"Bisa tanda tangan disini ya." Anggit mengarahkan Map merah jambu ke arah Nina. Tentu saja tidak langsung disetujui oleh Nina. Ia memilih untuk membaca terlebih dahulu isi kontrak yang tertera. Jaga-jaga kalau saja ada poin yang merugikan Nina.
"Tidak boleh membawa handphone...." Gumam Nina. Kemudian Ia mengangkat wajahnya untuk melihat Anggit yang masih setia tersenyum manis dihadapannya, "Kalau nggak boleh bawa handphone, gimana nanti saya mau hubungi keluarga? Atau kalau ada telepon penting dari kantor? Saya kan bukan pengangguran Mbak." Mungkin Nina terdengar agak sewot. Tapi sebenarnya Nina berbicara dengan nada yang sangat santai. Bagaimana pun juga kekhawatirannya tidak bisa menghubungi Bapak selama acara menjadi faktor utama kegelisahannya. Nina lebih takut jika Bapak akan benar-benar datang untuk mengobrak abrik agensi.
Anggit tersenyum tenang, "Nanti kami akan berikan handphone khusus yang akan digunakan ketika di dalam asrama. Soalnya nanti setiap malam pihak staf akan mengirimkan pengumuman melalui pesan teks. Nanti boleh kok kalau Mbak mau menginstall sosial media yang diperlukan. Mbak tetap bisa menghubungi keluarga, hanya saja nomor teleponnya berbeda. Silahkan kasih tahu keluarga tentang hal ini ya, Mbak."
"Ada kuotanya nggak, Mbak? Saya nggak mau jadi manusia purba di asrama," Tanya Nina dengan tidak tahu dirinya.
Anggit sontak tertawa kecil mendengar celetukan asal Nina, "Ada dong, Mbak. Bahkan wifinya gratis lagi. Dijamin lancar jaya."
'Yes! Kalau gabut bisa nonton sepuasnya' Batin Nina.
"Saya tetap bisa bekerja seperti biasa nggak?" Tanya Nina lagi.
"Bisa, Mbak. Kita nggak membatasi kok untuk masalah kerjaan. Tapi ada beberapa hari yang nanti akan kami ambil untuk keperluan kencan. Jadi harap disesuaikan ya jadwalnya," Jawab Anggit tenang.
Mendengar kata kencan, semburat merah langsung muncul di pipi Nina. Segera Nina menanda tangani berkas dan kembali ke kantor. Nina terlalu gugup untuk membayangkan bagaimana rasanya kencan. Bagaimana cara dia harus bersikap di depan teman kencannya. Bahkan dia berencana akan membongkar ulang kopernya dan memasukkan semua baju yang dipikirnya akan cocok untuk kencan. Ah, atau mungkin lebih baik membawa dua koper besar sekalian. Jadi, Nina tidak perlu kebingungan jika kekurangan outfit nanti.
Saking malunya, saat Nina membuka pintu keluar, Ia tak sengaja menabrak seorang lelaki. Perawakannya tinggi, saking berototnya, Nina malah merasa kesakitan saat tubuh mungilnya bertabrakan dengannya.
"Eh? Maaf, kamu nggak apa-apa?" Tanya lelaki itu.
"Nggak apa-apa, Mas. Maaf juga ya. Permisi," Cicit Nina. Ia pun tetap menunduk dan segera berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Lelaki itu mengkerut dalam, seperti pernah melihat wajah itu. Tetapi dimana?
"Bang Arsen! Sini teken kontrak!" Panggil adiknya.
"Itu kenapa?" Arsen, menunjuk ke belakang tubuhnya tanda penasaran. Sebab perempuan itu berlari seperti dikejar zombie.
"Nggak tahu. Kayaknya perawan tua. Masa aku baru bilang tentang kencan aja dia langsung salah tingkah begitu. Dasar aneh," Ucap Anggit.
Arsen menangguk paham. Kemudian Ia melirik pada berkas dalam map pink yang sudah disediakan Anggit. Ia pun sontak mengaduh pelan, "Katanya udah tanda tangan sendiri. Buang-buang waktu istirahat Abang tahu nggak?" Arsen memprotes.
"Hehe, kalau aku nggak bohong nanti Abang nggak mau sama sekali ikut acara ini," Kata Anggit.
"Emang," Balas Arsen.
"Makanya cepetan tanda tangan sini. Biar habis ini kita makan di cafetaria," Anggit buru-buru menarik tangan Arsen dan menuntunnya untuk memegang pulpen.
Arsen menuruti tanpa protes panjang. Pikirannya hanya berkelana pada makanan-makanan mewah di cafetaria kantor sang adik yang menurut Arsen sudah sekelas Hotel Bintang 5. Perutnya sudah semakin keroncongan karena lembur tadi malam. Setelah ini, Ia akan pulang dan tidur cantik sampai sore.
"Cewek itu tadi yang namanya Karenina." Ceteluk Anggit. Arsen sendiri tampak tidak peduli dan masih membaca kontrak dengan seksama.
"Pecicilan." Gumam Arsen sebagai tanggapan.
"Iya kan, Bang. Makanya kata aku mah, nggak usah sama dia. Mending sama si Miss Indonesia aja." Saran Anggit. Namun Arsen tahu, itu hanya akal-akalan Anggit saja. Dia tergila-gila untuk menjadi populer. Kalau Arsen berhasil berpasangan dengan Miss Indonesia, engagement Anggit pun ikut naik. Arsen sendiri heran, jika Anggit sesuka itu dengan kepopuleran, kenapa tidak menjadi artis saja? Namun, Anggit mengatakan dia tidak percaya diri jika harus show off di dunia hiburan. Tujuannya menaikkan popularitas hanya untuk satu tujuan, yaitu menambah cuan.
***
"Siapa cowok itu?" Gumam Sasa yang kini tengah duduk di kursi tamu. Nina hanya mengendikkan bahu kemudian berjalan mendahului Sasa agar segera pergi dari kantor tersebut. Pada akhirnya, Sasa ikut Nina untuk pergi tanda tangan perjanjian kontrak acara. Sasa memilih merelakan jam istirahatnya daripada ketinggalan informasi dari Nina. Padahal Sasa bilang bahwa dia punya orang dalam yang tahu tentang acara ini, tetapi Nina merasa malah Ia yang banyak memberikan Sasa informasi.
"Udah ya, jangan tanya-tanya gue lagi, gue tuh udah tanda tangan kontrak, "Jawab Nina kala Sasa masih saja sibuk bertanya mengenai isi kontraknya.
"Ih, pelit banget sih lo sama teman sendiri," Kata Sasa dengan kesal.
"Bukannya pelit info, gue nggak mau kena denda gara-gara ngebocorin hal-hal terkait keberlangsungan acara, itu ada di salah satu syarat kontrak tahu," Kata Nina.
"Elah, emang lo pikir gue bakalan bocor kemana sih? Gue ini teman lo, Nin," Dumel Sasa, masih saja tidak terima. Tahu begini kan dia mending memilih makan saja. Hari yang dingin pasti akan sedap jika dihangatkan oleh kuah soto buatan Nico.
"Ck, gak usah pura-pura sok paling bisa jaga rahasia deh. Buktinya belum apa-apa satu kantor udah tahu gue ikutan dating show. Apalagi kalau gue bocorin kontraknya, bisa-bisa satu Indonesia tahu kali." Kali ini Nina mengomel. Rasanya kesal mengingat kejadian tadi pagi, alih-alih senang Ia malah merasa malu disoraki begitu. Ia merasa sebagian besar dari mereka mengejeknya karena Nina seperti sudah kehilangan harapan untuk jodohnya sendiri.
"Ya maaf deh, gue nggak akan begitu lagi." Kata Sasa sambil memperagakan diririnya yang mengunci mulutnya sendiri.
"Eh, tapi cowok tadi ganteng juga lho, Nin. Kayaknya dia peserta juga deh. Fix sih dia itu model," Ujar Sasa lagi.
"Ganteng doang kalau nggak mau sama gue ya percuma," Kata Nina.
"Makanya sebelum lo pergi, nanti gue ajari jurus jitu menggoda para pria. Dijamin nagih!" Seru Sasa. Nina seketika mendelik mendengar ucapan ambigu manusia di sebelahnya ini. Nina menggeleng pelan kemudian memilih mengabaikannya. Nina tidak perlu jurus jitu, sebab Ia sudah merasa percaya diri dengan dirinya sendiri.
Day 1Nina bersusah bayah menggeret koper besarnya menuju asrama. Jalanan yang menanjak membuat Nina menyesali keputusannya menggunakan heels. Kurang ajar! Baru hari pertama Nina merasa sudah dianak tirikan saja oleh pihak staf. Bagaimana tidak, pihak staf tiba-tiba saja membatalkan perjanjiannya secara sepihak. Harusnya kemarin Nina akan merekam video singkat tentang kesehariannya di kantor. Tapi karena alasan harus merekam terlebih dahulu 'A day in my life' dari salah satu peserta lainnya, akhirnya Nina harus merekam videonya hari ini, tepat dimana hari shooting dimulai. Merekam video memerlukan beberapa kali take sehingga memakan waktu hampir 5 jam hanya untuk Nina saja. Harusnya dari jam 9 Nina sudah berangkat menuju asrama, namun karena rekaman sialan itu Nina baru sampai saat matahari tepat di atas kepalanya.Nina sampai di depan pintu sambil mengaduh pelan. Mulutnya tak berhenti mengumpat-ngumpat sejak turun dari mobil. Ia pun menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya dan menge
Setelah perkenalan singkat Adam, mereka memutuskan untuk melakukan tur singkat di asrama yang sebenarnya lebih pantas disebut guest house. Rumah berlantai 1 itu memiliki ruang tamu yang cukup luas dan langsung bertemu dengan dapur. Sedangkan diseberang bangunannya terdapat 4 kamar yang akan mereka tinggali. Dua gedung ini dipisahkan oleh taman dan kolam renang dengan meja makan besar di depannya. Nina sampai berpikir, apakah pihak produksi tidak akan rugi menyediakan fasilitas segini banyaknya kepada mereka.Setelah diskusi singkat, Nina akhirnya sekamar dengan Chelsea. Tentu saja Nina dengan senang hati menerimanya. Nina pikir kepribadian mereka cukup mirip. Nina juga selalu mengidam-ngidamkan sosok adik perempuan. Jujur saja, memiliki Gilang sebagai adiknya tidaklah menyenangkan.Nina dan Chelsea pun menyusun koper mereka ke dalam walk in closet yang menyatu dengan kamar mandi. Seperti dugaan Nina, Chelsea membawa lebih banyak barang darinya. Bahkan
Ezra memutuskan untuk membuat Aglio E Olio, Mac n Cheese, dan Taco sebab Ilham terus mengeluh kelaparan. Jadi Ia akan membuat sesuatu yang kemungkinan tidak memakan banyak waktu. Nina sendiri berniat untuk menolongnya sekaligus ingin menunjukkan pesonanya melalui masak. Tapi sudah beberapa kali Nina menawarkan bantuan, Ezra tidak menggubrisnya dan malah sibuk sendiri dengan dunianya. "Ada yang bisa gue bantu nggak?" Tanya Nina untuk yang ketiga kalinya. Dirasa tidak mendapatkan jawaban, Nina memilih untuk inisiatif mengambil pisau dan memotong daging untuk isian Taco. Keduanya bekerja dalam diam, mungkin Ezra bahkan tidak menyadari kalau ada Nina di sisinya. Kemudian Kanaya datang setelah berganti dengan baju santai. Barefacenya justru malah membuatnya terlihat semakin cantik. Nina yang masih menggunakan make up saja merasa jauh lebih kucel. "Aku bisa bantu apa nih?" Tawarnya. "Potongin bawang bombay sama tomat." Sahut Ezra cepat, bahkan
Day 2Nina rencananya akan bangun pagi-pagi sekali untuk mengecek keadaan restaurant sebentar. Tetapi mau dikata apalagi, nyatanya Ia malah terbangun pukul 11 siang gara-gara sibuk begadang sampai jam 3 pagi.Nina melihat kasur disebelahnya, Chelsea ternyata lebih parah darinya. Gadis itu masih terlelap, sibuk mengarungi alam mimpi. Ia pun merenggangkan tubuh sejenak sebelum kemudian menuju dapur. Ia harus membuat sesuatu karena perutnya meraung-raung minta diisi.Suasana asrama terlihat sepi. Mungkin beberapa orang sudah pergi bekerja sejak pagi tadi. Jadi, Nina memutuskan untuk membuat jus dan toast saja pagi ini. Karena jika memasak makanan berat akan memakan waktu terlalu lama."Wah, masak apa nih?" Nina terkesiap saat mendengar suara berat di telinganya. Entah sejak kapan Ikbal sudah berada di dapur, Nina pun tidak tahu."Eh? Sejak kapan lo disitu?" Tanya Nina dengan canggung sambil menggaruk pelipisnya yang tidak
Nina memutuskan untuk kembali ke tempat tidur setelah makan. Tiba-tiba saja setelah melihat sosok Ikbal, moodnya langsung terjun bebas. Ia pun menenggelamkan kepalanya di bantal, menggerutu didalam sana. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Padahal sejak awal, dirinya lah yang mewanti-wanti untuk tidak mudah terjatuh dalam pesona siapapun disini. Niatnya untuk mengunjungi restaurant harus Ia batalkan, sehingga Ia pun menghubungi Andre untuk izin mengerjakan pekerjaannya dari asrama saja. Nina memutuskan untuk membuka Macbooknya kemudian mengerjakan di atas kasur. "Ugh!" Chelsea menggeliat pelan. Ia membuka matanya, sedikit menyipit karena menyesuaikan diri dengan cahaya mentari yang mulai menyengat masuk melalui celah gorden. "Jam berapa ini?" Gumamnya. "Udah jam 12. Kamu mandi gih sana," Saran Nina yang masih sibuk bergelut dengan laptop. "OMG, aku ada kel--maksudnya kerjaan jam 1 nanti," Chelsea pun terburu-buru turun dari
Setelah makan malam, mereka semua kembali berkumpul di ruang tamu setelah muncul sebuah surat di depan pintu asrama. Sean sebagai penerima surat, membuka perlahan segel yang mengunci amplop sambil sesekali menggoda mereka yang penasaran. "Para wanita, silahkan pilih salah satu dari 4 kartu untuk menentukkan kemana tujuan kencanmu." Ujar Sean dengan lantang. Sean pun mengorek isi amplop dan benar saja, Ia menemukan 4 kartu dengan lukisan yang berbeda. Ada pilihan pantai, museum, taman bermain, dan fine dining. Fine dining adalah salah satu impian kencan Nina sejak dulu. Ia ingin tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti seorang ratu. Tetapi, akan sangat canggung kalau kegiatan kencan mereka hanya makan. Nina juga tidak bisa melihat lebih jauh bagaimana kepribadian pasangannya jika tidak ada kegiatan aktif di dalamnya. Selain itu, Nina juga merasa Ia perlusedikitfresh air mengingat sesaknya hiruk pikuk perkotaan.
Day 3 Pagi ini, asrama bersuara sangat ramai. Para kaula muda tengah bersiap untuk kencan pertama yang sangat mereka tunggu-tunggu.Adam mengatakan bahwa mereka akan berangkat pagi-pagi sekali karena jarak pantai yang cukup jauh dari pusat kota, yaitu memakan sekitar 2 jam untuk sampai kesana. Disisi lain, Nina merasa bersalah kepada Kanaya karena seakan tengah berselingkuh dengan Adam. Sebab Kanaya baru saja curhat tentang kebimbangannya mengenai Adam kepada Nina semalam. Namun, betapa baik hatinya Kanaya mengatakan bahwa Ia baik-baik saja dan malah ikut membantu memilihkan outfit kencannya pagi ini. "Kamu betulan nggak apa-apa, Ka?" Saat ini Nina tengah berada di kamar Kanaya dan Kesha karena Ia sangat bosan di kamarnya sendiri. Chelsea seperti tengah menjauhinya sehingga mereka bahkan tidak mengobrol sama sekali sejak malam tadi. Nina juga tidak tahu apa kesalahannya, jadi Ia mengikuti saja alur yang dibuat oleh Chelsea. Jika perempuan itu tak ingin menyapanya hari ini, yasudah
Perjalanan diiringi dengan keheningan berkepanjangan, bahkan Adam tidak mau repot untuk sekedar menyalakan musik guna memecah keheningan yang melanda. Nina hanya bisa duduk dengan tenang dan hati-hati. Seperti dugaannya, kencan dengan Adam memanglah sebuah mimpi terburuk dalam hidupnya, setidaknya untuk sementara ini. "Bagaimana perasaanmu selama di rumah?" Tanya Adam akhirnya berbasa-basi setelah sekian purnama. Nina menoleh sekilas ke arah Adam, kemudian berdehem untuk membersihkan tenggorokannya. Rasanya seperti mengalami sesi interview, "Agak kesulitan sebenarnya," Jawabnya. Nina melirik Adam sekali lagi yang terlihat sangat tampan hari ini. Meskipun sikap pria itu dingin dan datar, Nina tetap tak ingin melewatkan keindahan mahkluk Tuhan yang satu ini. Belum tentu selesai acara dia akan melihat manusia seperti Adam lagi diluaran sana. "Apa yang membuatmu kesulitan?" Dahinya mengernyit dalam tampak keheranan. Nina memandangi kaca mobil disampingnya. Pemandanga
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila