Hari Kamis sore pukul lima kurang seperempat. Alya sampai di rumah setelah dari Bali. Wanita itu melambaikan tangan kepada sahabat-sahabatnya semasa SMA yang berada di taksi online. Lama tak bertemu nyatanya mereka masih cukup akrab. Alya memang sudah merencanakan ini jauh-jauh hari bahkan sebelum menikah dengan Dean.
Ia dapati mobil Dean sudah terparkir rapi di carport. Menegaskan bahwa pria itu sedang ada di rumah. Alya lalu masuk sembari menggeret kopernya. Ada beberapa plastik pula yang berisi oleh-oleh.
Sampai di ruang keluarga, Alya dibuat terkejut dengan keadaannya. Dia hanya pergi selama lima hari dan ruangan minimalis itu tak ubahnya sudah seperti kapal pecah. Cangkir bekas kopi dan piring kotor di atas meja tengah sofa. Ada kulit kacang yang berserak di lantai. Di meja makan juga ada sampah sterofoam bekas mie instan. Tak hanya satu, tapi sampai empat buah. Mungkin rumah ini akan jadi tempat pembuangan sampah jika Alya benar pergi selama seminggu.
Tak
Dean[Gaes, cara biar bini nggak ngambek lama-lama gimana?]Akhirnya Dean meminta solusi kepada para sahabatnya di grup berbagi pesan. Meski sadar akan diolok-olok terlebih dulu, tapi dia sudah tak tahan akan kebisuan sang istri yang hampir satu bulan. Alya bukan tak bicara sama sekali. Wanita itu masih mau membalas ucapannya jika dirasa pembicaraan mereka penting. Namun, tak dipungkiri jika obrolan mereka lebih banyak tak pentingnya.Dean kadang mengajak Alya main ke rumah ibunya atau ayah Alya setiap akhir pekan. Bukan tanpa sebab, di sana Alya akan bersandiwara dan bersikap manis kepadanya. Alya akan tersenyum, menggandeng lengannya dan berpura-pura semua baik-baik saja.Raka[Udah berapa lama ngambeknya?]Lima menit kemudian baru ada balasan dari salah satu sahabat sekaligus bosnya di kantor. Raka Aditya Widjaya.Dean[10 jam]Pria itu tak mungkin jujur. Bisa turun kredibilitasnya dimata mereka semua. Jika tahu hal yang se
"Lo apaan sih? Kurang kerjaan banget mainin rambut orang." seru Alya sembari beringsut menjauhi Dean. Hari ini hari Minggu dan sejak pagi tadi, suaminya itu selalu merecokinya. Alya sedang tidak ada janji dengan temannya di luar. Dia juga malas jika harus berpura-pura sibuk. Inginnya bersantai di rumah, tapi niatnya itu kandas karena Dean malah mengganggu waktu istirahatnya.Dean menatap Alya yang duduk di tepi sofa. Meski mereka berada di lawan ujung, tapi sofa yang tak seberapa panjang itu tetap tidak bisa membuat jarak. Pria tersebut masih bisa leluasa memainkan rambut Alya yang kini sudah agak panjang dari sebelumnya. Dean memutar ujung telunjuknya hingga rambut Alya tergulung kecil. "Al ...." panggilnya lirih. Dia sudah mencoba segala cara yang telah disarankan oleh para sahabatnya. Dean sudah memberikan Alya banyak kejutan. Mulai dari tas, sepatu, perhiasan sampai bunga."Gue udah punya yang model ini."Dean ingat saat memberikan sebuah tas tangan dari mer
"Kesini sekarang! Ibu mau bicara!""Nggak bisa lewat telpon aja, Bu?" Dean mencoba menawar. Pasalnya dia baru pulang dari kantor. Masih menunggu giliran untuk mandi dan perutnya juga belum diisi. Rasanya sedang malas jika harus keluar rumah lagi."Nggak bisa! Ibu mau bicara langsung sama kamu, sama Alya juga. Ajak istrimu ke sini!"Suara Ibu Lis terdengar lantang. Pasti memang ada yang mendesak jika beliau sudah begitu. Dean tanpa sadar memijit pelipisnya sambil mengingat-ingat kesalahan apa yang ia perbuat hingga ibunya itu kesal. "Iya, ini Dean mau mandi dulu. Alya juga belum selesai mandinya.""Nggak pakai lama, ya. Satu jam dari sekarang, kalian udah harus ada di sini!""Iya Bu, iyaa ...." sahut Dean lalu memutus sambungan jarak jauh tersebut.Meletakkan gawainya di atas meja tengah sofa. Pria itu lalu beranjak ke dapur dan mengambil minum di lemari pendingin. Menegak cairan bening itu sampai habis setengah botol. Dean menumpukan bokongn
Dean makan dengan lahap, berbeda dengan Alya yang hanya makan sedikit. Perutnya memang lapar, tapi karena kejadian tadi membuatnya menjadi tak bernafsu. Jujur saja dia masih merasa takut. Lain halnya dengan Dean, pria itu bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apapun."Lo nggak makan?" tanya Dean karena melihat Alya yang hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya. "Nggak suka sama makanannya?" lanjutnya lagi karena Alya tak segera menyahut."Suka kok." jawab Alya lalu mulai menyuap nasi yang sudah tercampur sayur daun singkong. Rasanya sedikit pedas. Kuah santannya cukup kental. Telur bacem menjadi pelengkap lauk malam ini. Masakan ibu mertuanya sangat enak sebenarnya."Makan yang banyak. Maaf tadi Ibu buru-buru nyuruh kalian ke sini." ucap Ibu Lis sembari menaruh dua gelas besar teh panas di depan Dean dan Alya. Uapnya masih sangat kentara sekali.Alya meringis, seharusnya dia yang membuat minum untuk mereka semua. Bukan malah dilayani oleh Ibu mertua. "M
"Nah bener, gas pelan-pelan.""Ternyata nggak semenyeramkan yang gua kira." gumam Alya lalu menoleh kepada pria di sampingnya dan tersenyum manis. Ini adalah hari ke-tujuhnya belajar menyetir mobil.Atas paksaan Dean akhirnya Alya mau belajar menyetir mobil. Tentu pria itu belum mengutarakan niat terselubungnya yang ingin membelikan istrinya itu sebuah mobil. Biarlah nanti menjadi kejutan untuknya.Hari pertama sampai ketiga Alya belajar di lapangan bola tengah kampung. Hanya sebentar seusai pulang kerja sampai waktu menjelang maghrib. Beberapa kali wanita itu hampir menabrak tiang bambu gawang sepak bola. Hingga Dean akhirnya menyuruh Alya berputar-putar di tengah lapangan saja. Dan agar bisa menggunakan lapangan itu, Dean sampai harus menyogok anak-anak kecil yang tengah bermain sepak bola. Lumayan, lima puluh ribu dikali dua puluh dikali tiga hari.Hari keempat dan kelima katanya Alya sudah berani belajar di jalanan. Lagi-lagi Dean memilih
Pagi yang cerah. Semburat cahaya mentari menelusup melewati celah jendela yang tirainya sudah terbuka. Hangatnya menyergap seorang pria dewasa yang masih bergelung dengan selimutnya yang tebal.Dean, pria itu mengerjapkan kedua matanya setelah indera penciumannya menghirup wangi yang sangat menyegarkan. Nampak Alya tengah mengeringkan rambut dengan bantuan hair dryer. Senyum Dean tersimpul mengingat kebersamaan mereka tadi malam. Sekarang Alya jadi sering keramas karena ulahnya. Istrinya itu sekarang tidak menolak jika akan didekati."Lo mau kemana?" tanya Dean setelah Alya selesai berganti baju. Bukan dengan setelan kerja seperti biasanya karena ini hari minggu yang berarti hari libur. Wanita itu sudah rapi dengan memakai celana jeans dan kaos lengan pendek berwarna putih. Rambut pendeknya digerai. Penampilannya terlihat sangat segar."Ada urusan. Gue nanti pulang agak sore." sahut Alya sembari memasukkan lipstik dan ponsel ke dalam tas selempangnya.Lel
"Kenapa lo nggak cerita dari awal?" tanya Dean setelah mereka sampai di depan enam makam yang berjejer. Kedua mata Dean langsung menangkap tulisan di nisan-nisan tersebut. Tanggal kematiannya semua sama. Sebenarnya ada apa ini? Batinnya bertanya."Cerita apa?" balas Alya yang sudah sibuk mencabuti rumput-rumput liar yang memenuhi makam."Cerita kalau Nyokap lo udah meninggal. Terus yang ini, sodara lo?" tukas Dean sambil menghadap makam yang berada di belakang Alya. Tertulis nama Aldiansyah Wiryawan bin Dedi Wiryawan.Alya mendongak dan melihat makam yang ditunjuk oleh sang suami. "Iya, itu makam Abang gue." jawab Alya lalu kembali sibuk mencabuti rumput.Dean lantas berjongkok di samping sang istri. Sambil masih tetap memegang kantong plastik bunga dan air. "Al, lo tuh nganggep gue apa sih? Urusan serius kayak begini nggak lo ceritain ke gue." ucapnya setengah berteriak.Seketika tangan Alya berhenti mencabut rumput. ""Nyokap gue sekarang yang ada
Dean mengamati wajah pulas sang istri yang terlelap. Dua jam setelah mereka sampai di rumah. Setelah membersihkan diri, Alya lantas berbaring di tempat tidur. Katanya tak enak badan.Tanpa sadar tangan Dean terulur menyentuh lekukan hidung sang istri yang baru saja dialiri setetes air mata. Bahkan dalam tidurnya pun Alya menangis. Rasa bersalah kembali menghantui diri pria itu. Dia sama sekali tidak menyangka jika masa lalu yang dipendam Alya sampai seperti itu. Menyedihkan sekaligus menakutkan. Mulai saat ini Dean berjanji tidak akan mengungkitnya lagi.x"Kayaknya lo nggak usah masuk dulu deh. Lihat muka lo pucet begini." Dean menyentuh wajah istrinya itu dengan lembut."Nggak bisa, hari ini gue ada jadwal ketemu nasabah." jawab Alya sambil tersenyum kecil. Di antara mereka kini seolah sudah tak ada jarak lagi setelah kejadian di pinggir jalan kemarin. Tadi malam saat dibangunkan untuk makan, wanita itu bahkan sampai salah tingkah. S
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su
Dua bulan lagi, Alya melingkari kalender di tangannya. Kurang lebih hanya tinggal enam puluh hari lagi dan dia akan bertemu dengan anaknya. Minggu lalu sudah diadakan acara tujuh bulanan. Alya berdoa, semoga nanti anaknya baik-baik saja.Pemeriksaan telah rutin dilakukan. Bahkan yang terakhir, Alya sampai di tes darah dan urine. Tekanan darahnya tinggi dan hal itulah yang sangat dikhawatirkan."Jangan banyak pikiran, nanti kalau sudah cukup umur. Bayinya bisa segera dilahirkan tanpa menunggu hari perkiraan lahir."Begitu kata sang dokter, membeberkan fakta dan sedikit menghiburnya.Namun, bagaimana caranya untuk tetap bersikap tenang? Kepalanya sudah penuh dengan segala kemungkinan yang ada.Bagaimana jika anaknya tak bisa bertahan?Bagaimana jika dia yang tenyata dipanggil duluan?Bagaimana jika mereka tak bisa saling menjaga satu sama lain?Hasil pemeriksaan USG menyatakan jika anaknya berjenis kelamin perempuan. Wanita itu meras
Alya mengelus perutnya dengan perlahan. Di sampingnya sang suami masih fokus menyetir. Pikiran mereka mengelana tanpa tahu ujungnya.Kehamilan Alya sudah lima bulan lebih. Perutnya sudah membuncit dan terlihat lucu. Dean sering memainkannya jika akan tidur. Sering mengajaknya bicara pula. Saat-saat seperti itu adalah waktu yang membuat keduanya sangat dekat.Mobil berhenti di carport rumah. Dari kejauhan azan isya terdengar berkumandang. Seperti bulan-bulan sebelumnya jika waktu cek kehamilan tiba, sepulang dari kantor mereka akan langsung ke rumah sakit. Sekalian jalan, begitu kata Alya.Bulan pertama sampai ke-empat semua berjalan lancar. Meski Alya selalu kelelahan dan mual, tapi kandungannya terdeteksi baik-baik saja. Hingga sampailah pada pemeriksaan yang ke-lima. Dokter menyatakan jika Alya terkena preeklamsia, keadaan dimana kehamilannya ini sangat beresiko tinggi baik bagi janin maupun ibunya. Ternyata wajahnya yang dulu bengkak itu adalah sa
"Gue cuma makan siang sama dia. Nggak usah lebay deh." Alya membanting tasnya ke atas sofa ruang tamu. Lalu duduk sembari melepaskan sepatu pantofelnya.Suaminya itu marah, tak berhenti mengomel sejak ia naik ke mobil. Hanya karena tadi siang ia pergi makan siang dengan Alex. Alya sudah mengirim pesan pada Dean, tapi pria itu tak membacanya. Ponselnya tertinggal di kantor saat pergi ke kantor Alya, katanya. Pertengkaran memang seolah tak mau pergi dari kehidupan rumah tangga mereka.Sebenarnya yang salah siapa? Alya sudah mengirim pesan, tapi tak dibaca oleh si penerima. Atau ponsel yang tertinggal di meja."Gue udah WA lo juga ngasih tahu kalau lo nggak usah jemput ataupun bawain makanan buat gue. Salah gue dimana?" Penjelasan dari Alya diakhiri dengan kalimat tanya pembelaan diri."Salah lo karena nggak ngabarin gue dari pagi. Lo WA pas gue udah jalan ke kantor lo." sergah Dean tak mau mengalah. Marah, cemburu bercampur menjadi satu seperti es buah di d