Sudut mata Takumi tak sengaja menangkap sosok yang familiar baginya, seorang gadis dengan seifuku berjalan sendirian melewati trotoar.
"Nakamura...-san? Ehh, bukankah ini masih jam sekolahnya?" ujar Takumi sambil melirik jam tangannya.
Dengan buru-buru Takumi keluar dari kedai, berniat menghampiri Junko, tapi karena terlalu tergesa-gesa ia jadi tak tahu kemana arah yang dituju gadis itu.
Takumi mendesah kesal, "Seharusnya tadi aku berteriak saja untuk memanggilnya," katanya.
Ia berniat mencari keberadaan Junko sekarang, tapi atasan Takumi menelponnya untuk segera kembali ke kantor. Jadi ia urungkan niatnya untuk mencari Junko. Takumi juga berpikir bahwa nanti juga ia akan bertemu dengan gadis itu.
"Takumi-san, sampai nanti!" tegur salah satu teman yang berada di unit yang sama dengannya.
Takumi membalas hanya dengan senyuman simpul. Ia melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 3 sore. Takumi sudah membuat janji dengan Junko sore ini untuk bertemu. Tapi masalahnya sekarang adalah, dimana tempat mereka akan bertemu?
Junko juga belum menghubunginya sama sekali. Takumi ingin menghubungi gadis itu, tapi ia enggan karena berbagai hal. Misalnya, mungkun nanti ia akan mengganggu gadis itu ketika dia sedang sibuk.
Karena sudah menunggu cukup lama, sekitar 15 menit, Takumi akhirnya memutuskan untuk pulang saja. Mungkin Junko ada urusan mendadak jadi dia tak bisa bertemu dengannya.
Ya, mungkin itu alasannya.
___
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, ketika Takumi sedang bersantai setelah menyelesaikan pekerjaannya menginput seluruh data dari perusahaan tempatnya bekerja. Tiba-tiba saja ponsel Takumi bergetar, menandakan ada pesan yang masuk.
Nama Nakamura Junko berada di urutan paling atas dipemberitahuan ponselnya. "Nakamura-san?"
Takumi heran, jarang sekali gadis itu mengiriminya pesan. Biasanya Junko akan selalu menelpon ketika membutuhkan sesuatu.
Takumi memencet notifikasi pesan dari Junko. Disana tertulis, -Paman. Aku ada diluar. Didepan rumahmu.-
Setelah membaca itu, Takumi terlonjak kaget. Junko berada di luar rumahnya?
Hal pertama yang Takumi pikirkan adalah, dari mana gadis itu mendapatkan alamat rumahnya?
Junko benar-benar seperti stalker. Tahu segala sesuatu tentang dirinya. Tapi yang membuat Takumi tambah bingung adalah, kenapa gadis itu sendirian di luar sana di cuaca yang dingin begini?
Takumi membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa, kemudian melihat kebawah untuk memastikan bahwa gadis itu memang berada disana. Dan benar saja, Junko sedang berdiri mematung sambil menatap tepat kearah rumahnya. Lampu taman yang redup memberikan cahayanya pada Junko, agar memberitahu Takumi bahwa dia berada disana.
Tanpa menunggu lama, Takumi berlari masuk kedalam rumahnya lagi. Ia ke kamarnya mengambil sebhah mantel, lalu bergegas untuk menghampiri Junko.
Apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan berada di luar ruangan dengan hanya memakai seifuku -baju seragam- di cuaca yang dingin ini.
Setelah berada tepat di depan Junko, Takumi dengan cepat memasangkan mantelnya kepada gadis itu.
"Apa yang kau pikirkan, berada di luar di cuaca yang dingin? Kau ingin sakit?" tanya Takumi, nafasnya masih terengah-engah setelah berlari menuruni tanga dari atas ke bawah.
Bukan jawaban yang Takumi dapat tapi malah justru gelak tawa dari Junko yang terdengar di telinganya.
Takumi terdiam sejenak, menetralkan nafasnya, lalu kemudian ia bertanya lagi dengan nada serius, "Mengapa kau berada diluar?"
Junko tak kunjung menjawab, dia malah menghampiri ayunan yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Nakamura-san, kau mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku. Hey!"
Setelah duduk di ayunan itu, Junko melambai-lambaikan tangan, menyuruh Takumi untuk menghampiri dirinya. Gadis itu menunjuk ayunan disebelah kepada Takumi.
Ia mengikuti arahan Junko, duduk disebelah gadis itu yang entah mengapa hari ini terasa berbeda.
"Hari ini meski dingin tapi bintang di langit tidak menunjukkan bahwa mereka akan menghilang dibalik awan," gumam Junko dengan suara pelan, "Paman, bisakah aku bercerita sesuatu?"
Junko tidak seperti biasanya, gadis yang selalu ceria. Malam dia terlihat murung.
Takumi mengiyakan dengan anggukan.
Junko menengadahkan wajahnya ke atas, sebelum akhirnya mulai bercerita.
"Aku hanya bertanya tentang dimana ayahku berada, tapi ibuku menamparku dengan keras. Apakah itu sebuah kesalahan?" Junko menggerakkan kakinya gelisah, "Paman beritahu aku, apakah ingin mengetahui siapa ayahnya sendiri adalah sebuah kesalahan?" gadis itu kembali bertanya.
"Sedari kecil aku tidak tahu siapa ayahku. Bahkan saat aku bertanya siapa namanya, ibu selalu diam dan menghindar dariku. Aku hanya ingin tahu siapa ayahku, itu saja. Dan sekarang saat aku sudah cukup mengerti untuk tahu dimana ayah, ibu malah memarahiku dan menamparku dengan keras. Dia juga mulai berubah sejak menemukan pria yang dia sukai. Aku sering dimarahi dan kadang dipukul. Rasanya seperti di neraka jika tinggal di rumah," Junko menarik nafas sebelum melanjutkan ceritanya, "Padahal dulu ibu sangat menyanyangiku, bahkan ketika aku terjatuh karena bermain ibu selalu jadi orang pertama yang panik jika aku terluka. Tapi sekarang, dia seperti orang asing yang tinggal bersamaku."
Gadis itu meneteskan air mata yang sedari tadi dia tahan. Menangis tanpa suara. Tapi masih bisa terdengar isakan lembutnya oleh Takumi.
Takumi bangkit dari duduknya, menghampiri gadis itu, kemudian meraih kepalanya untuk di sandarkan ke tubuh Takumi.
Setelah perlakuan tersebut, Junko sudah tidak enggan lagi melepaskan tangisannya. Sambil memeluk gadis itu, Takumi teringat pembicaraannya dengan Naoto siang tadi. Ia tak akan membiarkan Naoto bercerai bagaimanapun caranya. Karena yang menjadi korban dari perceraian bukanlah Naoto ataupun istrinya, tapi anak mereka yang bahkan belum mengerti apapun tentang dunia ini. Ya, dia tak akan membiarkan si bodoh Naoto itu bercerai.
Takumi tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Kalau saja rasa sakit bisa di berikan kepada orang lain, ia siap menanggung rasa sakit yang sekarang Junko rasakan.
Setelah cukup lama menangis dipelukan Takumi. Ia melihat Junko sedang menyeka air matanya yang mulai mengering karena terlalu lama menangis tadi. Gadis itu sudah melepaskan rasa sakitnya dengan menangis sekitar cukup lama di pelukan Takumi.
"Sudah merasa baikan?" Takumi memberikan sekaleng minuman hangat kepada Junko, "Maaf aku meninggalkanmu. Aku membeli ini," katanya.
Junko hanya tersenyum tipis ketika menerima kaleng itu.
Takumi kembali duduk di ayunan, membuka kaleng minuman kemudian menyesapnya. "Sudah merasa baikan, Nakamura-san?" tanya Takumi lagi.
Kali ini Junko menjawab, "Hmm. Rasanya sedikit lega mengeluarkan semuanya dengan menangis. Arigatou, Masato-san."
Takumi tersenyum simpul, ia juga merasa lega mendengar jawaban Junko.
Tak lama kemudian, Junko bangkit dari duduknya dan berkata, "Paman, aku akan pulang sekarang. Ini!" Dia melepaskan mantel Takumi dan menyodorkan kepadanya.
