.....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku
"Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem
....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W
"Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.
Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya
....Buffalo, 1 November 2020Aku terhempas. Aspal yang dingin menyambutku. Pipiku memanas bekas tamparan. Sherry berada di depanku, mengamuk dengan kata-kata yang tak pernah kupercaya sanggup dia katakan. Suaranya melengking di setiap tarikan napas dan matanya berkobar penuh amarah. Aku sendiri sudah berkaca-kaca menghadapinya."Sherry-""Diam, Jalang. Jangan memanggilku dengan mulut busukmu itu!" Dia bahkan tak memberiku kesempatan menjelaskan sama sekali.Sedangkan aku tak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi, ucapanku selalu tertelan di tenggorokan. Aku masih setengah sadar saat Sherry menjambak rambutku dan menyeretku keluar dari apartemen kami."Kau tidur dengannya! Kau menggodanya! Kau merebutnya dariku! Penghianat!" raungnya.Aku menggeleng lemah. Telapak tanganku masih berusaha meraihnya. "Itu tak benar-" "Tutup mulutmu!" Sherry mendorongku menjauh. Dia biarkan aku tersungkur ke belakang. Dia melihatku seolah-olah aku begitu menjijikan.Benar-benar mimpi buruk. Sherry
.....Aku kembali ke restoran di pagi hari. Pintunya terkunci dan lampunya belum menyala. Restoran masih tutup. Aku memutuskan berjongkok di depan bangunan dan melihat banyak orang berlalu lalang dengan cepat. Mereka terlihat sibuk dengan kehidupan mereka. Apakah semua orang berjalan maju dan hanya aku saja yang mengalami kemunduran? Aku jadi berkecil hati. Aku merasa iri. Mengapa hidup begitu mudah bagi orang lain dan begitu sulit untukku?"Elina?" "Ya?" Aku mendongak saat namaku dipanggil. Lucy hampir sampai di hadapanku. Dia memakai mantel abu-abu yang terlihat hangat membungkus kulitnya. Telapak tangannya dilapisi sarung tangan hitam dan lehernya diselimuti craf kunyit yang tebal. Nyaman dan tidak kedinginan. Sekali lagi aku merasa iri atas keberuntungan yang Tuhan berikan pada hambanya yang lain. Mengapa aku tak bisa mendapatkan hal yang sama?"Halo, Lucy," sapaku. Aku tak lagi memanggilnya nyonya sebab dia melarangku semalam.Lucy mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri. "Oh
Gadis-gadis ini adalah kumpulan orang gila. Begitu pikirku."Gurls, percayalah padaku. Ini aman. Aku sudah mencobanya. Lihat kaos Dior ini. Kalian pikir ini palsu? Aku mendapatkannya dari upah video yang kubuat." Aku meletakan makanan secepat yang aku bisa. Benar-benar. Apakah urat malu mereka sudah putus? Mereka yang mengumbar privasi, tapi aku yang merasa malu di sini."Apakah ada lagi yang bisa saya bantu, Nona?" tanyaku sambil mengangkat nampan. "Pelayan, jauhkan minuman itu dari tasku. Kau tak akan mampu mengganti rugi kalau sampai minuman itu mengotorinya."Ditegur seperti itu, aku segera memindahkan posisi minumannya. "Maafkan saya. Ada lagi, Nona?""Tidak. Pergilah. Kami akan memanggilmu kalau butuh sesuatu. Ini tipsnya. Belilah kemeja baru. Penampilanmu di balik apron itu menyedihkan." Salah seorang dari mereka, yang berkuku lentik berwarna pink barbie mengusirku dengan kibasan tangan. Aku berusaha mengulas senyum tipis. "Jangan sungkan memanggil saya kembali. Selamat menik
Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya
"Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.
....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W
"Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem
.....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku
"Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert
.....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men
.....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m
Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A