Dean mengamati wajah pulas sang istri yang terlelap. Dua jam setelah mereka sampai di rumah. Setelah membersihkan diri, Alya lantas berbaring di tempat tidur. Katanya tak enak badan.
Tanpa sadar tangan Dean terulur menyentuh lekukan hidung sang istri yang baru saja dialiri setetes air mata. Bahkan dalam tidurnya pun Alya menangis. Rasa bersalah kembali menghantui diri pria itu. Dia sama sekali tidak menyangka jika masa lalu yang dipendam Alya sampai seperti itu. Menyedihkan sekaligus menakutkan. Mulai saat ini Dean berjanji tidak akan mengungkitnya lagi.
x
"Kayaknya lo nggak usah masuk dulu deh. Lihat muka lo pucet begini." Dean menyentuh wajah istrinya itu dengan lembut.
"Nggak bisa, hari ini gue ada jadwal ketemu nasabah." jawab Alya sambil tersenyum kecil. Di antara mereka kini seolah sudah tak ada jarak lagi setelah kejadian di pinggir jalan kemarin. Tadi malam saat dibangunkan untuk makan, wanita itu bahkan sampai salah tingkah. S
Dean dan Alya keluar dari ruang praktek dokter kandungan di rumah sakit yang sama. Kebetulan sekali dokter yang direkomendasikan oleh Anggi tadi sedang berjaga. Alya tadi diperiksa lebih lanjut, sudah melakukan pemeriksaan USG pula demi memastikan kehamilannya. Dean yang kentara sekali tidak sabar. "Lo mau makan apa?" tanya Dean sambil berjalan beriringan untuk keluar dari rumah sakit. Tangan kanannya sejak tadi terus saja mengenggam tangan kiri sang istri. Seolah takut jika Alya sampai lepas. "Gue pengen soto daging." cicit Alya yang tanpa sadar hampir meneteskan air liur. Rasa lapar yang mendera perutnya dan juga rasa bahagia yang meliputi hatinya sungguh bisa membuat nafsu makannya naik seketika. "Yang anget-anget terus sambelnya agak pedes. Duh, pasti enak banget." imbuhnya lagi. Kini benar-benar menjilat bibir bawahnya sendiri seolah lupa dimana dia berada. "Ya udah, nanti kita cari dulu sebelum pulang." jawab Dean langsung setuju dengan menu yang
Dean balas menatap Alya. Memberikan ekspresi semeyakinkan mungkin agar wanita itu tak curiga. Dean sebenarnya belum bisa menebak isi hati istrinya tersebut. Perkataannya tadi hanya asal. Hanya karena ia ingin mengetahui reaksi Alya saja. Sampai saat ini, Alya masih sulit dipahami."Buat apa gue cemburu sama bocah?"Tersentak, tapi Dean berusaha menutupi. Apakah wanita di depannya ini tak punya rasa yang sama dengannya? Apa dia tidak memiliki ketertarikan kepada lawan jenis? Namun, perempuan ini tidak menolak ketika dihamili. Membingungkan sekali.Dering telepon genggam tiba-tiba terdengar. Kilatan maut dari keduanya sontak terjeda. Dean meraih gawainya yang sedari tadi masih ada di atas meja tengah sofa. Ada panggilan dari sang ibu."Halo, Bu." sapanya setelah menggeser ikon hijau."Udah jadi, Mas?""Apanya yang udah jadi?" tanya Dean tak mengerti."Ibu tadi di WA Lintang, katanya kalian baru dari rumah sakit. Alya hamil."Suar
"Nanti siang lo mau dibawain makanan apa?" tanya Dean ketika mereka sudah sampai di depan kantor tempat Alya bekerja. Seperti mejadi sebuah rutinitas untuknya sekarang, Dean akan langsung tancap gas jika waktu makan siang sudah tiba. Makan bersama istri dan calon anaknya adalah hal yang sangat menyenangkan baginya kini."Tumis kangkung enak kayaknya, ya." seru Alya sambil mengerling. Aksi kecil yang akan membuat Dean senyum-senyum sendiri sepanjang hari. "Tapi nanti kita makan keluar aja. Gue bosen makan di kantor mulu.""Nanti lo kecapekan lagi." balas Dean menolak dengan halus. Istrinya itu memang sering mengeluh lelah dan pada kenyataannya memang begitu. Dean sering melihat dari sorot mata yang tak secerah dulu. Setiap bangun tidur Alya juga selalu muntah.Alya memajukan bibirnya, manja. "Pengen ganti suasana baru, Masak dua bulan lebih makannya di kantor mulu. Temen-temen gue juga bosen kali lihat lo terus-terusan.""Kagak ada hubungannya mereka
"Gue cuma makan siang sama dia. Nggak usah lebay deh." Alya membanting tasnya ke atas sofa ruang tamu. Lalu duduk sembari melepaskan sepatu pantofelnya.Suaminya itu marah, tak berhenti mengomel sejak ia naik ke mobil. Hanya karena tadi siang ia pergi makan siang dengan Alex. Alya sudah mengirim pesan pada Dean, tapi pria itu tak membacanya. Ponselnya tertinggal di kantor saat pergi ke kantor Alya, katanya. Pertengkaran memang seolah tak mau pergi dari kehidupan rumah tangga mereka.Sebenarnya yang salah siapa? Alya sudah mengirim pesan, tapi tak dibaca oleh si penerima. Atau ponsel yang tertinggal di meja."Gue udah WA lo juga ngasih tahu kalau lo nggak usah jemput ataupun bawain makanan buat gue. Salah gue dimana?" Penjelasan dari Alya diakhiri dengan kalimat tanya pembelaan diri."Salah lo karena nggak ngabarin gue dari pagi. Lo WA pas gue udah jalan ke kantor lo." sergah Dean tak mau mengalah. Marah, cemburu bercampur menjadi satu seperti es buah di d
Alya mengelus perutnya dengan perlahan. Di sampingnya sang suami masih fokus menyetir. Pikiran mereka mengelana tanpa tahu ujungnya.Kehamilan Alya sudah lima bulan lebih. Perutnya sudah membuncit dan terlihat lucu. Dean sering memainkannya jika akan tidur. Sering mengajaknya bicara pula. Saat-saat seperti itu adalah waktu yang membuat keduanya sangat dekat.Mobil berhenti di carport rumah. Dari kejauhan azan isya terdengar berkumandang. Seperti bulan-bulan sebelumnya jika waktu cek kehamilan tiba, sepulang dari kantor mereka akan langsung ke rumah sakit. Sekalian jalan, begitu kata Alya.Bulan pertama sampai ke-empat semua berjalan lancar. Meski Alya selalu kelelahan dan mual, tapi kandungannya terdeteksi baik-baik saja. Hingga sampailah pada pemeriksaan yang ke-lima. Dokter menyatakan jika Alya terkena preeklamsia, keadaan dimana kehamilannya ini sangat beresiko tinggi baik bagi janin maupun ibunya. Ternyata wajahnya yang dulu bengkak itu adalah sa
Dua bulan lagi, Alya melingkari kalender di tangannya. Kurang lebih hanya tinggal enam puluh hari lagi dan dia akan bertemu dengan anaknya. Minggu lalu sudah diadakan acara tujuh bulanan. Alya berdoa, semoga nanti anaknya baik-baik saja.Pemeriksaan telah rutin dilakukan. Bahkan yang terakhir, Alya sampai di tes darah dan urine. Tekanan darahnya tinggi dan hal itulah yang sangat dikhawatirkan."Jangan banyak pikiran, nanti kalau sudah cukup umur. Bayinya bisa segera dilahirkan tanpa menunggu hari perkiraan lahir."Begitu kata sang dokter, membeberkan fakta dan sedikit menghiburnya.Namun, bagaimana caranya untuk tetap bersikap tenang? Kepalanya sudah penuh dengan segala kemungkinan yang ada.Bagaimana jika anaknya tak bisa bertahan?Bagaimana jika dia yang tenyata dipanggil duluan?Bagaimana jika mereka tak bisa saling menjaga satu sama lain?Hasil pemeriksaan USG menyatakan jika anaknya berjenis kelamin perempuan. Wanita itu meras
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su
Dua bulan lagi, Alya melingkari kalender di tangannya. Kurang lebih hanya tinggal enam puluh hari lagi dan dia akan bertemu dengan anaknya. Minggu lalu sudah diadakan acara tujuh bulanan. Alya berdoa, semoga nanti anaknya baik-baik saja.Pemeriksaan telah rutin dilakukan. Bahkan yang terakhir, Alya sampai di tes darah dan urine. Tekanan darahnya tinggi dan hal itulah yang sangat dikhawatirkan."Jangan banyak pikiran, nanti kalau sudah cukup umur. Bayinya bisa segera dilahirkan tanpa menunggu hari perkiraan lahir."Begitu kata sang dokter, membeberkan fakta dan sedikit menghiburnya.Namun, bagaimana caranya untuk tetap bersikap tenang? Kepalanya sudah penuh dengan segala kemungkinan yang ada.Bagaimana jika anaknya tak bisa bertahan?Bagaimana jika dia yang tenyata dipanggil duluan?Bagaimana jika mereka tak bisa saling menjaga satu sama lain?Hasil pemeriksaan USG menyatakan jika anaknya berjenis kelamin perempuan. Wanita itu meras
Alya mengelus perutnya dengan perlahan. Di sampingnya sang suami masih fokus menyetir. Pikiran mereka mengelana tanpa tahu ujungnya.Kehamilan Alya sudah lima bulan lebih. Perutnya sudah membuncit dan terlihat lucu. Dean sering memainkannya jika akan tidur. Sering mengajaknya bicara pula. Saat-saat seperti itu adalah waktu yang membuat keduanya sangat dekat.Mobil berhenti di carport rumah. Dari kejauhan azan isya terdengar berkumandang. Seperti bulan-bulan sebelumnya jika waktu cek kehamilan tiba, sepulang dari kantor mereka akan langsung ke rumah sakit. Sekalian jalan, begitu kata Alya.Bulan pertama sampai ke-empat semua berjalan lancar. Meski Alya selalu kelelahan dan mual, tapi kandungannya terdeteksi baik-baik saja. Hingga sampailah pada pemeriksaan yang ke-lima. Dokter menyatakan jika Alya terkena preeklamsia, keadaan dimana kehamilannya ini sangat beresiko tinggi baik bagi janin maupun ibunya. Ternyata wajahnya yang dulu bengkak itu adalah sa
"Gue cuma makan siang sama dia. Nggak usah lebay deh." Alya membanting tasnya ke atas sofa ruang tamu. Lalu duduk sembari melepaskan sepatu pantofelnya.Suaminya itu marah, tak berhenti mengomel sejak ia naik ke mobil. Hanya karena tadi siang ia pergi makan siang dengan Alex. Alya sudah mengirim pesan pada Dean, tapi pria itu tak membacanya. Ponselnya tertinggal di kantor saat pergi ke kantor Alya, katanya. Pertengkaran memang seolah tak mau pergi dari kehidupan rumah tangga mereka.Sebenarnya yang salah siapa? Alya sudah mengirim pesan, tapi tak dibaca oleh si penerima. Atau ponsel yang tertinggal di meja."Gue udah WA lo juga ngasih tahu kalau lo nggak usah jemput ataupun bawain makanan buat gue. Salah gue dimana?" Penjelasan dari Alya diakhiri dengan kalimat tanya pembelaan diri."Salah lo karena nggak ngabarin gue dari pagi. Lo WA pas gue udah jalan ke kantor lo." sergah Dean tak mau mengalah. Marah, cemburu bercampur menjadi satu seperti es buah di d