Takumi juga dengan sigap bangkit dari duduknya. "Aku akan mengantarmu," katanya. Ia menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang, tapi Junko menolak dengan halus.
"Aku akan pulang sendirian, " katanya.
"Aku akan tetap mengantarmu, ini sudah malam kau tahu. Setidaknya aku mengantarmu sampai di stasiun. Bukankah kereta terakhir akan datang jam 9. Ayo, nanti kau akan ketinggalan," ajak Takumi sambil memasangkan kembali mantelnya kepada gadis itu.
Junko mengikuti langkah Takumi dari belakang. Takumi tak sedikitpun menyadari sebuah senyuman lebar dari gadis berumur 17 tahun itu yang mengarah padanya.
"Nah, hati-hatilah dijalan," ujar Takumi setelah mereka sampai di dalam stasiun.
Junko kembali akan melepaskan mantel Takumi, tapi kali ini di cegah, "Pakai saja, kau bisa kembalikan kapanpun."
"Baiklah paman," Junko mengalihkan pandangannya dari Takumi, kemudian gadis itu berseru, "Oh... ahh! kereta terakhirnya datang. Kalau begitu aku pergi dulu, matta ashita!"
Junko berlari kecil kearah kereta yang sudah berhenti didepan mereka. Gadis berambut panjang itu memasuki salah satu gerbong dan duduk tepat di dekat jendela yang menghadap Takumi. Gadis itu melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Takumi juga membalasnya dengan tersenyum.
Benar-benar gadis yang aneh...
Mata Takumi memandang sekeliling ruangan untuk mencari keberadaan Naoto yang sampai saat jam istirahat pun tidak memunculkan batang hidungnya. Kemana perginya lelaki itu? Takumi mendesah untuk kesekian kalinya, ia baru saja bertanya pada salah satu teman tentang Naoto. Ternyata lelaki itu tidak masuk hari ini. Takumi merasakan getaran di saku jas, ia merogoh sakunya dan melihat nama Nakamura Junko sedang menelpon. "Paman, Konnichiwa!" suara Junko yang sudah terdengar ceria lagi membuat Takumi lega. Itu artinya gadis itu sudah baik-baik saja sekarang. "Hmm, konnichiwa. Ada apa Nakamura-san?" tanya Takumi. Jarang sekali gadis itu menelponnya pada siang hari. "Paman besok libur, kan? Bisakah aku mengajakmu ke suatu tempat?" "Suatu tempat?" "Hemm. Bisakah?" nada bicara gadis itu terdengar ragu.
Takumi pikir ada tempat selanjutnya yang akan mereka berdua kunjungi, tapi ternyata hanya Kuil. Ia mendesah berkali-kali mengingat betapa bodohnya mengharapkan dan membayangkan tempat-tempat yang menyenangkan yang akan mereka datangi ketika di Kyoto. Takumi mengacak-acak rambutnya, kesal dengan pemikiran tidak jelasnya itu. "Ehh, benarkah? Jadi berita itu tidak bohong ya."Telinga Takumi tak sengaja mendengar teman kantornya sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius. Tapi ia tak peduli sama sekali, selama itu tak menyangkut dirinya. "Pantas saja dia tidak bisa dihubungi." "Hmm. Tapi keputusan bunuh diri itu benar-benar keputusan yang terlalu berlebihan." "Benar, benar." Tunggu. Bunuh diri? Siapa? "Siapa yang bunuh diri?" Takumi bertany
Junko merasakan kepalanya semakin pusing ketika ia berjalan untuk menaiki tangga, menuju atap sekolah. Ia belum sarapan sama sekali pagi ini. Padahal dirinya sedang sakit. Junko dengan susah payah membawa dirinya ke sebuah kursi yang sering ia gunakan untuk menenangkan diri. Kemudian Ia mengerjapkan matanya beberapa kali supaya rasa sakit di kepalanya sedikit berkurang. "Konnichiwa, Jun-chan!" Seseorang yang tak asing mendekati Junko, menyapanya, kemudian ikut duduk di sebelahnya. "Kau kenapa, wajahmu kelihatan pucat. Kau sakit?" Junko sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari kakak kelasnya itu, ia malah menghela napas ringan. Kenapa Kanna selalu saja muncul saat dirinya benar-benar ingin sendiri. Jika bukan karena ia malas berada di rumah, Junko sama sekali tidak akan berangkat ke sekolah dengan keadaannya sekarang. Telapak tangan Kanna di tempelkan ke dahi Junko, lalu bertanya, "Kau sakit. Kita ke UKS ya?" Junko menggeleng
"Kau yakin ingin pulang sendirian, Junko-chan?" Kanna bertanya untuk yang ketiga kalinya pada Junko, apakah Junko yakin pulang sendirian dengan keadaan yang terlihat agak mengkhawatirkan."Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, Kanna-san tidak perlu cemas." Junko meyakinkanKanna bahwa ia bisa pulang sendiri tanpa di antar. Apalagi jarak stasiun dengan sekolah tak terlalu jauh, jadi ia akan baik-baik saja."Tapi kau kelihatan masih lemas, nanti jika pingsan di jalan, bagaimana?" Kanna masih berusaha membujuk, agar Junko mau menerima tawaran untuk di antar saja oleh dirinya."Tenang saja." Junko menepuk pundak Kanna dan tersenyum tipis.Kanna membuang nafas dan akhirnya menyerah. Junko memang lebih keras kepala, Kanna akui. "Baiklah, hati-hati," katanya ketus.Junko menanggapi kelakuan kakak kelasnya itu dengan tertawa kecil.Hari ini Junko tidak berniat langsung pulang kerumah. Ia memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia be
Kemarin adalah hari yang paling membahagiakan bagi Takumi. Saling mengungkapkan isi hati dan perasaan satu sama lain adalah hal tersulit bagi semua orang, termasuk dirinya. Meskipun Takumi dan Junko tahu, bahwa kebahagian itu pasti akan ada rintangannya. Tapi mereka berdua percaya, setiap masalah pasti akan ada solusi. Bahkan jika sesuatu yang mungkin akan membuat salah satu dari mereka terluka. Takumi siap dengan resiko itu.Takumi sekerang sedang mengumpulkan beberapa informasi yang ia dapat dari Junko. Gadis itu mengatakan padanya, bahwa semenjak Junko kecil tidak pernah sekalipun bertemu dengan ayahnya dan sampai sekarang Junko tak tahu siapa nama ayahnya dan dimana pria itu berada sekarang. Kalaupun Junko bertanya pada ibunya, Mayumi selalu mengalihkan pembicaraan atau tidak menjawab sama sekali.Takumi menopang dagu. Menggigit bibir bawahnya, kemudian tiba-tiba ia teringat suatu hal. Ia pernah satu kali memergoki Mayumi bersama dengan seorang pria saat m
Junko tak bisa menahan rasa bahagianya ketika mendapat pesan singkat dari Takumi. Pria itu mengajaknya untuk pergi ke Festival Hanabi. Festival yang di adakan setahun sekali setiap musim panas. Jarak tempat untuk menyaksikan kembang api pun sepertinya tidak terlalu jauh dari rumahnya.Junko belum pernah sekalipun pergi ke Festival semacam itu sejak kecil, karena ia selalu di kurung di rumah dan tidak di ijinkan untuk keluar oleh ibunya.Untuk pertama kali dalam hidupnya Junko mendapat tawaran untuk melihat kumpulan kembang api yang meledak-ledak di langit itu dari seseorang yang spesial.Takumi mengatakan akan menjemputnya jam 8 malam nanti. Betapa senangnya Junko hari ini dan sampai ia hampir meneteskan air mata.Junko menepuk-nepuk pipinya. "Yosh!! Mungkin ini adalah kesempatan bagus untuk aku bisa lebih dekat dengannya." Kepercayaan diri Junko semakin bertambah sekarang. Semoga saja malam ini akan menjadi malam panjang yang membahagiakan.
"Junko?"Meski jarak mereka berjauhan, Junko masih bisa membaca gerak bibir Takumi yang mengucapkan namanya. Junko masih mematung disana, melihat pria yang ia sukai bersama ibunya. Mungkin lebih baik ia pulang dan melupakan segalanya malam ini. Iya, itu adalah pilihan terbaik untuknya.Dengan enggan Junko memutar tubuhnya, menghembuskan napasnya sebentar lalu mulai menggerakkan kakinya. Malam ini dan seterusnya, Junko tak akan lagi berharap pada apapun dan siapapun. Karena percuma saja, kepercayaannya selalu di runtuhkan oleh takdir. Yang Junko rasakan saat ini adalah rasa kecewa yang dalam, bukan terhadap Takumi tetapi terhadap dirinya sendiri.Baru beberapa langkah Junko bergerak dari tempatnya tadi, tiba-tiba pergelangan tangannya digenggam oleh seseorang. Seseorang itu menarik tubuh kecilnya sampai Junko hampir terjatuh. Dia kemudian menempatkan dirinya berdiri di depan Junko. Napas orang itu memburu, mungkin dia tadi berlari mengejarnya."Junko! Tunggu!" Sa
"Jun-chan, Ohayou!" Kanna muncul dari balik pintu dan menyapa Junko dengan ceria, seperti biasa."Oh, Kanna-san," Junko menoleh kearah kakak kelasnya itu, "Ohayou."Mata Kanna menyipit sambil berjalan kearah Junko, kemudian dia mendekatkan wajahnya ke wajah Junko. Dia menilik-nilik dengan alis terangkat lalu mengernyit heran."Ada...apa, Kanna-san?" Junko menjadi gugup karena di perlakukan seperti itu.Setelah beberapa saat menatap, Kanna akhirnya menjauhkan wajahnya, dia melipat tangannya di dada dan berkata , "Kau terlihat lebih ceria hari ini."Junko kebingungan, ia tidak mengerti apa yang coba Kanna bicarakan. "Apa maksudmu? Aku tidak paham.""Wajahmu terlihat lebih cantik jika kau tidak murung. Lihat!" Kanna mengarahkan sebuah kaca ke wajah Junko, "Tetaplah seperti ini agar kau terlihat lebih dan lebih cantik lagi Jun-chan."Junko mengulas senyuman tipis. Dia berpikir, apakah ia boleh merasa seperti ini. Merasakan kebahagiaan seperti orang lain.
"Okaa-san tak seharusnya melakukan itu!"Napas Takumi terengah-engah saat ini. Ia benar-benar marah dengan ibunya yang selalu saja mencampuri urusannya."Aku hanya ingin melihatmu bahagia lagi bersama dengan Sakurai, Takumi. Mengapa kau menganggapku sebagai wanita pengganggu di hidupmu?" ucap ibu Takumi, wajahnya terlihat sedih, namun Takumi yakin semua itu hanya akting saja."Kau harus lihat ini! Agar kau tak menyangka Sakurai adalah wanita yang baik!" Takumi mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan memperlihatkan foto Hashimoto Sakurai bersama dengan pria lain. Mereka sedang bermesraan disana. "Kau lihat, kan?! Kau lihat kelakuan Sakurai selama ini di belakangmu?"Ibunya terlihat sangat terkejut, dia sampai menutup mulutnya sendiri dengan tangan dan kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Takumi."Sekarang kau sudah lihat bagaimana kelakuannya. Dia juga sebelumnya sama seperti itu Okaa-san, saat kita masih menjadi suami istri. Apa kau tidak kasihan
Junko, Kanna dan juga Ryota sedang makan di kedai ramen dekat sekolah.Mereka mengobrol santai seperti biasa, sampai Kanna membahas masalah itu kembali kepasa keduanya."Aku akan menginap lagi malam ini di rumah Jun-chan. Bagaimana denganmu Ryo-kun?" tanya Kanna pada Ryota yang tengah menyeruput mie-nya."Maafkan aku, tapi malam ini aku ada latihan sampai malam. Jadi aku tak bisa ikut," kata Ryota."Baiklah kalau begitu," ujar Kanna."Nanti hubungi sana aku jika kalian membutuhkan sesuatu. Aku pasti akan datang," kata Ryota sambil mengulas senyumannya.Kanna mengangguk dan kembali melakukan kegiatannya memakan ramen yang masih panas itu."Ngomong-ngomong terima kasih atas traktirannya!" ucap Kanna.Ryota mengangguk sambil tersenyum.Selesai makan mereka kembali ke sekolah untuk mengambil tas mereka masing-masing. Tapi berbeda dengan Ryota, dia akan ada latihan sampai malam jadi tidak bisa pulang.Junko dan Kanna pulang ke rumah Junko. Mereka b
Junko memandang kosong jauh ke depan. Entah apa yang sedang ia lihat, karena hanya bayangan putih dari salju yang menyelimuti gedung-gedung dibawah sana.Sesekali Junko menghela napas dengan mulutnya, siapa tahu beban di pikirannya perlahan menghilang, seperti asap yang ditimbulkan dari ia menghela napas.Perlahan tangan Junko bergerak ke arah lehernya yang terbungkus syal tebal, kemudian ia menghela napas lagi dan mulai menangis dalam diam.Junko tak menangisi dirinya yang selalu ditimpa kemalangan, tapi ia menangis untuk orang-orang yang ada disekitarnya karena mereka juga ikut terkena masalah karena berbuat baik kepadanya.Tak masalah jika hanya ia yang terluka, tapi jika orang-orang disekitarnya yang terluka, Junko tak tahu harus bagaimana lagi.Ia takut, takut jika harus kehilangan mereka lagi. "Jun-chan?" Suara Kanna dari belakang menginterupsinya.Junko berbalik dan menatap Kanna sambil tersenyum tipis, menyapanya."Disini sangat dingin, kenap
"Jadi, hal apa yang ingin kau bicarakan?" Akihiko Ryota memulai percakapannya dengan sebuah pertanyaan.Sebelum menjawab, kedua tangan Takumi di masukkan ke dalam saku celananya. Ia menatap Ryota lekat sampai anak laki-laki itu mengerutkan keningnya. "Kenapa kau ada di rumah Junko selarut ini?" tanya Takumi."Hm?" Ryota juga membawa tangannya untuk di masukkan ke kantung celananya. "Yah, aku, Kanna-san dan juga Nakamura-san sedang ada tugas sekolah. Jadi kami mengerjakannya bersama. Di rumah Nakamura-san," sambungnya."Sampai selarut ini?" tanya Takumi lagi. Ia tak percaya dengan omongan anak laki-laki ini."Iya, memangnya kenapa? Kau saja kemari selarut ini, apa tujuanmu ke rumah Nakamura-san?" tanya Ryota, dia membalikkan pertanyaannya kepada Takumi.Takumi mendengus mendengar pertanyaan itu dari Ryota. "Kau melihatnya sendiri kan? Aku membawakan Junko makanan untuknya," jawabnya."Tumben sekali." Celetukan Ryota membuat Takumi memandangnya tajam."Dan
"Rubah? Anak anjing? Apa maksudnya ini?" kata Kanna yang baru saja diberi tahu oleh Junko tentang kertas itu."Dari mana kau mendapatkannya Nakamura-san?" Kali ini Ryota yang bertanya kepada Junko."Aku mendapatkannya tadi malam. Ada seseorang yang melempar batu ke rumahku sampai kaca rumahku pecah. Dan ada kertas itu yang di selotip disana," kata Junko menjelaskan semuanya, bagaimana ia bisa mendapatkan kertas itu."APA?!!" Kanna sangat terkejut mendengar perkataan Junko."Kenapa?" tanya Junko yang ikut terkejut karena seruan Kanna tadi."Ada seseorang yang menerormu?" tanya Kanna. Wajahnya sengaja di dekatkan ke arah Junko, entah apa maksudnya.Junko menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi itu agak membuatku takut Kanna-san.""Kita harus mencari tahu siapa pelakunya!" seru Kanna. "Jika kau hanya diam saja diperlakukan seperti itu, maka dia akan terus memberimu teror Jun-chan." Kanna berdiri dari duduknya dan menunjuk Junko dengan serius."Itu benar N
Memikirkan itu membuat kepalanya sakit, lebih baik ia menghubungi Nakamura Junko agar perasaannya jadi membaik. "Oh, hai, moshimoshi?" ucap Takumi ketika teleponnya diangkat oleh gadis itu. "Selamat malam Takumi-san. Ada apa kau menelpon?" sahut Nakamura Junko di seberang sana. Takumi berdeham. "Yah, aku hanya ingin menelponmu dan mengetahui kabarmu," katanya. Sungguh Takumi malu sekali saat mengatakan itu, meskipun ia sekarang menjalin sebuah hubungan spesial dengan gadis itu. "Aku baik-baik saja Takumi-san dan bagaimana denganmu?" Gadis itu balik bertanya. "Aku?... Hmmm... aku juga baik-baik saja kok," sahut Takumi, senyumannya mengembang kala gadis itu juga mengkhawatirkannya. "Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah mereka masih membicarakan mu?" "Aku sudah baik-baik saja Takumi-san," tambahnya. "Ah, syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya," kata Takumi. Ia ingin memberitahu gadis itu siapa pelakunya, tapi ia merasa kalau Junko akan khawatir te
Akihiko Ryota duduk dihadapan Junko dan Kanna, memakai jaket abu-abu tebal membuat tubuh lelaki itu menjadi terlihat gemuk dan lucu."Hmm.. bolehkan aku bertanya soal kelanjutan masalahmu Nakamura-san?" tanya Ryota dengan hati-hati.Junko mengangguk. "Ini sudah mulai membaik Akihiko-san. Aku sudah tidak terlalu memikirkan perkataan mereka," jawabnya. "Kau tidak perlu khawatir tentang itu.""Yah syukurlah aku lega mendengarnya. Mereka hanya menyimpulkan omong kosong yang belum tentu faktanya. Menghakimimu seperti kau seorang penjahat, hah manusia memang seperti itu," ujar Ryota diakhir kalimat dia menghela nafasnya."Iya, mereka jahat seperti biasanya jika menyangkut permasalahn orang lain. Tanpa mengetahui fakta sebenarnya terlebih dahulu, mereka seenaknya menghakimi orang lain dengan sangat kejam," Kanna ikut berkomentar tentang masalah Junko.Junko merasa hatinya sangat penuh sekarang. Memiliki orang-orang baik seperti mereka berdua membuatnya sa
Takumi membuang nafasnya perlahan saat ia melihat Hashimoto Sakurai sedang berada di teras rumahnya. Tapi yang membuat Takumi mendesah adalah Sakurai, wanita itu sedang bersama seorang pria dan mereka seperti sangat akrab, serta... mesra?Sakurai tidak mungkin bisa melihat keberadaan Takumi, tapi Takumi bisa dengan jelas melihat wanita itu. Sungguh menjijikan, dia berkata kepada ibunya bahwa wanita itu hanya mencintai Takumi tapi sebenarnya dia hanya ingin memiliki harta keluarga Takumi."Dari dulu sampai sekarang, wanita itu tidak pernah berubah sedikit pun. Dan jika dibandingkan dengan Mayumi, dia lebih berhati iblis," ucap Takumi dengan suara pelan.Tak ada lagi yang harus di bicarakan, semuanya sudah jelas bukan. Hashimoto Sakurai adalah wanira rubah yang menginginkan segalanya dan untuk ke untungannya sendiri. Setelah Takumi mengambil foto Sakurai bersama pria lain itu, ia langsung pergi untuk kembali ke toko buku milik Tosaka.***Jika diband
"Aku harus pergi," ujar Junko kepada Kanna dan Ryota."Baiklah kalau begitu hati-hati ya. Dan jangan terlalu memikirkan masalah ini nanti kau sakit," sahut Kanna sambil menepuk pundak Junko.Junko tersenyum lembut dan mengusap tangan Kanna yang masih bertengger di pundaknya. "Aku akan selalu ingat pesanmu Kanna-san. Baiklah aku harus pergi!"Setelah melambaikan tangan, Junko menghilang dibalik pintu, ia kemudian menuruni tangga dan dengan cepat menuju kearah gerbang untuk menemui seseorang. Ia sudah tidak peduli dengan omongan orang-orang di sekolah ini, mereka hanya bisa menghakimi seseorang tanpa melihat terlebih dahulu fakta yang ada."Takumi-san?" Junko berseru kearah Takumi saat pria itu menengok kesana kemari, mungkin sedang mencari dirinya."Ah Junko!" seru pria itu, dia terlihat senang saat mengetahui Junko ada dihadapannya.Junko menghampiri Takumi. "Takumi-san mari bicara ditempat lain. Disini terlalu ramai," ujarnya memberi alasan