DAY 4
Saat ini keempat wanita sedang merias diri di kamar Chelsea dan Nina sambil mengobrol. Meskipun tidak ada jadwal kencan hari ini, para wanita tetap mempertahankan penampilannya mengingat mereka direkam 24 jam oleh kamera dimana-mana. Nina yang sedang fokus mencatok rambutnya hanya menyimak percakapan yang tidak jauh-jauh tentang para pria.
"Kamu juga suka Ezra, Kak? Sekarang Ezra tiba-tiba populer ya." Gumam Kesha yang masih bisa didengar oleh ketiganya.
"Bukan suka, cuman mau mencoba kenal aja. Kemarin kan aku udah jalan sama Ikbal tuh. Aku kepengen kenal mereka satu-satu biar aku tahu harus milih yang mana," Jawab Chelsea. Nina memperhatikan Kanaya dari balik kaca yang kini juga telah menatapnya.
"Emangnya kamu nggak suka Kak Ikbal Ce?" Akhirnya Kanaya membuka suara.
"Hm, jujur aja aku baper sih soalnya dia manis banget selama kencan semalam. Tapi aku bosan, soalnya kebanyakan cerita tentang dirinya sendiri. Bag
"Lagi ngapain di dalam kamar, kok pada nggak ke ruang makan?" Nina berjalan bersisian di tepi kolam renang bersama Adam. Adam memutuskan untuk menyantap sarapan bersama Nina di tempat duduk santai sembari menikmati hari yang cerah."Pada ngobrol. Biasalah cewek." Nina kemudian menyuap sarapan kecilnya, "Hm, enak. Makasih ya.""Sama-sama. Hari ini bisa temani aku sebentar? Sekalian makan diluar. Aku mau ngajak kamu ke tempat langgananku," Ajak pria itu.Tentu saja mata Nina langsung berbinar terang, "Mau, tapi--emangnya kita boleh keluar? Soalnya nggak ada jadwal dari staf kan?""Ah, masa acara dating show melarang finalisnya buat kencan sih," Ujar Adam santai."Hah? K-kencan?" Tanya Nina lagi, memastikan pendengarannya tidak salah.Adam kemudian mengangguk, "Terus apa? Study tour?" Ujar Adam dengan nada bercanda. Kemudian jemarinya menyeka saus yang setia menempel di sudut bibir Nina. "Pelan-pelan aja makannya, aku nggak akan
Nina menyajikan hidangan yang telah dimasaknya dibantu oleh Kanaya yang tengah menata meja. Makanan malam ini sangat penuh karena ukuran kakap yang cukup besar. Nina merasa senang setiap kali menyajikan makanan hasil jerih payahnya sendiri. Menurutnya makanan adalah sebuah karya yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Ia merasa puas kala teman-temannya, terutama Adam menatap hidangan dengan tatapan kagum. Nina sadar bahwa selera makan mereka bertambah."Wah, ini lo yang masak, Nin?" Mata Ikbal terlihat berbinar. Ia memotret hidangan dengan berbagai angle agar terlihat aesthetic."Ayo dicobain semuanya." Nina menyuruh mereka semua untuk segera mencicipinya, terutama Adam. Kini, Nina mendorong sedikit masakannya ke arah Adam agar pria itu leluasa untuk mengambil potongan ikan."Hm, enak banget!" Kesha memuji dengan tulus. Tak terhitung berapa kali teman-temannya memuji masakan Nina. Bahkan Ezra sekalipun mengakui bahwa Nina adalah chef yang andal. Nina tersenyu
Ternyata kegiatan merangkai bunga tidak semudah yang Nina kira. Ia pikir, hanya perlu menyelip-nyelipkan berbagai bunga cantik yang Ia mau ke dalam vas bunga. Namun sang florist mengatakan bahwa setiap bunga memiliki simbol. Jika kau memasukkan bunga asal-asalan, maka tidak akan menciptakan hal yang bermakna.Nina bolak balik membuka internet untuk mencari berbagai arti bunga yang sesuai dengan kemauannya hari ini. Adam dan Nina memutuskan untuk saling memberikan bunga yang dirangkai untuk satu sama lain, oleh karena itu, Nina harus membuatnya dengan serius.Rangkaian bunga Adam tidak terlalu banyak memadukan warna, jika dilihat sekilas, tidak terlihat menarik namun sangat rapih. Seperti, Adam telah memiliki konsep yang sudah diaturnya dalam kepala.Bunga Edelweiss melambangkan keabadian, kemudian diselipkan bunga baby's breath ke tepi-tepinya. Tak lupa bunga krisan yang berarti kesetiaan mendominasi bagian tengah, dan lavender mempercantik kedua
Kini mereka semua kembali berkumpul di sofa ruang TV setelah Ikbal membeli sebuah permainan Jenga dengan konsep truth or dare. Nina yang tadinya tidak mood kini kembali bersemangat kala mendapatkan pesan dari Adam, bahkan Ia mendapatkan dua pesan malam ini. Entah siapa satunya, Ia pun tidak peduli."Jadi, setiap balok ini ada pertanyaannya. Balok yang kalian pilih itu yang harus kalian jawab," Jelas Ikbal sembari menyusun balok satu persatu."Ada-ada aja sih lo punya mainan," Sean menggelengkan kepala. Mungkin Ia merasa sudah tidak pantas lagi karena telah menginjak kepala 3."Ck, emangnya lo pada nggak bosan apa kegiatannya itu-itu mulu," Keluh Ikbal."Jangan kelamaan mainnya, Ham. Besok beberapa dari kita harus berangkat kerja," Ujar Adam.Ikbal mengangguk dan dengan semangat menyusun balok bersama Ezra. Ezra sesekali mengernyit kala mengintip berbagai pertanyaan di dalam balok. Namun, pria itu tidak melayangkan protes apapun da
