Home / Romansa / Ujung Senja / Kenyataan Pahit

Share

Kenyataan Pahit

last update Last Updated: 2021-06-07 10:32:16

Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.

Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.

Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.

Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.

Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan halaman rumah. Aku bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka?

Saat memasuki kamar, baru aku tahu, ternyata Bang Asman membelikan sebuah rak buku besar untukku. Bang Asman sedang memeriksa rak tersebut.

“Bang, Abang yang membelikan ini?” tanyaku takjub.

“Iya. Biar kau nyaman di kamar, dan bukumu tersusun rapi. Tidak berserakan seperti sekarang.”

“Tumben kau baik kepadaku.”

“Ah, jangan mulai, Ra.”

Aku mendengkus. Tahu saja dia aku sedang menabuh genderang perang.

 Sejak memutuskan untuk menerima segala takdir yang telah digariskan ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Karena aku bukan tipe perempuan modis yang suka belanja baju, sepatu, atau tas, waktuku lebih banyak dihabiskan untuk membeli buku dan majalah. Aku juga mengumpulkan perhiasan, sebagai tabungan untuk hari tuaku kelak.

Hanya beberapa bulan saja menekuni hobi membaca, aku sudah mengumpulkan ratusan buku yang semuanya tergeletak begitu saja di sudut kamar.

Bang Asman memang tak main-main dengan ucapannya, walaupun dia tak pernah memberikan perhatian khusus padaku, tetapi uangnya mengalir tanpa henti. Berapa pun yang aku butuhkan, dia langsung memberi. Aku berusaha menikmati saja hidup dengannya.

“Sudah cukup?” tanyanya padaku. “Ukurannya cukup besar untuk menyimpan buku-bukumu.”

Aku mengangguk puas. Lemari buku berukuran besar ini bisa menampung semua buku yang sudah aku kumpulkan selama beberapa bulan belakangan.

“Kalau ada yang kurang, bilang padaku. Nanti stafku yang akan menolongmu.”

“Mengapa tidak kau saja?”

Dia menepis tangan ke udara. Ah, sudahlah. Memang sia-sia saja berharap darinya.

“Kalau mau pergi membeli buku, ajaklah seseorang. Kehamilanmu sudah besar sekali. Aku tidak mau terjadi risiko apa pun.”

Aku mencibir. Dia hanya mencemaskan nama baiknya saja pasti. Jika sampai aku terjatuh karena berkeliaran seorang diri, dia bisa dicap sebagai lelaki tak bertanggung jawab. Aku pastikan perkiraanku ini benar seratus persen.

“Aku masih bisa sendiri. Kau sudah menyediakan mobil, uang, aku tak butuh apa-apa lagi.”

“Jangan degil, Ra!”

Aku tak peduli lagi padanya. Tanganku sibuk menyusun novel-novel di sisi kiri lemari, dan majalah di sisi kanannya. Ah, bahagia sekali karena memiliki sesuatu yang disenangi. Mau tak mau, hatiku berterima kasih pada Bang Asman.

Meskipun dia tak acuh dengan diriku, tetapi kali ini aku berterima kasih padanya. Aku lupa kemarahan yang biasanya muncul saat aku terpaksa memeriksakan kehamilanku ke bidan seorang diri.

Lina masih berusaha untuk membujukku, tetapi hatiku terlanjur sakit. Berkali-kali Lina meminta maaf, aku masih diam saja. Katakanlah aku kekanak-kanakan dengan bersikap seperti itu.

Hari ini aku berencana untuk ke toko buku. Ada beberapa novel yang sudah aku incar sejak bulan lalu. Baru saja aku mengambil kunci mobil di lemari, pintu rumah digedor dari luar.

“Siapa?” Bang Asman keluar dari kamarnya. Penampilannya santai sekali hari ini, biasanya meskipun hari Minggu, dia sudah pergi dari subuh buta.

“Entah.” Aku mengangkat bahu.

Gegas Bang Asman membuka pintu. Aku menyusulnya.

“Dian!” Bang Asman terpekik melihat siapa yang datang.

Aku menatap heran ke arah perempuan dengan dandanan menor yang berdiri di depan pintu. Matanya melotot seolah hendak keluar dari tempat bernaungnya.

“Kau siapa?” Dia menunjuk hidungku.

Aku melongo. Apa dia tak salah? Ini rumahku, lalu dia menggedor pintu dan bertanya aku siapa?

“Kau selingkuhan Mas Asman?”

Lagi-lagi aku melongo. Mataku melirik ke arah Bang Asman, sepertinya lelaki itu masih kaget dengan kedatangan perempuan berbaju seksi ini.

“Kamu janji hari ini kita ke Bogor, Mas. Lalu kamu membatalkannya!”

“Eh, kamu tahu rumahku dari mana?”

Suara Bang Asman terdengar gugup. Terlebih, tetangga kanan-kiri mulai keluar, karena volume suara si Dian ini seperti disengaja untuk membuat kegaduhan.

“Ngaku saja! Mas udah berkhianat! Selingkuhan kamu sampai hamil!”

Bang Asman menarik tangan Dian masuk dan menutup pintu rapat-rapat.

“Kamu jaga omongan! Apa kata tetangga kalau melihat kedatangan kami seperti ini.”

“Tapi Mas ingkar janji.”

Perempuan itu menyandarkan kepalanya ke bahu Bang Asman. Aku membuang pandangan. Bagaimanapun aku membenci pernikahan ini, tetap saja ada rasa sakit saat melihat perempuan lain bermanja dengan suamiku.

“Ah!” Bang Asman mendorong kepala Dian dengan kasar. “Mulai detik ini, lupakan aku!”

“Maksudnya?”

“Aku sudah menikah. Era ini istriku.”

“Dasar setan! Berengsek!”

Caci-maki terlepas dari bibir semerah darah Dian. Tangannya memukul-mukul bahu Bang Asman. Aku diam saja menyaksikan sepasang manusia yang saling memaki itu.

Mendadak aku terjatuh karena Dian mendorong tubuhku. Bang Asman berteriak dan menampar Dian.

Aku mengaduh karena terjatuh dengan posisi terduduk.

“Kau tunggu rumah ya. Aku antar betino ni dulu.”

“Asman, tapi aku sakit.”

“Tahanlah sikit!” bentaknya.

Bang Asman membawa Dian pergi, meninggalkanku yang masih terduduk dengan rasa sakit di perut bagian bawah.

Rasanya ada cairan yang mengalir di antara pahaku.

Darah!

Aku berteriak histeris melihat darah itu. Kata tolong berkali-kali aku ucapkan. Tak lama, Lina dan suaminya datang. Mereka berdua langsung membawaku ke praktik bidan langgananku.

Perutku seperti terbakar. Sepanjang jalan aku merintih kesakitan. Lina duduk di sebelahku, perempuan itu menggenggam tanganku. Pastinya dia tadi ikut melihat kejadian memalukan itu, mungkin dia iba padaku. Atau merasa puas melihatku dalam posisi terpuruk dan kesakitan.

“Sabar, Ra. Sedikit lagi kita sampai.” Dia mengelus pelan perutku.

Tak sadar air mataku menetes. Aku bisa merasakan ketulusan Lina. Selama ini aku yang bersikap terlalu egois.

“Na, maafin aku.” Aku berkata pelan, lebih mirip merintih.

“Jangan ngomong apa pun dulu.”

Dia memeluk bahuku.

Air mataku tumpah tak tertahan. Entah sedang menangisi apa. Apakah kepergian Bang Asman dengan wanita lain, atau kesakitan yang sedang aku rasakan? Bisa saja aku menyesali sikap jahatku pada Lina. Semua bercampur menjadi satu, dan aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Laily
hallo author salam kenal baru kali ini nemuin tema minang melayu dan tipe aku banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ujung Senja   Persalinan

    Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me

    Last Updated : 2021-06-22
  • Ujung Senja   Hari-Hari Setelah Hari Itu

    Aku pikir Bang Asman akan berubah setelah kami memiliki Mega. Ternyata tidak. Dia tetap dengan tabiat lamanya. Pergi subuh buta, pulang tengah malam. Sedikit saja yang berubah, dia lebih rajin masuk kamarku dan bercanda dengan Mega kecil. Bayi mungil itu sudah bisa merespons jika diajak bergurau oleh ayahnya.Seperti hari ini, Sabtu pagi yang cerah Bang Asman terbaring di ranjang kamarku. Bercengkerama dengan Mega. Bayi berumur tujuh hari itu memang menggemaskan.“Ibu pasti senang kalau melihat Mega secantik ini,” ujarku. Aku sengaja memancing reaksinya. Tujuanku jelas saja, agar dia mengajakku pulang kampung. Rinduku pada kampung halaman sudah tak tertahan lagi. Bahkan aku sering kali bermimpi berjumpa dengan Emak. Apa kabar wanitaku itu? Sehatkah dia di sana?“Pastinya, Ra.” Bang Asman menjawab. “Aku sudah mengabari ke kampung kita bahwa kau telah melahirkan. Pasti tak lama lagi banyak kad

    Last Updated : 2021-06-22
  • Ujung Senja   Lelaki dan Informasi

    Gadis kecil yang aku lahirkan lima tahun lalu kini sudah masuk TK. Mega sangat cantik dengan gaun merah berenda melekat di tubuhnya. Rambut ikalnya aku kepang dua dengan menyisakan sedikit poni di bagian kanan dan kiri. Kulit Mega mewarisi kulitku, kuning langsat. Hanya itu dari diriku yang ada padanya. Selebihnya Mega adalah Bang Asman versi perempuan.Aku mengajaknya mendaftar sekolah hari ini. Gadis cilik bertubuh tinggi itu senang sekali. Dia berlari ke sana dan kemari. Memainkan semua mainan yang ada di halaman. Bertanya ini dan itu kepada ibu guru. Aku bangga sebab begitu banyak mata yang mengagumi Mega.“Pintarnya.” Ibu guru memuji saat Mega berhasil menyebutkan nama lengkapnya.Mega tersenyum senang. Anak itu memang senang sekali dipuji. Ah, bukankah semua anak-anak begitu?Sekolah yang aku pilih tergolong mahal. Tak apalah, pikirku. Toh Mega anak semata wayang kami. Dan sepertinya mustahil aku bisa memberinya adik. Sejak M

    Last Updated : 2021-06-24
  • Ujung Senja   Tengah Malam

    Malam ini aku sengaja menunggui Bang Asman pulang. Malam sudah larut, tetapi suara mobilnya belum juga terdengar memasuki halaman. Seharusnya aku cemburu sebab lelakiku pergi hingga tengah malam tanpa aku tahu ke mana tujuannya. Namun, rasa itu sudah lama menguap dari dalam hatiku.Aku menarik napas lamat-lamat. Mengisi paru-paru dengan oksigen. Duduk di ruang tengah berukuran besar ini seorang diri, terasa kekosongan dalam hati. Ah, sudah sejak lama memang jiwaku hampa. Bang Asman tak mampu mengisinya, tak bisa menambal ruang-ruang kosong yang semakin luas sejak Bah tiada. Lelaki itu malah menambah lebar kehampaan dalam dada.Jarak kami semakin renggang seiring semakin besarnya rumah ini. Bang Asman suka sekali menambah ruangan, padahal aku lebih suka rumah yang kecil tetapi terasa hangat. Seperti rumah Emak di kampung. Rumah yang awalnya memiliki tiga kamar, kini membesar menjadi lima kamar. Ada pula ruangan khusus untuk perpustakaan priba

    Last Updated : 2021-06-27
  • Ujung Senja   Gadis Kecil

    Alarm berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur. Dengan malas aku melirik jam, jam setengah lima. Aku harus segera bangun karena Mega akan sekolah hari ini. Hari pertama sekolah pasti sangat penting bagi seorang anak.Setelah Salat Subuh, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal Mega. Untung Mbak Mur sempat menyetok ayam ungkep di kulkas. Mungkin aku akan menggorengnya sepotong atau dua potong.Astaga! Aku hampir lupa menanak nasi. Cepat aku mencuci beras agar tak terlambat menyiapkan bekal. Mungkin sebaiknya aku menyuruh Mbak Mur membuat makanan cepat saji untuk aku simpan di kulkas agar aku tak repot setiap pagi. Ah, bisa juga nanti siang aku membeli roti. Mega suka sekali roti yang diolesi selai cokelat.Aroma ayam goreng menguar di udara. Aku memasak air untuk menyeduh susu. Mega tak biasa sarapan berat. Segelas susu cokelat saja cukup bagi bocah itu. Sekalian aku membuat segelas teh tawar. Jarang-jarang aku bangun

    Last Updated : 2021-06-29
  • Ujung Senja   Handoko

    Tidak seperti dugaanku, sesampainya di sekolah Mega malah merajuk dan tidak mau sekolah jika tidak aku temani. Padahal awalnya aku pikir akan aman meninggalkannya sebentar untuk service mobil ke bengkel.Mega merengek dengan wajah penuh air mata saat aku bilang aku akan meninggalkannya sebentar. Dia mengentakkan kaki ke lantai dan memeluk pinggangku erat.“Mega mau sama Mama. Mega enggak mau sekolah.” Teriakannya mengundang banyak mata memandang.“Iya, Nak. Iya. Mama di sini jagain Mega,” bujukku lembut.“Beneran, ya?” Akhirnya seulas senyum muncul di bibir gadisku.“Iya, dong! Mama kan enggak pernah bohong.”Aku membelai rambut cokelatnya. “Mama tunggu Mega di pendopo, ya. Kan Mega mau belajar, jadi Mama enggak mau ganggu.”Meskipun wajahnya tampak tidak rela, Mega mengangguk pe

    Last Updated : 2021-07-01
  • Ujung Senja   Ini, Salah?

    25Aku berkeliling toko buku. Bagiku kini berburu novel kesukaan seperti hobi yang tak bisa aku tinggalkan. Aku membaca sekilas blurb beberapa novel sebelum memutuskan akan membeli yang mana.Setelah menemukan sepuluh buah novel, mataku kembali memindai seluruh sudut, mencari keberadaan mereka, Mega, Han, dan Arif—putra Handoko.Sebulan lebih Mega bersekolah, aku menjadi lebih dekat dengan Handoko. Seperti ABG labil yang sedang jatuh cinta, aku selalu berdandan lebih menor saat mengantar Mega sekolah. Bulan lalu, aku bangun subuh untuk memasak bekal Mega. Sekarang, aku bangun subuh dan menghabiskan seluruh waktu di depan meja rias. Memastikan lipstikku tidak norak tetapi cukup menarik. Bekal Mega aku serahkan sepenuhnya kepada asisten rumah tangga.Untuk pertama kalinya aku bersyukur memiliki Bang Asman yang sama sekali tak peduli kepadaku. Dia pasti tak bisa membaca perubahan sikapku. Aku

    Last Updated : 2021-07-21
  • Ujung Senja   Berita Duka

    Hari libur selalu ditunggu oleh Mega sejak dia bersekolah. Seperti kali ini, dari semalam dia sudah merengek kepada Bang Asman agar meluangkan waktu untuk jalan-jalan. Aku hanya melihat dari sudut kamar melalui pintu yang terbuka, betapa Mega berusaha keras untuk membujuk ayahnya.“Pa, kita enggak pernah loh jalan-jalan bareng. Mega pengin ke Gramedia, terus nanti Papa bacain buku cerita kayak Om Han.”Bang Asman yang sedang menyesap kopi menghentikan gerakannya. Lelaki itu menatap Mega dengan sorot mata ingin tahu. Aku bergegas keluar. Mega terlalu polos untuk melindungiku dari kecurigaan Bang Asman. Lelaki itu memang aneh, dia tak pernah mencintaiku, tetapi memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap kehidupan pribadiku.“Siapa Om Han?” selidiknya.Aku menahan napas menunggu jawaban Mega. Tak mungkin aku nyeletuk seenaknya. Bisa-bisa Bang Asman makin curiga.

    Last Updated : 2021-07-21

Latest chapter

  • Ujung Senja   Pada Akhirnya

    Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k

  • Ujung Senja   Bahagia

    Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak

  • Ujung Senja   Tuduhan-Tuduhan

    Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat

  • Ujung Senja   Lelaki Patah Hati

    Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi

  • Ujung Senja   Ingin Bahagia

    Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed

  • Ujung Senja   Menuju Hidup Baru

    Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se

  • Ujung Senja   Menyatakan Segala

    Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri

  • Ujung Senja   Dicintai Seindah Ini

    Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam

  • Ujung Senja   Menyongsong Babak Baru

    Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang

DMCA.com Protection Status