"Ada apa ini, Mas? Kenapa kamu nyuruh aku buat ke rumah sakit? Siapa yang sakit, Mas?" Elen mengutarakan pertanyaan tersebut, dengan perasaan yang benar-benar cemas.
Ketakutan tengah melanda seorang perempuan yang belum lama statusnya berubah menjadi sang istri. Kala mendapat panggilan telepon dari sang suami.
"Ke sini sekarang aja ya, Sayang. Mas butuh kamu, Mas udah ngelakuin kesalahan," sahut Rehan , suaranya bergetar, menandankan jika ada ketakutan yang sangat serius.
"Iya, Mas, iya. Kamu cepetan kirim lokasinya aja ke aku ya."
Setelah itu panggilan telepon ditutup, menyisakan banyak tanda tanya di dalam benak Elen, tentang bagaimana keadaan sang suami sekarang. Apa yang terjadi dengan sang suami?
Apalagi, di jam sekarang adalah saat di mana Rehan harusnya tengah bekerja, tetapi sekarang mengapa justru berada di rumah sakit?
Setelah mendapat notifikasi pesan dari Rehan berupa alamat lengkap keberadaannya, segera saja Elen melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil miliknya.
Berusaha untuk tetap tenang, meskipun jauh di dalam hati rasanya sangat tak karuan. Saat ini, pikiran Elen terpecah-belah, ia khawatir sekali jika ada hal buruk yang menimpa sang suami.
"Ya Tuhan, semoga saja suamiku tidak terjadi apa-apa," gumam Elen, lalu mengembuskan naas pelan. Kembali berusaha untuk tetap fokus pada lalu lintas di jalan raya.
Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil yang dikendarai oleh Elen tiba di sebuah rumah sakit sesuai dengan apa yang diberitahukan oleh Rehan.
Ramai. Satu kata yang langsung berada di dalam benak Elen, ia kembali mengembuskan napasnya sebelum kedua kaki itu bergerak sesuai arahan dari sang suami.
"Kamar nomor 15." Elen menghitung nomor-nomor kamar yang saat ini tengah ia lewati.
"11, 12, 13, 14, 15." Tepat saat kedua mata dan mulut sinkron menyebut nomor 15, kaki milik Elen langsung berhenti.
Di depannya saat ini, kamar pasien dengan nomor 15, sesuai dengan petunjuk dari sang suami. Namun, di luar ruangan tersebut tidak ada satu orang pun.
Elen mengintip ke arah yang ada di dalam ruangan tersebut, kedua matanya mendapati sang suami yang tengah duduk di samping salah satu ranjang pasien.
Tanpa ragu, Elen memantapkan diri untuk masuk ke dalam ruangan itu. Tangan kanannya bergerak membuka pintu terlebih dulu.
"Sayang." Begitu pintu dibuka dan menimbulkan suara, Rehan langsung menolehkan kepalanya ke arah belakang dan tersenyum cukup lebar kala mendapati sang istri yang sudah tiba.
Bahkan, Rehan detik itu juga berdiri dan melangkah mendekat ke arah Elen. Memeluk cukup erat tubuh sang istri, mencium bau parfum yang digunakan.
Elen yang mendapat perlakuan seperti itu, hanya menggerakkan kedua tangannya untuk mengusap punggung sang suami saja.
Tanpa ada kata yang íngin ia lontarkan. Ya, Elen membiarkan hal tersebut, membiarkan Rehan melakukan itu, karena ia tahu jika saat ini sang suami butuh ketenangan.
Perlahan, pelukan yang dilakukan oleh Rehan akhirnya terlepas juga. Elen segera menunjukkan senyum manisnya dan berkata, "Ada apa ini, Mas? Kamu kenapa bisa ada di rumah sakit?"
"Biar aku ceritakan ya, Sayang," sahut Rehan, seraya tangan kanannya itu menggenggam erat tangan sang istri, melangkah ke luar dari kamar tersebut dan duduk pada kursi tunggu yang sudah disediakan di depan kamar.
Elen sudah siap dengan cerita apa pun yang akan diutarakan oleh sang suami, kedua telinga sudah ia atur supaya dapat mendengar setiap kata yang akan dilontarkan oleh Rehan.