Nina tidak bisa tidur meskipun jam telah menunjukkan pukul tengah malam. Ia memutuskan untuk menjernihkan pikirannya sejenak di tepi kolam renang. Setidaknya dia masih bisa tenang karena kini Sean, Ezra, dan Ikbal masih mengobrol di ruang TV. Sehingga Nina tak sepenuhnya sendirian terjaga.Suara langkah kaki terdengar mendekat, kemudian ikut duduk di tepi kolam bersama Nina. Riak air yang tadinya tenang agak bergelombang ketika kaki pria itu memutuskan untuk ikut masuk."Kenapa belum tidur? Nggak ngantuk?" Tanya Adam sambil menjentikkan jemarinya ke depan wajah Nina. Sebab Nina terlalu larut dalam lamunannya.Nina tersentak, sebelum kemudian menyadari bahwa itu adalah Adam, "Eh? Aku pikir kamu udah tidur.""Aku tadi mandi, terus mau ikut ngobrol sama anak-anak, tapi malah lihat penampakan disini," Kata Adam."Maksud kamu aku penampakan?" Mata Nina memicing."Bukan kamu, tadi emang ada penampakan kok," Ujar Adam dengan santai, yang justru ber
Day 5Para penghuni asrama tampak sibuk setelah mendapatkan pesan untuk bermain satu permainan di pantai. Hadiah yang diberikan jika memenangkan permainan adalah kesempatan untuk menjadi penguasa, dimana penguasa berhak untuk mengatur seluruh pasangan kencan termasuk untuk dirinya sendiri. Tentu saja rasa lelah setelah pulang bekerja langsung sirna setelah pengumuman tersebut.Nina memutuskan untuk pergi menunggu yang lain di ruang tamu. Barang-barangnya sudah siap karena Ia hanya perlu membawa satu baju ganti dan sedikit make up, untuk berjaga-jaga jika mereka akan melakukan permainan air.Baru saja Nina membuka pintu pembatas antara dapur dan lapangan hijau di tengah gedung bangunan, Nina menemukan pemandangan yang cukup membuat sakit matanya. Adam dan Chelsea tengah bersenda gurau bersama, bahkan Chelsea sesekali memukul bahu Adam seolah-olah pria itu adalah pelawak nomor 1 di Indonesia.Apakah Adam pernah te
Game yang akan mereka mainkan adalah lomba lari, yang sialnya adalah kegiatan yang paling dibenci oleh Nina. Kali ini, yang berlomba adalah para kontestan perempuan, sehingga para pria hanya bertugas sebagai tim penyorak. Sean, nantinya akan memberikan aba-aba, dan para peserta lomba harus lari mendekati bibir pantai menuju ke air untuk memperebutkan bendera merah yang kini tengah tertajak di ujung sana.Nina mengambil ancang-ancang setelah melakukan pemanasan. Walaupun jauh di lubuk hatinya dia sudah pasrah dengan keadaan. Persetan dengan hadiahnya, Nina tidak punya bakat olahraga."Siap! 1....2....3!" Sean sebagai wasit kemudian menghitung start. Para kontestan berlari secepat kilat dengan Kanaya dan Chelsea berhasil memimpin permainan, sedangkan Kesha berada di urutan ketiga, dan tentu saja Nina berada di urutan terakhir. Apalagi saat mereka sudah menuju air, mereka tidak bisa bergerak dengan bebas untuk berlari sehingga pergerakan Nina semakin melambat. Hi
Aura yang dipancarkan kedua sejoli yang kini tengah sama-sama menatap keluar mengeluarkan sisi dingin yang hanya dipahami keduanya. Helaan nafas tak henti-hentinya terdengar untuk menyaingi keheningan yang melanda begitu lama. Keputusan yang dibuat Chelsea hanya menguntungkan sebagian pihak, dan kemudian merugikan pihak lainnya. Contohnya saja Nina dan Ikbal yang kini dipasangkan sebagai pasangan kencan. Jika saja tidak ada kamera, Nina mungkin akan mengumpat sepuasnya hingga rasa marah yang menyelimuti hatinya sirna. Begitupula dengan Ikbal yang sedari tadi memijat keningnya, mereka sama-sama tak punya energi untuk sekedar menunjukkan wajah bahagia yang palsu."Lo ada ide kita mau kemana?" Ikbal akhirnya memutuskan untuk membuka suara. Lelaki itu kelaparan, setidaknya Ia harus mengisi perut agar otaknya tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya.Nina hanya mengendikkan bahu, "Nggak ada.""Sama." Singkat Ikbal kemudian sebelum keheningan kembali menyerang.
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila