Aku mengirimkan file data diri lengkap ke akun resmi perusahaan. Berhubung Pak Rangga merupakan manajer baru, maka kami diminta untuk menjalankan perusahaan ini sesuai dengan kebijakan darinya.Hari ini tidak seperti biasanya, karena ada prosedur mendadak, waktu pulang jadi agak dimundurkan. Berkali-kali Pak rangga meminta maaf pada karyawannya atas hal ini.Berbeda dari manajer sebelumnya, Pak Rangga lebih teliti lagi, aturan lebih ketat, dan lebih disiplin. Semua harus selesai tepat pada waktunya. Jadi tidak ada istilah kerjaan menumpuk, tertunda atau belum siap.Hanya saja, aku tak suka cara bicaranya yang terlalu pedas.Setelah menyelesaikan semuanya, aku segera pamit pulang."Pak aku izin pulang, boleh?" Aku memberanikan diri."Apa? Pulang?" matanya menatapku tajam.Aduh, beberapa waktu belakangan ini, sifat Pak Rangga sangatlah tegas, tidak ada ramah-tamahnya sedikitpun."Apa kerjaan kamu sudah beres? Jangan pulang kalau belum selesai! Ingat itu!" Ia mendelik."Iya, Pak. Semua u
Beberapa karyawan yang diperintahkan untuk ikut ke lokasi survey telah siap untuk segera berangkat.Sebagai salah satu karyawan yang bekerja di kantor pertambangan batubara, sudah beberapa kali aku ikut andil terjun langsung ke lapangan. Tiga mobil akan menjadi kendaraan yang akan kami gunakan. Dua mobil perusahaan dan satu mobil milik Pak Rangga sendiri. Rangga, memang manajer baru itu suka terjun langsung ke lapangan.Sesuai permintaan Rangga kemarin, hari ini aku bersiap dengan segala tetek bengeknya. Kupastikan tidak ada yang tertinggal atau terlupakan.Semua bergegas menuju mobil yang sudah di tentukan. Begitu juga denganku."Rika!" Tiba-tiba saja Rangga memanggilku. "Ya, Pak." jawabku."Mau apa kamu di sana?""Mau berangkat, Pak.""Bantu aku terlebih dahulu!" perintahnya Aku menghampiri. Sebenarnya aku tidak enak dilihat oleh teman-teman lain. Selalu saja Rangga bersikap dingin dan suka marah-marah padaku. Apa dia menganggap kerjaanku tak becus ya?"Silakan dua mobil lain ber
Pov RanggaAku kembali mengingat dimana hati ketika aku memutuskan untuk mengantar Rika pulang. Kasihan anaknya kalau harus naik ojek dari pangkalan. Apa gunanya mobilku yang kosong jika harus membuat mereka kehujanan.Diam-diam aku menatap Rika. Sengaja hari itu aku membuatnya pulang sedikit terlambat. Rasanya ingin saja melihatnya lebih lama. Aku aku tindakan itu membuatnya kesal. Entah apa yang kurasakan ini, antara rasa kasihan, prihatin, atau semacamnya. Masih terbayang jelas bagaimana mesranya Valdi dan wanita selingkuhannya tempo hari. Terhitung sudah dua kali aku menyaksikan kebersamaan mereka. Dengan begitu percaya dirinya Valdi mengatakan jika wanita itu adalah istrinya, dan anak wanita itu sebagai anaknya. Semula aku percaya, namun lambat lain aku baru mengetahui ternyata wanita yang ia belai-balai itu bukanlah istrinya, melainkan pacarnya.Padahal, di sisi lain anak kandungnya ia biarkan begitu saja. Dan istrinya di abaikan sedemikian rupa.Setelah aku tahu bagaimana ke
Seorang laki-laki nampak sangat sumringah dengan wanita cantik berambut coklat dalam gandengannya.Namun wanita itu nampak cemberut."Aku nggak mau kamu deket-deket ke Rika lagi, Mas! Kamu tahu kan aku ini lagi hamil, kamu jagain perasaan aku dong! Jangan cuma mau menang banyak di kamu doang!" Vina mengomel.Valdi mulai mencari-cari kata yang tepat untuk menghibur hati wanita itu."Mana ada aku deket-deket sama Rika, Sayang. Kamu liat sendiri kan, udah berapa hari ini aku nggak ada pulang ke rumah. Aku biasa pulang ke rumah ibu." Valdi menerangkan."Jangan bilang kalo Mas diam-diam masih suka tidur sama Rika, ya!" Vina menatap tajam."Ya Tuhaan, mana ada aku tidur sana Rika. Aku kan udah punya kamu sekarang. Kamu nggak usah cemburu sama Rika, Sayang. Kan udah dibilangi kalo dia tuh nggak ada apa-apanya dibanding kamu.""Pokoknya aku mau Mas lekas cerein tuh Rika! Katanya udah gak guna, buat apa lagi dipertahanin. Kalo kalian belum cerai, udah pasti dia jadiin anak sebagai akasan buat
"Kurang ajar kamu, Maaas! Kamu malu-maluin aku di sana. Padahal setiap hari aku kerja lewat deoan tokonya!" Vina mendorong tubuh Valdi hingga pria itu hampir tersungkur."Maaf, Sayang. Maaaf,""Apanya yang maaf, maaf, kalo kamu gak ada uang harusnya kamu gak perlu ajak aku buat beli cincin segala! Asli bikin malu aku aja! Ngeselin!" Umlat perempuan itu lagi."Maaf, Sayang. Bukan maksud mas buat bikin kamu malu, mas juga malu, Sayang.""Diam kamu!" Vina mengamuk dan men*njok muka Valdi."Maaf, Vina. Mas beneran nggak tahu kenapa saldo mas tinggal segitu. Padahal kemarin masih ada saldo lima puluh juta. Nggak tahu kenapa tiba-tiba ilang.""Bohong! Mggak mungkin bisa ilang kalo nggak ada yang ambil!"Valdi berpikir, benar juga ucapan Vina. Tidak akan mungkin hilang kalau tidak ada yang ambil. Tapi siapa kira-kira?Eh, Sejenak Vakdi ingat,"Kemarin kan ATM aku kasih ke kamu, Sayang?""Apaaa? Jadi kamu menuduh aku yang ambil saldo kamu? Haaa? Kenarin yang aku belanjaan cuma lima juta. Jang
Pagi-pagi buta Rika dikejutkan oleh kedatangan Bu Ratih, ibu mertuanya.Bu Ratih datang dengan muka cemberut penuh kebencian."Ada apa, Bu?" tegur Rika. Tentu agak risih melihat Bu Ratih nyelonong masuk kamar, dapur seenaknya saja."Nggak usah tanya!" jawab ibu setengah baya tersebut."Aku datang ke sini mau ngebawain semua barang yang dibeli sama anakku!"Rika terbelalak dengan kata-kata ibunda Valdi tersebut."Barang milik Valdi, Bu?""Ya!" jawabnya ketus."Barang yang gimana, Bu?" Alis Rika berkerut."Kamu nggak tahu yang namanya, Barang?" Mata Bu Ratih mendelik tajam."Paak! Hayo turun! Bantu aku ngangkat barang-barangnya!" Tiba-tiba Bu Ratih berteriak.Ketika Rika melihat keluar, sebuah pick up telah terparkir di depan rumah.Seorang laki-laki turun."Cepet tolong angkat ini barang!" Serta merta Bu Ratih memberikan perintah."Barang yang mana, Bu?" tanya pria itu."Banyak, kasur beserta dipannya, lemari, televisi, kipas angin, kulkas, pokoknya semua yang ada di rumah ini kepunya
"Bu, aku boleh ngomong nggak sama ibu?" Valdi mengajak ibunya bicara."Tentu boleh, Val. Mau ngomong ap memang?"Valdi mengatur nafas suoaya lebih siap mengitarakan maksudny"Tapi ibu jangan marah ya?" Valdi memastikan"Nggaklah, ngapain marah.""Bu, Gimana kalo kita jual aja nih rumah ibu. Habis itu uangnya Valdi pinjem dulu," ujar Valdi sembari takut-takut."Jual rumah? pinjem uang? Maksudmu apa Val?" Bu Ratih kaget dengan permintaan anaknya."Bu, ini demi masa deoan Valdi, Bu.""Masa depan? Apa hubungannya antara jual rumah dan masa depan kamu?" Bu Ratih masih belum mengerti."Ibu tahu kan kalo aku harus nikahin vina?""Hooh, terus?""Gini, Bu. Dari dulu Vina itu wanita mandiri. Tahu sendiri lah ya gimana kalo orang mandiri pasti gak mau hidup nyampur di rumah orang. Nah, aku jadi kepingin banget beliin rumah buat kami tinggali ntar selepas nikah, Bu." Valdi menjelaskan.Bu Ratih berpikir, sebenarnya, jauh di lubuk hatinya tentu ia tak ingin bila menjual rumah demi untuk bisa membe
"Rika, kamu yang nyebarin video ibu ini, kan? Apa kamu sengaja mau bikin ibu malu seseantero kota ini? Nggak cukup kamu bikin kamu kesal selama ini?" Mel, kakak kedua Vakdi bicara dengan raut wajahnya yang tak bersahabat."Video apaan, Kak?" "Nggak usah pura-pura enggak tahu lah, Rik! Aku cuma minta kamu buat cepetan hapus video itu! sebelum aku nekat laporin kamu ke polisi! Kalo aku laporin, kamu bisa kena pelanggaran UU IT, Rik! aku dateng ke sini mau bicara kek gini secara baik-baik sebab aku masih mikirin kamu juga! Jangan sampe kamu masuk penjara. Coba kalo aku jahat, bisa ajah aku langsung ke kantor polisi," ucap Mel."Masih beruntung kami nggak nyuruh Valdi buat kasih talak ke kamu! Kalo nggak, bisa-bisa udah nyandangin gelar janda kamu hari ini! Hidup itu jangan nggak berterima kasih." ucapan pedas meluncur dari bibir Kak Mel."Hati-hati kalo ngomong, Kak Mel! Ntar Kak Mel yang di jandain suami gimana? Kalo aku meski di cerein aku masih bisa ngehidupin diri sendiri! Lha Kak Me
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku