"Kakak!" Indira memukul lengan Fajar pelan ketika melepaskan ciuman mereka "Malu kalau ada yang lihat."
"Memang siapa yang lihat? Mereka semua tahu kalau kita sepasang kekasih." Fajar membelai bibir Indira yang sedikit bengkak karena ciumannya, Indira mendengar itu hanya memutar bola matanya malas "Jangan genit sama Miko.""Nggak usah mikir negatif!" Indira memberikan tatapan tajam "Mereka semua tahu aku bisa magang disini karena tes, aku nggak mau mereka mikir Mbak Nathali melakukan kecurangan dengan memasukkan aku.""Mereka nggak akan berani mikir begitu, lagian biro itu juga punyaku jadi aku juga punya andil adik bisa magang.""Aku keluar," ucap Indira mengambil tangan Fajar dengan mencium punggungnya "Jangan ngebut dan satu lagi kalau aku bukan mantan kakak."Melangkahkan kakinya kedalam sekolah kebutuhan khusus, tampak Miko sudah duduk di ruang tunggu membuat Indira melangkah dengan tatapan tidak enak. Miko yang menyadari kehadiran"Pelan-pelan makannya, Ndre." Miko menegur dengan nada tegasnya "Terima kasih ya."Indira hanya menganggukkan kepalanya, menatap jam yang ada di tangan dengan menghembuskannya pelan. Jadwal kuliahnya memang sore, biasanya Fajar akan menjemput jika tidak ada pekerjaan tambahan. Niatnya hanya makan, tapi berakhir dengan Andre yang bermain terlebih dahulu, beberapa pasang mata menatap kearah mereka bertiga dengan senyum tipis. Makan bersama seperti ini bukan pertama kali dilakukan, Indira belum menceritakan apapun pada Fajar tentang aktivitasnya ini."Andre jarang begini," ucap Miko tiba-tiba tanpa melepaskan pandangan kearah Andre yang menikmati makanannya "Dia selalu murung, kenal kamu beberapa hari seketika sikapnya berubah."Indira memilih tidak menanggapi perkataan Miko, semua kata yang keluar dari bibirnya seketika menjadi hal berbeda. Indira hanya takut masuk kedalam jebakan atau permainan yang saat ini Miko lakukan, bukan berpikir negatif hanya saja b
"Sayang, apa nggak lebih baik kita buka tentang pernikahan ini?" Fajar memulai pembicaraan setelah mereka selesai makan."Kenapa kakak tiba-tiba bicara begitu?" Indira memberikan tatapan penuh selidik "Apa ini ada hubungannya sama Mas Miko? Waktu masalah Lia sama Bu Retno nggak ada pembicaraan kearah sana, kenapa sekarang begini? Kakak cemburu? Lagian ya Mas Miko nggak mungkin suka sama aku, Kak. Aku sudah pernah bilang masih banyak cewek yang lebih baik dari aku jadi...""Miko suka sama kamu," potong Fajar langsung, Indira seketika terdiam dan langsung menggelengkan kepalanya "Andre, bagi pria yang sudah memiliki anak otomatis kebahagiaan anaknya lebih penting dibandingkan diri. Kamu bisa masuk kedalam Andre dan dia menerima kamu dengan senang, menganggap kamu sebagai pengganti ibunya.""Mas Miko bilang sama kakak?" Indira masih tidak percaya dengan ucapan Fajar, anggukan Fajar membuat Indira terdiam "Aku salah berarti ikut sama Mas Miko selama ini? Kakak
"Kenapa lagi dia?" bisik Rudi tepat disamping Indira "Nggak kamu kasih jatah?" Indira seketika membelalakkan matanya mendengar pertanyaan Rudi "Pantas." Rudi menganggukkan kepalanya yang semakin membuat Indira kesal dan langsung memukul lengan Rudi "Aww...sadis juga kamu.""Kenapa sih cowok suka banget mikirnya kearah sana?" Indira masih memberikan tatapan kesal pada Rudi.Rudi mengangkat kedua tangannya keatas, memberikan senyum terbaiknya yang tidak berdampak apapun pada Indira. Tatapan Indira pada Rudi semakin tajam, mengalihkan pandangan kearah lain tampak Fajar yang sibuk dengan laptopnya."Memang kalian kenapa?" tanya Rudi pelan dengan mengalihkan pandangan kearah Indira.Indira mengalihkan pandangannya kearah Fajar, hembusan napasnya terdengar keras "Dia marah aku dekat sama cowok yang jadi partner."Rudi menatap tidak percaya "Benaran?" Indira menganggukkan kepalanya "Wow...luar biasa." Rudi menepuk tangannya keras "Baru kali ini
"Senyumnya nakutin." Indira bergidik ngeri melihat senyum Fajar setelah mereka keluar dari rumah sakit.Fajar mengikuti saran Rudi membawa Indira ke rumah sakit dan hasilnya sesuai dengan apa yang dikatakan Rudi, seketika sikapnya berubah yang membuat Indira menatap takut. Fajar mengulurkan tangannya membelai perut Indira, sedangkan tangan yang lain berada di wajah Indira membelainya lembut, memejamkan matanya menikmati sentuhan yang Fajar berikan."Kak, jangan senyum gitu bikin takut." Indira memberikan tatapan takut pada Fajar "Biasa aja kali.""Aku tokcer dan Miko nggak akan bisa ambil adik dari aku secara ada anak kita disini." Fajar kembali membelai perut Indira lagi dengan senyum yang tidak hilang dari bibirnya.Indira memukul tangan Fajar pelan "Fokus nyetir jangan sampai kenapa-kenapa.""Siap, Sayang." Fajar melepaskan tangannya dari perut Indira setelah membelainya pelan "Adik kaya nggak seneng, kenapa?""Kuliah aku gima
"Indira muntah mulu, nggak mau makan." Fajar mengatakan dengan ekspresi sedihnya.Fajar bergabung bersama dengan ibunya di ruang keluarga setelah memastikan Indira tidur, semalam setelah Indira mengatakan dirinya jahat kembali masuk kamar dan muntah. Semalaman Fajar memastikan Indira baik-baik saja, tapi pada saat pagi kembali muntah dan baru tidur beberapa jam lalu."Namanya hamil, mas. Nggak usah khawatir atau bingung nanti kalau udah lewatin tiga bulan bakal baik-baik aja." Dian menatap Fajar lembut dengan membelai punggungnya pelan "Sekarang Indira tidur?" Fajar menganggukkan kepalanya "Untungnya masih libur kalian, besok masuk?""Bu...ibu." Indira melangkahkan kakinya kearah ruang keluarga dan langsung duduk disamping Dian dengan memeluknya erat "Kak Fajar jahat nggak bangunin aku semalam, aku kan pengen tidur sama ibu.""Siang ini gimana ibu peluk tidurnya?" Indira menggelengkan kepalanya "Terus?" Dian melingkarkan tangannya di pinggang Indi
Menelan salivanya kasar mendapati teman-teman dekat mereka memberikan tatapan penuh selidik, Indira meremas tangannya takut jika mereka tidak menyukainya, Fajar yang melihat perubahan ekspresi pada Indira meminta mereka duduk dan dirinya pindah disamping Indira dengan menggenggam tangannya yang tiba-tiba dingin."Adik atau aku yang bilang?" tanya Fajar dengan suara lembutnya."Kakak," ucap Indira nyaris berbisik, Fajar membelai punggung tangannya pelan."Kami sudah menikah." Fajar mengatakan langsung dengan menatap mereka satu per satu."Sejak kapan? Bandung itu?" tanya Wahyu tidak sabar."Liburan semester, setelah Bandung." Fajar menjawab tidak yakin."Sekarang Indira hamil?" tanya Mala yang diangguki Fajar "Ah...senangnya...tapi tunggu waktu masalah sama Lia itu...""Belum hamil," ucap Indira sambil menggelengkan kepalanya "Maaf kalau aku nggak bilang sama kalian." "Harusnya memang kita marah tapi...mau bagai
"Aku hamil bukan sakit, Kak." Indira menatap kesal pada Fajar yang melarang dirinya berangkat ke sekolah untuk magang."Sayang, aku hanya nggak mau kelelahan nanti kasihan anak kita. Aku minta sama Nathali agar kamu...""Aku berangkat!" Indira berjalan meninggalkan Fajar tanpa mencium punggung tangannya, melihat itu segera mengejarnya dengan memegang lengan Indira untuk menghentikan langkahnya."Aku antar." Fajar mengatakan dengan nada datar.Membawa Indira masuk kedalam mobil, tidak ada yang membuka suara dengan Indira meletakkan kedua tangannya bersedekap di dada tanpa menatap kearah Fajar sama sekali. Sebenarnya Indira tahu apa yang dilakukannya saat ini salah, melawan perkataan Fajar tapi satu dalam dirinya mengatakan jika Fajar sangat berlebihan dan Indira melakukan ini semua demi pendidikannya bukan yang lain."Sayang, jangan marah." Fajar mengambil tangan Indira yang masih di dada "Maaf, kalau aku terkesan ngekang aku cum
"Cukup lama kita tidak bertemu, Jim." Alan membuka suara saat berhadapan dengan Jimmy "Aku senang kamu berhasil menjadi dokter seperti yang kamu inginkan." "Apa kita saling mengenal sebelumnya?" Jimmy bertanya sedikit hati-hati, sama sekali tidak mengingat pria yang ada dihadapannya.Alan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Jimmy "Arka, teman kamu yang meninggal pada saat kecelakaan." "Arka yang taruhan itu?" Alan menganggukkan kepalanya, Jimmy memberikan tatapan penuh selidik "Hubungan kalian?" sedikit berharap mereka tidak memiliki hubungan."Kita bicara di ruangan Lucas, tadi aku sudah meminta ijin sama dia." Alan mengajak Jimmy berbicara di tempat lain "Apa kamu mau di ruang rapat saja?""Ruang rapat bersama dengan yang lain, aku yakin mami masih terhubung." Jimmy memutuskan berbicara depan mereka agar tidak ada yang ditutupi kembali."Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Tania melihat perubahan ekspresi Jimmy "Sayang, Sie
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi