"Okaa-san tak seharusnya melakukan itu!"
Napas Takumi terengah-engah saat ini. Ia benar-benar marah dengan ibunya yang selalu saja mencampuri urusannya."Aku hanya ingin melihatmu bahagia lagi bersama dengan Sakurai, Takumi. Mengapa kau menganggapku sebagai wanita pengganggu di hidupmu?" ucap ibu Takumi, wajahnya terlihat sedih, namun Takumi yakin semua itu hanya akting saja."Kau harus lihat ini! Agar kau tak menyangka Sakurai adalah wanita yang baik!" Takumi mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan memperlihatkan foto Hashimoto Sakurai bersama dengan pria lain. Mereka sedang bermesraan disana. "Kau lihat, kan?! Kau lihat kelakuan Sakurai selama ini di belakangmu?"Ibunya terlihat sangat terkejut, dia sampai menutup mulutnya sendiri dengan tangan dan kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Takumi."Sekarang kau sudah lihat bagaimana kelakuannya. Dia juga sebelumnya sama seperti itu Okaa-san, saat kita masih menjadi suami istri. Apa kau tidak kasihanIa tidak mengerti, ini takdir atau hanya sebuah kebetulan yang tak di sengaja. Ia berpikir berulang kali agar semua yang sedang dirinya hadapi saat ini hanyalah sebuah halusinasi. Sepasang mata indah itu masih terbayang didalam ingatannya, melihat air mata berjatuhan silih berganti disana. Rasanya menyesakkan dada. Saat itu, hal yang paling ingin ia lakukan adalah menghilang. Entah kemanapun yang terpenting ia ingin menghilang. Adakalanya takdir itu hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Karena dia tak pandang bulu ketika memberikan sesuatu yang tak di inginkan oleh seseorang. Tapi saat ia bertemu dengan seseorang itu lagi. Dengan mata indah yang masih sama persis itu, seseorang itu menatapnya, rasanya keraguan di hatinya hilang. Ia ingin memeluk seseorang itu , ingin bersama selamanya.Hanya itu, permintaannya.Ta
"Oi.. Kau mendengarku?! Masato?!" Takumi menunduk lemas dihadapan atasan tempat ia bekerja. Dia tahu akan berakhir seperti ini, dan ini memang kesalahannya. "Mulai sekarang kau tidak perlu kemari lagi. Sudah cukup kau membuat onar dengan Yuki dan merugikanku. Sekarang pergi dari sini!" Yang bisa Takumi lakukan hanya menunduk pasrah dan membuang nafas dengan kasar. "Sekali lagi maafkan saya, Misaki-san," ucap Takumi sambil membungkuk. Setelah dinyatakan dipecat kemarin, Takumi kembali ingin meminta maaf pada Misaki, siapa tahu pria itu akan memaafkan dan memperkerjakannya lagi. Tapi ia salah, Takumi malah mendapat kenyataan bahwa dia memang sudah tidak diperbolehkan untuk bekerja. Takumi kemudian meninggalkan tempat itu dan kini duduk di lapangan dekat sungai, menatap kosong langit yang masih berwarna biru cerah. Bertentangan
Sudut mata Takumi tak sengaja menangkap sosok yang familiar baginya, seorang gadis dengan seifuku berjalan sendirian melewati trotoar. "Nakamura...-san? Ehh, bukankah ini masih jam sekolahnya?" ujar Takumi sambil melirik jam tangannya. Dengan buru-buru Takumi keluar dari kedai, berniat menghampiri Junko, tapi karena terlalu tergesa-gesa ia jadi tak tahu kemana arah yang dituju gadis itu. Takumi mendesah kesal, "Seharusnya tadi aku berteriak saja untuk memanggilnya," katanya. Ia berniat mencari keberadaan Junko sekarang, tapi atasan Takumi menelponnya untuk segera kembali ke kantor. Jadi ia urungkan niatnya untuk mencari Junko. Takumi juga berpikir bahwa nanti juga ia akan bertemu dengan gadis itu. "Takumi-san, sampai nanti!" tegur salah satu teman yang berada di unit yang sama dengannya. Takumi membalas
Mata Takumi memandang sekeliling ruangan untuk mencari keberadaan Naoto yang sampai saat jam istirahat pun tidak memunculkan batang hidungnya. Kemana perginya lelaki itu? Takumi mendesah untuk kesekian kalinya, ia baru saja bertanya pada salah satu teman tentang Naoto. Ternyata lelaki itu tidak masuk hari ini. Takumi merasakan getaran di saku jas, ia merogoh sakunya dan melihat nama Nakamura Junko sedang menelpon. "Paman, Konnichiwa!" suara Junko yang sudah terdengar ceria lagi membuat Takumi lega. Itu artinya gadis itu sudah baik-baik saja sekarang. "Hmm, konnichiwa. Ada apa Nakamura-san?" tanya Takumi. Jarang sekali gadis itu menelponnya pada siang hari. "Paman besok libur, kan? Bisakah aku mengajakmu ke suatu tempat?" "Suatu tempat?" "Hemm. Bisakah?" nada bicara gadis itu terdengar ragu.
Takumi pikir ada tempat selanjutnya yang akan mereka berdua kunjungi, tapi ternyata hanya Kuil. Ia mendesah berkali-kali mengingat betapa bodohnya mengharapkan dan membayangkan tempat-tempat yang menyenangkan yang akan mereka datangi ketika di Kyoto. Takumi mengacak-acak rambutnya, kesal dengan pemikiran tidak jelasnya itu. "Ehh, benarkah? Jadi berita itu tidak bohong ya."Telinga Takumi tak sengaja mendengar teman kantornya sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius. Tapi ia tak peduli sama sekali, selama itu tak menyangkut dirinya. "Pantas saja dia tidak bisa dihubungi." "Hmm. Tapi keputusan bunuh diri itu benar-benar keputusan yang terlalu berlebihan." "Benar, benar." Tunggu. Bunuh diri? Siapa? "Siapa yang bunuh diri?" Takumi bertany
Junko merasakan kepalanya semakin pusing ketika ia berjalan untuk menaiki tangga, menuju atap sekolah. Ia belum sarapan sama sekali pagi ini. Padahal dirinya sedang sakit. Junko dengan susah payah membawa dirinya ke sebuah kursi yang sering ia gunakan untuk menenangkan diri. Kemudian Ia mengerjapkan matanya beberapa kali supaya rasa sakit di kepalanya sedikit berkurang. "Konnichiwa, Jun-chan!" Seseorang yang tak asing mendekati Junko, menyapanya, kemudian ikut duduk di sebelahnya. "Kau kenapa, wajahmu kelihatan pucat. Kau sakit?" Junko sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari kakak kelasnya itu, ia malah menghela napas ringan. Kenapa Kanna selalu saja muncul saat dirinya benar-benar ingin sendiri. Jika bukan karena ia malas berada di rumah, Junko sama sekali tidak akan berangkat ke sekolah dengan keadaannya sekarang. Telapak tangan Kanna di tempelkan ke dahi Junko, lalu bertanya, "Kau sakit. Kita ke UKS ya?" Junko menggeleng
"Kau yakin ingin pulang sendirian, Junko-chan?" Kanna bertanya untuk yang ketiga kalinya pada Junko, apakah Junko yakin pulang sendirian dengan keadaan yang terlihat agak mengkhawatirkan."Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, Kanna-san tidak perlu cemas." Junko meyakinkanKanna bahwa ia bisa pulang sendiri tanpa di antar. Apalagi jarak stasiun dengan sekolah tak terlalu jauh, jadi ia akan baik-baik saja."Tapi kau kelihatan masih lemas, nanti jika pingsan di jalan, bagaimana?" Kanna masih berusaha membujuk, agar Junko mau menerima tawaran untuk di antar saja oleh dirinya."Tenang saja." Junko menepuk pundak Kanna dan tersenyum tipis.Kanna membuang nafas dan akhirnya menyerah. Junko memang lebih keras kepala, Kanna akui. "Baiklah, hati-hati," katanya ketus.Junko menanggapi kelakuan kakak kelasnya itu dengan tertawa kecil.Hari ini Junko tidak berniat langsung pulang kerumah. Ia memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia be
Kemarin adalah hari yang paling membahagiakan bagi Takumi. Saling mengungkapkan isi hati dan perasaan satu sama lain adalah hal tersulit bagi semua orang, termasuk dirinya. Meskipun Takumi dan Junko tahu, bahwa kebahagian itu pasti akan ada rintangannya. Tapi mereka berdua percaya, setiap masalah pasti akan ada solusi. Bahkan jika sesuatu yang mungkin akan membuat salah satu dari mereka terluka. Takumi siap dengan resiko itu.Takumi sekerang sedang mengumpulkan beberapa informasi yang ia dapat dari Junko. Gadis itu mengatakan padanya, bahwa semenjak Junko kecil tidak pernah sekalipun bertemu dengan ayahnya dan sampai sekarang Junko tak tahu siapa nama ayahnya dan dimana pria itu berada sekarang. Kalaupun Junko bertanya pada ibunya, Mayumi selalu mengalihkan pembicaraan atau tidak menjawab sama sekali.Takumi menopang dagu. Menggigit bibir bawahnya, kemudian tiba-tiba ia teringat suatu hal. Ia pernah satu kali memergoki Mayumi bersama dengan seorang pria saat m
"Okaa-san tak seharusnya melakukan itu!"Napas Takumi terengah-engah saat ini. Ia benar-benar marah dengan ibunya yang selalu saja mencampuri urusannya."Aku hanya ingin melihatmu bahagia lagi bersama dengan Sakurai, Takumi. Mengapa kau menganggapku sebagai wanita pengganggu di hidupmu?" ucap ibu Takumi, wajahnya terlihat sedih, namun Takumi yakin semua itu hanya akting saja."Kau harus lihat ini! Agar kau tak menyangka Sakurai adalah wanita yang baik!" Takumi mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan memperlihatkan foto Hashimoto Sakurai bersama dengan pria lain. Mereka sedang bermesraan disana. "Kau lihat, kan?! Kau lihat kelakuan Sakurai selama ini di belakangmu?"Ibunya terlihat sangat terkejut, dia sampai menutup mulutnya sendiri dengan tangan dan kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Takumi."Sekarang kau sudah lihat bagaimana kelakuannya. Dia juga sebelumnya sama seperti itu Okaa-san, saat kita masih menjadi suami istri. Apa kau tidak kasihan
Junko, Kanna dan juga Ryota sedang makan di kedai ramen dekat sekolah.Mereka mengobrol santai seperti biasa, sampai Kanna membahas masalah itu kembali kepasa keduanya."Aku akan menginap lagi malam ini di rumah Jun-chan. Bagaimana denganmu Ryo-kun?" tanya Kanna pada Ryota yang tengah menyeruput mie-nya."Maafkan aku, tapi malam ini aku ada latihan sampai malam. Jadi aku tak bisa ikut," kata Ryota."Baiklah kalau begitu," ujar Kanna."Nanti hubungi sana aku jika kalian membutuhkan sesuatu. Aku pasti akan datang," kata Ryota sambil mengulas senyumannya.Kanna mengangguk dan kembali melakukan kegiatannya memakan ramen yang masih panas itu."Ngomong-ngomong terima kasih atas traktirannya!" ucap Kanna.Ryota mengangguk sambil tersenyum.Selesai makan mereka kembali ke sekolah untuk mengambil tas mereka masing-masing. Tapi berbeda dengan Ryota, dia akan ada latihan sampai malam jadi tidak bisa pulang.Junko dan Kanna pulang ke rumah Junko. Mereka b
Junko memandang kosong jauh ke depan. Entah apa yang sedang ia lihat, karena hanya bayangan putih dari salju yang menyelimuti gedung-gedung dibawah sana.Sesekali Junko menghela napas dengan mulutnya, siapa tahu beban di pikirannya perlahan menghilang, seperti asap yang ditimbulkan dari ia menghela napas.Perlahan tangan Junko bergerak ke arah lehernya yang terbungkus syal tebal, kemudian ia menghela napas lagi dan mulai menangis dalam diam.Junko tak menangisi dirinya yang selalu ditimpa kemalangan, tapi ia menangis untuk orang-orang yang ada disekitarnya karena mereka juga ikut terkena masalah karena berbuat baik kepadanya.Tak masalah jika hanya ia yang terluka, tapi jika orang-orang disekitarnya yang terluka, Junko tak tahu harus bagaimana lagi.Ia takut, takut jika harus kehilangan mereka lagi. "Jun-chan?" Suara Kanna dari belakang menginterupsinya.Junko berbalik dan menatap Kanna sambil tersenyum tipis, menyapanya."Disini sangat dingin, kenap
"Jadi, hal apa yang ingin kau bicarakan?" Akihiko Ryota memulai percakapannya dengan sebuah pertanyaan.Sebelum menjawab, kedua tangan Takumi di masukkan ke dalam saku celananya. Ia menatap Ryota lekat sampai anak laki-laki itu mengerutkan keningnya. "Kenapa kau ada di rumah Junko selarut ini?" tanya Takumi."Hm?" Ryota juga membawa tangannya untuk di masukkan ke kantung celananya. "Yah, aku, Kanna-san dan juga Nakamura-san sedang ada tugas sekolah. Jadi kami mengerjakannya bersama. Di rumah Nakamura-san," sambungnya."Sampai selarut ini?" tanya Takumi lagi. Ia tak percaya dengan omongan anak laki-laki ini."Iya, memangnya kenapa? Kau saja kemari selarut ini, apa tujuanmu ke rumah Nakamura-san?" tanya Ryota, dia membalikkan pertanyaannya kepada Takumi.Takumi mendengus mendengar pertanyaan itu dari Ryota. "Kau melihatnya sendiri kan? Aku membawakan Junko makanan untuknya," jawabnya."Tumben sekali." Celetukan Ryota membuat Takumi memandangnya tajam."Dan
"Rubah? Anak anjing? Apa maksudnya ini?" kata Kanna yang baru saja diberi tahu oleh Junko tentang kertas itu."Dari mana kau mendapatkannya Nakamura-san?" Kali ini Ryota yang bertanya kepada Junko."Aku mendapatkannya tadi malam. Ada seseorang yang melempar batu ke rumahku sampai kaca rumahku pecah. Dan ada kertas itu yang di selotip disana," kata Junko menjelaskan semuanya, bagaimana ia bisa mendapatkan kertas itu."APA?!!" Kanna sangat terkejut mendengar perkataan Junko."Kenapa?" tanya Junko yang ikut terkejut karena seruan Kanna tadi."Ada seseorang yang menerormu?" tanya Kanna. Wajahnya sengaja di dekatkan ke arah Junko, entah apa maksudnya.Junko menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi itu agak membuatku takut Kanna-san.""Kita harus mencari tahu siapa pelakunya!" seru Kanna. "Jika kau hanya diam saja diperlakukan seperti itu, maka dia akan terus memberimu teror Jun-chan." Kanna berdiri dari duduknya dan menunjuk Junko dengan serius."Itu benar N
Memikirkan itu membuat kepalanya sakit, lebih baik ia menghubungi Nakamura Junko agar perasaannya jadi membaik. "Oh, hai, moshimoshi?" ucap Takumi ketika teleponnya diangkat oleh gadis itu. "Selamat malam Takumi-san. Ada apa kau menelpon?" sahut Nakamura Junko di seberang sana. Takumi berdeham. "Yah, aku hanya ingin menelponmu dan mengetahui kabarmu," katanya. Sungguh Takumi malu sekali saat mengatakan itu, meskipun ia sekarang menjalin sebuah hubungan spesial dengan gadis itu. "Aku baik-baik saja Takumi-san dan bagaimana denganmu?" Gadis itu balik bertanya. "Aku?... Hmmm... aku juga baik-baik saja kok," sahut Takumi, senyumannya mengembang kala gadis itu juga mengkhawatirkannya. "Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah mereka masih membicarakan mu?" "Aku sudah baik-baik saja Takumi-san," tambahnya. "Ah, syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya," kata Takumi. Ia ingin memberitahu gadis itu siapa pelakunya, tapi ia merasa kalau Junko akan khawatir te
Akihiko Ryota duduk dihadapan Junko dan Kanna, memakai jaket abu-abu tebal membuat tubuh lelaki itu menjadi terlihat gemuk dan lucu."Hmm.. bolehkan aku bertanya soal kelanjutan masalahmu Nakamura-san?" tanya Ryota dengan hati-hati.Junko mengangguk. "Ini sudah mulai membaik Akihiko-san. Aku sudah tidak terlalu memikirkan perkataan mereka," jawabnya. "Kau tidak perlu khawatir tentang itu.""Yah syukurlah aku lega mendengarnya. Mereka hanya menyimpulkan omong kosong yang belum tentu faktanya. Menghakimimu seperti kau seorang penjahat, hah manusia memang seperti itu," ujar Ryota diakhir kalimat dia menghela nafasnya."Iya, mereka jahat seperti biasanya jika menyangkut permasalahn orang lain. Tanpa mengetahui fakta sebenarnya terlebih dahulu, mereka seenaknya menghakimi orang lain dengan sangat kejam," Kanna ikut berkomentar tentang masalah Junko.Junko merasa hatinya sangat penuh sekarang. Memiliki orang-orang baik seperti mereka berdua membuatnya sa
Takumi membuang nafasnya perlahan saat ia melihat Hashimoto Sakurai sedang berada di teras rumahnya. Tapi yang membuat Takumi mendesah adalah Sakurai, wanita itu sedang bersama seorang pria dan mereka seperti sangat akrab, serta... mesra?Sakurai tidak mungkin bisa melihat keberadaan Takumi, tapi Takumi bisa dengan jelas melihat wanita itu. Sungguh menjijikan, dia berkata kepada ibunya bahwa wanita itu hanya mencintai Takumi tapi sebenarnya dia hanya ingin memiliki harta keluarga Takumi."Dari dulu sampai sekarang, wanita itu tidak pernah berubah sedikit pun. Dan jika dibandingkan dengan Mayumi, dia lebih berhati iblis," ucap Takumi dengan suara pelan.Tak ada lagi yang harus di bicarakan, semuanya sudah jelas bukan. Hashimoto Sakurai adalah wanira rubah yang menginginkan segalanya dan untuk ke untungannya sendiri. Setelah Takumi mengambil foto Sakurai bersama pria lain itu, ia langsung pergi untuk kembali ke toko buku milik Tosaka.***Jika diband
"Aku harus pergi," ujar Junko kepada Kanna dan Ryota."Baiklah kalau begitu hati-hati ya. Dan jangan terlalu memikirkan masalah ini nanti kau sakit," sahut Kanna sambil menepuk pundak Junko.Junko tersenyum lembut dan mengusap tangan Kanna yang masih bertengger di pundaknya. "Aku akan selalu ingat pesanmu Kanna-san. Baiklah aku harus pergi!"Setelah melambaikan tangan, Junko menghilang dibalik pintu, ia kemudian menuruni tangga dan dengan cepat menuju kearah gerbang untuk menemui seseorang. Ia sudah tidak peduli dengan omongan orang-orang di sekolah ini, mereka hanya bisa menghakimi seseorang tanpa melihat terlebih dahulu fakta yang ada."Takumi-san?" Junko berseru kearah Takumi saat pria itu menengok kesana kemari, mungkin sedang mencari dirinya."Ah Junko!" seru pria itu, dia terlihat senang saat mengetahui Junko ada dihadapannya.Junko menghampiri Takumi. "Takumi-san mari bicara ditempat lain. Disini terlalu ramai," ujarnya memberi alasan