Home / Romansa / Under The Blue Light / 3. Good Girl Go To Hell

Share

3. Good Girl Go To Hell

Author: SNYX
last update Last Updated: 2021-07-13 00:09:51

Gadis-gadis ini adalah kumpulan orang gila. Begitu pikirku.

"Gurls, percayalah padaku. Ini aman. Aku sudah mencobanya. Lihat kaos Dior ini. Kalian pikir ini palsu? Aku mendapatkannya dari upah video yang kubuat."

Aku meletakan makanan secepat yang aku bisa. Benar-benar. Apakah urat malu mereka sudah putus? Mereka yang mengumbar privasi, tapi aku yang merasa malu di sini.

"Apakah ada lagi yang bisa saya bantu, Nona?" tanyaku sambil mengangkat nampan.

"Pelayan, jauhkan minuman itu dari tasku. Kau tak akan mampu mengganti rugi kalau sampai minuman itu mengotorinya."

Ditegur seperti itu, aku segera memindahkan posisi minumannya. "Maafkan saya. Ada lagi, Nona?"

"Tidak. Pergilah. Kami akan memanggilmu kalau butuh sesuatu. Ini tipsnya. Belilah kemeja baru. Penampilanmu di balik apron itu menyedihkan." Salah seorang dari mereka, yang berkuku lentik berwarna pink barbie mengusirku dengan kibasan tangan.

Aku berusaha mengulas senyum tipis. "Jangan sungkan memanggil saya kembali. Selamat menikmati hidangannya." Aku masih harus memperlakukan mereka dengan baik.

Di perjalanan menuju pantry, aku menghala napas panjang.

Kuketahui dunia ini terbagi menjadi dua titik yang berlawanan. Hitam dan putih, baik dan buruk, kanan dan kiri. Kalau sebelumnya kukatakan menjadi pelayan memberiku keuntungan, maka menjadi pelayan juga memberiku kerugian.

Kerugian yang paling sering kutemui adalah bagaimana aku harus membuang harga diriku di hadapan pelanggan dan harus menyembunyikan perasaanku dibalik topeng penuh senyuman. Pelanggan adalah raja dan aku harus melayani mereka mereka. Tak jarang kutemui pelanggan dengan gaya seperti gadis-gadis di meja nomor tiga. Oh, itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan pria tua yang mata keranjang. Meskipun aku ingin menjahit mulut mereka, atau pun mencolok mata mereka, aku tak bisa melakukannya. Itulah yang disebut konvensi kasta.

Aku harus merendah sampai hampir sejajar dengan tanah kalau dihadapkan oleh orang yang berkuasa. Aku harus membiarkan sepatu mengkilat mereka menginjak-injak tubuhku. Bukan karena aku tak sanggup melawan, tetapi karena aku tak boleh melawan. Melawan berarti aku akan kehilangan pekerjaan. Bukankah setiap manusia tak akan malu mengemis saat mereka benar-benar membutuhkan? Seharusnya aku juga tak malu, tetapi aku masih merasa malu. Harga diriku terus mengejek ketika aku kalah dengan keadaan.

.....

Seminggu sudah kulewati dengan baik di restoran. Karyawan yang kugantikan telah aktif kembali. Namun, setelah melihat kinerjaku, Lucy memutuskan untuk memperpanjang kontrakku selama tiga bulan ke depan.

Aku baru saja menerima gajiku selama seminggu bekerja di sini. Aku juga menerima sejumlah tips yang tak terduga dari Lucy. Setelah menerima banyak sekali kebaikan darinya, rasanya tak pantas kalau aku menerima kebaikannya yang satu ini. Aku berusaha menolak. Aku berdalih kalau aku sudah berhasil hidup dengan baik berkat dirinya. Namun, Lucy bersikeras memberikannya padaku dan mengatakan kalau dia akan tersinggung sebab aku terus menolaknya.

"Kau yakin sudah siap bertemu dengannya, Elina?"

"Aku harus menemuinya. Bagaimanapun, barang-barangku ada padanya." Ketika aku mendapatkan jatah liburku, aku berencana kembali ke apartemenku. Kalau nanti aku memiliki kesempatan bicara dengan Sherry, maka aku akan meluruskan kesalahpahaman ini, lalu selesai. Aku akan pergi dari sana dan kembali ke losmen.

Tidak apa-apa kalau Lucy masih membenciku. Aku akan berlapang dada. Aku tak akan memaksanya memaafkanku dalam waktu dekat. Dia pasti butuh waktu, begitu pula denganku. Sebetulnya kalau ada yang perlu disalahkan, maka Sherry juga harus menyalahkan Daniel, bukan hanya aku. Daniel telah menjebakku sampai aku tidur dengannya. Namun, Sherry hanyalah manusia biasa. Manusia terbiasa mempercayai apa yang mereka lihat dan dengar, juga mudah menyalahkan apa yang mereka yakini salah, tanpa harus berusaha mencari pembuktiannya.

Juga cinta. Cinta Sherry pada Daniel jelas berada satu tingkat di atas persahabatan kami. Mungkin benar. Cinta dapat membutakan seseorang. Buta akan membuatnya tergelincir dan jatuh. Jatuh begitu keras ke dalam lubang yang gelap. Setelah pandangannya terbatas, lambat laut dia akan menjadi tuli juga. Dia tak akan mendengar apapun dari lubang hitam itu, bahkan ketika seseorang berusaha menyelamatkannya, dia acuh. Dia akan terperangkap dan kehilangan segalanya. Dia akan mati secara berlahan. Begitu lah cinta dapat membunuhnya.

Dan itulah yang terjadi pada Sherry sekarang. Karena cinta, dia menutup telinganya serapat mungkin. Yang dia dengarkan hanya lah pendapatnya sendiri dan apa yang telah dia percayai. Kalaupun kupaksa dia untuk mendengarkan, itu tak akan berguna lagi.

.....

Setengah jam kutempuh perjalanan dari restoran menuju apartemen. Ketika aku sampai, pintunya sudah berdebu dan digembok. Tanaman dalam pot juga hampir mati. Di antara tanaman itu, ada daisi kesayanganku yang mengering.

"Elina Katarina."

Aku berbalik ketika namaku dipanggil. Kurang dari dua meter dariku, dua orang pria bertubuh besar, bengis, dan penuh tato, berjalan menghampiriku. Aku mundur dengan waspada. Aku merasakan tanda bahaya. Aku tak pernah mengenal mereka, tetapi mereka mengenalku.

"Akhirnya kau berani menampakan dirimu, huh? Jalang." Salah seorang dari mereka mendekatiku dan menarik kerah bajuku.

"Lepaskan," pintaku.

Kerahku diangkat tinggi sampai hanya ujung jari kakiku saja yang menapak di bumi. Tubuhku diguncang-guncang sampai perutku merasa mual. Aku kesulitan bernapas, tetapi mereka tak peduli.

"Kau mau kulepaskan? Kau mau?! Lunasi dulu hutangmu!" bentaknya.

"Hu-hutang apa?" tanyaku tak mengerti.

"Hutangmu pada Nort Wallet Shettle!" Bau rokok dan alkohol yang menyengat buatku mual.

Aku menggeleng. "Hutangku sudah lunas dua bulan lalu," jelasku. Tanganku menggapai-gapai lengan pria itu, berusaha melepaskan diri.

Dulu aku dan Sherry memang memiliki hutang besar. Jumlahnya 70.000 dolar belum termaksud bunga. Kami selalu mencicilnya setiap bulan. Kami juga tak pernah jatuh tempo dalam pembayaran. Sherry punya bukti pembayarannya karena dia yang selalu meluangkan waktunya menyetorkan uang kami ke bank. Aku harus menemui Sherry sekarang dan membuat dua pria ini percaya.

"Kau pikir kami percaya?!" Pria di belakang pria yang mencekikku bicara. Wajahnya yang penuh tindikkan menatapku jijik seakan-akan aku adalah kotoran yang menyangkut di saluran pembuangan.

"Aku punya bukti pelunasan-"

"Cuih!" Aku diludahi. Tubuhku di lempar ke belakang sampai menabrak pintu. Suara debaman terdengar kencang. Aku meringis. Kepalaku pusing dan punggungku sakit.

"Lunas katamu? Kau bahkan belum membayarnya sepeserpun!"

"A-apa maksudmu? Sherry selalu membayarnya setiap bulan-"

"Sherry! Sherry! Shit! Aku tak mengenal jalang itu! Kau yang menandatangani lembar peminjaman! Bukan dia!"

Aku berusaha bangkit kembali, hanya untuk ditendang dan tersungkur di hadapan mereka. "Ta-tapi kami meminjamnya berdua-"

"Jalang, berhenti membuat drama. Lunasi hutangmu. Jangan sok amnesia, atau kau mau kubuat benar-benar amnesia, huh?!"

Tubuhku melemas. Apa maksudnya? Apa itu berarti Sherry telah menipuku selama ini? Dia tak pernah membayar hutang kami? Dia mencuri uang yang kukumpulkan dengan susah payah. Tapi, kenapa? Apakah aku memiliki kesalahan padanya? Sebesar apa kesalahanku sampai dia tega memberiku masalah bertubi-tubi?!

Related chapters

  • Under The Blue Light   4. Love Confession

    "Jalang, berhenti membuat drama! Lunasi hutangmu. Jangan sok amnesia, atau kau mau kubuat benar-benar amnesia?!"Salah seorang dari mereka meletakkan kakinya di kepalaku. "Kuberi waktu tujuh hari lagi dari sekarang. Kalau sampai hari itu kau tak mengembalikannya-" Pria itu tak melanjutkan kalimatnya, tetapi tangannya membuat gestur pistol dan menembakan pistol itu ke kepalaku. "Mati saja. Organ dalam sialanmu seharusnya cukup mengganti uang yang kau pinjam!" "Jangan kabur! Kau tak bisa bersembunyi! Kami akan mengejarmu sampai mati!" gertak pria yang satunya lagi. Kemudian mereka pergi setelah menendang pot bunga berkali-kali, menghancurkan pagar apartemen, dan melempariku dengan tanaman yang sudah mati. Aku termenung. Tak sanggup bangkit. Aku tak menyangka, juga kebingungan. Aku hanya duduk diam dengan kepala berdenyut yang terasa seperti mau pecah."Elina." Sampai kudengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Aku mendongak. Azumaya berjalan dari rumah seberang dengan hati-hati. Dia

    Last Updated : 2021-07-13
  • Under The Blue Light   5. Blue Light Entertaiment

    .....Setelah pernyataan cinta dari Azumaya, aku segera pamit dari hadapannya sambil menarik koperku keluar. Tak baik untukku belama-lama di sana. Aku tak sepolos itu sampai tak bisa berpikir kalau aku baru saja menghancurkan hatinya dengan penolakan.Selama perjalanan menuju losmen, aku tak merasa aman sama sekali. Aku terus berusaha menutupi diriku dan menunduk. Aku takut rentenir itu mengikutiku sampai losmen dan membuat kekacauan di sana."Elina? Kenapa sudah kembali? Apa ada hal buruk yang terjadi?" Lucy memanggilku ketika dia tak sengaja melihatku berjalan di gang samping restoran menuju losmen.Aku mengusap lenganku. "Sherry tak ada di sana, jadi aku kembali."Lucy melirik koper yang kubawa. "Kau sudah melakukan hal yang benar. Tak baik tinggal bersama orang yang bertempramen buruk. Kau membawa seluruh barang berhargamu juga 'kan? Jangan tinggalkan sepeserpun untuknya. Dia tak berhak menerima kebaikanmu."Aku mengangguk. Tak mungkin aku menceritakan hal yang sebenarnya pada Lucy

    Last Updated : 2021-07-17
  • Under The Blue Light   6. Casting

    .....Keesokan harinya, ketika aku baru saja menyambungkan ponselku pada wifi restoran. Aku mendapatkan sebuah email yang mengejutkan. - From: Blue Light Entertaiment - Kepada : Elina Katarina - Subjek : Casting - Selamat! Kamu lolos dan berhak mengikuti tahapan selanjutnya. Datanglah ke Gedung XX di Roomie Street No 23, Buffalo, New York, pada 13 Desember 2020 pukul 03.09 p.m. Bertemu dengan Carla Hamilton. Berpakaian kasual dan jangan terlambat. Jantungku berdetak kencang saat membacanya. Tidakkah itu berarti aku memiliki harapan? Oh, aku merasa lega, tetapi juga takut, salah dan menyesal. Aku sadar kalau jalan yang kupilih ini akan membuatku terperosok jauh ke dalam kegelapan. Namun, tak ada jalan lain sekarang. Aku harus berani maju, atau kesempatannya akan hilang......Aku bersyukur Lucy tak menanyakan banyak hal saat aku meminta izin kepadanya agar bisa pulang cepat hari ini. Dia bilang dia baru saja sampai di bandara Buffalo dari perjalanan bisnis luar kotanya dan tak memi

    Last Updated : 2021-07-20
  • Under The Blue Light   7. William Adler

    Aku berusaha melotot dan tak berkedip agar mataku berkaca-kaca, tetapi itu adalah cara paling bodoh saat kusadari Carla berusaha menahan tawanya, disusun William yang menghela napas panjang. Konsentrasikan seketika buyar. Aku menahan maluku dengan terus menatap ke satu titik tanpa berkedip agar air mataku turun."Konyol." Kudengar William bergumam.Aku tak punya pembelaan untuk kegagalanku yang pertama. Aku menghela napas panjang. "Tolong beri aku waktu sedikit lagi," pintaku.William melempar berkas di tangannya ke atas meja. Dia lantas melipat tangannya di depan dada. Wajahnya berkali-kali lipat lebih serius sekarang. "Aku tak punya banyak waktu untuk omong kosong ini. Katakan. Berapa ukuran penis yang bisa kau toleransi?"Pertanyaan itu hampir membuatku lompat dari tempatku dan pulang. "Ti-tidak ada, Mr. Adler.""Apa kau pernah berkencan?" Aku menggeleng. "Tidak." "Berciuman?" "Tidak." "Berpelukan?" "Per-" "Dengan orang yang kau sukai?" Aku menelan kembali ucapanku saat ingin

    Last Updated : 2021-07-23
  • Under The Blue Light   8. Gravure Idol

    .....Setelah casting selesai, aku ditinggal sendiri di ruang baca lantai dua. Carla pergi menyiapkan Medical Check-Up dan mengurus kontrak kerja. Sedangkan William, pria itu terakhir kali masih berada di ruang casting. Dia tak bangkit dari kursinya saat kami pergi. Novel Insider berada di hadapanku, masih terbuka di atas meja. Belum selesai kubaca. Aku berhenti membacanya beberapa menit lalu. Bukan karena novel itu terlalu vulgar, melainkan karena novel itu terlalu 'sakit'. Secara singkat Insider bercerita tentang Rex Lender, seorang pria dari keluarga agamis yang memiliki apa yang disebut 'monster' di dalam dirinya. Kemudian dia bertemu dengan seorang gadis bernama Gabriella Hargate. Gadis naif yang harus menjadi wadah untuk memuaskan 'monster' itu. Tak ada romantisme yang kutemukan, kecuali rasa sakit sepihak yang gadis itu rasakan. Juga tak ada ending yang bahagia, sebab gadis itu berakhir dibuang.Ironinya, gadis itu akan diperankan olehku. Gabriella Hargate yang naif dan penuh

    Last Updated : 2021-07-27
  • Under The Blue Light   9. Dealing

    Aku tak memiliki sesuatu yang patut disombongkan demi menolak tawaran William. "Deal," ujarku. Kulihat senyum William merekah setelahnya."Kapan aku bisa mulai bekerja, Sir?" tanyaku."Kapan kau punya waktu luang?" Satu-satunya waktu luang yang kumiliki adalah saat mendapatkan libur dari restauran. "Aku libur di hari Kamis dan Jumat." "Datanglah Kamis ini." "Baik, Sir."Ketika melihat William menyentuh lembar katalog lagi, aku merasa butuh penegasan sekali lagi. Aku takut kupingku melewatkan hal-hal yang penting. Aku takut itu dapat berpotensi memberiku masalah di masa depan. Setelah penipuan yang Sherry lakukan, aku harus lebih berhati-hati lagi."Mr. Adler, aku benar-benar hanya perlu berfoto dengan alat-alat ini saja, benar?"William menaikan alisnya. Wajahnya menawan saat dia menahan tawa. "Iya. Hanya itu, tapi kalau kau mau mencoba, silakan." Aku menggelengkan kepalaku kencang. "Tidak perlu. Terimakasih," tolakku cepat. Aku tak sanggup menatapnya lebih lama lagi, jadi aku men

    Last Updated : 2021-07-31
  • Under The Blue Light   10. Here We Go

    Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A

    Last Updated : 2021-08-03
  • Under The Blue Light   11. Adam & Eve

    .....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m

    Last Updated : 2021-08-20

Latest chapter

  • Under The Blue Light   18. S & M

    Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya

  • Under The Blue Light   17. Bury Your Head in The Sand

    "Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.

  • Under The Blue Light   16. Adam & Lilith

    ....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W

  • Under The Blue Light   15. Piece of Shit

    "Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem

  • Under The Blue Light   14. White Supremacy

    .....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku

  • Under The Blue Light   13. Comfort Zone

    "Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert

  • Under The Blue Light   12. Candies

    .....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men

  • Under The Blue Light   11. Adam & Eve

    .....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m

  • Under The Blue Light   10. Here We Go

    Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A

DMCA.com Protection Status