Aku berusaha melotot dan tak berkedip agar mataku berkaca-kaca, tetapi itu adalah cara paling bodoh saat kusadari Carla berusaha menahan tawanya, disusun William yang menghela napas panjang. Konsentrasikan seketika buyar. Aku menahan maluku dengan terus menatap ke satu titik tanpa berkedip agar air mataku turun.
"Konyol." Kudengar William bergumam.Aku tak punya pembelaan untuk kegagalanku yang pertama. Aku menghela napas panjang. "Tolong beri aku waktu sedikit lagi," pintaku.William melempar berkas di tangannya ke atas meja. Dia lantas melipat tangannya di depan dada. Wajahnya berkali-kali lipat lebih serius sekarang. "Aku tak punya banyak waktu untuk omong kosong ini. Katakan. Berapa ukuran penis yang bisa kau toleransi?"Pertanyaan itu hampir membuatku lompat dari tempatku dan pulang. "Ti-tidak ada, Mr. Adler.""Apa kau pernah berkencan?"Aku menggeleng. "Tidak.""Berciuman?""Tidak.""Berpelukan?""Per-""Dengan orang yang kau sukai?"Aku menelan kembali ucapanku saat ingin mengatakan 'pernah'. "Tidak.""Kau pernah melakukan sex?"Keringat dingin mulai mengalir di punggungku. Kurasakan kemejaku mulai basah. "Tidak.""Masturbasi?""Ti-tidak." Suaraku semakin mengecil. Kepercayaan diriku seratus persen hilang. Cengkramanku di paha mengerat. Aku takut aku akan gagal."Kau pernah menonton film porno?"Aku menggeleng."Bagaimana dengan mimpi?"Aku mengigit bibirku. "Sepertinya pernah," cicitku. Rasanya benar-benar tak nyaman. Ini seperti aku baru saya mengakui dosa di hadapan Bapa. Kali ini, kudengar Carla yang menghela napas panjang.Apakah aku akan ditolak? Aku tak boleh ditolak. Aku sudah sejauh ini. Aku harus pulang membawa uang. Tempat ini satu-satunya harapanku.Sekarang bukan hanya wajahku saja yang memanas, mata dan otakku juga, dan jemariku tak berhenti gemetar sampai aku harus memeganginya dengan jemari tanganku yang lain. "Tapi, tapi aku pernah membaca buku tema dewasa." Aku berkata cepat, berusaha meyakinkan. Sampai akhir, aku harus berusaha."Benarkah?" William melontarkan pertanyaannya lagi, apatis. "Apa judulnya? Apa yang kau tau dari buku itu? Bagaimana cara pria dan wanita melakukan sex? Gaya seperti apa yang mereka lakukan? Apa kau mengerti isi di dalamnya?"Suaraku tercekat. Aku menunduk semakin dalam. Pertanyaannya seperti sengaja menekan dan menelanjangiku. Meskipun kepalaku mengetahui jawabannya, tak mungkin mulutku mampu menjawabnya. Lidahku masih tertahan oleh norma dan agama."Angkat wajahmu, Elina." William tak memintaku, dia memerintahku, tetapi aku tak punya keberanian menurutinya."Elina? Kau oke? Kalau kau tak berani melihat William, kau bisa melihatku saja." Kali ini Carla yang bicara.Berlahan aku mengangkat wajahku. Aku tak bisa melihat wajah Carla, tetapi aku bisa mendengar suara di sekitarku dengan jelas. Kudengar Carla memekik dan meminta Janice mengambil tissue."Akhirnya bisa menangis juga, hm?" Itu bukan suara Carla. Itu suara William.Aku mengangkat telapak tanganku dan mengusap pipiku sendiri. Basah. Apa aku begitu takut pada pria itu sampai akhirnya menangis?Kudengar suara kursi yang didorong ke belakang, lalu langkah kaki mendekat. "Oh Tuhan, maafkan William, Elina. Dia memang suka membuat anak gadis menangis, tapi percayalah, dia hanya bermaksud membantumu." Carla berbisik sambil menyodorkan tissue yang sebelumnya diantarkan Janice.Aku menganggukan kepalaku saja dan berterimakasih kepadanya. Aku bingung dan masih tak mengerti.Selagi sibuk membenahi diriku sendiri, William dari tempatnya kembali bertanya. "Kau mendaftar sebagai gravure idol. Apa motifmu? Kau bukan ekshibisionis. Dan berhenti menangis. Dasar cengeng.""A-aku membutuhkan uang," jawabku berterus terang."Semua orang membutuhkan uang.""A-aku membutuhkan uang untuk melunasi hutangku. Waktunya hanya sampai hari Minggu. Aku tak memiliki pilihan lain selain ini. Tolong beri aku kesempatan," pintaku memelas."Berapa banyak yang kau butuhkan?""70.000 dolar."Kulihat Carla tersentak. "Itu jumlah yang besar! Setidaknya pendatang baru harus menyelesaikan dua film dan mendapat rating yang bagus kalau ingin dibayar sebesar itu. Bagaimana pendapatmu, Will?"Kutatap Carla penuh harap.Carla tertawa. "Ya Tuhan! Jangan melihatku seperti itu. Aku lemah terhadap permohonan."William bedehem, mengambil atensiku dan Carla kembali. "Perawakanmu tak cocok untuk proyek film mendatang. Aktingmu juga buruk. Yang bagus darimu hanya menangis seperti bayi. Orang sepertimu akan mudah dilupakan. Terlebih kau menginginkan bayaran dalam jumlah besar. Kau hanya akan berakhir ditertawakan."Komentar William membuat kepercayaan diriku yang sempat kembali, meluntur. "Apakah aku tak memiliki kesempatan?" tanyaku, sekali lagi mencoba peruntungan."Kalau kau berani menatapku, aku akan memberimu kesempatan."Dengan cepat aku melihat ke arah William dan dengan cepat pula aku menyesal.Carla yang melihat tingkahku menjadi begitu terhibur. Tawanya pecah. "Astaga, maafkan aku Elina," katanya.Sedangkan William hanya melempar senyum tipis saja. "Apa kau punya waktu sampai nanti malam?" tanyanya padaku.Aku mengangguk."Kalau iya, kau bisa membaca naskah film yang akan kau bintangi."Aku terkejut. "Aku diterima? Kau bilang tadi-""Aku mencoba memberimu kesempatan. Hanya sekali. Kalau kau mengacau, aku akan menendangmu keluar," potong William. Pria itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Carla. "Berikan dia Insider."Insider? Bukankah itu judul novel yang tadi kutemukan di ruang tunggu?"Tunggu, Will, tokoh mana yang akan dia perankan?" tanya Carla. Wajahnya terlihat was-was."Gabriella."Carla membelakak. "Kau yakin?! kupikir dia tipe vanila," tukasnya sambil melirik ke arahku. "Insider terlalu berat untuknya. Dia masih polos seperti kertas putih tanpa noda," ujarnya dramatis.Namun William tetap pada keputusannya. "Lakukan, Carla. Keputusan ada di tanganku, bukan di tanganmu. Dan jangan lupa periksa kesehatannya. Kalau dia mengidap penyakit khusus, kontrak kita batalkan.""Terimakasih atas kesempatannya, Sir."Dari sudut pandangku, aku mulai bisa melihat sosok William yang lain. Dia bukan hanya seorang pria dengan kepribadian yang serius dan tegas. Kalau diperlukan, dia tak ubahnya diktator yang kejam dan menuntut.Aku menjadi sedikit khawatir sekarang. Pria seperti William, apakah akan cocok kalau bekerja sama denganku? Dia terlalu 'sempurna', terlalu mencolok dengan sinarnya. Menjadi dekat dengannya pasti akan membuatku kesulitan. Akan lebih baik kalau aku tetap menjaga jarak saja. Lagipula, aku hanya akan bertemu dengannya untuk urusan bisnis. Di luar itu, aku tak memiliki kewajiban untuk beramah-tamah dengannya...........Setelah casting selesai, aku ditinggal sendiri di ruang baca lantai dua. Carla pergi menyiapkan Medical Check-Up dan mengurus kontrak kerja. Sedangkan William, pria itu terakhir kali masih berada di ruang casting. Dia tak bangkit dari kursinya saat kami pergi. Novel Insider berada di hadapanku, masih terbuka di atas meja. Belum selesai kubaca. Aku berhenti membacanya beberapa menit lalu. Bukan karena novel itu terlalu vulgar, melainkan karena novel itu terlalu 'sakit'. Secara singkat Insider bercerita tentang Rex Lender, seorang pria dari keluarga agamis yang memiliki apa yang disebut 'monster' di dalam dirinya. Kemudian dia bertemu dengan seorang gadis bernama Gabriella Hargate. Gadis naif yang harus menjadi wadah untuk memuaskan 'monster' itu. Tak ada romantisme yang kutemukan, kecuali rasa sakit sepihak yang gadis itu rasakan. Juga tak ada ending yang bahagia, sebab gadis itu berakhir dibuang.Ironinya, gadis itu akan diperankan olehku. Gabriella Hargate yang naif dan penuh
Aku tak memiliki sesuatu yang patut disombongkan demi menolak tawaran William. "Deal," ujarku. Kulihat senyum William merekah setelahnya."Kapan aku bisa mulai bekerja, Sir?" tanyaku."Kapan kau punya waktu luang?" Satu-satunya waktu luang yang kumiliki adalah saat mendapatkan libur dari restauran. "Aku libur di hari Kamis dan Jumat." "Datanglah Kamis ini." "Baik, Sir."Ketika melihat William menyentuh lembar katalog lagi, aku merasa butuh penegasan sekali lagi. Aku takut kupingku melewatkan hal-hal yang penting. Aku takut itu dapat berpotensi memberiku masalah di masa depan. Setelah penipuan yang Sherry lakukan, aku harus lebih berhati-hati lagi."Mr. Adler, aku benar-benar hanya perlu berfoto dengan alat-alat ini saja, benar?"William menaikan alisnya. Wajahnya menawan saat dia menahan tawa. "Iya. Hanya itu, tapi kalau kau mau mencoba, silakan." Aku menggelengkan kepalaku kencang. "Tidak perlu. Terimakasih," tolakku cepat. Aku tak sanggup menatapnya lebih lama lagi, jadi aku men
Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A
.....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m
.....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men
"Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert
.....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku
"Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem
Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya
"Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.
....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W
"Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem
.....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku
"Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert
.....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men
.....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m
Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A