Yang Adora ingat, Harry selalu lembut padanya. Jarang sekali laki-laki itu membentak dirinya. Dan kali ini, Adora tak mau Harry muka padanya. Walau bagaimanapun Harry, Adora masih membutuhkan Harry. Laki-laki itulah tempatnya bergantung selama ini.
Rasanya benci, tapi Adora membutuhkan Harry. Jadi, memang Adora tak bisa memendam lama-lama perasaan itu. Walau ada rasa kesal yang membuatnya ingin mengeluh, ingin mengadu, atau ingin berteriak sekuat yang ia bisa atas hidup yang ia terima.
Adora langsung naik ojek pulang, khawatir Harry mengetahui dirinya. Bahkan Adora meminta tukang ojek untuk terbang saja.
Adora tahu, Harry pasti tahu bagaimana penampilan Adora sekarang dan Harry pasti curiga karena Adora beralasan mereka kerja kelompok. Kerja kelompok di mana sampai larut malam? Makanan mahal yang masuk dalam perutnya rasanya mau dimuntahkan semuanya.
"Pak please pak! Cepat!" Adora mendesak tukang ojek. Syden mengikuti dari belakang, tapi sepertinya laki-laki itu kehilangan jejak. Adora memegang kuat-kuat pengangan di belakang, saat merasakan tukang ojek langsung terbang ketika mereka bertemu dengan polisi tidur, dan langsung meloncat ketika ada jalanan yang berlubang karena sekarang mereka melewati jalan tikus yang sempit.
Adora berdoa dalam hati, semoga Harry tak marah. Karena ini bisa berakibat Harry takkan mengizinkan dirinya memegang ponsel selamanya. Harry boleh mengurung dirinya di rumah, tapi tidak dengan ponsel. Adora butuh ponsel untuk kegiatan kuliah dan juga bagaimana ia menghubungi Syden.
Benar saja. Harry masih berdiri di pintu dengan ponsel yang terus ditempelkan di telinga dan bolak-balik seperti kerbau membajak sawah.
Adora langsung menunduk. Kalaupun kerja kelompok ia tak membawa laptop dan penampilannya meyakinkan jika ia pergi berkencan.
Adora tahu Harry memang menunggu dirinya. Karena tanpa menunggu Adora laki-laki itu punya kunci sendiri dan bisa masuk ke dalam dan beristirahat. Tapi, Harry memang lebih suka menyusahkan dirinya.
"Darimana?" Adora mengepalkan tangannya yang berada di belakang. Jangan takut! Kamu nggak salah!
"Kerja kelompok."
"Kerja kelompok atau kerja berdua?" tanya Harry seperti tahu jika Adora mempunyai kekasih. Semoga ponselnya tidak disita. Demi Tuhan, Adora bukan anak kecil.
"K-kerja kelompok! Tapi pakai laptop kawan."
"Oh ya? Trus kenapa nggak bilang?" Adora melihat keadaan sekeliling. Mereka masih berada di luar dan nampaknya Harry tak ada niatan untuk masuk sebelum ia tahu semuanya.
"Lupa! Abang pasti sibuk." Adora beralasan, walau Harry takkan sebodoh itu untuk menerima alasan konyol tersebut.
"Abang memang sibuk. Dan demi kamu, abang langsung pulang, karena nggak mau kamu sendirian." Harusnya Adora terharu dengan semua ucapan Harry. Tapi sayangnya, semuanya terasa memuakkan.
"Okay."
"Bukan okay Dora. Tapi dari mana kamu sebenarnya?" Adora hanya menunduk. Padahal ia sudah berjanji jangan sampai ia bertingkah seperti ini karena akan membuat Harry semakin curiga dan menambah masa pengurungan di rumah.
"Kerja kelompok bang."
Adora tetap pada pendiriannya. Gadis itu melirik tas Harry yang masih tergeletak di lantai. Gadis itu mengambil kunci, dan ingin membuka pintu.
"Bukan kayak gin penampilan kerja kelompok. Tapi ini penampilan orang mau kencan!"
"Dora kerja kelompok bang." Suara Adora bergertar. Sebentar lagi tangisannya pecah. Kenapa Harry tak biarkan dirinya untuk beristirahat? Alih-alih menanyakan hal-hal yang tak penting seperti ini.
"Itu nggak kerja kelompok! Saya lebih duluan kuliah, dan tahu apa itu kerja kelompok dan pergi jalan-jalan seperti berkencan."
"Terserah!"
Adora langsung melewati Harry dan membuka pintu, walau tubuhnya merasa gemetaran. Adora takut pada Harry, jika laki-laki itu emosi dan bermain tangan. Walau selama ini Harry tak pernah memukulnya. Tapi ketakutan tak beralasan ini terus menghantui dirinya. Apapun yang berhubungan dengan Harry, Adora selalu berpikiran buruk. Seperti semua hal positif yang Harry lakukan padanya selama ini sia-sia, karena hanya rasa benci dan dendam yang Adora rasakan setiap melihat Harry. Walau ia tak bisa menyimpan perasaan itu lama-lama.
"Dora duduk dulu. Kita perlu bicara." Adora berbalik dan menahan semua gejolak emosinya. Rasanya mau meledak, tapi masih ia tahan sejauh mana Harry menguji kesabarannya.
"Kamu harus jujur." Harry berbicara lembut. Laki-laki itu masuk, membuka sepatunya mengunci pintu dan meletakan tas di atas meja. Harry langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa, penat sudah pasti dan sekarang Adora lagi. Harry benar-benar tak bisa membiarkan Adora keluar malam karena itu sangat tak bagus untuk keselamatan dirinya. Apalagi Adora punya pacar, Harry takkan mengizinkan hal itu terjadi.
Katakanlah Harry kolot, tapi ia takkan mengizinkan Adora pacaran sekarang, karena itu akan berdampak ke akademik Adora dan membawa pengaruh buruk bagi kehidupan Adora. Pokoknya, Adora harus sekolah benar-benar, berprestasi dan akhirnya laki-laki sendiri yang mengajarnya hal ini yang mendasari Harry melarang keras Adora berteman dekat dengan Adora apalagi sampai pacaran.
Adora muak. Akhirnya ia langsung berlari ke kamarnya. Katakanlah ia kekanakan dan egois, tapi hal ini rasanya tak perlu diperpanjang, karena Harry capek dan bawaan pasti emosi begitu juga dirinya yang dilanda panik hingga ia bisa keceplosan.
"Adora!" Suara Harry menggelegar di seluruh ruangan, bahkan Adora bisa merasakan rumah itu ikut bergetar. Harry tak pernah meninggikan suaranya, berarti Harry benar-benar marah.
"Apalagi?" Adora berbalik dengan suara yang tak kalah keras. Emosinya memuncak, dan ia tak bisa menahan lagi. Air matanya mengalir deras, bagaimana dengan rasa getir Adora menahan semua kepahitan hidup yang ia simpan sendiri.
"Sampai kapan aku terus dibuat seperti ini? Aku bukan anak kecil! Aku benci diperlakukan seperti anak kecil cacat yang nggak bisa apa-apa! Abang egois!"
Entah kekuatan dari mana, Adora langsung menuruni tangga dan menghampiri Harry. Bahkan ia tak peduli, jika tangan laki-laki ini naik ke wajahnya. Terlihat, Harry mengepalkan tangannya. Napas keduanya memburu dengan tatapan rasa saling mendendam, bukan abang-adek yang selalu mendukung.
"Abang egois!" teriak Adora.
Plak!
Bunyi tamparan mengema di ruangan. Membuat semuanya senyap, bahkan jangkrik ikut mengheningkan cipta karena bunyi tamparan yang seolah membuat bumi bergetar.
Dengan air mata yang berderai. Adora berlari ke kamarnya.
Ia benci Harry, selamanya benci laki-laki itu!
💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸
Croptop dengan belakang sedikit menjuntai setengah lengan, rok pinslet pendek, tas selempang kecil dan sneakers berwarna pink.
Ilana melihat penampilannya di cermin. Sempurna. Dan hanya ada sedikit polesan di wajah, karena hari ini ia hanya ingin menghibur dirinya. Me time setelah psikopat Barry hijrah dari unitnya. Ilana senang bukan main, saat laki-laki itu akhirnya pergi dan terlihat baik-baik saja. Jadi, Ilana tak perlu merasa bersalah terus-menerus karena mengetahui jika Barry sakit karena dirinya.
Ilana keluar dari kamar dan melihat Melati yang sudah resmi ia hire jadi pendamping untuk mengurus endorsment yang bejibun. Mungkin pulang, Ilana akan mengurus lagi. Karena masih banyak brand-brand yang ingin bekerja sama dengan dirinya.
"Aku mau pergi, jadi kalau mau makan lihat aja di kulkas. Nggak lama kok." Melati mengangguk, dan mulai memisahkan barang-barang yang akan diendors besok. Hari ini, Ilana ingin menenangkan dirinya.
💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸
Sebenarnya Ilana refleks membawa mobilnya menuju cafe Barry. Untung wanita itu langsung sadar, dan memilih berjalan tak tentu arah. Sudah malam, dan Ilana memang ingin menghirup udara di luar, setelah hampir satu minggu ia harus berbagi udara dengan psikopat Barry, walau Ilana seperti sudah terbiasa dengan kehadiran Barry di sekitarnya. Walau Ilana takkan membiarkan Barry lancang pada dirinya. Ilana tak mau hubungan pertemanan bersama Alena kandas karena seorang laki-laki yang ia anggap tak punya otak!
Walau Harry rasanya sialan, tapi Harry masih menjadi tumpuan Ilana bagaimana ia masih mengharapkan laki-laki itu tiba-tiba melamar dirinya dan akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia seperti abangnya. Ilana ingin hidup sederhana seperti abangnya yang hidup nyaman dan bahagia bersama keluarga kecilnya dan anak semata wayang mereka.
Memikirkan Dennis, Ilana berjalan lurus ke rumah abangnya tepatnya. Sudah lama mereka tak saling berkunjung karena kesibukan masing-masing. Abangnya yang sibuk kerja dari pagi sampai sore, dan saat hari libur mereka sibuk masing-masing dengan kehidupan.
Pasangan bagi Ilana tidak muluk-muluk, tapi entah kenapa Harry seolah membuat semuanya terasa rumit. Ilana bukan gadis yang melarang pacarnya tak boleh kenal perempuan lain, atau harus jadi pacar yang mengabari setiap detik, jika tak ada laporan maka ia akan mengamuk. Ilana malah memberi waktu yang sebebasnya karena mereka juga sudah sangat dewasa dan memang sibuk masing-masing.
Tapi kebebasan yang Ilana beri seperti disia-siakan oleh Harry bahkan rasanya seperti overdosis. Karena Harry bebas tak peduli padanya, padahal kalau tak sempat Harry bisa mengabari dua hari atau tiga hari, atau ada waktu sempatkan bertanya agar hubungan mereka tak terasa hambar. Harry bukan anak kecil yang tidak mengerti apa itu komitmen. Terkadang sampai putus asa, Ilana merasa mungkin dirinya akan lebih dihargai ketika berpacaran sama anak SMA.
Ilana belok kanan masuk ke pekarangan rumah Dennis,. Walau harus melewati beberapa gang lagi karena rumah Dennis persis di atas bukit.
Ilana melihat mobil abangnya yang ada di rumah, berarti memang abangnya di rumah. Kalau boleh tukar, Ilana tak mau jadi adiknya Dennis tapi jadi istri Dennis bagaimana ia begitu disayang, diperhatikan, dicintai begitu besar, dihargai. Rasa-rasanya Ilana tak pernah mengalami kisah percintaan yang manis sejak ia masih sekolah. Mungkin untuk masalah percintaan Ilana sedikit sial.
"Danish!" teriak Ilana. Harusnya Dennis tak perlu heran jika semua keturunannya adalah tukang teriak seperti preman pasar.
Azyan yang membuka pintu, melihat adik ipar yang begitu seksi. Dari dulu Azyan selalu merasa minder jika melihat saudara Dennis yang satu ini, karena ia pandai memadukan fashion dan memang selalu cantik. Ilana memang sangat mirip ibunya, hingga begitu cantik, berbeda dengan Ilene yang lebih mirip kaum lelaki.
"Hi kak."
"Kalian ngapain?" tanya Ilana menghempaskan tubuhnya ke sofa. Rumah abangnya dan rumah bundanya adalah tempat terbaik untuk menenangkan diri.
"Kok dia belum tidur?" tanya Ilana menunjuk keponakannya yang sedang bermain. Bocah 3 tahun yang terlibat makin mengemaskan. Diam-diam, rasa iri menyelip dalam dada Ilana, ingin punya anak juga dan ia bisa mendidik seperti Azyan mendidik anaknya hingga mengemaskan dan cerdas seperti sekarang.
"Iya kak. Tadi siang tidurnya kelamaan, jadi memang gitu. Tapi bentar lagi mau kasih susu biar tidur." Ilana hanya mengangguk, saat melihat Azyan menjamunya dengan minuman kaleng. Ilana sudah menganggap rumah abangnya seperti rumah sendiri, jadi ia tak perlu segan untuk berbaring sekarang.
"Abang mana?"
"Sedikit sibuk, jadi lagi kerjain deadline di kamar." Ilana hanya diam dan melihat keadaan rumah abangnya yang tak banyak berubah kecuali banyak mainan anak-anak yang terlihat di mana-mana atau tempelan khusus anak-anak.
"Main terus dia." Ilana menunjuk pada Danish yang tak peduli pada lingkungannya, bocah itu terus bermain padahal ia sudah memakai piyama bergambar dinosaurus.
"Biasanya main nanti capek, jadinya tidur dia." Ilana memperhatikan Azyan yang tersenyum bangga melihat anak semata wayangnya bermain. Kentara sekali, senyuman babgga seorang ibu pada anaknya seperti senyuman bundanya saat melihat semua anak-anaknya. Ada rasa tergilitik dalam perut Ilana untuk memiliki anak. Walau ia masih mempertanyakan Harry. Kapan laki-laki itu melamarnya? Walau terkadang rasanya seperti pungguk merindukan bulan.
Ilana melihat abangnya yang baru turun dari tangga sambil menguap dan menggaruk rambutnya.
"Yaya."
"Kenapa belum tidur?" Dennis langsung menciuminya Danish dan mengangkat anaknya.
"Kayaknya butuh kopi mommy. Masih banyak yang belum beres kerjaan." Azyan langsung berdiri dan pergi ke belakang. Ilana hanya memperhatikan Dennis yang begitu memanjakan anaknya, bagaimana Danish juga terlihat begitu manja pada ayahnya seperti induk koala dan anaknya.
"Sibuk bangat bang?"
"Kejar target. Biar bisa liburan." Dennis jelas punya tujuan libur untuk keluarga kecilnya. Walau Ilana punya tabungan yang cukup untuk liburan tapi rasanya takkan sama seperti Dennis pergi berlibur bersama keluarga kecilnya.
Ponsel Ilana berdering. Wanita cantik itu langsung melihat dan akan memaki-maki seandainya itu Barry. Tapi itu Harry. Tumben sekali, rasanya Harry menelpon duluan itu seperti menang lotre 1 diantara 1000 kemungkinan dan malam ini Ilana sedang menang.
"Hm. Oh di mana? Okay aku kesana sekarang."
Ilana langsung mematikan ponselnya.
"Pergi dulu bang. Bella, pulang dulu!" teriak Ilana keluar dari rumah abangnya. Danish hanya memperhatikan tantenya yang teriak-teriak seperti orang utan. Walau Danish seperti terbiasa ketika ia pergi rumah neneknya, neneknya yang suka teriak-teriak juga.
💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸
Ilana langsung tancap gas menuju tempat permintaan Harry. Sebuah jembatan yang menjorok ke laut, jembatan itu malam biasanya ramai karena banyak muda-mudi berpacaran di sana apalagi malam minggu seolah tak ada tempat sekedar duduk.
Sudah lama Harry tak menghubungi dirinya dan sekarang laki-laki itu menelpon dirinya dan mengajak ketemuan. Suatu kebetulan yang sangat langka ibaratnya kelapa berbuah kembar.
Jembatan masih ramai karena memang malam tempat orang-orang berkumpul dan melihat banyak kapal di laut dengan lampu warna-warni. Banyak penjual sepanjang jalan bahkan sekarang sudah macet.
Setelah mendapatkan tempat parkir yang pas Ilana naik ke atas jembatan. Ia mencari Harry di antara ratusan orang yang berdiri di pinggiran jembatan dengan pasangan masing-masing. Di ujung jembatan, ada rumah bulat yang konon mau dibangun mall di atas laut walau hal itu belum terealisasi sampai sekarang.
Ilana tak perlu susah mencari Harry di antara kerumunan karena ia hafal sileut laki-laki itu. Bagaimana tubuh Harry termasuk tinggi di antara orang-orang normal.
"Ada apa?" tanya Ilana tak perlu berbasa-basi seperti Alena yang begitu memuja kekasihnya walau nyatanya Barry brengsek. Terkadang Ilana sadar mungkin alasan dirinya yang begitu jutek dan sinis membuat laki-laki tak bisa bersimpati padanya. Walau Ilana memang tak mau bergantung pada laki-laki.
"Aku kangen kamu." Suara Harry terdengar lembut dan rendah, seperti ia beneran rindu Ilana. Angin malam semakin menyapa Ilana yang memakai pakaian serba pendek dan basa-basi Harry yang membuat tubuh Ilana mendadak merinding.
"Oh yeah. Kurasa basa-basi yang cukup. Setelah berminggu-minggu kamu mati dan sekarang hadir tiba-tiba bilang rindu, bahkan aku minta kamu cari orang sampai sekarang nggak ada."
"Aku bisa cari—"
"Tidak perlu!" potong Ilana cepat.
Ilana dengan gaya tangan di depan dada tiba-tiba ia merasakan tangan Harry menggengam rasa hangat langsung menyusup dari tangan hingga dadanya.
"Aku serius kangen kamu. Dan aku memang sibuk ngumpulin uang, dan aku memang lagi ada proyek besar setelah ini mungkin aku bisa melamar kamu."
"Mungkin?" tanya Ilana. Wanita itu ingin bertanya lagi tapi laki-laki bisa kabur jika ia bersikap seperti ini. Harusnya Ilana bisa menahan dirinya, dan bersikap seperti Alena agar laki-laki juga bersimpati padanya.
"Ya. Beberapa bulan ke depan aku pastikan itu. Kita akan bertunangan dan bisa rencana ke depan lagi." Ilana diam walau ia sedikit tersentuh, sebelum Harry benar-benar menunjukan keseriusan dan berubah Ilana takkan mau luluh secepat ini. Ia punya prinsip laki-laki harus bertekuk lutut padanya. Ilana tak pernah suka mengemis-ngemis cinta pada laki-laki. Ia wanita yang mandiri!
"Aku serius. Tapi memang dua atau tiga bulan ke depan memang hectic parah setelah waktu luang kita memang akan bertunangan. Dan kamu bisa merancang sendiri pernikahan impian kamu." Ilana pandangi wajah Harry. Walau di bawah sinar bulan, Ilana bisa melihat senyum ketulusan yang terpancar dari wajah Harry.
Hatinya mengatakan ragu, tapi Ilana mencoba meyakinkan hatinya jika laki-laki ini memang adalah pasangan yang Tuhan pilihkan untuknya.
Harry tak benar-benar memeluk dirinya dan malam ini Harry memeluk Ilana. Jantung keduanya terdengar bergerak seirama. Ilana berharap hatinya dan hati Harry direkatkan dan pada akhirnya laki-laki inilah yang menjadi pelabuhan terkahir untuk dirinya.
💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸💸
Hello jumpa lagi.
Aku rindu pasangan sebelah jadi numpang dulu hehehe. Maklum pasangan favorit 😀🤗🤗🤗. Yg belum baca kisah Dennis dan keluarganya baca di Nanny to Mommy.
Kalian yg heran dan bertanya kenapa Adora muncul terus padahal Ilana main character. Sesuai judulnya. Unspoken Pain, rasa sakit yang tak bisa disebutkan atau rasa sakit yang tak terlihat, bagaimana masing-masing dari mereka menyimpan rasa sakit, luka yang mereka pendam masing-masing.
Semuanya akan terbongkar satu-satu karena semuanya saling berhubungan.
See you💋💋💋💋💋
Malam ini, Ilana bisa melihat sebagai seorang laki-laki. Laki-laki yang bisa membuat dirinya terlindungi, laki-laki yang membuat dirinya sebagai seorang wanita seutuhnya, bukan dirinya yang dikenal sebagai wanita judes anti laki-laki.Udara malam yang dingin menusuk, tak menyurutkan keduanya untuk berbagi kebersamaan setelah sekian lama mereka saling merasa asing. Ilana selalu yakin, ia tak pernah salah memilih laki-laki ini. Bagaimana malam ini Ilana melihat diri Dennis—abangnya ada dalam diri Harry. Semoga Harry terus seperti ini."Saya pinjamkan jaket?" Ilana mengangguk, ia mencium bau tubuh Harry. Segalak apapun wanita, mau semandiri apapun, ia tetap makhluk lemah yang bergantung pada laki-laki, apalagi laki-lakinya itu yang menawarkan.Harry tahu, Ilana adalah wanita galak yang kurang belaian. Jika diberi perhatian sedikit saja maka ia akan begitu menurut seperti anjing pada majikannya. Harry tidak memanfaatkan Ilana, tapi ia sedang belajar u
"Gils! Akhirnya, kita berpesta. Ajak pacarmu juga Nana."Ilana yang sedang sibuk mengoles di bibirnya menoleh pada Alena. Well, pacarnya bukan seperti manusia normal hal itu tak semudah itu ia mengundang Harry ikut bersama mereka."Dia sibuk jaga kandang babi." jawab Ilana asal, sebelum ia mendengar barang yang dilemparkan tapi tak tepat sasaran. Ilana hanya memandang Alena malas, lebih malas lagi ia tahu fakta jika psikopat Barry akan ada di sana. Sepertinya Ilana harus menyiapkannya pisau lipat kecil di tasnya, jika Barry macam-macam padanya, Ilana langsung mengembiri milik laki-laki itu."Nana babinya." gurau Alena sambil tertawa begitu kencang. Ilana tak perlu tersinggung, karena ia juga sering berbicara seperti itu dan berharap lawannya tidak tersinggung, lagian persetan dengan tersinggung, Ilana melakukan apa yang menurutnya benar."Ke cafe pacarmu lagi?" tanya Ilana. Terlihat pancaran bahagia dia mata Alena. Andai sahabatnya tah
Ilana memegang kepalanya yang terasa sangat berat, tapi di satu sisi kepalanya seperti kopong jadi saat ia menggerakkan ke kiri atau kanan rasanya seperti ada batu di dalamnya.Kepala masih berat, mata juga masih mengantuk, tapi ia berusaha membuka matanya, sekarang jam berapa.Ilana meraba-raba ponselnya, seperti yang biasa ia lakukan karena ia selalu meletakan ponsel di atas kepalanya atau di bawah bantal. Padahal menurut penelitian, saat kamu tertidur jauhi ponsel karena terkena radiasi ke otak. Bagi Ilana, selama otaknya masih bisa berpikir waras atau menjadi otak mendadak, ia akan terus melakukan kebiasaan tersebut.Ilana meraba-raba ponsel yang sudah menemani dirinya selama 2 tahun. Walau perkejaannya menuntut tentang penampilan, tapi Ilana tak pernah ganti ponsel sesuai trend sekarang, ganti ponsel tiap bulan. Bagi Ilana selama ponsel itu masih menyala dan berfungsi dengan baik, akan terus ia gunakan. Pemikiran dia memang sedikit beda dari
Walau sempat bersitegang, tapi akhirnya Barry mengantarkan juga semua aset-aset milik Ilana, walau wanita galak itu tak mau menyambutnya dan Melati yang menerima kedatangan Barry.Ilana sudah mandi dan merasa lebih ringan sekarang, ia akhirnya menyuruh melati memesan es buah, butuh yang segar-segar agar bisa mengusir setan-setan Barry dari otaknya.Ilana sedang duduk di barstool dengan nyaman hanya memakai bathrobe dan tak berniat untuk berganti baju. Ilana ingin beristirahat total hari ini, dan menghilangkan racun Barry dari hidupnya. Bisa gila!"Melati makan sini." ajak Ilana. Melati yang seorang pemalu, dengan ragu duduk di samping Ilana. Ilana yang menuangkan es itu dalam mangkok."Melati berapa umurnya?""21 Kak." Ilana mengangguk, berarti beda satu tahun dengan dua adik kembarnya."Melati kuliah?""Nggak Kak. Saya sudah lama keluar sekolah, SMP bahkan cuman sampai kelas 8.""Oh ya?
Dalam hidupnya Ilana tahu akan ada laki-laki yang datang menyunting dirinya dan meminta izin pada orang tuanya, jika sudah waktunya ada laki-laki yang mengambil alih tugas ayahnya, menjaganya, menyanyangi dirinya, dan menjadi tempat ia berkeluh kesah.Kalau boleh jujur Ilana merasa hatinya kosong. Ada apa? Wanita cantik itu duduk dan menarik napas panjang. Kamu akan jadi perawan tua jika terlalu banyak milih, lagian Harry sudah mengerti sifat burukmu."Jadi, dengan itu maksud kedatangan saya di sini adalah untuk membicarakan keseriusan bersama Ilana. Usia kami sudah sama-sama dewasa, dan saya sedikit menempati posisi atas dalam kerjaan.""Papa apapun yang terbaik buat anak-anak pasti setuju. Selama Nana merasa aman, Nana tidak akan mengeluh dan menceritakan keburukan yang lain. Sebisa mungkin saat menikah nanti selesaikan dulu masalahnya sebelum orang lain tahu. Sebelum naik ke ranjang masalah hari ini harus beres."Ilana mem
Ilana melirik Barry dengan kesal, dan memakan sarapan seolah ingin menelan laki-laki itu. Kesal tentu saja, dia benar-benar seorang penguntit yang meresahkan."Sarapan gini memang nikmat, di tengah hutan, ada wanita cantik dari masa depan." goda Barry, membuat Ilana membanting sendoknya dengan kuat, mulut Barry perlu diberi cabe agar berhenti berbicara tak jelas."Diam deh Bar. Aku jadi hilang selera makan!" sungut Ilana. Barry terkekeh, laki-laki ini seperti orang yang benar-benar kurang kerjaan. Kerjanya hanya membuat dirinya kesal dan Barry layak dapat penghargaan piala Citra sebagai manusia paling menyebalkan versi Ilana."Eits! Jangan kabur. Sarapan cepat!" cegat Barry saat Ilana berdiri dan menarik tangan wanita itu agar duduk kembali. Ilana semakin bersungut dengan wajah yang siap menyemburkan api naga. Andai dia naga wajah Barry sudah hangus sekarang.Ilana menarik lagi sarapannya dan makan. Jadi teringat semalam ada
Adora tahu, cepat atau lambat dirinya akan diabaikan dan Harry akan berfokus pada keluarga kecilnya. Dulu sekali, Adora ingin agar Harry menikah secepatnya agar tidak menganggu hubungannya bersama Syden, tapi kali ini rasanya begitu berat.Adora ingin Harry tetap jadi Abang yang peduli padanya, seorang abang yang juga berperan sebagai orang tua. Adora akan selalu membutuhkan Harry di sampingnya.Chocolate roll cake dengan hiasan krim dan buah ceri di atasnya memberi kesan menggoda pada kue kukus tersebut. Adora sengaja memasak khusus untuk Harry hari ini, semenjak laki-laki itu mengizinkan dirinya untuk memasak. Semua menu sudah Adora coba dan tak pernah gagal untuk memanjakan lidah Harry."Semoga istri Abang, pandai masak." ujar Adora, separuh berharap penuh doa separuhnya adalah sindiran karena Harry takkan menemukan seseorang yang pandai memasak seperti dirinya, sosok Adora takkan tergantikan walau oleh istri Harry sekalipun."A
Adora menyeruput minumannya dan menatap jalanan yang ramai. Gadis itu melihat kekasihnya yang duduk do hadapannya. Entah ini disebut etis atau tidak, Adora hanya ingin berbagi pada Syden. Kekasihnya adalah seorang pendengar yang baik dan kekasih yang sangat bisa diandalkan dalam segala hal."Kamu makin cantik." puji Syden membuat Adora tersenyum sekilas. Dia sudah terbiasa mendengar Syden memujinya dan Adora suka. Karena pujian itu tulus dan Adora yakin dia cantik di mata orang yang tepat. Laki-laki ini melihat dirinya sebagai seorang wanita, wanita cantik yang harus dilindungi."Bang Harry, bentar lagi mau nikah." Adora berkata dengan lesu sambil mencampurkan smooth strawberry yang tinggal setengah."Iya, dia sempat bilang. Ini bagus, dengan begitu hubungan kita bisa berjalan mengikuti jejak mereka.". Adora diam. Andai Harry mendapatkan pasangan yang seperti dirinya, bukan seorang wanita ular gadis itu pasti mendukung pertama karena dia juga i
Layaknya sebuah keluarga bahagia, Ilana dan keluarga kecilnya akan melaksanakan kegiatan outdoor yang menyenangkan. Mereka berusaha untuk mengenalkan banyak hal pada putri mereka. Hari ini, akan diadakan camping di belakang rumah. Usia Elena sudah tiga tahun, sudah belajar banyak hal, dan mencoba-coba banyak hal, serta memiliki rasa penasaran yang begitu tinggi. Tapi, Ilana tahu putrinya cuek dan lebih suka melakukan banyak hal sendiri. "Elena, kita akan bercamping di belakang rumah. Apa yang perlu dibawa?" Elena menatap ibunya, tidak banyak bicara dan langsung menuju kamarnya, bocah itu membawa buku dongeng dengan campuran warna pink dan biru. "Bantuin Mami dan Daddy bawa barang ke belakang?" tawar Ilana, Elena mengangguk dan mencoba membantu barang-barang kecil yang sekiranya bisa dia bawa. Ilana dan Barry sudah merencanakan hal ini lama, jadi, mereka akan bersenang-senang. Di belakang rumah, sengaja dibuat bany
Ilana melihat pantulannya di cermin, masih dengan perut yang belum kempes, dia mengangkat sedikit kaosnya dan mengelus-elus perutnya.Dia berbalik dan melihat sebuah kedamaian berada di depannya, Elena.Bayi berumur dua minggu, 13 hari lebih tepatnya.Hari ini, Ilana akan sibuk, karena pemotretan Baby Elena. Seperti orang tua kebanyakan, mereka ingin mengambil banyak moment-moment indah dan pertumbuhan putrinya.Dengan persiapan yang hampir rampung, mereka menyewa sang fotografer untuk datang ke rumah. Tak lupa, Ilene dengan segala kerempongan yang dia punya. Ilene juga akan melakukan pemotretan bayi kembarnya yang sudah berusia dua bulan, ibu-ibu rempong itu memotret bayinya setiap bulan, dengan kostum yang beda-beda."Jangan lupa bawa tisu, popok, baju-baju kalian. Jangan sampai, tiba di sini baru sibuk." Ilana langsung menelpon Ilene dan mengingatkan, dia tahu Ilene itu berisik, Ilana tak suka, jika Ilene bertamu ke
Kebanyakan menonton film yang megah, modern, dan kehidupan yang dinamis, membuat Ilana selalu membayangkan Hawaii sebagai salah satu kota yang layak dikunjungi, dream country, yang wajib dikunjungi selama kamu hidup.Tapi, apa yang terpampang di depan matanya membuat dia terdiam dan bisa melihat dunia dalam pandangan yang lebih luas. Ilana berjalan pelan, sambil memperhatikan banyak homeless yang memeluk tubuhnya kepanasan atau kedinginan dengan perut kosong yang luar biasa.Dia melihat seorang wanita berusia sekitar 40 tahun sedang menikmati mie dengan lahap, dan Ilana bisa menduga, itu adalah salah hidangan terenak yang masuk dalam mulutnya.Ilana masih terdiam, ketika merasakan tubuhnya ditarik oleh Barry, karena mereka sedang melintasi zebra cross.Ilana menggengam tangan suaminya, niat awal bulan madu dan bersenang-senang, dan banyak hal yang dipaparkan di wajahnya, bahwa beginilah kehidupan yang sesungguhnya.Ilana
Kalau kamu mendengar kata Hawaii atau membaca kata Hawaii, apa yang pertama terlintas dipikiranmu? Pantai, pohon kelapa, ombaknya, masyarakatnya yang ramah, gunung berapi, atau hula-hula?Dalam benak Ilana, Hawaii itu sebuah pulau dengan banyak pantai cantik seperti kartun Moana. Dan benar adanya, walau mereka tetap disambut banyak gedung-gedung tinggi."Aku tahu ini sensitif, tapi, Ayah kamu ke mana?""Aku nggak yakin, pernah diceritakan, tapi, hanya sekilas. Banyak anak-anak kurang beruntung seperti aku yang tidak punya orang tua lengkap, Nana. Bahkan, aku kurang dekat sama ibu sendiri karena keadaan yang memaksa seperti itu."Ilana alihkan pandanganya keluar dari bus, dan merenungi kata-kata tadi. Barry benar, tidak semua anak-anak beruntung untuk punya keluarga utuh yang harmonis seperti keluarganya. Bahkan, ada anak yang punya keluarga utuh tapi mempunyai orang tua yang abusive.Dia mencoba mengingat-ingat masa ke
"Hahaha. Malam pertama, tapi, udah unboxing duluan. Nggak seru ah!" Ilana harusnya tahu, dia mempunyai keluarga ember bocor. Dia memang tidak tersinggung, dan memang begitu faktanya. Tapi, mendengar ejekan itu, kenapa rasanya mengesalkan? Itu adalah ejekan Ilene padanya. Resmi satu minggu menikah dan dia pulang ke rumah tuanya, Ilana sedang mempersiapkan bulan madu ke Hawaii. Tempat tinggal Ibu Barry. Hari ini, mereka akan ada bakar-bakar. Bakar ikan, bakar ayam, bakar jagung, bakar sampah. Bundanya sedang sibuk, di saat para menantu lelaki sibuk membantu ibu mertua mereka yang cantik. Sebagai seorang koki handal, Barry sedang mengipas-ngipas makanan di atas tungku arang tersebut. Sebenarnya Ilene ingin membantu, tapi disuruh duduk oleh suami, dua ibu hamil itu tidak diizinkan untuk bekerja. Mereka hanya boleh mencicipi. "Ahhh! Bosan bangat hidupku, Tuhan!" Ilana dan Ilene sama-sama menoleh ke sumber suara
Pita pink dengan tatanan dekorasi meja bundar. Hiasan lentera kertas yang menggantung di atap tenda warna-warni.Sudah tidak ada konsep pernikahan, jika yang ditampilkan adalah seluruh konsep dipadu-padankan.Awalnya, Ilana tidak begitu antusias menyambut pernikahannya sendiri, tapi, dia tidak bisa bohong, jika, sekarang dia merasa gugup luar biasa.Venue yang mereka pilih adalah di halaman belakang, karena Ilana hanya ingin sederhana, walau sudah disulap bundanya menjadi lebih baik. Bahkan, Ilana sampai terdiam, bagaimana mungkin pernikahan yang dia impikan sederhana terjadi begitu mewah di matanya. Dia senang, dia punya keluarga yang luar biasa bisa diandalkan.Ilana menarik sedikit long laces veil yang panjang hingga bokongnya. Sedikit mahkota kecil mewah di atas kepalanya walau dia sudah protes karena kebanyakan aksesoris.Dia mematut dirinya di cermin sekitar tiga menit, melihat wajahnya yang berubah total dan jug
"Menurut kamu, konsep foto prewedding gimana?"Ilana menatap Barry yang sedang mengupas mangga, turun dan mendekati laki-laki itu."Aku nggak punya bayangan. Sebenarnya aku gak terlalu mengkhayal hal seperti itu, yang penting cepat melewati hal itu, dan yang utama adalah kehidupan setelah menikah itu." Ilana mengambil satu potong satu mangga dan memasukan dalam mulutnya. Manis.Tak puas. Ilana mengambil lagi."Aku sebenarnya paham maksud kamu. Aku sebenarnya lagi tidak pernah banyak permintaan, Bar. Serius, cukup melewati hal ini."Barry hanya memandang wanita cantik di hadapannya."Okay-okay. Besok nikah aja lah, biar cepat.""Ye. Bukan begitu ibu pejabat, sebagai laki-laki aku merasa ingin memberi kamu yang terbaik. Kamu memang ingin sederhana, aku mau kamu mengenang ini sebagai kenangan yang takkan kamu lupakan karena ini seumur hidup, Nana." Ilana hanya mengangkat alisnya dan mengambil lagi poto
Telapak tangannya terasa hangat, dari cangkir kecil yang tengah mengeluarkan asap. Ilana menunduk, melihat minuman miliknya dan kembali meniup sedikit dan menyeruput minuman itu.Masih terlalu dini, untuk manusia seperti dirinya yang bangun di atas jam delapan pagi.Ilana mengintip, masih jam 6.30, dan Barry masih terlalu pagi, tapi, dia tidak bisa tidur dengan tenang, memikirkan nasibnya dan juga masa depan."Aku kira kamu kabur lagi. Bangun-bangun di sebelah udah dingin." Ilana memutar tubuhnya, mendapati Barry yang menguap, menggaruk kepalanya dan mengucek matanya sebentar.Ilana melihat ke atas meja makan, roti gosong yang dia buat. Entah kenapa, pagi-pagi dia sudah berinisiatif melakukan hal ini. Rasanya seperti kamu merasakan air asin berubah jadi sirup merah."Waoh. Apa ini? Apa aku sedang bermimpi berada dalam dunia para layang?" seru Barry norak, yang membuat Ilana berdecak sebal. Mau menolak atau keras sepert
"Bunda juga dulu nggak pande masak. Tapi, akhirnya bisa masak juga. Kamu juga bisa gitu, Nana. Memasak bersih-bersih itu basic skill semua gender, kenapa Bunda nggak nyuruh kalian masak? Karena, Bunda mau kalian sadar memasak dan mengurus rumah itu harus kesadaran kalian dan kalian harus bisa. Perempuan atau laki-laki harus bisa masak." Dengan gaya kedua tangan berlipat di dada, Ilana memperhatikan Bundanya memasak pisang goreng, dengan membolak-balik pisang di atas minyak panas. Dia suka menonton orang memasak, tapi, jangan menyuruh dirinya untuk memasak. Ilona mengambil piring dan juga tisu untuk alas agar pisang goreng tak terlalu banyak minyak. "Ini, isinya kolestrol jahat semua." Komentar Ilona ketika mencubit sedikit pisang goreng yang masih panas tersebut. "Hisang hoheng. Hasih hanas." Ilona meniru pembicaraan orang-orang ketika makan pisang goreng dalam keadaan panas. Ilana hanya menatap malas ke arah Bundanya.