"Senyumnya nakutin." Indira bergidik ngeri melihat senyum Fajar setelah mereka keluar dari rumah sakit.
Fajar mengikuti saran Rudi membawa Indira ke rumah sakit dan hasilnya sesuai dengan apa yang dikatakan Rudi, seketika sikapnya berubah yang membuat Indira menatap takut. Fajar mengulurkan tangannya membelai perut Indira, sedangkan tangan yang lain berada di wajah Indira membelainya lembut, memejamkan matanya menikmati sentuhan yang Fajar berikan."Kak, jangan senyum gitu bikin takut." Indira memberikan tatapan takut pada Fajar "Biasa aja kali.""Aku tokcer dan Miko nggak akan bisa ambil adik dari aku secara ada anak kita disini." Fajar kembali membelai perut Indira lagi dengan senyum yang tidak hilang dari bibirnya.Indira memukul tangan Fajar pelan "Fokus nyetir jangan sampai kenapa-kenapa.""Siap, Sayang." Fajar melepaskan tangannya dari perut Indira setelah membelainya pelan "Adik kaya nggak seneng, kenapa?""Kuliah aku gima"Indira muntah mulu, nggak mau makan." Fajar mengatakan dengan ekspresi sedihnya.Fajar bergabung bersama dengan ibunya di ruang keluarga setelah memastikan Indira tidur, semalam setelah Indira mengatakan dirinya jahat kembali masuk kamar dan muntah. Semalaman Fajar memastikan Indira baik-baik saja, tapi pada saat pagi kembali muntah dan baru tidur beberapa jam lalu."Namanya hamil, mas. Nggak usah khawatir atau bingung nanti kalau udah lewatin tiga bulan bakal baik-baik aja." Dian menatap Fajar lembut dengan membelai punggungnya pelan "Sekarang Indira tidur?" Fajar menganggukkan kepalanya "Untungnya masih libur kalian, besok masuk?""Bu...ibu." Indira melangkahkan kakinya kearah ruang keluarga dan langsung duduk disamping Dian dengan memeluknya erat "Kak Fajar jahat nggak bangunin aku semalam, aku kan pengen tidur sama ibu.""Siang ini gimana ibu peluk tidurnya?" Indira menggelengkan kepalanya "Terus?" Dian melingkarkan tangannya di pinggang Indi
Menelan salivanya kasar mendapati teman-teman dekat mereka memberikan tatapan penuh selidik, Indira meremas tangannya takut jika mereka tidak menyukainya, Fajar yang melihat perubahan ekspresi pada Indira meminta mereka duduk dan dirinya pindah disamping Indira dengan menggenggam tangannya yang tiba-tiba dingin."Adik atau aku yang bilang?" tanya Fajar dengan suara lembutnya."Kakak," ucap Indira nyaris berbisik, Fajar membelai punggung tangannya pelan."Kami sudah menikah." Fajar mengatakan langsung dengan menatap mereka satu per satu."Sejak kapan? Bandung itu?" tanya Wahyu tidak sabar."Liburan semester, setelah Bandung." Fajar menjawab tidak yakin."Sekarang Indira hamil?" tanya Mala yang diangguki Fajar "Ah...senangnya...tapi tunggu waktu masalah sama Lia itu...""Belum hamil," ucap Indira sambil menggelengkan kepalanya "Maaf kalau aku nggak bilang sama kalian." "Harusnya memang kita marah tapi...mau bagai
"Aku hamil bukan sakit, Kak." Indira menatap kesal pada Fajar yang melarang dirinya berangkat ke sekolah untuk magang."Sayang, aku hanya nggak mau kelelahan nanti kasihan anak kita. Aku minta sama Nathali agar kamu...""Aku berangkat!" Indira berjalan meninggalkan Fajar tanpa mencium punggung tangannya, melihat itu segera mengejarnya dengan memegang lengan Indira untuk menghentikan langkahnya."Aku antar." Fajar mengatakan dengan nada datar.Membawa Indira masuk kedalam mobil, tidak ada yang membuka suara dengan Indira meletakkan kedua tangannya bersedekap di dada tanpa menatap kearah Fajar sama sekali. Sebenarnya Indira tahu apa yang dilakukannya saat ini salah, melawan perkataan Fajar tapi satu dalam dirinya mengatakan jika Fajar sangat berlebihan dan Indira melakukan ini semua demi pendidikannya bukan yang lain."Sayang, jangan marah." Fajar mengambil tangan Indira yang masih di dada "Maaf, kalau aku terkesan ngekang aku cum
"Cukup lama kita tidak bertemu, Jim." Alan membuka suara saat berhadapan dengan Jimmy "Aku senang kamu berhasil menjadi dokter seperti yang kamu inginkan." "Apa kita saling mengenal sebelumnya?" Jimmy bertanya sedikit hati-hati, sama sekali tidak mengingat pria yang ada dihadapannya.Alan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Jimmy "Arka, teman kamu yang meninggal pada saat kecelakaan." "Arka yang taruhan itu?" Alan menganggukkan kepalanya, Jimmy memberikan tatapan penuh selidik "Hubungan kalian?" sedikit berharap mereka tidak memiliki hubungan."Kita bicara di ruangan Lucas, tadi aku sudah meminta ijin sama dia." Alan mengajak Jimmy berbicara di tempat lain "Apa kamu mau di ruang rapat saja?""Ruang rapat bersama dengan yang lain, aku yakin mami masih terhubung." Jimmy memutuskan berbicara depan mereka agar tidak ada yang ditutupi kembali."Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Tania melihat perubahan ekspresi Jimmy "Sayang, Sie
"Ganti!" Indira mengerucutkan bibirnya mendengar nada perintah Fajar mengganti pakaiannya, tidak ada yang salah dengan pakaiannya. Hari ini adalah waktunya untuk praktek mata kuliah psikodiagnostik tiga, jadwalnya melakukan interview dan sudah memesan ruangan sebelum dirinya dilarang ke kampus. Selama praktek diharuskan menggunakan rok, Indira sudah melakukannya dengan menggunakan rok pas lutut atau bisa dikatakan atasnya sedikit."Aku ada praktek interview, Kak." Indira mencoba bertahan dengan pakaiannya."Ganti! Pakai celana itu dibawa ganti disana!" Indira membelalakkan matanya mendengar nada tegas dan tidak bisa dibantah yang Fajar keluarkan.Menghentakkan kakinya melangkah ke lemari mengambil celana dan langsung menggantinya dihadapan Fajar, melipat rok yang tadi dipakai dengan memasukkannya kedalam tas. Indira kembali menghentakkan kakinya sebelum keluar dari kamar, Fajar hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap Indira selama hamil.
"Aku benar nggak ikutan kalau Mas Fajar marah." Ryan memberikan peringatan lagi sebelum Indira berganti pakaian."Ya, kamu tenang aja. Aku akan mengatasinya." Indira mengatakan dengan penuh percaya diri, Ryan hanya memutar bola matanya malas.Masuk kedalam kamar mandi, mengganti celananya dengan rok. Merapikan penampilannya sebelum keluar, menatap kembali untuk memastikan jika sudah cukup rapi seperti layaknya profesional. Melangkahkan kakinya ke ruang laboratorium atau praktek, langkahnya terhenti saat mendapati Fajar bersama dengan Budi sibuk berbicara, menelan saliva kasar mencoba untuk tidak terlihat dan mencari keberadaan Miko."Sudah siap? Pertanyaannya sudah ditulis?" Indira hampir mundur saat mendengar suara Miko yang berada disampingnya "Kamu mau sama Fajar atau tetap aku?""Sama aku aja nggak papa ya, bro?" Indira membeku saat merasakan tangan Fajar melingkar di pinggangnya "Makasih udah dibantu, kebetulan hari ini aku bisa ijin jadi dat
"Harus bedrest total, nggak boleh melakukan apa-apa."Indira menundukkan kepalanya mendengar apa yang dokter katakan, semua tidak lain karena keinginannya kencan dengan Fajar dan menghabiskan waktu di mall. Indira jelas tidak menyangka akan menghadapi ini semua, pulang dari mall seketika dirinya kembali muntah-muntah dan akhirnya dibawa ke rumah sakit karena hampir pingsan. Menginap terlebih dahulu di rumah sakit, besok siangnya mereka pulang dan Fajar memutuskan pulang di rumah mereka sendiri, bukan rumah salah satu orang tua mereka dengan alasan tidak ingin merepotkan, walaupun pada kenyataannya tetap merepotkan kedua orang tuanya. Keluarga mereka datang bergantian menemani Indira termasuk keponakannya, setidaknya tidak merasakan kesepian saat ditinggal Fajar."Lain kali di dengarkan kalau suami bilang jangan lawan mulu," omel mamanya saat menemani Indira di rumah sakit pada saat itu yang semakin mengerucutkan bibirnya."Nggak lawan kok Indira,
"Gimana keadaanmu?" bisik Shinta yang secara kebetulan duduk disamping Indira "Kamu cuti untung mendekati liburan semester dan sudah selesai ujian, coba kalau belum pasti malas ngulang sendirian." Indira hanya terseyum tipis dan tidak ingin membayangkan semuanya "Tugas sudah dikumpulin?" Indira menganggukkan kepalanya "Memang sudah boleh masuk?" "Cuman KRS ini, sama lihat anak-anak baru. Kuliah juga belum mulai efektif." Indira menjawab santai.Mereka berbicara panjang lebar, menceritakan kejadian yang Indira lewatkan termasuk masuknya kembali Lia. Indira sedikit bersyukur Lia masih diterima teman-teman yang lain, dirinya tidak ingin menjadi orang jahat dengan melarang mereka berteman dengan Lia."Dio sekarang sudah mulai sibuk sama sinemanya," ucap Mita yang tiba-tiba sudah duduk bersama dengan mereka "Dio nggak kasih tahu kamu?" Indira menggelengkan kepalanya "Winda sih yang tahu semua kegiatan Dio, mereka lagi pendekatan katanya.""Baguslah,"
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi