Memilih tidak peduli dengan kembali menikmati makanan yang ada dihadapannya, saat ini anak-anak dari peminatannya dan peminatan lain sedang bersemangat mengikuti seminar yang diadakan Fajar dan Wahyu bersama dengan perusahaan tempat kerjanya Fajar.Indira sudah tahu apa saja yang akan dibahas, tinggal bersama setiap hari membuat Indira tahu apa yang Fajar kerjakan, belum lagi ketika Fajar meminta Indira mengetikkan sesuatu yang ternyata tidak lain adalah bahan seminar hari ini. Mereka yang semangat tidak lain adalah mereka yang ingin bertemu Fajar untuk bertanya cara lolos di perusahaan BUMN, sebenar“Harusnya Fajar sama wanita yang pintarnya sama bukan kaya dia, coba lihat temannya satu angkatannya si Lia. Dibandingkan wanita yang dipilih Fajar lebih baik Lia, kelebihan Lia yang tidak dimiliki Indira.”Menghentikan langkahnya saat mendengar kata-kata yang diucapkan dosen kesayangan Fajar, Indira tidak tahu siapa yang diajak bicara karena sama sekali tidak ada tanggapan. Sinta yang berada disamping Indira juga tidak mengeluarkan suara sama sekali, mereka hanya saling memandang satu sama lain.“Kamu coba bilang sama Fajar, membuka hati sama wanita lain. Lagian cewek model begitu kenapa dibelain, pasti sekarang besar kepala karena tadi disebut sebagai ucapan terima kasih. Fajar itu pintar, tapi dapat cewek yang sama sekali tidak paham sama psikologi alias bodoh.” “Setidaknya Indira tidak palsu seperti cewek yang ibu sebutkan tadi.” Indira dan Sinta saling menatap satu sama lain, mencoba mengenali suara yang menanggapi dosen kesayangan Fajar. S
“Bagaimana kamu bisa bicara begitu?” tanya Wahyu dengan tatapan tidak percaya.“Memang mas ada disana?” Indira menatap penasaran.“Jonathan narik aku, kami sembunyi lihat apa yang kalian berempat lakukan. Terkejut pas kamu berani bicara begitu, padahal selama ini mahasiswa sini nggak ada yang berani sama beliau karena ancamannya nilai.” Wahyu menjelaskan dan menceritakan bagaimana dirinya tahu.Indira mengusap wajahnya kasar “Dari kemarin aku bicarakan itu sama Kak Fajar.”“Terus Mas Fajar gimana? Santai?” Indira menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Romi “Mas Fajar pasti tahu apa yang harus dilakukan, nggak mungkin biarin kamu tersiksa apalagi hubungannya sama nilai.”Indira membenarkan kata-kata Romi, kedua seniornya ini memang bisa membuat perasaannya tenang, walaupun harus sembunyi di ruangan BEM. Indira tidak tahu alasan kenapa dirinya bersembunyi, mungkin takut ada orang yang mendengar pembicaraan mereka kemarin.“Ter
“Jadikan Lia pacar?” Indira menganggukkan kepalanya menceritakan apa yang dibicarakan dengan Budi pada Clara, Sinta, Ryan, Dio, Romi dan Wahyu. Mereka seakan menunggu apa yang dibicarakan tadi, pembicaraan mereka lakukan di cafe yang jaraknya sedikit jauh dari kampus jadi tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka tentang Lia. Cafe yang mereka datangi tidak lain adalah cafe yang dibuat Fajar untuk Indira yang akan dipegang nanti setelah lulus kuliah, hal yang sudah Fajar siapkan untuk dirinya setelah nanti lulus agar tidak perlu mencari pekerjaan di tempat lain.“Mas Fajar setuju?” tanya Wahyu.“Nggak! Kalau dia ngelakuin itu artinya dia selingkuh, dia nggak mau menyakiti perasaan wanita gimana-gimana dia punya adik perempuan,” jawab Indira.“Setuju! Aku juga nggak akan melakukan itu.” Romi menganggukkan kepalanya.“Lia nggak hubungi Mas Fajar lewat ponsel gitu?” tanya Clara penasaran.Indira menggelengkan kepalanya “
“Dipanggil Bu Retno.”Tiga kata yang membuat Indira bertanya-tanya, memilih untuk mengirim pesan pada Fajar terlebih dahulu sebelum melangkahkan kakinya ke ruangan dosen. Langkah kakinya semakin dekat, mengetuk pintu dan membukanya yang seketika membuat langkahnya terhenti melihat seseorang disana dengan ekspresi sedihnya. Hembusan napas panjang dikeluarkannya sebelum melangkah kedalam, tahu jika semua ini terjadi setelah apa yang mereka rencanakan beberapa hari lalu.“Tutup pintunya.” Indira tidak mendengarkan dan tetap membiarkan terbuka “Saya bilang tutup pintunya.” Retno berkata dengan nada suara keras.“Maaf, saya tidak akan menutup pintu karena tidak mau ada orang yang memutar balikkan kata. Kalau memang ibu tetap mau berbicara dengan saya akan lebih baik tanpa dia.” Indira berkata dengan nada datar.“Kamu memang memberikan hal negatif pada Fajar.” Indira mengangkat alisnya mendengar kata-kata dosen yang ada dihadapannya “Tanpa men
“Sayang.” Fajar membelai rambut Indira setelah menghapus sisa air mata yang ada di pipinya, mengetahui apa yang terjadi setelah dirinya pulang kerja. Budi mengajak bertemu dan langsung menceritakan yang terjadi, mendengar cerita Budi membuat Fajar seketika tidak tenang dan langsung memutuskan pulang ke rumah.Pemandangan yang dilihatnya adalah Indira sedang tidur dengan wajahnya yang terdapat bekas air mata, wanita yang telah menjadi istrinya ini tidak akan menceritakan masalahnya dan memilih memendam sendiri. Fajar sebenarnya berusaha membuat Indira lebih terbuka, walaupun hampir berhasil tapi tetap tidak bisa sepenuhnya.“Kakak? Kapan datang?” Indira mengambil ponselnya dan seketika membelalakkan matanya “Udah malam ternyata, kakak mau mandi? Udah makan?”“Adik mau makan apa?” tanya Fajar tidak menjawab pertanyaan Indira.Indira memicingkan matanya mendengar pertanyaan Fajar tentang makanan “Kakak nggak lagi merayu, kan?”Faja
"Kakak sudah siap?" Indira memastikan kembali dengan membelai lengannya pelan "Maaf kalau..."Fajar menghentikan kalimat Indira dengan memberikan ciuman singkat, jemarinya bergerak di bibir Indira tanpa melepaskan tatapan pada kedua matanya yang tampak khawatir."Memang harusnya aku selesaikan dari awal, harusnya aku yang minta maaf karena sudah membuat..."Indira menghentikan dengan melakukan hal yang sama, mencium bibir Fajar lembut. Tersenyum lembut, tangannya membelai wajah Fajar pelan dan mendekatkan kembali bibirnya pada rahang Fajar. "Adik mancing ini? Kita ada di cafe loh, Sayang." "Main cepat masa nggak bisa, Kak? Siapa tahu bisa buat Kakak tenang dan bisa..."Fajar membaringkan tubuh Indira di sofa, memperdalam ciuman mereka dengan tangannya berada di bukit kembarnya memberikan remasan pelan. Ciumannya turun menuju leher, memberikan jilatan dan hisapan yang membuat suara desahan terdengar sangat jelas. Berma
"Indira."Indira menghentikan langkahnya mendengar seseorang memanggil namanya, terkejut dengan siapa yang memanggil membuat Indira hanya bisa tersenyum tipis."Apa kabar, Mas? Sendirian?" Indira bertanya untuk kesopnan."Baik, kamu udah lama nggak datang karawitan sama kantin FISIP.""Sibuk, Mas. Mas Seno sendiri sudah lulus?"Pria yang memanggil Indira adalah Seno, pria yang membuat Fajar panas dan cemburu. Padahal Indira sama sekali tidak pernah berduaan dengan Seno, mungkin kecuali sekarang. Menatap sekitar barangkali ada yang membantunya tapi nihil, tidak ada siapapun yang bisa menemani dirinya."Bisa bicara? Sudah lama kita nggak bicara dan bertemu," ajak Seno dengan tatapan memohon.Indira yang tidak pernah bisa menolak orang hanya bisa menganggukkan kepalanya, melamgkahkan kakinya menuju salah satu meja yang berada di tengah. Indira tidak ingin terlalu pojok berbicara dengan Seno, bukan hanya menjaga perasaan Faj
Pemandangan yang benar-benar mengejutkan, bahkan membuat mereka berdua tidak bisa berkata-kata dan hanya saling menatap satu sama lain. Menggelengkan kepala tidak percaya atas apa yang dilihatnya, sama sekali tidak ada dalam pikiran mereka berdua."Apa yang harus kita lakukan, Kak?" Indira masih setia menatap mereka berdua."Sama sekali diluar prediksi, selama ini mencurigai Dio tapi ternyata..." hembusan napas kasar dikeluarkan Fajar sambil menggelengkan kepalanya.Keheningan menemani mereka berdua, tatapan masih tertuju pada pemandangan yang ada dihadapannya yaitu Lia dan Seno. Indira mencoba mengingat semua yang berhubungan dengan mereka berdua, sejauh ini sama sekali tidak ada gambaran atau kejadian yang bisa membuat mereka berdua terhubung.Seno sendiri sudah tidak pernah terlihat sejak terakhir mereka makan bersama, bahkan Indira dan Widya sudah tidak pernah datang lagi ke tempat karawitan. Alasan utamanya bukan menghindari Seno melainkan me
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi