Rehan menurut, memang ia saat ini sungguh membutuhkan sandaran, dirinya rapuh dan merasa sangat tak berguna. Menabrak seseorang, bahkan hingga tulangnya patah bukan masalah yang sepele.
"Mas, jangan khawatir ya, kalau misalkan Elen beneran perempuan perantauan, selama masa pemulihan biar dia sama aku aja. Aku enggak keberatan kok kalau harus ngurus dia." Elen berkata seperti itu dengan sangat yakin.
"Sayang? Kamu serius bilang kayak gitu? Apa kamu enggak bakalan repot kalau harus ngurusin dia?" Rehan melepas pelukannya dari sang istri.
Menatap kedua mata teduh milik Elen, menanti jawaban yang akan dilontarkan lagi oleh sang istri.
Kepala Elen mengangguk dengan sangat mantap, seraya tangan kanannya yang bergerak untuk mencubit pelan kedua pipi milik Rehan.
"Enggak apa-apa, Mas. Aku yakin banget kalau aku enggak bakalan kerepotan kok, apalagi kita juga kan belum punya anak, ngurus perempuan itu enggak bakalan jadi masalah buat aku."
Sekali lagi, Rehan memeluk sangat erat tubuh Elen. Mengutarakan kata terima kasih lewat pelukan.
Berterima kasih pada Tuhan dan juga takdir yang sudah mempertemukan dirinya dengan perempuan yang sangat baik, Rehan sama sekali tidak menyangka jika ia akan mendapat jawaban seperti itu.
Sejak tadi, Rehan hanya khawatir tentang bagaimana tanggapan dari Elen. Bahkan, yang ada di pikirannya Elen akan marah sangat besar, karena tidak mengemudikan mobil dengan hati-hati.
Pelukan itu perlahan mengendur, Rehan tersenyum dengan kedua mata yang tetap menatap wajah cantik sang istri di depannya ini.
Beberapa detik kemudian, mulut Regan akhirnya berkata, "Sayang, makasih banyak ya, kamu udah mau ngelakuin itu. Bahkan kamu sama sekali enggak marah ke aku."
"Padahal, aku dari tadi udah ngerasa takut banget kalau kamu tau ini dan kamu pasti bakalan marah banget, tapi ternyata kamu enggak kayak gitu."
Elen tersenyum, cantik sekali, lalu menjawab, "Enggak akan aku marah ke kamu karena masalah ini, Mas."
"Ini murni kecelakaan, kamu juga pasti tadinya enggak ada niat buat nabrak dia, kan? Tapi takdir udah berkehendak, kita sebagai manusia bisa apa?"
"Aww!" Suara rintihan yang terdengar dari dalam ruangan, membuat Elen dan juga Rehan langsung saling beradu pandang, lalu sedetik kemudian mereka berdua buru-buru masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Sakit ...." Suara rintihan kembali terdengar, kala kedua kaki pasangan suami istri memasuki ruangan tersebut.
Elen tetap memberanikan diri untuk tetap mendekat ke arah perempuan yang tengah merintih itu, tentu saja dengan Rehan yang mendahului.
"Saya minta maaf ya." Rehan terlebih dulu mengutarakan permintaan maafnya pada perempuan yang sedari tadi merintih kesakitan itu.
Rehan hanya fokus dengan wajah perempuan itu saja, tanpa berani untuk melihat ke arah lengan yang sudah diperban oleh pihak rumah sakit.
Hatinya saat ini sagat tidak tenang, kala perempuan yang tengah terbaring itu tak kunjung memberikan jawaban. Hanya menatap wajah Rehan saja, tanpa kata apa pun.
Elen, istri dari Rehan langsung menyadari jika ada yang tidak beres dari tatapan perempuan tersebut, langsung ambil alih dengan berdeham pelan.
"Ini suami saya, namanya Rehan. Beliau tidak sengaja menabrak kamu dan mengakibatkan kamu menjadi seperti ini," ucap Elen, seraya menatap wajah perempuan tersebut.
"Saya ... Naura." Hanya itu saja kalimat yang dikeluarkan dari mulut perempuan tersebut.
Ya, namanya Naura. Perempuan perantauan yang sudah bekerja di salah satu perusahaan di bagian staff accounting. Karirnya cukup bagus, itu semua berkat kerja keras Naura sendiri yang gigih dalam meraup ilmu.
Mendapat balasan kata dari Naura, meskipun sedikit, membuat hati Elen lega. Segera saja Elen mengambil posisi duduk di dekat Naura, seraya menatap penuh kasihan.
"Maafkan suami saya ya, udah buat kondisi kamu seperti ini, suami saya benar-benar tidak sengaja. Kamu jangan khawatir, ada saya yang akan merawat kamu sampai kamu sembuh nanti," ucap Elen, penuh harap.
"Saya mendapat tekanan dari atasan, di saat saya tengah mengendarai kendaraan. Hal itu yang membuat saya kehilangan rasa fokus dan tidak tahu jika di depan saya sudah ada kamu. Sekali lagi saya minta maaf." Penuh rasa bersalah Rehan mengutarakan kalimat itu.
Masih belum ada tanggapan yang diutarakan dari mulut Naura. Perempuan itu hanya diam saja dengan kedua mata yang menatap langit-langit rumah sakit.
Sedetik kemudian, Naura meneteskan air mata. Hatinya sakit, perasaannya kacau, ditambah lagi dengan tangan kanan ya
ng tak bisa digerakkan. Rasa sakitnya semakin bertambah.
"Bagaimana dengan kehidupan saya selanjutnya, bagaimana dengan keluarga saya yang harus dikirim uang, sedangkan posisi saya seperti ini, Mbak," ungkap Naura, dengan air mata yang terus-menerus mengalir dari sudut mata perempuan itu. "Naura, kamu jangan khawatir tentang hal itu." Rehan langsung mengatakan hal itu, tetapi ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu lanjut berucap, "Karena saya yang sudah membuat kamu seperti ini, maka mulai sekarang kamu juga akan menjadi tanggung jawab saya." Ada sedikit rasa terkejut dari dalam hati Elen, tetapi ia juga langsung tersadar jika sang suami memang sudah melakukan kesalahan. Mau tidak mau, Elen pun harus menerima jika pendapatan sang suami harus terbagi dengan perempuan yang bernama Naura. "Saya enggak mau kayak gini, aww!" Naura lupa, jika saat ini tangan kanannya tengah sakit, tetapi ia tadi justru menggerakkan tangan tersebut. Alhasil, Naura harus merasakan sakit yang luar biasa. Hal yang saat ini bisa dilaku
"Emangnya kenapa sih, Mas? Kamu kok keliatannya kayak yang khawatir gitu. Padahal, Naura buka ponsel itu karena dia mau menghubungi atasannya. Dia mau ngasih tau kalau sekarang dia lagi kecelakaan." Elen mencoba untuk menjelaskan apa yang ia bisa. "Kamu udah saya laporin ke atasan kamu kok, ini salah saya, jadi itu juga termasuk dari tanggung jawab saya," sahut Rehan, membuat Naura detik itu juga langsung mengembuskan napasnya sangat lega. Elen merasa jika ada yang tidak beres antara suaminya dengan perempuan yang tengah terlentang tak berdaya itu, tetapi saat ini dirinya memilih untuk menepis segala pemikiran buruk tersebut. Elen percaya, sangat percaya, jika suaminya bukanlah sosok yang seperti itu. Rehan adalah seorang suami yang sangat setia dan juga bertanggung jawab untuk perasaan Elen. "Sekarang, kamu gunain waktu kamu itu untuk beristirahat. Nanti sore kamu bisa pulang, karena sesuai sama apa yang kamu mau, bakalan dibawa ke tukang pijat khusus buat tulang," uca
"Ada apa ini?" Suara Elen sangat lembut, tapi tegas. Tatapan perempuan itu juga langsung mengarah pada Ardi. Tangan kanannya mengerti, langsung berjalan mendekat dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada restoran tersebut. Restoran milik Elen memang difitnah, karena dengan sangat tiba-tiba sekali tercium bau daging busuk. Hal itu tentu saja membuat hidung pelanggan terganggu dan ada seseorang yang berani untuk berinisiatif melihat ke ruang dapur. Kebetulan saat itu dapur tengah sepi Alangkah terkejutnya, kala orang tersebut menemukan daging busuk yang berada di wadah. Sudah siap untuk segera dimasak menjadi makanan. Sontak saja dirinya berteriak cukup kencang, seraya mencoba untuk memuntahkan semua isi di dalam perut. Ya, dimulai dari situ, hingga akhirnya semua pengunjung yang ada di situ marah besar, serta banyak juga yang ikut berupaya untuk memuntahkan semua makanan di dalam perut. "Bu kalau ingin mendapat laba besar, jangan dengan cara kotor seperti ini! Sa
Ardi mendekat dan berbisik pada Elen, tentang apa yang harus dilakukannya setelah ini, karena Ardi merasa takut jika nanti ke depannya restoran itu akan sepi pengunjung. Namun, tidak dengan Elen. Perempuan itu tetap saja santai, ia sama sekali tidak memikirkan tentang bagaimana jika usaha yang ia miliki itu akan sepi dan dampaknya adalah bangkrut. "Yang tadi makan di sini, silakan lanjutkan makannya, ingat ya, dihabiskan. Setelah itu, silakan ke kasir dan ambil makanan dengan bentuk yang sama, seperti yang kalian makan. Ingat juga, membawa bukti transaksi yang tadi, okayy?" "Itu bukan apa-apa, hanya saja saya ingin membayar waktu dan tenaga kalian karena sudah menyaksikan fitnah seperti ini." Elen memberitahukan hal itu, karena ia juga melihat raut muka pelanggannya yang sudah sangat tidak enak. Setelah menjelaskan apa yang ia maksud perihal makanan tersebut, tanpa ada sepatah kata lagi, Elen langsung melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam dapur dan membersihkan semuany
Saat Elen tiba di rumah, dirinya langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur terlebih dulu. Memandangi langit-langit kamar, tersenyum simpul. Mungkin karena lelah yang sudah sangat dirasakan, perempuan itu akhirnya langsung tertidur tanpa banyak kata. "Sayang, hei bangun." Suara dari orang yang sangat disayangi dan juga mendapat tepukan pada kedua pipi secara bergantian, membuat Elen perlahan mengerjapkan kedua mata, lalu mengulas senyum. "Kamu udah pulang, Mas? Perempuan yang tadi di rumah sakit ke mana? Kamu tinggal kah?" tanya Elen, seraya menatap sang suami dengan penuh tanda tanya. Rehan mengambil posisi duduk tepat di sebelah Elen, mengulurkan tangan kanannya untuk bergerak dan mengusap lembut puncak kepala sang istri. "Mas udah bawa perempuan itu balik ke rumah ini kok, Sayang. Dari tadi banget malahan, cuma Mas enggak mau aja bangunin kamu yang lagi tidur pulas kayak gitu." "Ya ampun, Mas, kenapa enggak langsung bangunin aja sih? Aku juga enggak apa-a
"Sayang, jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya, Sayang. Aku bisa ngejelasin ini semua kok ke kamu, jangan marah dulu ya," jelas Rehan, dengan kedua tangan yang mengusap lembut punggung Elen. Namun, perlakuan dari Rehan yang seperti itu, tentu saja membuat Elen merasa sangat heran dan justru merasa ada suatu hal yang sangat aneh. Apalagi, ditambah jemari Rehan yang bergetar secara bersamaan. Menunjukkan jika laki-laki tersebut memang sudah melakukan hal yang tidak-tidak. Untuk mencairkan suasana, Elen memilih untuk berdehem sedikit, seraya perlahan menyingkirkan kedua tangan Rehan dari pundaknya itu. "Kalau apa yang ada di pikiran aku itu salah, coba kamu jelasin, Mas! Kenapa kamu ada di sini dan ketawa-ketawa enggak jelas kayak tadi?" "Aku cuma nemani dia aja kok, Sayang. Enggak lebih, serius." Rehan menatap wajah Elen, dengan menunjukkan tampang yang memohon maaf. "Lebih penting perempuan itu ya, daripada aku? Padahal, kerjaan aku juga banyak, butuh ditemani
“Kenapa juga sih Mas Rehan bisa-bisanya ngelakuin hal yang kayak gitu? Padahal kan aku sendiri juga enggak pernah main yang aneh-aneh selama nikah sama dia,” gumam Elen, dengan kedua mata yang mengeluarkan air mata. Ya, saat ini Elen tengah menangis. Meratapi kisah hidupnya yang sangat berbeda seperti itu. Mungkin ada benarnya jika ada yang mengatakan, bahwa mencintai seseorang itu tidak perlu terlalu dalam. Jika kejadiannya sudah seperti Elen, maka ujung-ujungnya yang merasakan sakit luar biasa hanyalah diri sendiri.Namun, jika diambil sisi positifnya, maka tidak ada yang salah jika memiliki perasaan setia pada pasangan. Justru, nanti yang akan merasa rugi adalah pasangan tersebut sendiri.Rugi karena telah menyia-nyiakan keberadaan seseorang yang sudah memiliki perasaan tulus, sedangkan memilih perempuan yang baru saja dikenal.“Huft … aku harap jika apa yang aku takutin itu enggak beneran kejadian Ya Allah,” gumam Elen, sebelum akhirnya kedua matamilik perempuan cantik itu terpeja
“Mau bangun sampai jam berapa? Saya tau kamu lagi sakit, tapi ya seenggaknya enggak keterusan tidur kayak gini,” ucap Elen, mukanya sangat-sangat tidak bisa dikondisikan, dengan kedua tangan yang sedang bergerak untuk membuka gorden kamar tidur milik Naura.“Saya minta maaf sekali, bukan maksud saya bangun sampai kesiangan seperti ini,” sahut Naura, pure merasa bersalah.Sebenarnya, saat ini Naura tengah merasa bingung dengan apa yang dialaminya, tetapi karena memang yang terjadi adalah seperti itu, maka mau tidak mau Naura harus mengikuti alurnya.Pikiran Naura saat ini sangat kacau, bahkan ia tidak sadar jika saat ini tangan sebelah kanannya cidera. Sampai-sampai dirinya tiba-tiba memiliki niat untuk turun dari atas tempat tidur tersebut.“Aww!” rintih Naura, kala merasakan adanya rasa sakit dan sangat nyeri pada bagian lengan.Sangat sakit, hingga air matanya langsung keluar dengan sangat deras.Meskipun tadi Elen tengah marah dan juga kesal pada perempuan yang bernama Naura, tetapi
“Mau bangun sampai jam berapa? Saya tau kamu lagi sakit, tapi ya seenggaknya enggak keterusan tidur kayak gini,” ucap Elen, mukanya sangat-sangat tidak bisa dikondisikan, dengan kedua tangan yang sedang bergerak untuk membuka gorden kamar tidur milik Naura.“Saya minta maaf sekali, bukan maksud saya bangun sampai kesiangan seperti ini,” sahut Naura, pure merasa bersalah.Sebenarnya, saat ini Naura tengah merasa bingung dengan apa yang dialaminya, tetapi karena memang yang terjadi adalah seperti itu, maka mau tidak mau Naura harus mengikuti alurnya.Pikiran Naura saat ini sangat kacau, bahkan ia tidak sadar jika saat ini tangan sebelah kanannya cidera. Sampai-sampai dirinya tiba-tiba memiliki niat untuk turun dari atas tempat tidur tersebut.“Aww!” rintih Naura, kala merasakan adanya rasa sakit dan sangat nyeri pada bagian lengan.Sangat sakit, hingga air matanya langsung keluar dengan sangat deras.Meskipun tadi Elen tengah marah dan juga kesal pada perempuan yang bernama Naura, tetapi
“Kenapa juga sih Mas Rehan bisa-bisanya ngelakuin hal yang kayak gitu? Padahal kan aku sendiri juga enggak pernah main yang aneh-aneh selama nikah sama dia,” gumam Elen, dengan kedua mata yang mengeluarkan air mata. Ya, saat ini Elen tengah menangis. Meratapi kisah hidupnya yang sangat berbeda seperti itu. Mungkin ada benarnya jika ada yang mengatakan, bahwa mencintai seseorang itu tidak perlu terlalu dalam. Jika kejadiannya sudah seperti Elen, maka ujung-ujungnya yang merasakan sakit luar biasa hanyalah diri sendiri.Namun, jika diambil sisi positifnya, maka tidak ada yang salah jika memiliki perasaan setia pada pasangan. Justru, nanti yang akan merasa rugi adalah pasangan tersebut sendiri.Rugi karena telah menyia-nyiakan keberadaan seseorang yang sudah memiliki perasaan tulus, sedangkan memilih perempuan yang baru saja dikenal.“Huft … aku harap jika apa yang aku takutin itu enggak beneran kejadian Ya Allah,” gumam Elen, sebelum akhirnya kedua matamilik perempuan cantik itu terpeja
"Sayang, jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya, Sayang. Aku bisa ngejelasin ini semua kok ke kamu, jangan marah dulu ya," jelas Rehan, dengan kedua tangan yang mengusap lembut punggung Elen. Namun, perlakuan dari Rehan yang seperti itu, tentu saja membuat Elen merasa sangat heran dan justru merasa ada suatu hal yang sangat aneh. Apalagi, ditambah jemari Rehan yang bergetar secara bersamaan. Menunjukkan jika laki-laki tersebut memang sudah melakukan hal yang tidak-tidak. Untuk mencairkan suasana, Elen memilih untuk berdehem sedikit, seraya perlahan menyingkirkan kedua tangan Rehan dari pundaknya itu. "Kalau apa yang ada di pikiran aku itu salah, coba kamu jelasin, Mas! Kenapa kamu ada di sini dan ketawa-ketawa enggak jelas kayak tadi?" "Aku cuma nemani dia aja kok, Sayang. Enggak lebih, serius." Rehan menatap wajah Elen, dengan menunjukkan tampang yang memohon maaf. "Lebih penting perempuan itu ya, daripada aku? Padahal, kerjaan aku juga banyak, butuh ditemani
Saat Elen tiba di rumah, dirinya langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur terlebih dulu. Memandangi langit-langit kamar, tersenyum simpul. Mungkin karena lelah yang sudah sangat dirasakan, perempuan itu akhirnya langsung tertidur tanpa banyak kata. "Sayang, hei bangun." Suara dari orang yang sangat disayangi dan juga mendapat tepukan pada kedua pipi secara bergantian, membuat Elen perlahan mengerjapkan kedua mata, lalu mengulas senyum. "Kamu udah pulang, Mas? Perempuan yang tadi di rumah sakit ke mana? Kamu tinggal kah?" tanya Elen, seraya menatap sang suami dengan penuh tanda tanya. Rehan mengambil posisi duduk tepat di sebelah Elen, mengulurkan tangan kanannya untuk bergerak dan mengusap lembut puncak kepala sang istri. "Mas udah bawa perempuan itu balik ke rumah ini kok, Sayang. Dari tadi banget malahan, cuma Mas enggak mau aja bangunin kamu yang lagi tidur pulas kayak gitu." "Ya ampun, Mas, kenapa enggak langsung bangunin aja sih? Aku juga enggak apa-a
Ardi mendekat dan berbisik pada Elen, tentang apa yang harus dilakukannya setelah ini, karena Ardi merasa takut jika nanti ke depannya restoran itu akan sepi pengunjung. Namun, tidak dengan Elen. Perempuan itu tetap saja santai, ia sama sekali tidak memikirkan tentang bagaimana jika usaha yang ia miliki itu akan sepi dan dampaknya adalah bangkrut. "Yang tadi makan di sini, silakan lanjutkan makannya, ingat ya, dihabiskan. Setelah itu, silakan ke kasir dan ambil makanan dengan bentuk yang sama, seperti yang kalian makan. Ingat juga, membawa bukti transaksi yang tadi, okayy?" "Itu bukan apa-apa, hanya saja saya ingin membayar waktu dan tenaga kalian karena sudah menyaksikan fitnah seperti ini." Elen memberitahukan hal itu, karena ia juga melihat raut muka pelanggannya yang sudah sangat tidak enak. Setelah menjelaskan apa yang ia maksud perihal makanan tersebut, tanpa ada sepatah kata lagi, Elen langsung melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam dapur dan membersihkan semuany
"Ada apa ini?" Suara Elen sangat lembut, tapi tegas. Tatapan perempuan itu juga langsung mengarah pada Ardi. Tangan kanannya mengerti, langsung berjalan mendekat dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada restoran tersebut. Restoran milik Elen memang difitnah, karena dengan sangat tiba-tiba sekali tercium bau daging busuk. Hal itu tentu saja membuat hidung pelanggan terganggu dan ada seseorang yang berani untuk berinisiatif melihat ke ruang dapur. Kebetulan saat itu dapur tengah sepi Alangkah terkejutnya, kala orang tersebut menemukan daging busuk yang berada di wadah. Sudah siap untuk segera dimasak menjadi makanan. Sontak saja dirinya berteriak cukup kencang, seraya mencoba untuk memuntahkan semua isi di dalam perut. Ya, dimulai dari situ, hingga akhirnya semua pengunjung yang ada di situ marah besar, serta banyak juga yang ikut berupaya untuk memuntahkan semua makanan di dalam perut. "Bu kalau ingin mendapat laba besar, jangan dengan cara kotor seperti ini! Sa
"Emangnya kenapa sih, Mas? Kamu kok keliatannya kayak yang khawatir gitu. Padahal, Naura buka ponsel itu karena dia mau menghubungi atasannya. Dia mau ngasih tau kalau sekarang dia lagi kecelakaan." Elen mencoba untuk menjelaskan apa yang ia bisa. "Kamu udah saya laporin ke atasan kamu kok, ini salah saya, jadi itu juga termasuk dari tanggung jawab saya," sahut Rehan, membuat Naura detik itu juga langsung mengembuskan napasnya sangat lega. Elen merasa jika ada yang tidak beres antara suaminya dengan perempuan yang tengah terlentang tak berdaya itu, tetapi saat ini dirinya memilih untuk menepis segala pemikiran buruk tersebut. Elen percaya, sangat percaya, jika suaminya bukanlah sosok yang seperti itu. Rehan adalah seorang suami yang sangat setia dan juga bertanggung jawab untuk perasaan Elen. "Sekarang, kamu gunain waktu kamu itu untuk beristirahat. Nanti sore kamu bisa pulang, karena sesuai sama apa yang kamu mau, bakalan dibawa ke tukang pijat khusus buat tulang," uca
"Bagaimana dengan kehidupan saya selanjutnya, bagaimana dengan keluarga saya yang harus dikirim uang, sedangkan posisi saya seperti ini, Mbak," ungkap Naura, dengan air mata yang terus-menerus mengalir dari sudut mata perempuan itu. "Naura, kamu jangan khawatir tentang hal itu." Rehan langsung mengatakan hal itu, tetapi ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu lanjut berucap, "Karena saya yang sudah membuat kamu seperti ini, maka mulai sekarang kamu juga akan menjadi tanggung jawab saya." Ada sedikit rasa terkejut dari dalam hati Elen, tetapi ia juga langsung tersadar jika sang suami memang sudah melakukan kesalahan. Mau tidak mau, Elen pun harus menerima jika pendapatan sang suami harus terbagi dengan perempuan yang bernama Naura. "Saya enggak mau kayak gini, aww!" Naura lupa, jika saat ini tangan kanannya tengah sakit, tetapi ia tadi justru menggerakkan tangan tersebut. Alhasil, Naura harus merasakan sakit yang luar biasa. Hal yang saat ini bisa dilaku
Rehan menurut, memang ia saat ini sungguh membutuhkan sandaran, dirinya rapuh dan merasa sangat tak berguna. Menabrak seseorang, bahkan hingga tulangnya patah bukan masalah yang sepele. "Mas, jangan khawatir ya, kalau misalkan Elen beneran perempuan perantauan, selama masa pemulihan biar dia sama aku aja. Aku enggak keberatan kok kalau harus ngurus dia." Elen berkata seperti itu dengan sangat yakin. "Sayang? Kamu serius bilang kayak gitu? Apa kamu enggak bakalan repot kalau harus ngurusin dia?" Rehan melepas pelukannya dari sang istri. Menatap kedua mata teduh milik Elen, menanti jawaban yang akan dilontarkan lagi oleh sang istri. Kepala Elen mengangguk dengan sangat mantap, seraya tangan kanannya yang bergerak untuk mencubit pelan kedua pipi milik Rehan. "Enggak apa-apa, Mas. Aku yakin banget kalau aku enggak bakalan kerepotan kok, apalagi kita juga kan belum punya anak, ngurus perempuan itu enggak bakalan jadi masalah buat aku." Sekali lagi, Rehan memeluk sang