Setelah makan malam, mereka semua kembali berkumpul di ruang tamu setelah muncul sebuah surat di depan pintu asrama. Sean sebagai penerima surat, membuka perlahan segel yang mengunci amplop sambil sesekali menggoda mereka yang penasaran. "Para wanita, silahkan pilih salah satu dari 4 kartu untuk menentukkan kemana tujuan kencanmu." Ujar Sean dengan lantang. Sean pun mengorek isi amplop dan benar saja, Ia menemukan 4 kartu dengan lukisan yang berbeda. Ada pilihan pantai, museum, taman bermain, dan fine dining. Fine dining adalah salah satu impian kencan Nina sejak dulu. Ia ingin tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti seorang ratu. Tetapi, akan sangat canggung kalau kegiatan kencan mereka hanya makan. Nina juga tidak bisa melihat lebih jauh bagaimana kepribadian pasangannya jika tidak ada kegiatan aktif di dalamnya. Selain itu, Nina juga merasa Ia perlusedikitfresh air mengingat sesaknya hiruk pikuk perkotaan.
Day 3 Pagi ini, asrama bersuara sangat ramai. Para kaula muda tengah bersiap untuk kencan pertama yang sangat mereka tunggu-tunggu.Adam mengatakan bahwa mereka akan berangkat pagi-pagi sekali karena jarak pantai yang cukup jauh dari pusat kota, yaitu memakan sekitar 2 jam untuk sampai kesana. Disisi lain, Nina merasa bersalah kepada Kanaya karena seakan tengah berselingkuh dengan Adam. Sebab Kanaya baru saja curhat tentang kebimbangannya mengenai Adam kepada Nina semalam. Namun, betapa baik hatinya Kanaya mengatakan bahwa Ia baik-baik saja dan malah ikut membantu memilihkan outfit kencannya pagi ini. "Kamu betulan nggak apa-apa, Ka?" Saat ini Nina tengah berada di kamar Kanaya dan Kesha karena Ia sangat bosan di kamarnya sendiri. Chelsea seperti tengah menjauhinya sehingga mereka bahkan tidak mengobrol sama sekali sejak malam tadi. Nina juga tidak tahu apa kesalahannya, jadi Ia mengikuti saja alur yang dibuat oleh Chelsea. Jika perempuan itu tak ingin menyapanya hari ini, yasudah
Perjalanan diiringi dengan keheningan berkepanjangan, bahkan Adam tidak mau repot untuk sekedar menyalakan musik guna memecah keheningan yang melanda. Nina hanya bisa duduk dengan tenang dan hati-hati. Seperti dugaannya, kencan dengan Adam memanglah sebuah mimpi terburuk dalam hidupnya, setidaknya untuk sementara ini. "Bagaimana perasaanmu selama di rumah?" Tanya Adam akhirnya berbasa-basi setelah sekian purnama. Nina menoleh sekilas ke arah Adam, kemudian berdehem untuk membersihkan tenggorokannya. Rasanya seperti mengalami sesi interview, "Agak kesulitan sebenarnya," Jawabnya. Nina melirik Adam sekali lagi yang terlihat sangat tampan hari ini. Meskipun sikap pria itu dingin dan datar, Nina tetap tak ingin melewatkan keindahan mahkluk Tuhan yang satu ini. Belum tentu selesai acara dia akan melihat manusia seperti Adam lagi diluaran sana. "Apa yang membuatmu kesulitan?" Dahinya mengernyit dalam tampak keheranan. Nina memandangi kaca mobil disampingnya. Pemandanga
Adam dan Nina baru sampai di pantai setelah menempuh waktu perjalanan cukup lama, yaitu 2 jam 30 menit. Jika ingin, Adam bisa saja menembusnya dengan waktu 1 jam. Tetapi mengingat percakapannya dengan Nina terlalu sayang untuk diakhiri, jadi pria itu sengaja lebih memelankan laju mobil agar bisa lama-lama mengenal wanita itu.Pandangan Nina terhadap Adam tentu saja berubah 180 derajat. Nyatanya pria itu sangatlah asik diajak bicara. Komunikasi mereka cenderung lebih nyambung. Apalagi saat membicarakan tentang bisnis, Nina bisa melihat binar semangat di netra pria disampingnya. Sehingga Nina semakin menguatkan asumsinya bahwa Adam adalah seorangbussines man yang sangat sukses. Semoga suatu hari, Nina bisa mengikuti jejaknya.Pantai terlihat ramai sore ini, namun tidak terlalu sepadat biasanya. Awan di seberang pulau terlihat gelap menunjukkan kuasanya yang akan menurunkan hujan siang nanti.Semilir angin kencang meniup dengan gagahnya,
"Apa kamu merasa kecewa karena aku memilih kartu pantai?" Nina akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi Ia pendam. Mungkin saja sebenarnya ada seseorang yang diharapkan oleh Adam untuk memilih kartu tersebut. Obrolan mereka tak kian habis sejak tadi, mungkin karena mencoba saling mengenal, rasa penasaran masih besar sekali. Mulai dari membahas hobi, sampai dengan hewan peliharaan Adam yang ternyata sangat ekstrem. Pria itu senang memelihara reptil di dalam rumahnya. Tentu saja perawatan hewan-hewan seperti itu memerlukan biaya yang lumayan fantastis. Belum lagi, Adam harus menyediakan tempat yang luas, mendesainnya sedemikian rupa agar kendang-kandang itu dikamuflase seperti habitat asal para hewan peliharaan itu. Adam meneguk minumannya kemudian berujar, "Nggak. Kenapa harus kecewa?" Khas jawaban Adam. Setelah beberapa jam menghabiskan waktu dengan pria itu, sedikit banyaknya Nina hapal juga dengan kebiasaan Adam yang senang membalikkan pertanyaan dengan pe
Ezra menutup matanya tenang di atas kasur. Ia pulang kencan lebih cepat daripada pasangan lainnya, karena Ia memang tidak punya rencana apapun selain museum. Padahal, Ezra dan Kesha merupakan pasangan yang paling lambat untuk pergi karena mereka menunggu jam agak siangan. Diliriknya jam telah menunjukkan pukul 7 malam. Ternyata sudah cukup lama pria itu terlelap.Sesuai aturan, seharusnya sebentar lagi Kanaya akan pulang, mengingat aturan kencan hanya dibatasi sampai pukul 8 malam. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan menemukan Kesha tengah sibuk melakukan--hal yang tidak Ezra pahami sebagai kaum pria.Menghias kukunya semerah darah."Eh? Udah bangun, Za?" Kesha berujar dengan nada riangnya. Semenjak pulang dari kencan, wanita itu berubah menjadi seterang mentari. Mungkin karena ketertarikannya kepada Ezra semakin besar setelah berkencan dengannya. Kesha menyadari bahwa Ezra tidak sedingin yang Ia kira. Meskipun pria itu hanya bicara singkat-
Nina turun dari mobil saat Adam membukakan pintu untuknya. Tampaknya belum usai kejutan untuk Nina hari ini, Adam tiba-tiba saja menggandeng tangannya dengan erat. Nina terkesiap dan reflek melepaskan genggamannya dari Adam, "Eh?""Oh, maaf. Kamu nggak nyaman?" Tanya Adam dengan anda khawatir."Err--nggak enak sama yang lain," Nina terlihat sungkan."Nggak apa-apa. Kita harus pamer sama mereka," Adam menautkan jemari mereka dengan perlahan, sambil menunggu penolakan kedua dari Nina. Namun wanita itu tampak diam saja, seperti menerima genggaman Adam. Adam diam-diam tersenyum kemudian membukakan pintu dan mempersilahkan Nina untuk masuk terlebih dahulu."Nina! Ayo sini kita makan!" Ajak Kanaya."Duluan aja. Kita baru aja makan kok," Tolak Nina dengan halus."Oh, yaudah ikut nyemil aja sini," Ajak Kesha kemudian.Nina kemudian duduk di sebelah Kanaya. Sayangnya kursi kosong hanya tersisa di sebelah Chelsea, sehing
DAY 4Saat ini keempat wanita sedang merias diri di kamar Chelsea dan Nina sambil mengobrol. Meskipun tidak ada jadwal kencan hari ini, para wanita tetap mempertahankan penampilannya mengingat mereka direkam 24 jam oleh kamera dimana-mana. Nina yang sedang fokus mencatok rambutnya hanya menyimak percakapan yang tidak jauh-jauh tentang para pria."Kamu juga suka Ezra, Kak? Sekarang Ezra tiba-tiba populer ya." Gumam Kesha yang masih bisa didengar oleh ketiganya."Bukan suka, cuman mau mencoba kenal aja. Kemarin kan aku udah jalan sama Ikbal tuh. Aku kepengen kenal mereka satu-satu biar aku tahu harus milih yang mana," Jawab Chelsea. Nina memperhatikan Kanaya dari balik kaca yang kini juga telah menatapnya."Emangnya kamu nggak suka Kak Ikbal Ce?" Akhirnya Kanaya membuka suara."Hm, jujur aja aku baper sih soalnya dia manis banget selama kencan semalam. Tapi aku bosan, soalnya kebanyakan cerita tentang dirinya sendiri. Bag
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila