Share

9. Dealing

Penulis: SNYX
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-31 17:00:00

Aku tak memiliki sesuatu yang patut disombongkan demi menolak tawaran William.

"Deal," ujarku. Kulihat senyum William merekah setelahnya.

"Kapan aku bisa mulai bekerja, Sir?" tanyaku.

"Kapan kau punya waktu luang?"

Satu-satunya waktu luang yang kumiliki adalah saat mendapatkan libur dari restauran. "Aku libur di hari Kamis dan Jumat."

"Datanglah Kamis ini."

"Baik, Sir."

Ketika melihat William menyentuh lembar katalog lagi, aku merasa butuh penegasan sekali lagi. Aku takut kupingku melewatkan hal-hal yang penting. Aku takut itu dapat berpotensi memberiku masalah di masa depan. Setelah penipuan yang Sherry lakukan, aku harus lebih berhati-hati lagi.

"Mr. Adler, aku benar-benar hanya perlu berfoto dengan alat-alat ini saja, benar?"

William menaikan alisnya. Wajahnya menawan saat dia menahan tawa. "Iya. Hanya itu, tapi kalau kau mau mencoba, silakan."

Aku menggelengkan kepalaku kencang. "Tidak perlu. Terimakasih," tolakku cepat. Aku tak sanggup menatapnya lebih lama lagi, jadi aku mengalihkan pandanganku ke samping dan mulai mengusap lenganku sendiri. Kebiasaanku saat aku mulai merasa tak nyaman.

Tiba-tiba kurasakan jemari dingin hinggap di daguku. Menarik wajahku berlahan sampai pandangan kami bertemu. "Belajarlah menatap lawan bicaramu. Kau bisa membuat orang lain tersinggung," ujar William.

Mendengarnya membuatku meneguk ludah. Apakah dia baru saja menasehatiku? Atau dia baru saja menyindirku karena aku membuatnya tersinggung? Atau dia sedang menggodaku? Ah, itu paling tidak mungkin!

Dengusan lembut terdengar samar. "Aku tau kau masih perawan, tapi kau tak perlu menunjukannya secara terang-terangan. Saat kau memutuskan datang ke tempat ini, kau sudah menjadi seorang pendosa. Bangun dan hadapi kenyataan. Kau tak lebih dari sampah yang tengah mengemis bantuan padaku sekarang."

Napasku tertahan. Sesak menghantamku kuat. Meskipun William mengatakannya dengan santai, bahkan kilatan matanya tak mengancam, makna perkataannya begitu menyakitkan. Dia menamparku telak. Dia memaksaku melihat ke dalam diriku sendiri. Diriku yang menyedihkan ini. "Aku mengerti, Sir."

.....

Aku segera pergi dari Blue Light Entertaiment setelah sesi penandatanganan kontrak berakhir. Carla sudah menjelaskan padaku kalau produksi film akan berlangsung selama sebulan di Manhattan, dua minggu lagi dari sekarang. Selama itu aku tak boleh berkeliaran tanpa pengawasan darinya. Sedangkan William mengingatkanku agar datang ke gedung XX setiap hari libur tiba. Aku memiliki jadwal pemotretan dengan brand alat- aku tidak ingin menyebutnya. Aku juga harus memikirkan alasan agar Lucy memperbolehkanku ijin dalam waktu panjang.

Sekarang aku berada di dalam bus umum dengan earphone menyumpal telingaku. Tak ada musik keras. Hanya ada Coldplay yang diputar dengan volume kecil. Inginnya aku berkonsentrasi pada pemandangan di luar jendela, tetapi apa yang kini berada di hadapanku membuatku bernostalgia.

Ada pasangan kakek dan cucu di seberangku. Rambut si kakek sudah memutih, pun kulitnya keriput. Matanya jelas sayu. Berbanding terbalik dengan manik si cucu yang masih begitu jernih. Si kakek memangku tongkat di pahanya, sedangkan si cucu memegangi lengannya, menjaga agar si kakek tetap duduk di posisinya.

Melihat mereka membuatku tersambung kembali pada masa lalu. Jauh sebelum aku pindah ke Amerika, saat nenek masih ada. Natal kami lewati di musim hujan, bukan musim dingin. Pohon natal, kado-kado, makanan hangat, pelukan saat mengucapkan hari raya. Semua kenangan itu, harta karunku yang berharga, sengaja kutinggalkan begitu saja demi mengejar apa yang kuyakini dapat menjadikan hidup mereka lebih baik.

Aku rindu keluargaku. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apa mereka sehat? Apa mereka hidup dengan benar? Apa mereka tidur di tempat yang nyaman? Apa mereka makan makanan yang enak? Apa mereka merasa aman?

Kulihat pantulan diriku di jendela yang berembun. Tau-tau air mataku meleleh. Aku mengusapnya cepat. Malu kalau sampai dilihat orang lain. Bukan hanya fisikku saja, tetapi hatiku juga merasa jauh sekali dari rumah. Sebelumnya aku tak pernah merasa serindu itu pada keluargaku sebab Sherry bersamaku. Sekarang, setelah dia pergi, aku benar-benar merasa sendirian.

.....

Setelah turun dari bus, aku menyempatkan diri mengecek saldo tabunganku di mesin ATM terdekat. Aku menahan napasku saat melihat tampilan layar yang mengejutkan. Ada 70.000 dolar persis seperti yang William janjikan. Ini adalah nominal terbesar yang pernah masuk ke dalam rekeningku. Aku sampai gemetar saat melihat ulang nominalnya. Sayangnya aku akan kehilangan uang itu cepat, atau lambat.

Ketika aku keluar dari mesin ATM, dua pria besar yang kukenal menghadangku. Aku terbelakak. Secara naluriah aku mundur sampai punggungku menghimpit tembok. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, lantas baru menyadari kalau ini sudah hampir tengah malam. Tak ada orang yang berkeliaran di sekitar sini, kecuali kami.

"Wa-waktunya masih sampai Minggu nanti," ujarku.

Mereka terkekeh. Salah seorang dari mereka, yang membawa pisau lipat, mendekatiku dan menempelkan benda tajam itu di pipiku. Aku menahan napas. Kulihat pisau itu dengan penuh kengerian.

"Ya, kami hanya mau mengingatkanmu. Kalau kau sudah mendapatkan uangnya, segera lunasi utangnya. Jangan sampai kehabisan waktu, ingat, kepalamu di tangan kami. Sampai sekarang kami masih berusaha bersabar dan tak menyentuh orang-orang di sekitarmu, tapi kalau kau berani bertingkah, jangan salahkan kami kalau kami mencelakai mereka."

Aku mengangguk hati-hati.

Mereka melihatku lama sekali, lalu tertawa. Aku semakin mengkerut di tempatku, tak bisa berbuat apa-apa. Ketika kupikir mereka akan memukulku, mereka hanya melambai padaku dan pergi begitu saja.

Sepeninggalan mereka, aku merosot, jatuh terduduk lemas dengan tubuh yang tak hentinya gemetar. Aku tak mampu menghadapi mereka. Aku tak mau bertemu dengan mereka. Aku harus menyetorkan uang ini segera. Itu adalah pilihan yang paling baik.

.....

Keesokan harinya, aku memutuskan datang ke bank terdekat pagi-pagi sekali. Shifku akan dimulai pukul sepuluh. Masih ada dua jam lagi dari sekarang.

"Tolong alihkan semua dananya ke North Wallet Settle. aku ingin melunasi hutangku di sana," pintaku pada seorang teller.

"Pengalihan dana dalam jumlah besar akan membutuhkan waktu konfirmasi kurang lebih 30 menit. Apakah anda bersedia menunggu?"

"Saya bersedia."

"Baik, mohon anda berpindah ke lantai dua."

Aku menghela napas lega. Sebentar lagi utangku akan lunas. Aku tak perlu khawatir akan nasibku minggu depan. Para penagih itu tak akan berkeliaran mencariku di jalanan. Kuharap setelah ini hidupku bisa menjadi lebih tenang.

Berjalan ke lantai dua sambil melihat orang-orang di sekitarku, bola mataku tertuju pada seorang anak perempuan yang digendong wanita paruh baya di barisan nasabah. Dia terlihat bahagia. Senyumnya begitu lebar. Gigi susunya yang ompong lucu sekali. Apa semua anak selalu seperti itu? Apakah aku dulu juga seperti itu? Naif dan mudah dibohongi. Terjebak dalam dongeng yang penuh dengan happy ending. Ketika mereka dewasa nanti, berlahan-lahan mereka akan mengerti kalau happy ending itu hanyalah sebuah ilusi.

Aku menepuk pipiku sendiri. "Sadarlah, Elina." Akhir-akhir ini aku menjadi lebih melankolis. Sering membandingkan diriku yang dulu dan yang sekarang, juga membandingkan diriku dengan orang lain.

Bab terkait

  • Under The Blue Light   10. Here We Go

    Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Under The Blue Light   11. Adam & Eve

    .....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • Under The Blue Light   12. Candies

    .....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-28
  • Under The Blue Light   13. Comfort Zone

    "Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-18
  • Under The Blue Light   14. White Supremacy

    .....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-25
  • Under The Blue Light   15. Piece of Shit

    "Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09
  • Under The Blue Light   16. Adam & Lilith

    ....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-18
  • Under The Blue Light   17. Bury Your Head in The Sand

    "Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-01

Bab terbaru

  • Under The Blue Light   18. S & M

    Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya

  • Under The Blue Light   17. Bury Your Head in The Sand

    "Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.

  • Under The Blue Light   16. Adam & Lilith

    ....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W

  • Under The Blue Light   15. Piece of Shit

    "Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem

  • Under The Blue Light   14. White Supremacy

    .....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku

  • Under The Blue Light   13. Comfort Zone

    "Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert

  • Under The Blue Light   12. Candies

    .....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men

  • Under The Blue Light   11. Adam & Eve

    .....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m

  • Under The Blue Light   10. Here We Go

    Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status