"Sayang, aku ... nabrak orang tadi pagi. Dia perempuan, perantauan. Enggak ada keluarga di kota ini." Rehan menunduk, ingatannya kembali mengenang bagaimana kejadian tadi pagi.
Karena atasannya yang terus-menerus melontarkan ucapan kritikan, membuat Rehan kehilangan rasa fokus, hingga tak sadar jika ada seorang perempuan yang akan menyeberang.
Namun, meskipun Rehan menginjak rem cukup kuat, tetapi tubuh perempuan itu tetaplah terkena body mobilnya dan terjatuh cukup keras.
"Astaghfirullah, Mas. Sekarang keadaan perempuan itu gimana?" Elen sangat khawatir dan juga panik. Apalagi ia mendengar kata 'perantauan' yang tentu saja tidak memiliki siapa pun di kota itu.
"Dia ... patah tulang tangan sebelah kanan. Mas minta maaf ya, Sayang. Mas tadi itu kehilangan fokus, karena kerjaan Mas katanya salah semua, padahal kamu tau sendiri gimana Mas ngerjain kerjaan itu sampai lembur di kantor."
Suara Rehan parau, ia benar-benar menyesal dan merasa sangat berdosa dengan apa yang sudah terjadi pada dirinya.
Elen tahu itu, ia mengetahui jika saat ini suaminya sebentar lagi akan menangis. Maka dari itu, dengan segera kedua tangan Elen meraih bahu Rehan dan membawanya ke dalam pelukan.
Rehan menurut, memang ia saat ini sungguh membutuhkan sandaran, dirinya rapuh dan merasa sangat tak berguna. Menabrak seseorang, bahkan hingga tulangnya patah bukan masalah yang sepele. "Mas, jangan khawatir ya, kalau misalkan Elen beneran perempuan perantauan, selama masa pemulihan biar dia sama aku aja. Aku enggak keberatan kok kalau harus ngurus dia." Elen berkata seperti itu dengan sangat yakin. "Sayang? Kamu serius bilang kayak gitu? Apa kamu enggak bakalan repot kalau harus ngurusin dia?" Rehan melepas pelukannya dari sang istri. Menatap kedua mata teduh milik Elen, menanti jawaban yang akan dilontarkan lagi oleh sang istri. Kepala Elen mengangguk dengan sangat mantap, seraya tangan kanannya yang bergerak untuk mencubit pelan kedua pipi milik Rehan. "Enggak apa-apa, Mas. Aku yakin banget kalau aku enggak bakalan kerepotan kok, apalagi kita juga kan belum punya anak, ngurus perempuan itu enggak bakalan jadi masalah buat aku." Sekali lagi, Rehan memeluk sang
"Bagaimana dengan kehidupan saya selanjutnya, bagaimana dengan keluarga saya yang harus dikirim uang, sedangkan posisi saya seperti ini, Mbak," ungkap Naura, dengan air mata yang terus-menerus mengalir dari sudut mata perempuan itu. "Naura, kamu jangan khawatir tentang hal itu." Rehan langsung mengatakan hal itu, tetapi ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu lanjut berucap, "Karena saya yang sudah membuat kamu seperti ini, maka mulai sekarang kamu juga akan menjadi tanggung jawab saya." Ada sedikit rasa terkejut dari dalam hati Elen, tetapi ia juga langsung tersadar jika sang suami memang sudah melakukan kesalahan. Mau tidak mau, Elen pun harus menerima jika pendapatan sang suami harus terbagi dengan perempuan yang bernama Naura. "Saya enggak mau kayak gini, aww!" Naura lupa, jika saat ini tangan kanannya tengah sakit, tetapi ia tadi justru menggerakkan tangan tersebut. Alhasil, Naura harus merasakan sakit yang luar biasa. Hal yang saat ini bisa dilaku
"Emangnya kenapa sih, Mas? Kamu kok keliatannya kayak yang khawatir gitu. Padahal, Naura buka ponsel itu karena dia mau menghubungi atasannya. Dia mau ngasih tau kalau sekarang dia lagi kecelakaan." Elen mencoba untuk menjelaskan apa yang ia bisa. "Kamu udah saya laporin ke atasan kamu kok, ini salah saya, jadi itu juga termasuk dari tanggung jawab saya," sahut Rehan, membuat Naura detik itu juga langsung mengembuskan napasnya sangat lega. Elen merasa jika ada yang tidak beres antara suaminya dengan perempuan yang tengah terlentang tak berdaya itu, tetapi saat ini dirinya memilih untuk menepis segala pemikiran buruk tersebut. Elen percaya, sangat percaya, jika suaminya bukanlah sosok yang seperti itu. Rehan adalah seorang suami yang sangat setia dan juga bertanggung jawab untuk perasaan Elen. "Sekarang, kamu gunain waktu kamu itu untuk beristirahat. Nanti sore kamu bisa pulang, karena sesuai sama apa yang kamu mau, bakalan dibawa ke tukang pijat khusus buat tulang," uca
"Ada apa ini?" Suara Elen sangat lembut, tapi tegas. Tatapan perempuan itu juga langsung mengarah pada Ardi. Tangan kanannya mengerti, langsung berjalan mendekat dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada restoran tersebut. Restoran milik Elen memang difitnah, karena dengan sangat tiba-tiba sekali tercium bau daging busuk. Hal itu tentu saja membuat hidung pelanggan terganggu dan ada seseorang yang berani untuk berinisiatif melihat ke ruang dapur. Kebetulan saat itu dapur tengah sepi Alangkah terkejutnya, kala orang tersebut menemukan daging busuk yang berada di wadah. Sudah siap untuk segera dimasak menjadi makanan. Sontak saja dirinya berteriak cukup kencang, seraya mencoba untuk memuntahkan semua isi di dalam perut. Ya, dimulai dari situ, hingga akhirnya semua pengunjung yang ada di situ marah besar, serta banyak juga yang ikut berupaya untuk memuntahkan semua makanan di dalam perut. "Bu kalau ingin mendapat laba besar, jangan dengan cara kotor seperti ini! Sa
Ardi mendekat dan berbisik pada Elen, tentang apa yang harus dilakukannya setelah ini, karena Ardi merasa takut jika nanti ke depannya restoran itu akan sepi pengunjung. Namun, tidak dengan Elen. Perempuan itu tetap saja santai, ia sama sekali tidak memikirkan tentang bagaimana jika usaha yang ia miliki itu akan sepi dan dampaknya adalah bangkrut. "Yang tadi makan di sini, silakan lanjutkan makannya, ingat ya, dihabiskan. Setelah itu, silakan ke kasir dan ambil makanan dengan bentuk yang sama, seperti yang kalian makan. Ingat juga, membawa bukti transaksi yang tadi, okayy?" "Itu bukan apa-apa, hanya saja saya ingin membayar waktu dan tenaga kalian karena sudah menyaksikan fitnah seperti ini." Elen memberitahukan hal itu, karena ia juga melihat raut muka pelanggannya yang sudah sangat tidak enak. Setelah menjelaskan apa yang ia maksud perihal makanan tersebut, tanpa ada sepatah kata lagi, Elen langsung melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam dapur dan membersihkan semuany
Saat Elen tiba di rumah, dirinya langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur terlebih dulu. Memandangi langit-langit kamar, tersenyum simpul. Mungkin karena lelah yang sudah sangat dirasakan, perempuan itu akhirnya langsung tertidur tanpa banyak kata. "Sayang, hei bangun." Suara dari orang yang sangat disayangi dan juga mendapat tepukan pada kedua pipi secara bergantian, membuat Elen perlahan mengerjapkan kedua mata, lalu mengulas senyum. "Kamu udah pulang, Mas? Perempuan yang tadi di rumah sakit ke mana? Kamu tinggal kah?" tanya Elen, seraya menatap sang suami dengan penuh tanda tanya. Rehan mengambil posisi duduk tepat di sebelah Elen, mengulurkan tangan kanannya untuk bergerak dan mengusap lembut puncak kepala sang istri. "Mas udah bawa perempuan itu balik ke rumah ini kok, Sayang. Dari tadi banget malahan, cuma Mas enggak mau aja bangunin kamu yang lagi tidur pulas kayak gitu." "Ya ampun, Mas, kenapa enggak langsung bangunin aja sih? Aku juga enggak apa-a
"Sayang, jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya, Sayang. Aku bisa ngejelasin ini semua kok ke kamu, jangan marah dulu ya," jelas Rehan, dengan kedua tangan yang mengusap lembut punggung Elen. Namun, perlakuan dari Rehan yang seperti itu, tentu saja membuat Elen merasa sangat heran dan justru merasa ada suatu hal yang sangat aneh. Apalagi, ditambah jemari Rehan yang bergetar secara bersamaan. Menunjukkan jika laki-laki tersebut memang sudah melakukan hal yang tidak-tidak. Untuk mencairkan suasana, Elen memilih untuk berdehem sedikit, seraya perlahan menyingkirkan kedua tangan Rehan dari pundaknya itu. "Kalau apa yang ada di pikiran aku itu salah, coba kamu jelasin, Mas! Kenapa kamu ada di sini dan ketawa-ketawa enggak jelas kayak tadi?" "Aku cuma nemani dia aja kok, Sayang. Enggak lebih, serius." Rehan menatap wajah Elen, dengan menunjukkan tampang yang memohon maaf. "Lebih penting perempuan itu ya, daripada aku? Padahal, kerjaan aku juga banyak, butuh ditemani
“Kenapa juga sih Mas Rehan bisa-bisanya ngelakuin hal yang kayak gitu? Padahal kan aku sendiri juga enggak pernah main yang aneh-aneh selama nikah sama dia,” gumam Elen, dengan kedua mata yang mengeluarkan air mata. Ya, saat ini Elen tengah menangis. Meratapi kisah hidupnya yang sangat berbeda seperti itu. Mungkin ada benarnya jika ada yang mengatakan, bahwa mencintai seseorang itu tidak perlu terlalu dalam. Jika kejadiannya sudah seperti Elen, maka ujung-ujungnya yang merasakan sakit luar biasa hanyalah diri sendiri.Namun, jika diambil sisi positifnya, maka tidak ada yang salah jika memiliki perasaan setia pada pasangan. Justru, nanti yang akan merasa rugi adalah pasangan tersebut sendiri.Rugi karena telah menyia-nyiakan keberadaan seseorang yang sudah memiliki perasaan tulus, sedangkan memilih perempuan yang baru saja dikenal.“Huft … aku harap jika apa yang aku takutin itu enggak beneran kejadian Ya Allah,” gumam Elen, sebelum akhirnya kedua matamilik perempuan cantik itu terpeja
“Mau bangun sampai jam berapa? Saya tau kamu lagi sakit, tapi ya seenggaknya enggak keterusan tidur kayak gini,” ucap Elen, mukanya sangat-sangat tidak bisa dikondisikan, dengan kedua tangan yang sedang bergerak untuk membuka gorden kamar tidur milik Naura.“Saya minta maaf sekali, bukan maksud saya bangun sampai kesiangan seperti ini,” sahut Naura, pure merasa bersalah.Sebenarnya, saat ini Naura tengah merasa bingung dengan apa yang dialaminya, tetapi karena memang yang terjadi adalah seperti itu, maka mau tidak mau Naura harus mengikuti alurnya.Pikiran Naura saat ini sangat kacau, bahkan ia tidak sadar jika saat ini tangan sebelah kanannya cidera. Sampai-sampai dirinya tiba-tiba memiliki niat untuk turun dari atas tempat tidur tersebut.“Aww!” rintih Naura, kala merasakan adanya rasa sakit dan sangat nyeri pada bagian lengan.Sangat sakit, hingga air matanya langsung keluar dengan sangat deras.Meskipun tadi Elen tengah marah dan juga kesal pada perempuan yang bernama Naura, tetapi
“Kenapa juga sih Mas Rehan bisa-bisanya ngelakuin hal yang kayak gitu? Padahal kan aku sendiri juga enggak pernah main yang aneh-aneh selama nikah sama dia,” gumam Elen, dengan kedua mata yang mengeluarkan air mata. Ya, saat ini Elen tengah menangis. Meratapi kisah hidupnya yang sangat berbeda seperti itu. Mungkin ada benarnya jika ada yang mengatakan, bahwa mencintai seseorang itu tidak perlu terlalu dalam. Jika kejadiannya sudah seperti Elen, maka ujung-ujungnya yang merasakan sakit luar biasa hanyalah diri sendiri.Namun, jika diambil sisi positifnya, maka tidak ada yang salah jika memiliki perasaan setia pada pasangan. Justru, nanti yang akan merasa rugi adalah pasangan tersebut sendiri.Rugi karena telah menyia-nyiakan keberadaan seseorang yang sudah memiliki perasaan tulus, sedangkan memilih perempuan yang baru saja dikenal.“Huft … aku harap jika apa yang aku takutin itu enggak beneran kejadian Ya Allah,” gumam Elen, sebelum akhirnya kedua matamilik perempuan cantik itu terpeja
"Sayang, jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya, Sayang. Aku bisa ngejelasin ini semua kok ke kamu, jangan marah dulu ya," jelas Rehan, dengan kedua tangan yang mengusap lembut punggung Elen. Namun, perlakuan dari Rehan yang seperti itu, tentu saja membuat Elen merasa sangat heran dan justru merasa ada suatu hal yang sangat aneh. Apalagi, ditambah jemari Rehan yang bergetar secara bersamaan. Menunjukkan jika laki-laki tersebut memang sudah melakukan hal yang tidak-tidak. Untuk mencairkan suasana, Elen memilih untuk berdehem sedikit, seraya perlahan menyingkirkan kedua tangan Rehan dari pundaknya itu. "Kalau apa yang ada di pikiran aku itu salah, coba kamu jelasin, Mas! Kenapa kamu ada di sini dan ketawa-ketawa enggak jelas kayak tadi?" "Aku cuma nemani dia aja kok, Sayang. Enggak lebih, serius." Rehan menatap wajah Elen, dengan menunjukkan tampang yang memohon maaf. "Lebih penting perempuan itu ya, daripada aku? Padahal, kerjaan aku juga banyak, butuh ditemani
Saat Elen tiba di rumah, dirinya langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur terlebih dulu. Memandangi langit-langit kamar, tersenyum simpul. Mungkin karena lelah yang sudah sangat dirasakan, perempuan itu akhirnya langsung tertidur tanpa banyak kata. "Sayang, hei bangun." Suara dari orang yang sangat disayangi dan juga mendapat tepukan pada kedua pipi secara bergantian, membuat Elen perlahan mengerjapkan kedua mata, lalu mengulas senyum. "Kamu udah pulang, Mas? Perempuan yang tadi di rumah sakit ke mana? Kamu tinggal kah?" tanya Elen, seraya menatap sang suami dengan penuh tanda tanya. Rehan mengambil posisi duduk tepat di sebelah Elen, mengulurkan tangan kanannya untuk bergerak dan mengusap lembut puncak kepala sang istri. "Mas udah bawa perempuan itu balik ke rumah ini kok, Sayang. Dari tadi banget malahan, cuma Mas enggak mau aja bangunin kamu yang lagi tidur pulas kayak gitu." "Ya ampun, Mas, kenapa enggak langsung bangunin aja sih? Aku juga enggak apa-a
Ardi mendekat dan berbisik pada Elen, tentang apa yang harus dilakukannya setelah ini, karena Ardi merasa takut jika nanti ke depannya restoran itu akan sepi pengunjung. Namun, tidak dengan Elen. Perempuan itu tetap saja santai, ia sama sekali tidak memikirkan tentang bagaimana jika usaha yang ia miliki itu akan sepi dan dampaknya adalah bangkrut. "Yang tadi makan di sini, silakan lanjutkan makannya, ingat ya, dihabiskan. Setelah itu, silakan ke kasir dan ambil makanan dengan bentuk yang sama, seperti yang kalian makan. Ingat juga, membawa bukti transaksi yang tadi, okayy?" "Itu bukan apa-apa, hanya saja saya ingin membayar waktu dan tenaga kalian karena sudah menyaksikan fitnah seperti ini." Elen memberitahukan hal itu, karena ia juga melihat raut muka pelanggannya yang sudah sangat tidak enak. Setelah menjelaskan apa yang ia maksud perihal makanan tersebut, tanpa ada sepatah kata lagi, Elen langsung melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam dapur dan membersihkan semuany
"Ada apa ini?" Suara Elen sangat lembut, tapi tegas. Tatapan perempuan itu juga langsung mengarah pada Ardi. Tangan kanannya mengerti, langsung berjalan mendekat dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada restoran tersebut. Restoran milik Elen memang difitnah, karena dengan sangat tiba-tiba sekali tercium bau daging busuk. Hal itu tentu saja membuat hidung pelanggan terganggu dan ada seseorang yang berani untuk berinisiatif melihat ke ruang dapur. Kebetulan saat itu dapur tengah sepi Alangkah terkejutnya, kala orang tersebut menemukan daging busuk yang berada di wadah. Sudah siap untuk segera dimasak menjadi makanan. Sontak saja dirinya berteriak cukup kencang, seraya mencoba untuk memuntahkan semua isi di dalam perut. Ya, dimulai dari situ, hingga akhirnya semua pengunjung yang ada di situ marah besar, serta banyak juga yang ikut berupaya untuk memuntahkan semua makanan di dalam perut. "Bu kalau ingin mendapat laba besar, jangan dengan cara kotor seperti ini! Sa
"Emangnya kenapa sih, Mas? Kamu kok keliatannya kayak yang khawatir gitu. Padahal, Naura buka ponsel itu karena dia mau menghubungi atasannya. Dia mau ngasih tau kalau sekarang dia lagi kecelakaan." Elen mencoba untuk menjelaskan apa yang ia bisa. "Kamu udah saya laporin ke atasan kamu kok, ini salah saya, jadi itu juga termasuk dari tanggung jawab saya," sahut Rehan, membuat Naura detik itu juga langsung mengembuskan napasnya sangat lega. Elen merasa jika ada yang tidak beres antara suaminya dengan perempuan yang tengah terlentang tak berdaya itu, tetapi saat ini dirinya memilih untuk menepis segala pemikiran buruk tersebut. Elen percaya, sangat percaya, jika suaminya bukanlah sosok yang seperti itu. Rehan adalah seorang suami yang sangat setia dan juga bertanggung jawab untuk perasaan Elen. "Sekarang, kamu gunain waktu kamu itu untuk beristirahat. Nanti sore kamu bisa pulang, karena sesuai sama apa yang kamu mau, bakalan dibawa ke tukang pijat khusus buat tulang," uca
"Bagaimana dengan kehidupan saya selanjutnya, bagaimana dengan keluarga saya yang harus dikirim uang, sedangkan posisi saya seperti ini, Mbak," ungkap Naura, dengan air mata yang terus-menerus mengalir dari sudut mata perempuan itu. "Naura, kamu jangan khawatir tentang hal itu." Rehan langsung mengatakan hal itu, tetapi ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu lanjut berucap, "Karena saya yang sudah membuat kamu seperti ini, maka mulai sekarang kamu juga akan menjadi tanggung jawab saya." Ada sedikit rasa terkejut dari dalam hati Elen, tetapi ia juga langsung tersadar jika sang suami memang sudah melakukan kesalahan. Mau tidak mau, Elen pun harus menerima jika pendapatan sang suami harus terbagi dengan perempuan yang bernama Naura. "Saya enggak mau kayak gini, aww!" Naura lupa, jika saat ini tangan kanannya tengah sakit, tetapi ia tadi justru menggerakkan tangan tersebut. Alhasil, Naura harus merasakan sakit yang luar biasa. Hal yang saat ini bisa dilaku
Rehan menurut, memang ia saat ini sungguh membutuhkan sandaran, dirinya rapuh dan merasa sangat tak berguna. Menabrak seseorang, bahkan hingga tulangnya patah bukan masalah yang sepele. "Mas, jangan khawatir ya, kalau misalkan Elen beneran perempuan perantauan, selama masa pemulihan biar dia sama aku aja. Aku enggak keberatan kok kalau harus ngurus dia." Elen berkata seperti itu dengan sangat yakin. "Sayang? Kamu serius bilang kayak gitu? Apa kamu enggak bakalan repot kalau harus ngurusin dia?" Rehan melepas pelukannya dari sang istri. Menatap kedua mata teduh milik Elen, menanti jawaban yang akan dilontarkan lagi oleh sang istri. Kepala Elen mengangguk dengan sangat mantap, seraya tangan kanannya yang bergerak untuk mencubit pelan kedua pipi milik Rehan. "Enggak apa-apa, Mas. Aku yakin banget kalau aku enggak bakalan kerepotan kok, apalagi kita juga kan belum punya anak, ngurus perempuan itu enggak bakalan jadi masalah buat aku." Sekali lagi, Rehan memeluk sang