Beranda / Romansa / Ujung Senja / Sahabat Baru

Share

Sahabat Baru

Penulis: Rinanda Tesniana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku memegang benda pipih berwarna putih itu dengan tangan bergetar. Garis dua di bagian tengahnya membuat napasku nyaris putus. Hamil? Aku hamil? Bagaimana bisa? Selama ini aku sengaja mengkonsumis pil KB tanpa sepengetahuan Bang Asman. Aku berpikir untuk apa memiliki anak jika rumah tangga yang kami jalani ini jauh dari kata bahagia. Kehadiran anak dalam rumah tangga yang gersang, hanya akan membawa malapetaka. Kasihan anakku nanti. 

Dadaku sesak dengan sesal. Mengingat-ingat apakah aku lupa meminum pil KB sialan itu? Rasanya tidak. Aku sengaja menaruhnya di meja rias agar tak pernah lupa. Bang Asman pun pernah melihat pil itu, dan dia tidak pernah keberatan. 

Bagaimana aku akan memberi tahu hal ini padanya? Sedangkan kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Jangan tanya mengapa, karena jika aku ceritakan, seolah aku adalah wanita paling durhaka di dunia karena membuka aib suami seenaknya. Namun bisa aku pastikan, tak banyak wanita yang bisa kuat jika berada dalam posisiku. 

Aku berusaha positif. Terlebih sejak aku berlangganan majalah wanita yang di dalamnya berisi kisah-kisah rumah tangga perempuan di luar sana. Kadang air mataku menetes saat membacanya. Banyak yang bernasib lebih buruk dari diriku. Setidaknya Bang Asman memberi uang belanja lebih dari cukup. Aku tak bisa bayangkan jika dalam rumah tangga yang bagai neraka ini, dia pun perhitungan masalah uang. Bisa-bisa aku mati bunuh diri. 

“Ra ... Era!” Suara teriakan seseorang di depan pintu menyadarkanku dari lamunan panjang. 

“Oy. Bentar!” jawabku. 

Lina, perempuan sebayaku yang sudah setahun ini menjadi tetangga kami. Aku cukup dekat dengannya. Kami sering bertukar cerita tentang apa saja. Sesekali kami juga makan ke luar. Dia mengajakku ke mal, ke salon, dan mengenalkanku dengan teman-temannya. Sejak ada Lina, kadar stresku sedikit berkurang. Kami saling berkunjung jika pekerjaan rumah sudah selesai. Kadang dia yang datang, kadang aku ke rumahnya. Bergantian. Siapa saja yang senggang, dia yang akan duluan datang. 

Bergegas aku membuka pintu. Mataku sempat melirik jam dinding di kamar. Pukul sepuluh lewat dua puluh. Pantaslah dia datang. Pasti pekerjaan rumahnya sudah beres. Sama sepertiku, dia pun belum memiliki anak. 

“Lama amat, sih.” Dia merengut saat aku membuka pintu. “Hampir aja aku pulang.” 

“Lagi pipis tadi.” Aku tertawa melihat wajah cemberutnya. 

Lina melangkah masuk. Seperti biasa, dia langsung ke dapur dan mengambil apa saja yang ada di atas meja makan. Kami sering mengalami tidak nafsu makan terhadap masakan sendiri, dan sering kali kami bertukar lauk. Aneh memang, aku merasa seperti kembali menjadi anak TK yang suka tukaran bekal. 

“Ra, kamu udah beli Majalah Anggun bulan ini?”

“Belum.” Aku mengingat-ingat. Biasanya aku tak pernah lupa membeli majalah kesayangan kami itu setiap tanggal lima. 

“Beli, yuk. Aku suntuk nih.” 

Sebenarnya aku ingin mengiakan ajakan Lina, tetapi mengingat hasil test pack tadi pagi, aku tak berani berjalan kaki jauh ke simpang empat yang berjarak dua kilo dari rumah. Padahal biasanya tiap bulan kami ke sana. 

“Naik mobil aja, Lin,” usulku. 

“Duile, repot amat, Ra. Jalan kaki simpel.” 

“Tapi ....” 

“Kamu kenapa? Sakit ya? Kamu pucat, Ra.” 

Lina meraba keningku. Wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang kental. 

Aku menghela napas, memandangnya lama sebelum berkata jujur. Aku takut melukai hatinya yang begitu ingin memiliki keturunan. 

“Aku hamil, Na.” 

Mata Lina membesar, sementara bibirnya membentuk senyuman tulus. Perempuan berkulit putih itu memelukku lama. 

“Selamat ya, Ra. Selamat.” 

Lina menghapus air mata yang jatuh di pipinya. “Pasti Bang Asman seneng banget, Ra. Semoga aku cepat nyusul.” 

Lina mengelus perutku, kemudian mengelus perutnya sendiri. 

“Sorry ya, Na. Aku enggak ada maksud buat kamu sedih.” 

“Apaan sih, Ra. Itu namanya rezeki. Rezeki itu sampai ke kamu duluan.” 

Perempuan itu masih menunjukkan wajah bahagia. Jelas sekali sinar matanya bercahaya mendengar kabar kehamilanku. Mungkin dia lebih bahagia daripada diriku sendiri, yang menganggap kehamilan ini sebagai beban. 

Lina memang dekat denganku. Bisa dibilang dialah satu-satunya sahabatku saat ini. Namun, dia tak pernah tahu kondisi rumah tanggaku. Dia sering bercerita tentang suaminya, keluarganya, dan segala hal yang ada di sekelilingnya. Tidak denganku. Aku menutup rapat hubunganku yang dingin dengan Bang Asman. Tak ada gunanya banyak orang yang tahu. 

“Bang Asman pasti seneng, Ra. Ntar malam kamu bakalan dipeluk, terus enggak boleh ngerjain pekerjaan rumah lagi. Aku kapan ya dikasih kepercayaan sama Tuhan.” 

Aku memeluk Lina. Aku tulus menyayanginya, dan jika bisa aku meminta pada Tuhan, biar dia saja yang hamil. 

“Sabar ya, Na. Pasti ntar lagi kamu nyusul.” 

Kami berpelukan sambil berbincang-bincang mengenai rencana kami jika nanti anakku lahir. Lina berharap anak kami sepasang, jadi jika sudah besar, bisa dijodohkan. Aku tertawa saja mendengar celotehan Lina. Perempuan itu memang cerewet. Senang bercerita dan suka pula mendengarkan. Lina membuat siapa pun nyaman berada di dekatnya. Suaminya—Mas Wibi—pun sangat menyayanginya. 

Kadang aku iri melihat bagaimana Mas Wibi memperlakukan Lina. Berbeda jauh dengan Bang Asman. Sorot mata Mas Wibi selalu memandang Lina dengan hangat, tangannya pun selalu berada di bahu Lina, pinggang Lina, kadang meremas telapak tangan Lina. 

Aku tidak pernah mendapat perlakuan semesra itu dari Bang Asman. Jangankan menatapku dengan penuh kasih sayang, mendengar ceritaku saja dia enggan. Ah, sudahlah. Mungkin memang begini nasibku. 

“Kamu jaga baik-baik, Ra. Jangan kerja berat dulu. Buat nyuci ntar panggil Mbak Mur aja. Sekalian menyetrika.”

Aku hanya mengangguk. Sudah lama ingin memakai asisten rumah tangga sebenarnya. Namun, apa lagi tugasku di dalam rumah? Jika tidak ada kegiatan  aku malah bosan, dan makin merasa nelangsa. 

“Ntar aku bilangin Mbak Mur, ya?”

Aku mengangguk. Mbak Mur adalah asisten Lina untuk tugas mencuci dan menyetrika. Sudah lama perempuan itu mencari majikan  lain. Kali ini, saran Lina harus aku pertimbangkan. Meskipun kehamilan ini tidak diinginkan, aku tidak mau jika terjadi keguguran. Pastinya aku akan mengalami sakit batin yang lebih dalam. 

Aku berpikir, setidaknya jika kehamilan ini sehat, aku tidak harus bolak-balik ke rumah sakit. Juga dari dalam relung hatiku, sudah timbul rasa sayang pada makhluk di dalam rahimku ini. Entah bagaimana wujudnya nanti, tetapi rasa sayang ini pastinya akan terus tumbuh.

“Ra, kok bengong?” Lina mengguncang bahuku. 

“Astaga!” Aku berteriak kaget. Kemudian kami tertawa bersama. 

“Ngidam? Pengen makan apa? Aku temenin, deh.”

Aku berpikir sebentar. “Kayaknya makan rujak enak, Na.”

“Standar amat, Neng, ngidamnya.” Lina tertawa. “Aku ambil mobil dulu, ya.” 

“Eh, tunggu!” 

“Apaan?” Lina mengurungkan langkah. 

“Ajarin aku nyetir, Na.”

“Udah gila kamu.” Lina menepiskan tangan ke udara. “Enggak!”

“Please! Naik mobil aku aja.” 

Lina tampak menimbang-nimbang sebelum mengangguk ragu. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya. Bang Asman memang menyediakan sebuah mobil untuk mobilitasku. Dia menyuruh staffnya mengajariku menyetir. Sebenarnya aku bisa, tetapi terlalu malas untuk menyetir sendiri. Lebih sering Lina yang menyetir untukku. Namun, aku merasa kehamilan ini memerlukan kemandirian yang lebih dari biasanya. Setidaknya jika Bang Asman enggan menemaniku periksa ke bidan, aku bisa melakukannya sendiri. 

***

Bab terkait

  • Ujung Senja   Isi Kepala Asman

    Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore.Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing.“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku.Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa ny

  • Ujung Senja   Pergi

    Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia

  • Ujung Senja   Gagal Kabur

    Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?&rdqu

  • Ujung Senja   Ikhlas

    Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti

  • Ujung Senja   Kenyataan Pahit

    Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal

  • Ujung Senja   Persalinan

    Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me

  • Ujung Senja   Hari-Hari Setelah Hari Itu

    Aku pikir Bang Asman akan berubah setelah kami memiliki Mega. Ternyata tidak. Dia tetap dengan tabiat lamanya. Pergi subuh buta, pulang tengah malam. Sedikit saja yang berubah, dia lebih rajin masuk kamarku dan bercanda dengan Mega kecil. Bayi mungil itu sudah bisa merespons jika diajak bergurau oleh ayahnya.Seperti hari ini, Sabtu pagi yang cerah Bang Asman terbaring di ranjang kamarku. Bercengkerama dengan Mega. Bayi berumur tujuh hari itu memang menggemaskan.“Ibu pasti senang kalau melihat Mega secantik ini,” ujarku. Aku sengaja memancing reaksinya. Tujuanku jelas saja, agar dia mengajakku pulang kampung. Rinduku pada kampung halaman sudah tak tertahan lagi. Bahkan aku sering kali bermimpi berjumpa dengan Emak. Apa kabar wanitaku itu? Sehatkah dia di sana?“Pastinya, Ra.” Bang Asman menjawab. “Aku sudah mengabari ke kampung kita bahwa kau telah melahirkan. Pasti tak lama lagi banyak kad

  • Ujung Senja   Lelaki dan Informasi

    Gadis kecil yang aku lahirkan lima tahun lalu kini sudah masuk TK. Mega sangat cantik dengan gaun merah berenda melekat di tubuhnya. Rambut ikalnya aku kepang dua dengan menyisakan sedikit poni di bagian kanan dan kiri. Kulit Mega mewarisi kulitku, kuning langsat. Hanya itu dari diriku yang ada padanya. Selebihnya Mega adalah Bang Asman versi perempuan.Aku mengajaknya mendaftar sekolah hari ini. Gadis cilik bertubuh tinggi itu senang sekali. Dia berlari ke sana dan kemari. Memainkan semua mainan yang ada di halaman. Bertanya ini dan itu kepada ibu guru. Aku bangga sebab begitu banyak mata yang mengagumi Mega.“Pintarnya.” Ibu guru memuji saat Mega berhasil menyebutkan nama lengkapnya.Mega tersenyum senang. Anak itu memang senang sekali dipuji. Ah, bukankah semua anak-anak begitu?Sekolah yang aku pilih tergolong mahal. Tak apalah, pikirku. Toh Mega anak semata wayang kami. Dan sepertinya mustahil aku bisa memberinya adik. Sejak M

Bab terbaru

  • Ujung Senja   Pada Akhirnya

    Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k

  • Ujung Senja   Bahagia

    Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak

  • Ujung Senja   Tuduhan-Tuduhan

    Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat

  • Ujung Senja   Lelaki Patah Hati

    Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi

  • Ujung Senja   Ingin Bahagia

    Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed

  • Ujung Senja   Menuju Hidup Baru

    Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se

  • Ujung Senja   Menyatakan Segala

    Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri

  • Ujung Senja   Dicintai Seindah Ini

    Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam

  • Ujung Senja   Menyongsong Babak Baru

    Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang

DMCA.com Protection Status