"Mas Megan kenapa ngirim nomor mas Satria ke aku?"
Tanda tanya besar? Tentu saja.Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba pesan masuk dari sang kakak membuat Maudi hampir jantungan, ia yang sedang mencuci piring di dapur langsung melesat untuk menemui sang kakak.Secara. Seingat Maudi ia tidak pernah membawa nama Satria dalam percakapan bersama kakak atau ibunya.Dan bukannya aneh tiba-tiba Megan mengirim kontak wassup Satria ke Maudi?Megan yang tengah rebahan sembari bermain ponsel itu mendongak, ia mengedip sekilas sebelum kembali menatap ponselnya."Katanya mau daftar kerja?" balas Megan, balik bertanya.Dan apa hubungannya Maudi yang mau daftar kerja dengan Satria?Maudi diam saja.Di tangannya ponsel masih menyala, tangan yang masih setengah basah juga bau sabun cuci piring itu kemudian turun ke sisi tubuh.Loading orang yang kurang liburan memang suka lama.Jangan bilang... Maudi melebarkan mata, gadis dengan rambut diikat setengah itu memir"Nggak mau!"Memangnya apa yang bisa diharapkan.Siapapun bisa menebak kalau Maudi tidak mungkin menjawab dengan kalimat sejenis. 'Oke, yaudah boleh, mau banget, atau ayok!'Jangan menghayal.Apa sih mod, kamu itu terlalu jual mahal! Tinggal bilang iya aja susah banget kenapa, sih?Karena Maudi tidak mau ambil resiko.Resiko apa sih, Dy maksudmu? Ini cuma jalan, jalan doang, makan terus pulang, udah, nggak ada yang susah dari hal itu. Toh kamu udah pernah dibonceng jalan-jalan pake motor kesayangan Satria itu, berdua lagi, ini bukan pertama kali, jangan lebay!Enak aja kalau bicara!Wahai para Dewi batin, diamlah dan jangan kacaukan logika Maudi yang sudah bekerja keras!Maudi mungkin memang tak terlalu pintar menerka situasi, ia tidak pintar, tapi bukan berarti keterlaluan bodoh.Ada dua resiko besar yang akan Maudi dapat kalau ia menerima ajakan Satria.1. Resiko Satria baper dan merasa diberi harapan.2. Resiko dilihat o
Selesai berbelanja dari minmarket Maudi tak menunda untuk segera pulang, mereka para gadis yang biasanya tergoda oleh abang-abang tukang cilok di pinggir jalan pun tidak melipir sama sekali. Ingat dompet yang kian menjerit. Pun stok cemilan untuk malam ini bisa dibilang banyak pake banget. Jadi jangan beli-beli lagi.Angin malam selalu terasa sama.Masih asing bagi Maudi.Kendati sudah lebih sering keluar rumah malam hari namun tetap saja pori-pori kulit Maudi seakan tak akan pernah terbiasa dengan dinginnya angin malam hari.Kendati sudah memakai kardi rajut tebal untuk melapisi kaos yang ia pakai, Maudi tetap merasa gigil menusuk sampai ke tulang.Dulu saat berkeliling di jalan raya Jakarta selepas belanja bersama Satria tidak terasa sedingin ini. Meski sama-sama dingin, hanya saja, memangnya ada yang bisa mengalahkan dingginnya udara malam di desa?Cuma perlu lima menit dengan motor dan mereka pun sampai kembali ke rumah Maudi.Maudi menyirit, ia yakin se
Hari ini Maudi ada interview kerja.Sebenarnya untuk orang seusia Maudi, mendaftar kerja, dan bersiap untuk lingkungan sosial yang baru terasa amat mustahil. Karena bahkan saat usia dua puluh tiga pun beradaptasi dengan lingkungan baru rasanya sulit.Namun begitulah manusia.Kemauannya berderet, disuruh usaha sedikit mereka enggan.Dan berhubung Maudi sudah sadar, ia tidak ingin menjadi manusia yang banyak kemauan tapi sedikit gerakan, minimal sekali, Maudi sudah berusaha.Pagi-pagi sekali Maudi menyelesaikan pekerjaan rumah, setelah selesai ia langsung mandi dan bersiap, menunggu rumah sebelah memanggil namanya dan setelah itu mereka berangkat.Rumah sebelah?Iya. Memangnya siapa lagi, Maudi tidak mengirim berkas diri kepada siapapun selain Satria. Lagi pula mana ada orang membuka lowongan pekerjaan di situasi begini.Hari ini Maudi tidak akan protes soal apapun, ia sudah cukup bersyukur karena lagi-lagi Satria menawarkan pekerjaan pada
To be honest.Sebelum ini, dalam hidup Maudi, traktiran makan di luar selalu menjadi hal yang sangat disukai.Catat, garis bawahi. Sebelum ini.Tepatnya sebelum Satria membawanya pergi ke warung bakso Pekih, nama bakso paling terkenal di kota. Bukan, bukan masalah baksonya, tapi orangnya. Waktu itu di Jakarta, dengan orang yang sama- Satria, Maudi ditraktir makan nasi goreng, senang bukan main. Dan sekarang? Mana mungkin bisa disamakan.Beda!Semua jelas beda!Yang beda apa? Alasannya.Dulu Satria membelikan Maudi makan karena dia kasihan. Dan sekarang, dia membawa Maudi ke warung bakso untuk pendekatan!Bagaimana Maudi tidak frustasi!Sama seperti tempat usaha lainnya, tempat makan ini juga baru dibuka kembali setelah beberapa minggu tutup total, tentunya dengan kebijakan jam malam, dan menerapkan protokol kesehatan sebagaimana mestinya.Mereka mencuci tangan sebelum masuk, mengambil tempat duduk dan menunggu pesanan selesai dibuat.
Saat Satria kembali bakso mereka sudah tersedia di meja.Mungkin bakso itu akan segera dingin kalau Satria telat datang lima menit saja. Maudi sampai bingung sendiri, Satria ini ke toilet untuk menunaikan bisnis atau membantu cuci piring sebenarnya.Lama bukan main, hampir-hampir Maudi dongkol. Sudah lapar, ditinggal-tinggal lagi."Kamu habis lari-lari, mas?" tanya Maudi begitu melihat Satria menyeka peluh dari pelipisnya."Eh?" gumam Satria reflek, lalu sedetik kemudian pria itu menggeleng tenang. "Enggak,"Enggak habis lari-lari tapi keringatnya sebanyak ini?Makin aneh."Kok keringetan?" tanya Maudi lagi, kali ini membiarkan picingan matanya terlihat jelas.Dan Satria tidak menjawab.Dia cuma mengangkat bahu dan mulai mengambil botol kecap yang ada di meja, malah lebih tertarik untuk membumbui baksonya daripada membalas perkataan Maudi.Maudi masih menatap Satria dengan tatapan yang curiga, namun tak urung tangannya ikut mengambil botol saus dan samb
"Nikah?" tanya Maudi heran. "Kenapa bahas ini lagi, sebelumnya aku udah pernah bilang kan, Bu. Aku belum siap."Pembicaraan mengenai pernikahan ini tanpa bisa dikendalikan mulai terasa lebih sering daripada sebelumnya, yang berarti kali ini, ibu tak lagi bercanda, dia benar-benar menginginkan Maudi untuk segera dipinang orang.Mengherankan sebenarnya, karena Maudi tau bahwa ibunya bukanlah tipe orang yang memakasakan kehendak. Bahkan saat semua orang bilang agar Maudi cepat menikah, ibu akan menanggapi dengan kalimat santai seperti; masih seneng main dia, biar ngumpulin tabungan dulu yang banyak nanti baru nikah. Tapi sekarang? Maudi seperti tak mengenal siapa orang yang sedang berada di depannya ini.Apa menonton Ftv dengan tenang saja tidak bisa? Harus sekali membahas permasalahan tentang pernikahan lagi dan lagi."Kenapa?" tanya Ibu kemudian, terlihat gamang.Maudi tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaan dari wajahnya. "Mas Mario sama Mas Megan aja
Maudi pernah mendengar tentang pengalaman seseorang pasal 'firasat wanita tidak pernah salah'. Ya, benar. Biasanya firasat tersebut identik dengan baik buruknya sifat sang lelaki, dan juga firasat tentang bagaimana hati seseorang berubah.Tetapi kali ini, sepertinya firasat Maudi sebagai seorang perempuan dapat diakui. Bukan, Maudi tidak mendapat berita mengejutkan seperti; Satria cuma nyepik kamu, dia nggak serius dan cuma buat bercanda aja.Bukan seperti ini. Firasatnya kali ini merupakan firasat soal bisnis lelaki itu.Maudi sendiri terkejut.Ia tak tau harus berpikir yang mana terlebih dahulu, senang karena berasil menjadi seorang cenayang atau ikut sedih Satria dikibuli teman bisnisnya.Padahal wajah teman Satria tidak ada raut kriminalnya. Inilah orang selalu bersikeras jangan memandang seseorang dari fisik luarnya saja."Ditunda?" pekik Maudi tak percaya.Niat awal cuma menanyakan soal pekerjaan yang Satria tawarkan waktu itu, karena ibu ter
Sepertinya Maudi memang sudah gila.Hm benar, topik bicara kali ini masih sama dengan topik bicara yang kemarin. Sibuknya pikiran Maudi pun masih berputar pada hal yang sama.Memang benar kata orang, kalau jatuh cinta, kalau patah hati, dan kalau sedang bingung karena perasaan merah muda itu pastinya semua hal yang semula normal menjadi berantakan.Sebelumnya Maudi tidak pernah, menanyakan kemana dan apa alasan seseorang pergi, ia juga tidak pernah mengintip dari balik jendela kala seseorang dari lingkungannya meninggalkan rumah, tolong catat baik tidak pernah sekalipun, bahkan saat kakak Maudi pergi dari rumah Maudi tidak pernah merasa berat dalam hati.Tetapi apa ini. Maudi sampai kebingungan parah, ia seperti bukan dirinya sendiri.Mulai dari saat malam itu, saat Satria bilang bahwa dia akan segera kembali ke Jakarta, Maudi tidak yakin kenapa dirinya sedikit keberatan mendengar kabar itu. Padahal jelas, Maudi tidak ada hak sedikitpun untuk merasa demikian