10
Menjadi istri seorang Asman Chairi, aku dipaksa menjadi mandiri, dewasa, dan mengambil keputusan sendiri. Asman tak memiliki waktu untuk mendengar keluhanku, pun memberi pendapat untuk masalah-masalah yang aku hadapi.
Hidup kami berjalan seperti air mengalir, tenang. Sangat tenang. Tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi sikap tak peduli lelaki itu.
Hari, minggu, bulan, aku habiskan dalam kesendirian. Bang Asman lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja—atau tempat lain yang aku tidak tahu—dari pagi buta hingga tengah malam.
Awal mula pindah ke Jakarta, aku masih berharap dia berubah menjadi lebih baik. Setiap hari aku bangun lebih awal untuk membuatkan dia sarapan, melepas dia bekerja, dan hal lain yang lazim dilakukan suami istri. Aku berusaha sangat keras untuk melembutkan hatinya, membuat dia bisa mencintaiku. Paling tidak, bersikap baik padaku.
Namun, harapanku hanya angan belaka. Bang Asman tidak berubah sedikit pun. Bahkan setelah setahun pernikahan kami, kelakuannya semakin buruk saja.
Dulu, setiap hari aku memasak untuknya. Menunggu kepulangannya di meja makan. Berharap dia pulang untuk makan malam bersamaku. Mendengar ceritaku tentang tetangga sebelah rumah, atau tentang tukang sayur yang harga barangnya lebih mahal.
Nyatanya, sering kali aku tertidur di meja makan dengan perut kelaparan. Bang Asman tidak pernah pulang di bawah pukul dua belas malam. Aku menyimpan semua sakit hatiku dalam-dalam, sebab tidak ingin rumah tangga yang baru seumur jagung ini retak.
Manusia mana yang tahan dengan sikap seperti itu. Suatu malam, pecah juga amarahku.
Pukul dua belas malam, dan lelaki itu belum pulang juga. Aku lelah mondar-mandir seperti orang gila. Menunggu tanpa kepastian entah kapan dia datang.
Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku habiskan dengan menunggu. Berharap dia sudi menghabiskan malam bersamaku, bercerita tentang apa saja, menebus siang yang kuhabiskan dalam kesunyian.
Pintu rumah terdengar di buka dari luar. Aku berlari mengejarnya. Ah, rasanya aku sangat haus kasih sayang. Menikah pada usia sangat muda, dan langsung diboyong pindah ke ibu kota, hanya dia tempatku bercerita. Namun, ujungnya selalu sama, ketika dia datang, dia hanya mencari ranjang untuk merebahkan badan, seolah tidak menginginkan aku di sisinya.
“Belum tidur kau, Ra?” tanyanya ketika aku keluar kamar.
“Era tunggu Abang.”
“Jangan tunggu aku.”
“Era bosan, Bang, di rumah terus. Abang kerja sampai malam, Era ingin kuliah tak boleh, ingin kerja pun tak diizinkan,” keluhku.
“Kau ngapa? Mau ngajak bertengkar tengah malam buta ni? Duduk baik-baik di rumah, duit aku kasih. Semua aku penuhi. Tak cukup?”
Air mataku tumpah. Susah payah aku menelusup masuk ke dalam hati lelaki itu. Menumbuhkan cinta yang sama sekali tak ada dari awal.
Bukannya berusaha membuat hatiku mekar, dia malah membunuh rasaku perlahan.
“Asman, mengapa kau sangat ingin menikahiku? Ujung-ujungnya kau malah menyakitiku?” Aku memuntahkan segala sakit yang setahun ini kupendam.
“Kau gila, Ra?” Bang Asman mundur selangkah melihat sikapku.
Aku memang belum pernahmenunjukkan perlawanan selama ini. Setahun aku pendam semua, aku tahan semua lara. Kali ini, aku tak sanggup lagi.
“Kau membuat aku gila! Kau renggut habis masa mudaku, kau paksa aku pindah dari tempat kelahiranku. Aku menerimanya, bahkan ketika Bah mati, kau sama sekali tak peduli!” Telanjur, sekalian saja aku katakan semua. “Aku berusaha mencintaimu, Asman, demi rumah tangga yang baru seumur jagung ini! Apa balasanmu? Jangankan membalas perhatianku, bersikap baik pun kau tak pernah!”
“Jaga mulutmu!” desis Asman.
“Setahun aku menjaga mulut, aku sudah tak sanggup. Ceraikan aku!”
“Sampai mati, aku takkan pernah menceraikanmu!”
“Rumah tangga ini seperti neraka bagiku, Asman.”
“Biarlah aku menjalani rumah tangga bagai neraka ini. Biar kita hangus terbakar berdua di dalamnya, asal tak pernah ada kata pisah. Tak ada sejarahnya dalam keluarga besarku, ada rumah tangga yang hancur.”
“Egois!”
“Terserah!”
“Ceraikan aku, Asman!” pekikku pilu.
Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Perihnya tak seberapa dibanding perih yang aku rasakan dalam hati. Rasanya seperti syaraf-syaraf dalam otakku lumpuh seketika, dan segala rasa yang tertanam dalam hatiku menguap entah ke mana.
Aku berusaha sangat keras mencintainya. Tak mudah sebab dia memperlakukan diriku sangat buruk. Apakah ada seorang suami yang tak peduli dengan kebutuhan batin istrinya? Adakah seorang suami yang tak pernah mengajak istrinya berbicara? Bercerita tentang apa saja? Adakah suami yang tak mengizinkan istrinya melepas rindu pada keluarga? Melarang istrinya memberi kabar pada keluarga di kampung halaman. Suamiku benar-benar melakukan itu?
“Kau bunuh saja aku sekalian, Asman! Percuma kau biarkan aku hidup, tapi kau anggap aku tak ada” Belum puas aku melampiaskan kekesalan. Rasanya langit malam yang hitam di atas sana, terbelah karena suaraku.
Asman terlihat sangat kesal. Bibirnya menggeram, tangannya mengepal sehingga buku-buku jarinya terlihat jelas. Mungkin, dia sedang menahan tangannya agar tak lagi mendarat di pipiku.
Dadaku seolah terbakar melihat sikap diam Bang Asman. Mulutku yang sudah lama bungkam, tak tahan untuk tak berkata kasar.
“Sekarang aku tahu, Asman, mengapa kau menikahiku! Pasti karena kau yakin aku akan menjadi istri penurut dan bodoh! Pasrah akan semua perlakuan jahatmu. Tidak, Asman! Aku tidak bodoh”
“Terserah kau saja, Era. Aku tak ada waktu untuk meladenimu dan pikiran bodohmu itu.” Dia berkata tenang, dengan sudut bibir atas yang sedikit terangkat.
“Aku muak denganmu!”
Dia tertawa dan berlalu ke dalam kamar, meninggalkanku dengan amarah yang tak selesai.
Aku terduduk di kursi ruang tamu. Menenangkan debat yang menguasai hati, amarah yang belum bisa terkendali. Air mata menetes di pipi. Aku pun bingung sedang menangisi apa. Nasib buruk badan atau nasib pernikahan yang tak sesuai impian. Entahlah. Sejak menikah dengan Bang Asman kewarasanku seperti berada dalam posisi mencemaskan. Sering aku berpikir, tidak gila saja sudah syukur.
Aku terbiasa hidup dalam lingkungan keluarga yang saling menyayangi, bisa bercerita apa saja dengan abang-abangku, memiliki teman-teman yang bisa aku ajak bercerita tentang apa saja. Sejak pindah ke sini, aku seperti hidup di dalam gua. Setiap sudut rumah, aku hanya menemukan sepi, di setiap hari-hari aku hanya berteman sunyi.
Aku nyaris lupa bagaimana caranya tertawa, bagaimana caranya bercerita, bagaimana caranya mengobrol dengan sesama. Asman memang membuatku nyaris gila karena sikapnya.
Pintu kamar terbuka, Bang Asman yang sudah berganti pakaian dan membersihkan diri keluar dari kamar.
“Tidurlah kau lagi, mau sampai kapan duduk termenung di sana. Di kamar ada suami yang menunggu kau datang.” Dia menyeringai. Seringai yang aku sangat hafal akan keluar jika dia membutuhkan tubuhku untuk memuaskan dahaganya.
Rasanya, aku ini tak ubahnya pelacur, yang berhak mendapat perlakuan manis jika tubuhku dibutuhkan. Selebihnya, aku tak berguna. Air mataku tumpah lagi. Bang Asman tak peduli, dia menarik tubuhku dengan kasar menuju kamar. Pura-pura tak sadar bahwa tingkahnya barusan telah membuat hatiku berdarah-darah.
***
Aku memegang benda pipih berwarna putih itu dengan tangan bergetar. Garis dua di bagian tengahnya membuat napasku nyaris putus. Hamil? Aku hamil? Bagaimana bisa? Selama ini aku sengaja mengkonsumis pil KB tanpa sepengetahuan Bang Asman. Aku berpikir untuk apa memiliki anak jika rumah tangga yang kami jalani ini jauh dari kata bahagia. Kehadiran anak dalam rumah tangga yang gersang, hanya akan membawa malapetaka. Kasihan anakku nanti. Dadaku sesak dengan sesal. Mengingat-ingat apakah aku lupa meminum pil KB sialan itu? Rasanya tidak. Aku sengaja menaruhnya di meja rias agar tak pernah lupa. Bang Asman pun pernah melihat pil itu, dan dia tidak pernah keberatan. Bagaimana aku akan memberi tahu hal ini padanya? Sedangkan kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Jangan tanya mengapa, karena jika aku ceritakan, seolah aku adalah wanita paling durhaka di dunia karena membuka aib suami seenaknya. Namun bisa aku pastikan, tak banyak w
Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore.Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing.“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku.Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa ny
Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia
Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?&rdqu
Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti
Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal
Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me
Aku pikir Bang Asman akan berubah setelah kami memiliki Mega. Ternyata tidak. Dia tetap dengan tabiat lamanya. Pergi subuh buta, pulang tengah malam. Sedikit saja yang berubah, dia lebih rajin masuk kamarku dan bercanda dengan Mega kecil. Bayi mungil itu sudah bisa merespons jika diajak bergurau oleh ayahnya.Seperti hari ini, Sabtu pagi yang cerah Bang Asman terbaring di ranjang kamarku. Bercengkerama dengan Mega. Bayi berumur tujuh hari itu memang menggemaskan.“Ibu pasti senang kalau melihat Mega secantik ini,” ujarku. Aku sengaja memancing reaksinya. Tujuanku jelas saja, agar dia mengajakku pulang kampung. Rinduku pada kampung halaman sudah tak tertahan lagi. Bahkan aku sering kali bermimpi berjumpa dengan Emak. Apa kabar wanitaku itu? Sehatkah dia di sana?“Pastinya, Ra.” Bang Asman menjawab. “Aku sudah mengabari ke kampung kita bahwa kau telah melahirkan. Pasti tak lama lagi banyak kad
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se
Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri
Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam
Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang