“Memang sudah diisi?” Fajar memastikan ketika Indira mengajak ke rumah yang dibelinya.
“Sudah, semoga kakak suka sama pilihanku.”Fajar mengangkat alisnya mendengar perkataan Indira “Adik belanja sama siapa?”“Aku minta bantuan...Dimas sama ketiga sahabatku tapi belanjanya sama mama kadang ibu atau Fany dan Ryan.” Indira mengabsen mereka semua membuat Fajar tersenyum tipis “Kalau nggak suka atau kakak mau ubah nggak papa.”Mobil yang dikendarai Fajar berhenti tepat setelah Indira berkata seperti itu, menatap wajah Indira yang masih khawatir jika Fajar tidak suka dengan pilihannya. Mengambil tangan Indira untuk digenggamnya, menatap tepat di kedua matanya dengan memberikan belaian lembut di pipi.“Apa pernah nggak suka pilihan adik? Buktinya aku pakai semua yang adik pilih dan belikan,” ucap Fajar yang membuat Indira terdiam “Bekasnya nggak kelihatan sama sekali, lusa udah mulai masuk.”“Kakak kembali ya besok?” Fajar menggelengk“Udah sembuh?” tanya Clara saat Indira duduk disampingnya “Wajah kamu masih merah-merah begitu.”“Udah, ini mah bekasnya,” jawab Indira sambil menatap sekitar “Ada berita apa selama aku nggak masuk?”Langkah Indira tadi sebenarnya tidak sengaja kearah kantin, perutnya sebenarnya sudah diisi tapi mencari Clara dan tidak menemukan dimanapun membuat langkahnya menuju kantin. Berita tentang Bandung membuatnya penasaran, apalagi perbuatannya di daerah kekuasaan anak klinis dengan Fajar sebagai anak kesayangan.“Aku nggak tahu banyak sih tentang itu secara yang tahu Sinta sama Ryan atau anak-anak yang ikut ke Bandung,” jawab Clara yang hanya diangguki Indira.“Berita yang membuat pertengkaran kembali antara Bu Retno dan Mas Fajar,” jawab Jonathan yang secara tiba-tiba duduk dihadapan mereka berdua.Indira mengerutkan keningnya “Maksudnya?”“Mas Fajar bawa kamu hanya ijin melalui pesan, Bu Retno marah-marah bilang kalau kamu buat masala
“Adik marah?” Fajar menatap Indira yang masuk kedalam mobil dengan wajah ditekuk, bukan tidak tahu apa yang terjadi karena Ryan sudah menceritakan apa yang terjadi. Sekali lagi masalah Bandung, dosen yang merasa kehilangan dirinya secara otomatis melampiaskan pada Indira. Retno, dosen yang menyayangi dirinya masih tidak mempercayai Indira, menganggap Indira tidak layak dengan dirinya.Retno tidak pernah menjodohkan Fajar dengan wanita lain, tapi kedekatannya dengan Indira dari awal sudah membuat Retno tidak percaya dan akan berakhir dalam waktu dekat, tidak berbeda jauh dengan yang lain. Fajar sudah mengatakan jika Indira membuatnya nyaman, kembali seperti dulu dan banyak yang lain. Retno tidak percaya karena menganggap itu hanya bualan Fajar, perubahan positif tetap tidak membuat pikirannya berubah.Indira masih diam, tangannya melipat ke dada. Tatapannya lurus ke depan seakan tidak mau menatap dirinya sama sekali. Fajar tahu saat ini Indira sedang berpe
Berbaring berdampingan membuat jantung Indira berdetak kencang, tidak hanya Indira dimana Fajar juga merasakan hal yang sama. Suasana menjadi hening diantara mereka berdua, tidak ada yang membuka suara.“Kamar ini nanti akan menjadi saksi kita berdua selamanya,” ucap Fajar membuka suaranya.“Kakak suka designnya?” tanya Indira mengubah posisi miring menghadap Fajar.Fajar yang merasakan pergerakan melakukan hal yang sama, saling memandang satu sama lain tanpa ada yang berniat melepaskan tatapan, tidak tahu siapa yang memulai wajah mereka sudah semakin dekat. Fajar meletakkan tangannya di pipi Indira membelainya lembut, menarik kepalanya membuat bibir mereka bertemu dan tanpa menunggu lama Fajar langsung melumat bibirnya pelan. Indira yang sudah terbiasa berciuman dengan Fajar, membalasnya dengan tidak jauh berbeda dibanding sebelumnya. Suasana yang mendukung membuat mereka melupakan apa yang terjadi sebelumnya, satu lagi mereka bisa saja melakuka
Menatap Indira yang berbaring nyenyak di ranjang kamar mereka nantinya membuat Fajar tersenyum lebar, bayangan pernikahannya dengan Indira sudah didepan mata. Tangannya membelai pipi sambil merapikan rambut Indira yang berantakan, melihat bercak merah di seprai semakin membuat Fajar tersenyum lebar. Beranjak dari tempatnya setelah menggunakan pakaian bawahnya dan berjalan untuk mengambil ponsel, diluar langit sudah gelap dan saat menatap jam yang ada di dinding memang sudah malam dan seharusnya Indira pulang.“Bu,” sapa Fajar setelah sambungan berhasil dan keluar dari kamar “Bisa minta ibu sama bapak untuk datang besok sore ke rumah Indira?”[Memang ada apa? Kenapa?]“Aku ingin menikah besok.”[Maksudnya?]Fajar tahu apa yang akan dikatakannya akan membuat orang tuanya dan orang tua Indira terkejut, tapi ini memang demi kebaikan mereka berdua. Fajar secara sadar mengeluarkan benihnya didalam, artinya bisa saja Indira akan hamil secepatnya.[Kal
“Kamu itu jadi cewek kok gampangan?” Indira menundukkan kepalanya mendengar ceramahan dari mamanya, Nuri. “Kamu bisa tenang karena Fajar bertanggung jawab coba kalau nggak? Malah ngaku depan papa.”Indira membelalakkan matanya mendengar perkataan mamanya “Masa Kak Fajar melakukan itu?”Nuri menganggukkan kepalanya “Mama aja shock tapi dia mengakui semua kesalahan, padahal begitu juga ada andil dari kamu yang nggak bisa jaga diri. Mama rasanya malu karena kamu bisa dengan mudah melakukan itu.”“Maafkan aku, Ma.” Indira menundukkan kepalanya.“Sudah kalau begitu toh sudah terjadi juga, sekarang kamu yang harus jaga hubungan kalian karena jadi istri itu nggak mudah.” Nuri menepuk punggung tangan Indira “Siap-siap sana nanti sama Mbak Nadia dan Mbak Tina di make up, kalian menikah nanti malam secara agama dan negara.”“Mama marah?” tanya Indira tanpa menatap Nuri.“Apa bisa marah kalau sudah terjadi, tapi lebih pada kecewa karena kal
“Kita mau kemana?” Indira bingung ketika mobil mereka menuju tempat yang tidak dikenalnya, lebih terkejut lagi ketika mobil yang Fajar kendarai berhenti di tempat pemakaman. Menatap sekitar dengan tatapan tanda tanya, Fajar bahkan belum mengeluarkan suaranya saat berada didalam mobil yang semakin membuat Indira bertanya-tanya, status mereka sudah berubah tapi tidak dengan sikap dan sifat Fajar.“Yuni, disini makamnya. Adik ingat awal kita bersama aku sering di RSJ?” Indira langsung menganggukkan kepalanya “Yuni, dia orangnya. Dia yang membuat aku berada disana dan terikat dengan Bu Retno.”“Mantan kakak?” tanya Indira hati-hati.Fajar menggelengkan kepalanya “Yuni, dia tetangga dan kami memang dekat dari kecil. Posisinya hampir sama dengan Ryan, kami tidak satu sekolah dan dia juga tidak tahu tentang Melda. Yuni, waktu SMA tinggal di Malang dan sekolah disana dimana artinya tidak tahu apa-apa tentang Melda. Masalah yang Melda buat pada saat itu a
“Kakak tahu gimana reaksi mereka, jadi berhenti buat sebarin pernikahan ini.” Fajar menghembuskan nafas panjang, keinginannya untuk terbuka atas pernikahan tetap tidak mendapatkan persetujuan, berbagai macam alasan sudah diberikan tapi hasilnya tetap sama.“Kakak jadi dipindah?” Fajar menganggukkan kepalanya “Bagus kalau gitu setidaknya cafe yang dibuat harus ada yang mengurus.”Fajar menaikkan alisnya mendengar kata-kata Indira “Kenapa aku yang harus urus? Cafe itu dibuat untuk adik, aku tahu kalau psikologi bukan bidang adik dan cafe adalah bidang adik.”Indira memutar bola matanya malas “Kenapa buat begituan nggak bilang-bilang? Uang darimana? Kakak punya uang banyak ternyata, beda ya sama uang yang ada di ATM ini?’Fajar tersenyum dan hanya bisa menggaruk lehernya yang tidak gatal, satu hal yang baru diketahui setelah menikah adalah Indira sangat menjaga uang yang didapat Fajar. Sebenarnya bukan hal baru, tapi ketika membeli sesuatu
“In, ada yang cari.” Mala mendatangi Indira yang baru saja keluar kelas “Kayaknya mantan Mas Fajar yang dulu pernah kesini.”Indira membeku mendengar siapa yang mencari dirinya, mengalihkan pandangan kearah Ryan yang juga sama terkejutnya. Hembusan nafas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kaki untuk bertemu dengan Melda, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi bagian dari masa lalu Fajar, suaminya.“Kamu yakin ketemu dia?” Ryan menghentikan langkah Indira.“Memang kenapa?” “Kamu tahu kalau dia...”“Gila? Kejadian kapan itu memang membekas sih, pastinya kalau membekas dia nggak mungkin berbuat hal yang sama.” Indira memotong kata-kata Ryan.“Kamu hubungi Mas Fajar dulu aja.” Ryan memberikan usul yang langsung dijawab Indira dengan gelengan kepala “Mas Fajar harus tahu apa yang dilakukan wanita gila itu.”“Aku yakin dia nggak akan berbuat hal seperti kemarin, kalau sampai terjadi sesuatu kamu bisa langsung hubungi Kak F
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi